"Cit, nanti ikut saya ke mall. Saya mau cek buat event. Katanya sudah didekor semuanya." Citra mengangguk paham. "Jangan lupa bilang sama Bimo untuk briefing semua staf dan artis yang akan jadi pengisi acara. Semua harus siap di tempat jam tujuh pagi." "Sudah saya tembuskan ke mas Bimo. Semua sudah siap katanya." Amira dan citra berangkat menuju ke tempat acara. Ini adalah event besar yang pernah Amira buat. Produk yang akan diperkenalkan besok adalah produk yang ia rancang sendiri bersama salah satu produsen kosmetik terkenal. Ia berhasil menggandeng produsen itu dan sempat digadang-gadang sebagai salah satu merk kosmetik perintis yang berhasil membuat gebrakan baru. "Pak, langsung ke tempat biasa," pesan Amira pada supir kantor yang mengangguk paham. "Cit, duduk sini." Amira dan Citra berdiskusi ringan sambil menunggu kemacetan yang mengular di depan gedung. Konsentrasi mereka sempat buyar karena suara deringan ponsel Amira di dalam tasnya. Amira menjeda sejenak diskusi mereka h
Sikap Andrinof semakin berubah seiring perdebatan sengitnya dengan orangtuanya tentang sosok Amira yang selalu dibenci dengan caci maki negatif dari mereka. Tidak ada yang buruk dari seorang Amira di balik sikap mandiri dan tegasnya ia saat sedang bekerja. Contoh yang nyata bahasa wanita mandiri itu ada dan dia akan tegas dalam mengambil keputusan. Namun, kelemahan Amira hanya satu. Dia masih terus membiarkan Keenandra dekat padanya. Lamunan Andrinof rupanya membuat seseorang yang duduk di depannya geram. Pasalnya, telah hampir satu jam lamanya sikap Andrinof tak ada perubahan sama sekali. Pria itu hanya diam dengan mata mengarah ke panggung di ujung sana. Tak terlihat dengan jelas, hanya saja suaranya mampu membuat hatinya bergetar. Itu suara Amira yang sedang memberikan testimoni perusahaan untuk acara produk terbarunya. "Bastian, kamu lihat apa sih?" Natalia, wanita yang akan dijodohkan dengan Andrinof ikut mengarahkan pandangannya ke panggung tengah mall. Ada sebuah acara di s
"Ma! Kapan kita berangkat?" teriak Aletta dari ruang tamu saat baru tiba di kediaman Sonia. Pagi ini mereka akan menghadiri acara perilisan produk terbaru dari brand milik Amira. Aletta sengaja datang, niatnya memang bukan untuk memberi semangat tapi dia ingin menunjukkan kalau dia tak seperti yang orang lain bicarakan. "Sebentar. Eh, kamu tidak bersama Keenan?" tanya Sonia yang telah selesai dengan sanggul kecil di kepalanya. Matanya celingak-celinguk mencari menantunya yang terlihat di rumahnya. "Kak Keenan tadi pergi pagi-pagi. Dugaan aku, dia pergi menemui Amira lebih dulu," tuduh Aletta. "Berani sekali dia. Ayo kita lihat, seberani apa dia di sana." Keenandra memang berangkat lebih dulu. Niatnya ingin menjemput Amira, tapi ditolak mentah-mentah oleh wanita itu. Katanya, ia berangkat bersama Citra dan supir kantornya. Keenandra terpaksa berangkat lebih dulu ke tempat acara. Tak lupa membawa buket bunga mawar yang besar serta hadiah ucapan selamat darinya. Semuanya ia siapkan
Keenandra tak bisa melepaskan tangannya yang kini tengah membelit pinggang Amira dengan erat. Ditambah dengan gerakan sensual, ia terus bergerak ke kiri ke kanan. Tak lupa jari-jari besarnya ikut membelai pakaian tipis Amira yang masih menutupi sebagian tubuhnya yang ramping. "Lepas! Aku lagi masak. Nanti dagingnya gosong." Amira menepis tangan Keenandra yang terus menggerayangi tubuhnya. "Tidak masalah." Keenandra terkekeh. Bibirnya tak henti mengecupi leher Amira lalu setelahnya menjilati hingga terdengar kecipak basah. Tak lupa ia memberi tanda kepemilikan di leher jenjang itu. "Your neck is so lickable." "Ih, aku risih!" protes Amira. Wajahnya tiba-tiba memerah, terlebih ada hembusan angin menerpa bulu-bulu halus di lehernya. "Yakin? Kukira kamu tidak akan bisa menolak yang ini." Keenandra mematikan kompor dan dengan gerakan cepat ia menggendong tubuh Amira lalu mendudukkannya di atas meja dapur. "Arrgghh..." Amira segera mengigit bibir bawahnya menahan gejolak yang ia rasaka
Keenam orang itu duduk rapi di sofa panjang yang berjajar di ruang tengah. Suasana sunyi awal mereka berkumpul membuat canggung, enggan bicara dan memulai perbincangan yang sangat berat untuk diutarakan. Keenandra duduk di kursi panjang. Disisi kiri ada Amira dan di kanannya ada Aletta yang terus menggelayuti lengannya. Sedangkan Mayang duduk di tengah, antara Sonia dan Ardiwira. Sengaja, supaya istri Ardiwira tak membuat kerusuhan di pertemuan itu. "Jadi, apa yang ingin disampaikan oleh tante Sonia." Amira memulai lebih dulu. Tak ada senyum manis seperti satu minggu lalu, wajah Amira datar seolah tak peduli dengan tatapan mata mereka yang menghunus hingga ke dalam jantung. "Tinggalkan Keenan!" ancam Sonia. Amira mengerutkan dahinya lalu melirik Keenandra yang sejak tadi hanya mengulum senyuman bengis tertuju pada mertuanya. Amira menggelengkan kepalanya. "Kenapa?" ujarnya meninggi. Amira melirik lagi ke arah Keenandra. "Aku tak bisa. Jika tante memaksa, aku pun tak bisa memastika
"Lelah?" Amira mengangguk. "Kenapa kemarin kamu menolak aku nikahi? Seharusnya kita sudah jadi suami istri dan—" "Belum waktunya." Amira beringsut dari ranjang dengan tubuh polosnya tanpa sehelai kain di tubuhnya. Ia berdiri di depan cermin sambil memegang perutnya yang datar. "Bagaimana kalau aku hamil?" "Maksudmu?" Keenandra ikut beranjak dan berdiri di belakang punggung Amira. "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu ingin hamil?" "Mari selesaikan semuanya dengan cara ekstrim." Amira membuka laci meja kecil di samping ranjang, tangannya merogoh dan mendapatkan sebuah kotak obat lalu membuang isinya ke dalam tempat sampah. "Aku buang semua pil penunda kehamilan. Aku ingin, kita—" "Kamu serius?" Amira mengangguk. "Ingin punya anak dari aku?" Keenandra tersenyum lebar. Satu kecupan mendarat di kening Amira. "Kamu sudah siap dengan kemungkinan orang lain membicarakan tentang kita? Ini bahkan lebih pelik dari sekedar menikah secara diam-diam." "Aku sudah pasrah. Tidak ada cara lain
"Masuk!" Tanpa menoleh, Amira mempersilakan seseorang masuk ke dalam ruangannya. Matanya masih berfokus pada tulisan di surelnya yang baru ia terima pagi ini. Lama terdiam, seseorang yang tadi masuk ke ruangan hanya berdiri menatap Amira tanpa berkata satu patah katapun. Senyumnya sudah mengisyaratkan jika dia lega melihat Amira baik-baik saja saat ini. Satu dua detik kemudian, Amira menaikkan wajahnya. Ia penasaran dengan sosok yang tengah berdiri di hadapannya kini. "Selamat pagi Amira. Apa kabar?" pria itu menyapa ramah Amira dengan senyuman menawan. Lesung pipi dan juga rambut yang ditata rapi ke belakang, ditambah dengan kemeja dengan padu padan warna yang pas. Menambah ketampanan pria yang pernah Amira sesali kepergiannya dulu. Sam, si sahabat lama Amira. "Sam?" pria itu mengangguk. "Sam...." Amira berdiri lalu menghambur ke pelukan sahabatnya. Sudah hampir tujuh tahun lamanya pria itu pergi ke luar negeri untuk menuntaskan pekerjaan dan kuliahnya yang sempat tertunda. "H
Berkali-kali Andrinof menghela napasnya sambil mengetuk pegangan setir. Sesekali ia menoleh ke samping kiri dengan tatapan sulit diartikan. Lalu matanya tergiring melihat jari tangan Amira yang teronggok di sampingnya, memperlihatkan deretan jari cantik miliknya. "Amira, sudah sampai." Andrinof terpaksa membangunkan tidur nyenyak Amira. "Sudah sampai?" Andrinof mengangguk. "Terima kasih." Amira merentangkan tangannya merenggangkan pinggangnya yang pegal. Lalu ia merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit naik memperlihatkan pinggang rampingnya. "Besok, mau aku jemput? Kebetulan, kita ada meeting bulanan di tempat kamu." ajakan Andrinof diterima dengan baik oleh Amira. Wanita cantik itu menganggukkan kepalanya. "Mau kubawakan sarapan?" "Tidak usah. Biasanya Citra masak," tolak Amira. Perlahan ia membuka sabuk pengaman yang melintang di dadanya lalu mengambil tas kecil miliknya yang berada di dalam dashboard. "Andrinof, sekali lagi terima kasih." "Amira, maafkan aku yang selama
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng