Goyah nggak tuh ....
“Tentu saja.” Naura balas berbisik, matanya mencari-cari di dalam tatapan Reval. “Saya bebas melakukan apa yang saya mau, bukan?” “Tidak Naura!” jawab Reval tegas, tetapi tangan kanannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, seolah ia sedang bertarung dengan dorongan dalam dirinya sendiri. “Jangan bermain dengan api.” Naura melangkah lebih dekat, begitu dekat hingga napas mereka berdua saling beradu. “Mungkin saat ini, saya sedang suka bermain dengan api,” gumam Naura, hampir tak terdengar. Matanya menyala dengan keberanian yang bercampur dengan luka batin yang selama ini ia pendam. “Karena api itulah yang membuat saya merasa hidup.” Reval mengangkat tangannya, jemarinya berhenti tepat di dekat pipi Naura, tetapi ia tidak menyentuhnya. Jemarinya bergetar, seperti seorang pria yang berada di tepi jurang. “Kamu ... kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan,” suaranya serak, penuh perasaan yang terpendam. “Lalu ...,” bisik Naura, tantangan itu terucap dengan bibir yang gemetar. Dala
Naura menggeleng pelan, matanya berkilat dengan air mata yang tertahan. “Saya di sini sekarang. Saya tidak akan pergi.” Tangan mereka bertautan, saling menggenggam erat seolah dunia bergantung pada sentuhan itu. Mereka tidak membutuhkan kata-kata, hanya perasaan yang mengalir bebas di antara mereka. Cahaya lampu temaram menorehkan bayangan panjang di lantai yang dingin. Aroma maskulin dari Reval menguar, menyelimuti udara dalam kehangatan yang kontras dengan detak jantung Naura yang berdetak liar di rongga dadanya. Tubuhnya terasa kecil dalam genggaman Reval, yang berdiri tegak di belakangnya dengan tatapan mata tajam seperti bara yang membakar punggung telanjangnya. Tangan besar Reval menyelip di bawah rahangnya, telapak hangat itu menopang dagu Naura dengan tekanan yang lembut namun penuh kendali. Ibu jarinya menyusuri garis pipinya perlahan, menciptakan jejak kehangatan yang membuat kulitnya meremang. Naura tersentak kecil, tetapi tidak bergerak menjauh. Matanya menatap pant
Naura mengangkat wajahnya perlahan. Jarak antara mereka terasa begitu tipis, hanya sehembusan napas yang memisahkan. Bibirnya sedikit bergetar, tetapi ia memutuskan untuk tidak menahan diri. Dalam satu gerakan lembut, ia mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Reval, sentuhan yang begitu ringan tetapi cukup untuk membuat dunia di sekeliling mereka seolah berhenti berputar. Ia tak berkata apa-apa. Tidak membantah ataupun mengiyakan ucapan Reval. Reval tertegun sesaat. Matanya membelalak tipis sebelum akhirnya sebuah senyuman melengkung di bibirnya, senyuman yang menggoda, hangat, tetapi penuh makna tersembunyi. Tangannya yang kokoh terangkat, melingkari pinggang Naura dan menarik tubuhnya kembali ke dalam pelukannya. Naura terhimpit oleh dekapan yang kuat namun lembut itu. Hatinya bergetar hebat, tetapi tidak ada ketakutan, hanya rasa nyaman yang menyelinap hingga ke sudut jiwanya. Inilah pertama kali dalam hidupnya ia merasa benar-benar dihargai. Tidak ada tuntutan, tidak ada
Hujan deras mengguyur dengan suara gemuruh di luar jendela. Rintikannya menari di atas kaca, menciptakan irama yang anehnya selaras dengan denyut jantung Naura yang berpacu liar. Udara terasa sejuk, tetapi tubuhnya memanas. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Reval yang masih berada di hadapannya, dadanya yang telanjang naik-turun mengikuti irama napas yang berat. Setiap otot di tubuhnya menegang, terlihat begitu kuat dalam cahaya temaram. Perlahan, Naura mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi Reval menangkap pergelangan tangannya dengan lembut. Jemarinya hangat, kontras dengan dinginnya udara di sekitar mereka. Ia tidak bicara. Tatapannya berbicara lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang gelap dan dalam di matanya, sesuatu yang membuat Naura merasa terjebak dalam pusaran tanpa jalan keluar. “Tetap di sini,” gumam Reval, suaranya serak dan penuh desakan yang tak bisa diabaikan. Reval mendekat, satu tangannya menyentuh pinggang Naura,
Naura tertidur hingga menjelang siang. Reval sudah tidak ada di sampingnya. Wanita itu beranjak dari ranjang dan langsung pergi ke dapur. Dapur yang sunyi hanya diisi oleh suara gemericik air dari wastafel. Naura berdiri di depan meja dapur, tangannya menggenggam gelas berisi air dingin, tetapi pikirannya melayang. Matanya menatap kosong ke depan, penuh dengan keraguan dan rasa bersalah yang tak bisa ia ungkapkan. Tiba-tiba, Reval mendekat dari belakang, tanpa suara. Tangan hangatnya melingkari bahu Naura, menariknya ke dalam pelukan lembut. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya pelan, suaranya penuh perhatian. Naura terdiam, merasakan beratnya kepala Reval yang bersandar di pundaknya. Keberadaan Reval selalu seperti ini. Mengejutkan tetapi juga menenangkan. Meski ia tak selalu tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan. “Tidak apa-apa,” jawab Naura akhirnya, meski ia tahu jawabannya tidak meyakinkan. “Bapak kenapa masih di sini? Saya pikir sudah ke kantor.” Reval menghela napas, lalu
Setelah selesai membersihkan rambut Naura, Reval menyalakan keran air panas, membiarkan alirannya memenuhi bak mandi perlahan. Air mulai mengepul, menghasilkan awan kecil yang mengapung di atas permukaan. Ia meraih botol sabun cair beraroma mawar dan menuangkannya ke dalam air, menciptakan buih-buih lembut yang segera menari-nari, memenuhi ruangan dengan aroma manis yang menenangkan. Naura berdiri di sisi bak mandi, memperhatikan setiap gerakan Reval dengan pandangan yang penuh kekaguman. Ada sesuatu yang begitu memikat dalam caranya menyiapkan semuanya. Reval melepaskan seluruh pakaian Naura. Hingga tak tertinggal sehelai benangpun di tubuhnya. “Masuklah,” suara Reval memecah keheningan, suaranya rendah namun penuh ketulusan. Naura mengangguk perlahan, menyingkirkan rasa gugup yang entah mengapa kini menyelimuti hatinya. Dengan hati-hati, ia melangkah ke dalam bak mandi yang sudah penuh dengan air hangat dan buih. Kulitnya segera merasakan sentuhan lembut air, menghapus sega
Naura terdiam. “Kenapa? Kalau kamu belum siap, aku tidak akan memaksamu.” “Bukan begitu, Pak Reval. Tapi ... saya ini masih istri sah Mas Dion,” ucap Naura akhirnya, suara lirihnya terdengar seperti desau angin yang hampir hilang. Matanya menunduk, menatap lantai seperti berharap jawaban atas kebimbangannya ada di sana. Reval tidak langsung menjawab. Wajah pria itu tetap tenang, tetapi ada ketegasan yang tersembunyi di balik sorot matanya. Ia menarik napas dalam, lalu duduk di samping Naura, meraih tangannya dengan lembut namun mantap. “Naura,” panggilnya, membuat wanita itu mendongak pelan. “Aku tidak memintamu untuk melupakan segalanya dalam semalam. Aku tahu posisimu rumit, dan aku tahu kamu membutuhkan waktu untuk berdamai dengan semuanya. Tapi aku juga ingin kamu tahu, kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian.” “Tapi, Pak Reval, saya merasa bersalah,” kata Naura dengan suara bergetar. “Ini semua salah. Saya ... saya masih belum berani melangkah sejauh itu.” Reval t
Reval mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Duduklah dulu. Makanannya akan segera datang.” Naura mengangguk canggung dan duduk di meja makan. Reval masih terlihat sibuk, tapi sesekali mencuri pandang ke arahnya. Setiap kali tatapan mereka bertemu, Naura merasa seperti perutnya dipenuhi kupu-kupu. Tak lama kemudian, makanan yang dipesan akhirnya tiba. Reval mengatur piring dan mangkuk di meja, menciptakan suasana makan siang yang sederhana namun terasa hangat. Ia duduk di hadapan Naura, senyumnya masih tak hilang sejak tadi. “Makanlah,” kata Reval sambil menyodorkan semangkuk sup hangat ke arah Naura. Naura mengambil sendok dan mulai menyuap sup itu. Kehangatan sup terasa menenangkan, tetapi lebih dari itu, ia merasa nyaman dengan keberadaan Reval di hadapannya. “Terima kasih, Pak Reval,” ucapnya pelan. “Untuk apa?” tanya Reval sambil menatapnya, penasaran. “Untuk ... semuanya,” jawab Naura. “Bapak selalu ada untuk saya, bahkan di saat saya sendiri tidak tahu apa yang sa
Namun, Reval tak menjawab mamanya. Alih-alih, ia melangkah mendekati Callista, membuat gadis itu mundur setapak demi setapak hingga punggungnya hampir menyentuh dinding.“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di pesta malam itu?” Suaranya rendah, namun setiap kata menghantam Callista seperti cambukan. “Aku sudah melihat semuanya, Callista.”Mata Callista membesar. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Jantungnya berdegup kencang, hampir menenggelamkan suara di sekitarnya.“Kamu salah paham, Reval. Bukan aku pelakunya.”Suara Callista terdengar gemetar, meski ia berusaha tetap tenang. Namun, Reval tak bergeming. Napasnya berat, dada naik-turun cepat seolah menahan badai amarah yang siap meledak. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.Adelia melangkah maju, berdiri di antara mereka dengan wajah penuh amarah. “Kamu lebih membela perempuan itu daripada tunanganmu sendiri?” Suaranya menggema di ruangan luas, mengguncang udara seolah-olah dinding ikut menyaksikan
Mendengar itu, senyuman di wajah Reval kian lebar. Ia menjauhkan wajahnya sedikit, namun tatapannya tetap mengunci mata Callista. Lalu, dengan gerakan tenang, ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Layar ponsel menyala, memantulkan cahaya redup yang menerangi wajahnya. Jempolnya bergerak cepat, membuka sebuah video yang tersimpan di galeri.Saat video mulai diputar, suara samar terdengar. Suara langkah kaki, suara pintu yang terbuka, dan suara seseorang yang berbicara dengan nada terburu-buru. Callista menoleh ke arah layar, dan seketika wajahnya memucat. Bola matanya melebar, bibirnya ternganga tanpa mampu mengeluarkan suara.“Apakah kamu ingat kejadian ini, Callista?” tanya Reval, suaranya terdengar tenang, namun setiap kata mengandung tekanan yang tak bisa diabaikan.Tubuh Callista membeku. Di layar, sosoknya sendiri terlihat dengan jelas. Berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel, berbicara dengan seseorang yang wajahnya tak terlihat jelas karena sudut pengambil
Wajah Dion memucat seketika. Jemarinya melemah, cengkeramannya mengendur. Namun, amarahnya belum padam. “Jangan sok jadi pahlawan! Aku tahu kau punya niat lain terhadap Naura!” “Dan kau? Di mana kau saat istrimu nyaris kehilangan nyawa?” Tatapan Reval menusuk tajam. “Saat dia memanggil namamu, kau tidak ada. Kau bahkan tak bisa dihubungi. Aku yang menemukannya terkapar di kolam, aku yang membawanya ke rumah sakit. Sekarang kau datang dan menuduhku?” Dion terdiam. Napasnya masih memburu, namun sorot matanya goyah. Callista memandang keduanya dengan cemas. Matanya berpindah dari Dion ke Reval, seolah mencoba membaca situasi. “Sudah, Dion. Cukup! Jangan buat keributan di sini. Aku akan membawa Reval pulang.” “Tidak perlu.” Reval melepas tangan Dion dari kerahnya dengan tenang. “Aku akan pergi setelah Naura sadar. Tapi sebelum itu, aku ingin kau ingat satu hal.” Ia melangkah maju, berdiri tepat di depan Dion. Suaranya rendah namun tajam. “Jika kau tidak bisa menjaga Naura dan anak
Kelopak mata Naura perlahan terbuka. Mata beningnya tampak buram, seolah belum sepenuhnya sadar dari tidurnya yang lemah. “Pak Reval...?” “Iya, aku di sini. Kamu baik-baik saja?” Naura berkedip beberapa kali, lalu matanya turun ke perutnya. Sontak ia meraba perutnya dengan panik. “Bayi saya...” Reval segera menenangkan. “Tenang, bayi kamu baik-baik saja. Dokter sudah memastikan kondisinya stabil.” Air mata Naura menetes. Ia menutup wajahnya dengan tangan yang masih terhubung dengan selang infus. “Saya takut ... saya takut kehilangan dia.” Reval merasakan ada sesuatu yang mencubit hatinya. Ia meraih tangan Naura kembali, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu harus beristirahat dan jangan terlalu banyak berpikir.” Naura menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi ... Mas Dion ...” Reval menghela napas panjang, tetapi ia tidak ingin menambah beban Naura saat ini. “Aku sudah mencoba menghubungi Dion, tapi dia tidak bisa dihubungi. Aku akan
“Naura, jawab aku!” desak Reval, nadanya terdengar putus asa. Naura menelan ludah, kemudian menggeleng sangat pelan. “Tidak, Pak Reval…” suaranya terputus, menahan nyeri yang terus menyerang. “Ini… anak Mas Dion.” Perkataan itu seolah menghantam Reval. Rahangnya mengeras, matanya menyiratkan emosi yang sulit diartikan. Campuran antara marah, kecewa, dan luka. Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram pergelangan tangan Naura yang lemah, seakan tak ingin mempercayai penolakannya. Reval menahan napas, menyadari Naura sudah kesakitan dan ketakutan. Tubuh wanita itu menggigil, wajahnya pucat pasi. Perlahan, genggamannya mengendur. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam luapan emosi yang hampir meledak. Tetapi keadaan Naura yang menegang, tangannya menekan perut, dan darah yang terus menetes ke lantai memaksanya untuk mengambil tindakan cepat. “Ervan!” teriak Reval, menoleh mencari sosok asistennya di antara kerumunan yang mulai berdatangan. Seketika, seorang pria berjas rapi munc
“Aku janji, aku cuma sebentar,” teriak Dion. Lalu, tanpa menunggu jawaban, lelaki itu melangkah pergi, menghilang di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah. Naura mematung di tempatnya. Pesta ini tidak lagi terasa menyenangkan. Sejak awal, ia sebenarnya enggan datang. Naura menghela napas panjang. Terasa sesak. Naura menegakkan tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh sedih. Wanita itu hanya perlu mencari tempat yang lebih sepi. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah keluar dari keramaian, menuju tempat kolam renang berada. Tempat itu lebih tenang. Lampu-lampu taman menerangi air yang tampak berkilauan. Angin berembus lembut, membawa sedikit ketenangan bagi hatinya yang kalut. Naura melangkah lebih dekat ke tepi kolam. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat seorang anak kecil tertawa riang, bermain gelembung sabun bersama teman-temannya. Wajah mereka berseri-seri tanpa beban, tanpa tahu bahwa dunia orang dewasa begitu rumit. Perlahan, tangannya terangkat, mengelus perutnya yang ma
Naura langsung menegang. Dion hanya tertawa ringan. “Aku bilang juga apa, kan?” Naura merasa ada sesuatu yang panas menjalar di dadanya. Tatapan pria-pria itu kepadanya terasa berbeda. Bukan sekadar kagum, melainkan menelanjangi. Mereka menatapnya terlalu lama, seolah menikmati pemandangan di depan mata mereka. Naura menggigit bibirnya, menahan rasa tidak nyaman yang semakin menguasai dirinya. Para pria tersebut berbicara santai dengan Dion, sesekali tertawa, tetapi mata mereka terus melirik ke arah Naura. Naura semakin erat menggenggam lengan Dion, berharap suaminya menyadari kegelisahannya. Tetapi Dion seolah tak menyadari apa pun, atau lebih tepatnya, tidak peduli. Salah satu pria menyenggol Dion sambil melirik Naura. “Kau benar-benar beruntung, Dion.” Dion hanya tertawa, tidak memberikan reaksi lain. Lelaki itu melepaskan tangan Naura perlahan. “Mau minum?” tawar Dion kemudian. Naura hanya menggeleng pelan. “Kamu saja, Mas. Aku tidak haus.” Naura menatap pu
Siang itu, matahari bersinar terik, tetapi angin bertiup cukup sejuk, membawa aroma bunga dari halaman belakang rumah. Naura duduk di bangku kayu, menatap kosong ke taman kecil di hadapannya. Sejak menerima undangan itu dua hari lalu, pikirannya terus dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. Reval dan Callista akan bertunangan. Semua orang di kantor diundang, termasuk dirinya. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. Ia tahu, dalam tubuhnya ada kehidupan baru yang kelak akan mengubah hidupnya. “Haruskah aku datang?” lirih Naura. Batinnya berkecamuk. “Untuk apa? Aku tidak punya alasan untuk berada di sana.” Naura menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Reval sudah membuat keputusan. Apa pun alasannya, Reval memilih Callista. Sekalipun ada banyak pertanyaan di hatinya, dia tidak berhak untuk mencari jawaban. Mendadak— Sebuah tepukan pelan di bahunya membuatnya tersentak. Naura menoleh cepat. “Sayang, ikut aku. Kita harus bersiap-siap,” kata
Seperti terkena sengatan listrik, ekspresi Dion langsung berubah. Senyum yang tadi mengembang di wajahnya perlahan memudar, digantikan dengan tatapan tidak suka. “Kenapa? Ini kan perjalanan kita berdua, Sayang. Aku ingin menikmati waktu hanya dengan kamu,” jawab Dion dengan nada yang terdengar sedikit kesal. Naura mengerutkan kening. “Tapi Mas, mereka juga pasti ingin jalan-jalan. Apalagi Ibu, dia jarang sekali keluar kota. Lagipula, kalau ada mereka, kita bisa lebih santai.” “Dion benar, Naura,” suara lembut Ibu Lastri memecah keheningan. “Kalian butuh waktu berdua. Biarkan ibu di sini saja bersama Bi Mirna.” Naura menghela napas pelan. “Tapi, Bu … kapan lagi kita bisa pergi bersama? Aku hanya ingin ibu juga menikmati waktu di luar kota.” Ibu Lastri tersenyum, namun sorot matanya menunjukkan sesuatu yang sulit Naura pahami. “Tidak usah, Nak. Ibu sudah cukup senang melihat kalian berdua pergi. Lagipula, siapa yang akan menjaga rumah kalau ibu ikut?” Naura melirik Bi Mirna yang