(~_~;)
Malam semakin larut, membawa keheningan yang menenangkan di kamar Reval. Lampu di sisi tempat tidur redup, hanya menyisakan temaram yang cukup untuk menerangi bayangan wajah mereka. Naura terbaring dengan kepala bersandar di dada Reval, mendengarkan detak jantungnya yang perlahan kembali normal. Suara napas mereka berpadu. Reval merengkuh tubuh Naura lebih erat, seolah tidak ingin kehilangan kehangatan yang ia rasakan. Tangannya dengan lembut membelai rambut Naura, membuat perempuan itu merasa terlindungi. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, tetapi kebisuan itu berbicara lebih dari yang mampu mereka ungkapkan dengan suara. Naura mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat bulan yang menggantung rendah di langit malam. Hatinya dipenuhi berbagai perasaan yang sulit dijelaskan. “Kamu nyaman?” suara Reval tiba-tiba memecah keheningan. Naura mengangguk, meski ia tahu lelaki itu tidak dapat melihatnya dengan jelas. “Saya ... saya baik-baik saja,” jawabnya pelan, suaranya terden
Pintu kamar mandi terbuka perlahan, uap hangat keluar menyertai suara langkah kaki yang lembut. Tubuh Naura bersandar lemah pada dada Reval yang kokoh. Ia digendong dengan lengan kuat lelaki itu, seperti seseorang yang tidak akan pernah dibiarkan jatuh. Napas Naura terasa teratur, meski pipinya masih merah. Entah karena panas uap atau perasaan canggung yang belum juga surut sejak insiden di kamar mandi tadi. “Turunkan saya Pak Reval,” gumam Naura dengan suara pelan, tetapi Reval seolah tidak mendengar. Ia tetap melangkah menuju ranjang tanpa ragu. Reval hanya melirik sekilas ke arah wajahnya, ekspresinya tenang, sulit ditebak. “Tenang saja,” kata Reval singkat, nadanya datar seperti biasa. Namun, ada sesuatu dengan cara ia menatap yang membuat Naura justru memilih diam dan membiarkan lelaki itu melakukan apa yang ia mau. Ia merebahkan tubuh Naura di atas ranjang, gerakannya penuh kehati-hatian. Tangan Naura tanpa sadar mencengkeram selimut, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Naura tersentak mundur, tangannya secara refleks memeluk tubuhnya. Wajahnya memerah seketika, panas yang memancar dari pipinya membuatnya ingin segera lari dari ruangan itu. “Pak Reval!” Ia berseru dengan suara pelan, hampir seperti protes, meski tidak tahu bagaimana caranya membalas ucapan lelaki itu tanpa mempermalukan dirinya sendiri. Reval hanya menyeringai tipis, seolah puas dengan reaksi yang ditimbulkan. “Aku hanya memberi tahu. Bukan berarti aku keberatan dengan apa yang kamu kenakan sekarang. Kalau saja kita tidak ada kepentingan. Aku akan mengurungmu seharian di sini tanpa berganti pakaian,” tambah Reval, nada suaranya tetap santai. Ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu, mengamati Naura dengan pandangan yang sulit ditebak. Naura merasakan degup jantungnya semakin tidak karuan. Ia mencoba menenangkan diri, tetapi rasa malu dan salah tingkah justru membuat gerakannya semakin kikuk. Ia berjalan cepat ke arah tempat tidur untuk mengambil jaket yang sebelumnya dilemparka
“Saya sudah memastikan jalurnya. Tidak ada jalan pintas lagi. Kita ikuti jalur utama sesuai petunjuk,” jelas Naura. “Pastikan semua barang kita sudah di mobil, Naura,” ujar Reval sambil merapikan rambutnya. Naura mengangguk yakin. “Siap, Pak Reval. Saya pastikan tidak ada yang berkurang.” Reval tersenyum kecil. “Bagus. Kita tidak punya waktu untuk kesalahan kedua.” Setelah semuanya siap, mereka melanjutkan perjalanan. Jalan yang dilalui terasa lebih familiar, mungkin karena Naura lebih hati-hati kali ini. Di sepanjang perjalanan, Reval sesekali melirik Naura yang duduk di sebelahnya, sibuk memperhatikan layar ponselnya untuk memastikan arah. “Kamu terlalu serius,” celetuk Reval. Naura menoleh, menatapnya bingung. “Saya tidak mau kita tersesat lagi. Itu benar-benar membuang waktu.” Reval terkekeh pelan. “Iya, tapi jangan sampai kamu lupa menikmati pemandangan ini.” Tangan pria itu menunjuk ke luar jendela, di mana perbukitan hijau terbentang dengan indah. Naura meno
Nada suara Selena membuat Naura merasa seperti sedang dihakimi. Namun, ia hanya tersenyum tipis dan menjawab, “Saya akan berusaha melakukan yang terbaik.” Percakapan itu terhenti ketika Reval memanggil Selena. Wanita itu segera menghampirinya, meninggalkan Naura dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba mengalihkan fokusnya kembali ke pekerjaannya, tetapi bayangan Selena yang begitu dekat dengan Reval terus mengganggu pikirannya. Setelah inspeksi di lapangan selesai, Reval meminta semua orang untuk kembali ke ruang pertemuan. Mereka akan membahas temuan di lapangan dan menyusun rencana tindak lanjut. Naura kembali ke tempat duduknya, membuka laptop, dan bersiap mencatat. Namun, kali ini Reval berbicara langsung kepadanya. “Naura, aku butuh laporan singkat tentang semua yang kita bahas hari ini. Kirimkan ke emailku sebelum pukul delapan malam.” Naura mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan segera menyelesaikannya.” Reval memberikan anggukan singkat sebelum kembali fokus pada tim
Naura meliriknya sekilas dari sudut matanya. “Apa maksud Pak Reval?” “Pak Handoko. Dia mengira kita pasangan,” jawab Reval sambil menyetir dengan fokus. “Kamu bisa saja menjelaskan kalau itu hanya kesalahpahaman.” Naura menghela napas pelan, menahan emosi yang mulai menggelegak. “Saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa membuat suasana semakin aneh. Lagipula, itu kesalahan Bapak.” Reval tersenyum tipis, meskipun matanya tetap tertuju ke jalan. “Kesalahanku?” “Ya,” jawab Naura tegas. “Bapak yang memegang tangan saya di bawah meja. Saya tidak mungkin menjelaskannya di depan semua orang tanpa membuat mereka curiga.” Reval mengangguk pelan, seolah memahami maksudnya. “Baiklah, aku akui itu salahku. Tapi kamu terlalu memikirkannya. Pak Handoko hanya bercanda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Naura menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan pikirannya. Percakapan itu seharusnya selesai, tetapi ada sesuatu tentang sikap Reval yang membuatnya gelisah. Lelaki itu sering kali
Suasana mendadak begitu sunyi. Kehangatan yang ditinggalkan lelaki itu seolah terserap oleh dinding-dinding kamar yang kini terasa dingin dan luas. Naura menghela napas panjang, kemudian berbalik menatap kamarnya yang luas dan elegan. Kamar hotel itu begitu mewah dengan perabotan kayu berkilap, seprai putih bersih yang tertata rapi, dan balkon besar yang menghadap ke taman di luar. Namun, bukannya merasa nyaman, Naura justru merasa asing. Ia berjalan pelan ke jendela besar yang menampilkan pemandangan senja. Langit oranye membentang di atas pohon-pohon kelapa yang melambai tertiup angin. Di kejauhan, burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Betapa damainya dunia di luar sana. Berbeda jauh dengan badai kecil yang mengisi hatinya saat ini. Naura menyandarkan dahinya ke kaca yang dingin. Ingatan tentang kejadian tadi kembali terlintas di benaknya. Sentuhan Reval di tangannya, ciuman yang terasa terlalu hangat, terlalu nyata. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menepis
Naura merasa wajahnya memanas. Ia hanya mengangguk singkat dan melangkah keluar. Di dalam lift, mereka berdiri berdampingan, tetapi tidak ada yang berbicara. Naura mencuri pandang ke arah Reval, mencoba membaca ekspresinya, tetapi seperti biasa, ia tidak menunjukkan apa-apa. Ketika mereka hendak turun dari mobil, Reval membukakan pintu untuknya. “Kamu sudah melakukannya dengan baik hari ini,” ucap Reval singkat, tetapi ada nada tulus dalam suaranya. Naura terkejut mendengar pujian itu. “Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha lebih baik lagi.” Reval mengangguk, lalu berjalan pergi. Naura berdiri di sana sejenak, merenungkan kata-kata pria itu. Meski hanya sederhana, pujian itu memberinya semangat baru untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Namun, ketika ia melangkah masuk ruangan, di sana sudah ada dua orang yang menunggu. Mereka akhirnya duduk bersama dua klien di meja bundar yang dikelilingi kursi empuk. Percakapan mengalir dengan santai, sesekali dipenuhi suara gelas yang berad
Nada suaranya datar, tetapi Naura menangkap sesuatu yang lain. Sesuatu yang disembunyikannya dengan hati-hati. Emosi yang terpendam, entah amarah, entah sesuatu yang lebih dalam lagi.Pernyataan itu menusuk Naura. Ia menggigit bibir bawahnya, rasa hangat mulai menyeruak di balik kelopak matanya. Mengapa Reval bertindak seperti itu? Ia tampak begitu peduli padanya. Sorot matanya saat melihat Naura dalam bahaya, nada khawatir di suaranya ketika menolongnya, bahkan kemarahan yang jelas ia rasakan saat menyebut nama Riko. Semua itu bukan sikap seseorang yang hanya peduli secara sepintas.Tetapi sekarang? Sekarang dia menyuruhnya kembali kepada Dion, seolah-olah yang mereka alami tidak berarti apa-apa. Naura memalingkan wajah, bahunya turun, hatinya terasa berdenyut nyeri. “Apakah aku hanya beban untuk semua orang? Apakah semua perhatian yang aku terima hanyalah sebuah kebohongan?”Namun, sebelum ia bisa memutuskan untuk berbicara atau tetap diam, Reval melangkah mendekat. Langkahnya ma
Sinar matahari yang hangat menembus celah-celah tirai kamar hotel, namun suasana di dalam ruangan tetap dingin. Naura duduk di tepi tempat tidur dengan kepala tertunduk. Ujung jarinya terus-menerus meremas sudut selimut, seolah ingin menenangkannya dari badai perasaan yang berkecamuk dalam dadanya. Tatapan matanya kosong, tetapi keningnya berkerut, menunjukkan gelombang pikiran yang tak beraturan.Reval berdiri di dekat meja, memandang ke luar jendela dengan rahangnya yang mengeras. Suara kota yang mulai bergeliat terdengar sayup-sayup, namun tidak cukup untuk memecah kesunyian di antara mereka. Ia memijit pelipisnya, menahan amarah yang mendidih dalam dada.“Pak Reval ....” suara Naura terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang diterbangkan angin. “Maafkan saya.”Reval menoleh perlahan. Sorot matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang tak terucapkan. “Untuk apa?”Naura mengangkat wajahnya, matanya berkabut. Ia menggigit bibir bawahnya hingga pucat sebelum akhirnya menjawab, “Untuk
Reval membeku sesaat, matanya menatap penuh pertanyaan, tetapi tangannya segera menggenggam lebih erat jemari Naura, menariknya dengan lembut namun penuh ketegasan. “Naura, fokus. Kita harus keluar dari sini.” Wanita itu mulai terhuyung, tetapi Reval meraih pinggangnya, menopang tubuhnya yang lemah namun penuh energi yang membingungkan. Ia menuntun Naura dengan cepat ke luar ruangan, bertekad membawanya ke rumah sakit sebelum keadaan menjadi semakin buruk. Saat Reval membuka pintu mobil dan membantunya masuk, Naura terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Duduk di kursi depan dengan napas yang tersengal, ia menggigit bibir bawahnya, matanya yang kabur dari hasrat dan kepanikan tertuju lurus ke arah Reval yang baru saja duduk di sampingnya. “Naura, bertahanlah … kita akan sampai di rumah sakit sebentar lagi,” suara Reval penuh kepanikan, tetapi jemarinya tetap kuat saat menyentuh pundak Naura, berusaha menenangkan gejolak di tubuh wanita itu. Namun, Naura sudah tidak lagi mend
Napas Naura memburu, dadanya naik-turun dengan ritme yang menyakitkan. Pandangannya semakin kabur, tetapi ia menolak menyerah. Tetesan keringat mengalir di pelipisnya, bercampur dengan rasa takut yang menyelimuti setiap inci tubuhnya. Suara Riko semakin dekat, tetapi ia tidak peduli. Ia harus bertahan, harus terus berlari. Tangannya meraih dinding untuk menjaga keseimbangan, kuku-kukunya meninggalkan bekas goresan saat ia mencoba bertahan dari rasa pusing yang menyerang. “Naura!” Suara Riko terdengar marah dan semakin dekat. Naura menggigit bibirnya lebih keras lagi. Saat ia mencapai pintu lain di lantai bawah, ia membukanya dengan paksa, melompat ke luar dan terjatuh ke lantai yang dingin. Ia merasakan lututnya tergores, tetapi ia segera bangkit lagi, memaksa kakinya bergerak. Riko keluar dari pintu tangga, matanya liar mencari mangsanya. Naura melihat ke sekeliling, mencari tempat untuk bersembunyi atau jalan keluar yang lain. Langkah kaki Riko terdengar semakin keras, suara na
“Aku… aku merasa… ada yang aneh.” Suara Naura bergetar, bibirnya terasa kering meskipun ia baru saja minum. Tubuhnya mulai menggigil meski udara di ruangan itu tidak berubah.Naura mencoba berdiri, tetapi lututnya terasa lemas. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya, tetapi yang paling membuatnya panik adalah rasa panas yang mulai menjalar di tubuhnya. Sensasi itu aneh dan asing, membakar dari dalam, menggerogoti kendali atas pikirannya.Suaranya tercekat di tenggorokan saat rasa aneh itu kian intens, membuat napasnya tersengal. Rasa sesak itu bukan dari ketakutan semata, tetapi dari sesuatu yang lebih … mendesak, seperti hasrat yang dipaksakan tumbuh di luar keinginannya sendiri.Ia menggenggam meja dengan erat, kuku-kukunya mencengkeram permukaan kayu. “Apa yang ... Paman berikan kepadaku?” tanya Naura dengan susah payah, matanya menatap Riko dengan kecurigaan yang kini berubah menjadi ketakutan nyata.Riko menatapnya dengan se
Reval tersenyum tipis, matanya menyiratkan rahasia yang belum terungkap. “Nanti kamu akan tahu,” jawabnya dengan nada yang mengandung arti lebih. Naura tidak dapat menanggapi lebih lanjut, hanya mengikutinya dengan langkah pelan. Mereka berjalan menuju sebuah bangunan besar yang tidak jauh dari tempat mereka berhenti. Begitu sampai, Naura melihat sebuah hotel mewah di depan mata, dengan lampu yang menyinari pintu utama. Keheranan mulai muncul di benaknya. Ini bukan tempat yang ia bayangkan akan mereka tuju. Reval membimbingnya melewati pintu masuk hotel, dan mereka langsung menuju ke bagian lift. “Masuk, kita akan ke lantai atas,” kata Reval dengan nada yang tenang. Naura mengikuti, meskipun hatinya semakin bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Begitu mereka sampai di lantai yang dimaksud, Reval menghampiri sebuah pintu hotel dan mengetuknya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya muncul di balik pintu, mengenakan pakaian yang tampak mewah da
Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka. Waktu seolah berhenti, membiarkan hanya detak jantung dan napas yang terdengar di ruangan itu. Reval mengerutkan alis, ekspresinya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut namun penuh kebingungan. Ia menatap Naura seperti seseorang yang baru saja mendengar sebuah rahasia. Matanya menyapu wajah Naura, mencari arti di balik permintaan sederhana yang terasa berat itu. Ada kerentanan yang terpancar dari matanya, sorot yang mencoba menutupi ketakutan kecil yang merayap di sudut hatinya. Dan Reval tahu, meski Naura tidak berkata-kata lebih banyak, permintaan itu bukan tentang kehadirannya semata. Itu tentang rasa aman yang dia cari, perlindungan yang dia butuhkan, bahkan jika hanya untuk malam ini. “Kenapa?” tanya Reval pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Naura masih menggenggam tangan Reval, tetapi ia tak segera menjawab. Reval terdiam, merasakan gravitasi yang menarik dirinya lebih dekat ke dunia yang Naura coba sembunyik
Detik-detik berlalu dalam keheningan yang hanya diisi dengan suara napasnya yang terputus-putus. Ia memejamkan mata, merasakan kelemahan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Napasnya berusaha ia atur perlahan, tetapi dadanya masih terasa sesak. Ia membilas wajahnya dengan air dingin, berharap bisa menyegarkan pikirannya yang kusut. Sore harinya, setelah kembali ke hotel, Naura merasa kepalanya mulai berdenyut. Ia mengabaikan rasa tidak nyaman itu dan memilih untuk memeriksa ulang presentasi untuk keesokan harinya. Namun, semakin lama, tubuhnya semakin terasa lemas. Saat ia berdiri untuk mengambil air minum, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang. Naura terhuyung, tetapi berhasil berpegangan pada meja. “Apa aku terlalu lelah?” gumamnya, mencoba mengumpulkan tenaga. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Suara Reval terdengar dari balik pintu. “Naura, aku ingin mendiskusikan sesuatu. Bisa buka pintunya?” Naura menghela napas pelan, berusaha menguatkan diri. Ia membuka pintu da
Suasana di lokasi proyek sedikit lebih longgar di hari ketiga. Setelah beberapa hari penuh tekanan dengan berbagai rapat dan tinjauan lapangan, tim akhirnya memiliki waktu untuk bersantai sejenak. Naura merasa lega, meskipun masih sedikit lelah. Ia duduk di salah satu kursi kosong di dekat tenda kerja, mengamati para pekerja yang sibuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. “Bu Naura,” panggil seorang pria muda dari tim proyek. Naura menoleh dan mengenali Rifki, salah satu anggota tim teknik yang cukup ramah dan sering membantunya. Rifki membawa dua gelas kopi dalam tangannya. “Saya lihat Ibu dari tadi duduk sendiri. Kopi ini lumayan buat penambah energi,” kata Rifki, menyodorkan salah satu gelas kopi. Naura tersenyum dan menerima gelas itu. “Wah, terima kasih banyak, Rifki. Saya memang butuh sedikit kafein.” Rifki tertawa kecil dan duduk di kursi di sampingnya. “Hari ini lumayan santai, ya? Tapi besok sepertinya kita akan kembali dikejar deadline lagi.” Naura mengangguk. Mereka mul