Sepuluh menit berlalu, Keenandra belum juga kembali ke dalam ruangan. Aletta cemas. Ia takut terjadi sesuatu pada suaminya. Di dalam pikiran kalutnya, ia membayangkan suaminya terjatuh di dalam toilet saat sedang buang air. Tak hanya Aletta saja, Andrinof juga ikut cemas. Pasalnya, Amira pun belum kembali dari toilet sedangkan acara sebentar lagi akan dimulai. Andrinof tak sengaja menoleh ke belakang, tepat saat Aletta tengah menatap ke arah panggung dengan tatapan yang sama dengannya. Tatapan cemas sambil sesekali mencari seseorang ke sekeliling ruangan. Tak lama kemudian, Amira datang sambil menundukkan wajahnya. Rambutnya tampak sedikit lusuh dibandingkan saat ia datang walaupun masih rapi. "Amira, kamu dari mana saja?" tanya Andrinof dengan suara berbisik. Amira sedikit terkejut mendengar suara itu namun berusaha menyembunyikannya. Kepalanya sesekali menoleh ke arah belakang seperti sedang menghindari sesuatu. "A-aku. Ehm, dari—" Amira menoleh lagi ke belakang. "Aku dari toile
"Seperti ada yang aneh?" gumam Andrinof sambil terus mengendarai mobilnya menembus jalanan malam ibukota. Matanya melirik Amira yang masih setia memandang langit malam dari balik jendela. Ingatannya kembali pada kejadian dua jam lalu saat Amira kembali dari toilet gedung. Ada yang aneh dengan penampilan dan juga gelagatnya. "Ehem." Amira menoleh. "Ada sesuatu yang sedang dipikirkan?" Amira menggelengkan kepalanya. "Biasanya kamu dengerin lagu." Amira membalik badannya menghadap ke arah Andrinof, membuat pria itu gelagapan. Sedikit terpesona dengan kecantikan Amira dari dekat. "Aku boleh dengar lagu galau?" tanyanya yang diangguki Andrinof. "Putar saja." Amira memutar lagu sedih, rasanya seperti menyayat hati. Andrinof yang mendengarnya saja terasa seperti diaduk-aduk perasaannya, apalagi Amira. Sudut mata Amira terlihat kumpulan air mata yang siap meledak. Dari samping, bola mata Amira basah dan berkaca-kaca. Amira menunduk mengusap mata dja hidungnya yan mulai basah dengan sap
Keenandra membuang ponselnya ke atas tempat tidur hingga hampir terjatuh ke lantai. Pikirannya kacau. Apa yang baru saja ia dengar membuat kepalanya panas. Dadanya terasa terbakar hingga hangus. Rasanya ingin sekali mendorong sepupunya ke tepi jurang agar tak ada lagi penghalang bagi dirinya dan Amira. "Aarrgghh..." Keenandra berteriak. Terpaksa ia mendinginkan kepalanya di bawah kucuran air dingin tengah malam buta. Obat perangsang yang sengaja ia minum membuatnya panas. Seharusnya malam ini ia bisa membuat Amira tak bisa tidur hingga pagi. "Andrinof! Akan kukirim kau kembali ke Kanada. Ah, rasanya aku ingin mencekikmu saat ini." Keenandra terus menggeram, menahan rasa tak nyaman yang terus menggelutinya. Menghabiskan waktu setengah jam mendinginkan kepalanya, ia semakin tak bisa tenang. Dadanya semakin berkecamuk rasa tak nyaman. Ingin sekali datang ke rumah Amira lalu menghajar sepupunya itu. "Pukul dua pagi," lirik Keenandra. Ia mulai memejamkan matanya setelah menenggak susu
Keinginan Keenandra untuk menikahi Amira sangatlah tinggi. Ia tak ingin hubungannya dengan wanita yang sangat dicintainya itu berakhir tanpa status. Satu hal yang pasti, Keenandra itu gila jika menyangkut tentang Amira. Dia hampir membuat ibunya terkena serangan jantung karena menolak pernikahan dengan Aletta. Untung saja Amira tak segila dirinya, hingga berhasil membujuk Keenandra menikah dengan adik angkatnya. "Aku punya kenalan yang bisa menikahkan kita secara siri." Amira yang sedang duduk manis menghabiskan makanan ringan di tangannya menoleh kaget dengan ucapan Keenandra barusan. "Besok, kita bisa daftar. Tinggal cari saksi dan mas kawin." "Kamu gila! Aku tidak setuju!" protes Amira. "Tidak perlu persetujuan kamu. Karena aku yang akan menjalaninya." Keenandra mengirim satu pesan untuk seseorang di luar sana lalu tersenyum lebar penuh rahasia. "Lihat, katanya besok akan dia urus." "Keenan. Ini akan jadi masalah!" Amira membanting bungkus makanan ke lantai lalu pergi ke dapur.
"Mama tidak mau kamu terjerumus pada wanita itu. Cukup Keenandra!" Kata-kata itu selain terngiang di telinga Andrinof sejak tadi siang. Rasanya seperti mendengar dentuman tajam bom di lokasi perang. Kali ini bukan nyawa yang jadi korbannya, tapi hati dan perasaan yang telah mengerucut tajam pada satu orang. Andrinof memang baru mengenal sosok Amira. Ia jatuh cinta pada saat pertama kali melihatnya di pesta pernikahan Keenandra. Sosok yang menurutnya sangat mandiri, tegas tapi sangat rapuh, sedikit arogan tapi sesungguhnya dia yang paling banyak membutuhkan topangan. Satu hari bersama dengannya kemarin, sangat membuktikan siapa sosok Amira sebenarnya di mata Andrinof. Walaupun sempat ia kecewa karena ada kemungkinan wanita itu bermain belakang dengan Keenandra. Tidak mungkin ini murni keinginan Amira, ia yakin wanita itu telah dipaksa oleh sepupunya. "Sering lihat Keenan dan Amira jalan bersama?" tanya Andrinof pada Maldini teman dekatnya dan Keenandra semasa kecil dulu. Andrinof s
Aletta duduk selama dua jam di dalam mobil yang terparkir tepat di depan rumah Amira. Pukul delapan malam dan rumah itu masih tetap dalam keadaan gelap tanpa ada penerangan. Aletta mendesah kesal. Sesekali ia menggerutu keras dalam hati, merutuk Amira yang mungkin saja sedang bersama Keenandra saat ini. Lantunan lagu sendu mengiringi kesendirian Aletta bertemankan suara serangga malam. Ta seharusnya ia berada di dalam mobil yang tak menghasilkan apapun selama dua jam. Ia pikir bisa bertemu dengan Amira dan kembali berpikir positif tentang hubungannya dengan Keenandra. Apakah Amira sedang mengibarkan bendera perang padanya kali ini? "Halo, Bastian?" entah mengapa kini Aletta ingin sekali menghubungi Andrinof. Ia ingin tahu segalanya tentang Keenandra yang selama ini tak pernah diketahuinya. "Halo, Aletta? Ada apa?" terdengar suara seseorang sedang membuka lemari. Mungkin Andrinof sedang mencari pakaian. "Apa Keenan bersama kamu?" tanyanya tiba-tiba. Andrinof mengerutkan dahinya la
Setelah cuti satu hari karena sakit, Amira kembali masuk kantor dengan tenang. Hatinya sekarang sudah tak semuram dulu lagi. Amira merasa telah memiliki hati Keenandra seutuhnya. Dua langkah menuju meja kerjanya, Amira melihat sesuatu yang terlihat cantik di meja kerjanya. Ada satu buket bunga mawar dengan tulisan penyemangat di sampingnya. Senyum Amira mengembang. Sambil membaca isi surat itu, Amira mencium buket mawar yang ia pegang dan kembali tersenyum lebar. "Cit, ini bunga dari siapa?" tanya Amira saat Citra sekretarisnya masuk ke dalam ruangan. "Bunganya cantik. Pesannya juga menarik." "Kurang tahu, Bu. Tadi pagi saya masuk ke kantor, sudah ada di ruangan Bu Amira." Citra menaruh secangkir teh hangat untuk Amira. Kebiasaan yang sudah dilakukan sejak dulu. "Oh, iya. Semua yang ibu butuhkan sudah siap. Sertifikat lolos uji sudah beres, izin keramaian juga sudah, tempatnya juga, artis dan influencernya menyusul. Karena kemarin mereka sedang ada acara." "Ok, langsung ditindakl
Mobil taksi yang dinaiki Keenandra sudah menghilang dari pandangan. Amira sedikit lega karena tidak akan ada drama kebut-kebutan seperti malam itu. Andrinof rupanya paham tindakan apa yang harus dilakukannya. Menghindari Keenandra adalah hal yang terpenting. "Kenapa dia selalu ada di mana kota sedang berdua ya?" gumam Andrinof sambil menyandarkan satu tangannya ke kaca mobil, sedangkan tangan yang lain sibuk menyetir. "Aku tidak tahu," sahut Amira menundukkan kepalanya. "Kamu, masih sering bertemu dengannya?" Amira mendongakkan kepalanya, melirik sejenak pada Andrinof yang bertanya padanya. "Aku, tidak akan menghalanginya. Hanya saja, kamu tahu kan banyak orang yang tidak suka di luar sana." "Ya, aku tahu. Bukan aku yang mengejarnya, tapi dia yang selalu mengejarku. Kamu bisa lihat sendiri kan, betapa dia selalu saja mencari aku kemanapun aku pergi," keluh Amira. "Kamu masih mencintai dia?" Amira mengangguk. "Kenapa?" "Ada satu hal yang tidak bisa aku ceritakan pada orang lain.
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng