Berkali-kali Andrinof menghela napasnya sambil mengetuk pegangan setir. Sesekali ia menoleh ke samping kiri dengan tatapan sulit diartikan. Lalu matanya tergiring melihat jari tangan Amira yang teronggok di sampingnya, memperlihatkan deretan jari cantik miliknya. "Amira, sudah sampai." Andrinof terpaksa membangunkan tidur nyenyak Amira. "Sudah sampai?" Andrinof mengangguk. "Terima kasih." Amira merentangkan tangannya merenggangkan pinggangnya yang pegal. Lalu ia merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit naik memperlihatkan pinggang rampingnya. "Besok, mau aku jemput? Kebetulan, kita ada meeting bulanan di tempat kamu." ajakan Andrinof diterima dengan baik oleh Amira. Wanita cantik itu menganggukkan kepalanya. "Mau kubawakan sarapan?" "Tidak usah. Biasanya Citra masak," tolak Amira. Perlahan ia membuka sabuk pengaman yang melintang di dadanya lalu mengambil tas kecil miliknya yang berada di dalam dashboard. "Andrinof, sekali lagi terima kasih." "Amira, maafkan aku yang selama
Tangan Andrinof melingkar posesif di pinggang Amira. Seluruh mata memandang mereka berdua sepanjang masuk ke dalam koridor lantai tempat Amira bekerja. Risih, Amira pun menepis tangan itu dan berjalan lebih dulu menghindari rumor yang beredar lebih jauh lagi. Rapat bulanan dengan TV SUN dimulai. Kali ini diwakili oleh Andrinof karena Keenandra sedang ada keperluan penting. Sebenarnya Amira kecewa, tapi perusahaan yang terpenting kali ini. Di tengah penjelasan tentang kabar terbaru perjanjian kontrak dua pihak, Amira merasakan tubuhnya merinding. Perutnya melilit seperti ada yang membelitnya. Lalu tiba-tiba kakinya kaku, kram sekitar pergelangannya. Yang paling parah adalah kepalanya yang tiba-tiba pusing entah karena apa. Andrinof yang mengetahui hal itu lebih dulu seketika mengacungkan jarinya, meminta moderator menghentikan rapat. "Amira, kamu kenapa?" tanya Andrinof dengan wajah khawatir. Amira menekan perutnya ditambah ringisan di wajahnya. "Kita ke rumah sakit." Andrinof men
Kemarahan Keenandra menumpuk sudah. Sejak pagi ia dilingkupi kekecewaan yang terus hadir ditambah dengan berita tentang Amira yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Kekasihnya sakit dan ia malah tersudut di rumah sakit dengan alasan yang tak masuk akal. Tak hanya itu saja, kehadiran Andrinof di dekat Amira cukup membuat amarah dirinya ingin meledak. "Dimana ruangan rawat atas nama Amira Zahra." Keenandra berdiri di depan resepsionis rumah sakit. Seseorang memberitahunya kalau Amira masuk dan dirawat di rumah sakit satu jam yang lalu. "Di kamar 302 di lantai dua sebelah kanan dari ruang tunggu." Keenandra mengangguk. Ia beranjak pergi ingin menemui Amira saat ini juga. "Keenan!" Aletta berteriak memanggil Keenandra yang tengah mengantri di depan lift. Tak menoleh, Keenandra memilih menundukkan kepalanya. "Keenan, kita bicarakan semuanya di rumah. Kurasa kita perlu mengetahui apa yang diinginkan pasangan masing-masing. Aku—" Tingg Pintu lift terbuka. Keenandra bersama dua orang lainn
Tiga hari sudah Keenandra menemani Amira di rumah sakit. Selama itu pula, dirinya tak beranjak sedikitpun dari ruangan inap dan terpaksa menyelesaikan pekerjaannya di sana. Pagi hari, Keenandra datang ke rumah sakit membawa pakaian dan perlengkapan kerjanya. Sore hari dirinya pulang atau terkadang anak buahnya datang membawakan barang titipannya. Melihat bagaimana Keenandra diperbudak cintanya pada Amira, tentu saja wanita itu sangatlah senang. Ternyata, Keenandra tak pernah berubah sedikitpun padanya. "Aku lapar," rengek Amira. Keenandra yang sedang sibuk membaca laporan menoleh sejenak. "Ada makanan yang bisa aku makan?" "Kamu mau kacang almond?" Keenandra menawarkan satu toples kacang yang ada di mejanya. Amira menjulurkan tangannya meminta toples itu dari Keenandra. "Kamu mau sereal juga?" Amira menggelengkan kepalanya. Keenandra tersenyum sambil mengusak rambut Amira. "Kacang saja lebih enak." Amira lahap memakan kacang kesukaan Keenandra. Bibirnya penuh dengan kacang, mirip
Keenandra berdiri sambil berkacak pinggang mengagumi keindahan rumah yang belum lama dibeli oleh Amira. Rumah yang cukup besar dengan desain yang mengikuti zaman. Dia baru mengetahuinya hari ini. Itupun karena dirinya memaksa Amira untuk memberitahukannya. "Cukup bagus. Anak-anak kita akan main dengan nyaman di sini." Amira tak menanggapi ocehan konyol Keenandra yang hampir setiap hari selalu didengarnya. "Kamu, kapan hamil?" Amira menaikkan bola matanya, sedikit jengah dengan pertanyaan aneh dari Keenandra. Pria itu saja belum resmi menyandang status duda, tapi sudah berani meminta anak pada dirinya. "Statusmu saja masih suami Aletta." "Ah, aku paham. Aku berencana menggugat cerai padanya." Keenandra beranjak bangun mengikuti Amira yang akan masuk ke kamar mandi. Sudah lama dirinya tak mandi bersama, terlebih sejak Amira tak memunculkan dirinya setelah malah itu. "Lepas!" Amira menepis tangan Keenandra yang melingkar di pinggangnya. "Aku mau mandi!" "Bagaimana kalau kita mandi
Keenandra memang mengajak Amira berjalan-jalan di taman sore ini. Tidak jauh, hanya sekitar lima belas menit dari rumahnya. Amira merasakan hawa sejuk yang menerpa wajahnya perlahan menerbangkan sisian rambut yang melintang di hidung mancungnya. Keenandra menyingkirkan rambut itu dan menautkannya ke belakang telinga. Amira cantik di mata Keenandra. "Duduk di sana saja," tunjuk Amira pada sebuah kursi yang berukuran cukup besar. Keenandra membawa tangan Amira ke dalam tautan tangannya dengan genggaman erat. "Ah, langitnya cerah." Amira setuju dengan kata-kata Keenandra. Langit sore itu cukup cerah secerah senyumnya. "Mau ngemil?" "Nanti aku gendut." "Kamu gendut tetap aku suka, sayangku." Keduanya terkekeh. Kapan lagi meledek Amira tapi sekaligus memujinya. Amira memakan bekal yang dibawakan oleh Citra. Pipinya menggembung lucu dengan remahan di pinggiran bibir. Keenandra mengusapnya dengan tangan lalu menjilatnya sedikit. "Jorok!" Amira memekik dengan gaya khasnya. Keenandra me
Natalia menyeruput kuah mie hingga suaranya terdengar cukup keras. Sam terkekeh melihatnya. Sangat tidak wajar jika wanita yang sering terlihat anggun dan berkelas tiba-tiba makan dengan lahap di warung tenda pinggir jalan. Seolah tahu sedang diperhatikan, kini Natalia dengan beraninya meminta tambah satu mangkok lagi sebagai balasan atas perutnya yang terus saja lapar. "Seperti tidak makan satu tahun." tawa Sam menggelegar. Natalia yang sadar langsung mencebikkan bibirnya. "Makan yang banyak." "Sudah lama kamu tidak pulang ke Indonesia? Betahkah di Kanada?" Sam menggelengkan kepalanya. "Lalu, kenapa ke sana?" "Ada sesuatu yang sedang aku pertahankan di sana. Tapi ternyata, aku tak begitu penting baginya." Sam tanpa sadar sedang mencurahkan isi hatinya. Ia bercerita banyak tentang hidupnya yang berantakan setelah menikah dengan wanita pilihan orangtuanya. Berusaha bertahan tapi ternyata gagal. "Jangan terlalu merasa bersalah. Eh, aku juga sedang dalam proses dijodohkan dengan sese
Merasa harus membereskan semua masalahnya dengan Amira mengenai putra kesayangannya yang tadi malam mabuk, Rafika datang ke kantor wanita muda itu bersama dengan suaminya. Saat sepasang suami istri itu berjalan di koridor lantai gedung perusahaan Amira, seluruh mata memandang dengan tatapan bingung. Bahkan ada beberapa staf terlihat berbisik-bisik membicarakan mereka. "Amira ada?" ketus Rafika di meja resepsionis. Matanya memandang ke sekeliling gedung lalu mendengus seperti tak suka melihatnya. "Ibu Amira ada di ruangannya. Ada yang bisa dibantu?" tanya resepsionis itu sedikit takut pada Rafika yang mengintimidasi mereka dengan penampilannya. "Saya ingin bertemu dengan dia. Bilang saja dari keluarga El Pasha." "Ma, jangan bawa nama keluarga besar," bisik Bryan namun Rafika tak peduli. "Sebentar, saya hubungi sekretarisnya dulu." menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya resepsionis itu menginformasikan pada Rafika bahwa Amira menunggunya di ruangan lantai lima. "Dari lift jalan lu
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng