Heleh, Pak Reval gombalin Naura muluu.... Setelah ini author mau bikin yang sedih-sedih ya? Biar gak tegang mulu. hehehe. setuju gak nih???
Setelah selesai membersihkan rambut Naura, Reval menyalakan keran air panas, membiarkan alirannya memenuhi bak mandi perlahan. Air mulai mengepul, menghasilkan awan kecil yang mengapung di atas permukaan. Ia meraih botol sabun cair beraroma mawar dan menuangkannya ke dalam air, menciptakan buih-buih lembut yang segera menari-nari, memenuhi ruangan dengan aroma manis yang menenangkan. Naura berdiri di sisi bak mandi, memperhatikan setiap gerakan Reval dengan pandangan yang penuh kekaguman. Ada sesuatu yang begitu memikat dalam caranya menyiapkan semuanya. Reval melepaskan seluruh pakaian Naura. Hingga tak tertinggal sehelai benangpun di tubuhnya. “Masuklah,” suara Reval memecah keheningan, suaranya rendah namun penuh ketulusan. Naura mengangguk perlahan, menyingkirkan rasa gugup yang entah mengapa kini menyelimuti hatinya. Dengan hati-hati, ia melangkah ke dalam bak mandi yang sudah penuh dengan air hangat dan buih. Kulitnya segera merasakan sentuhan lembut air, menghapus sega
Naura terdiam. “Kenapa? Kalau kamu belum siap, aku tidak akan memaksamu.” “Bukan begitu, Pak Reval. Tapi ... saya ini masih istri sah Mas Dion,” ucap Naura akhirnya, suara lirihnya terdengar seperti desau angin yang hampir hilang. Matanya menunduk, menatap lantai seperti berharap jawaban atas kebimbangannya ada di sana. Reval tidak langsung menjawab. Wajah pria itu tetap tenang, tetapi ada ketegasan yang tersembunyi di balik sorot matanya. Ia menarik napas dalam, lalu duduk di samping Naura, meraih tangannya dengan lembut namun mantap. “Naura,” panggilnya, membuat wanita itu mendongak pelan. “Aku tidak memintamu untuk melupakan segalanya dalam semalam. Aku tahu posisimu rumit, dan aku tahu kamu membutuhkan waktu untuk berdamai dengan semuanya. Tapi aku juga ingin kamu tahu, kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian.” “Tapi, Pak Reval, saya merasa bersalah,” kata Naura dengan suara bergetar. “Ini semua salah. Saya ... saya masih belum berani melangkah sejauh itu.” Reval t
Reval mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. “Duduklah dulu. Makanannya akan segera datang.” Naura mengangguk canggung dan duduk di meja makan. Reval masih terlihat sibuk, tapi sesekali mencuri pandang ke arahnya. Setiap kali tatapan mereka bertemu, Naura merasa seperti perutnya dipenuhi kupu-kupu. Tak lama kemudian, makanan yang dipesan akhirnya tiba. Reval mengatur piring dan mangkuk di meja, menciptakan suasana makan siang yang sederhana namun terasa hangat. Ia duduk di hadapan Naura, senyumnya masih tak hilang sejak tadi. “Makanlah,” kata Reval sambil menyodorkan semangkuk sup hangat ke arah Naura. Naura mengambil sendok dan mulai menyuap sup itu. Kehangatan sup terasa menenangkan, tetapi lebih dari itu, ia merasa nyaman dengan keberadaan Reval di hadapannya. “Terima kasih, Pak Reval,” ucapnya pelan. “Untuk apa?” tanya Reval sambil menatapnya, penasaran. “Untuk ... semuanya,” jawab Naura. “Bapak selalu ada untuk saya, bahkan di saat saya sendiri tidak tahu apa yang sa
“Pekerjaanku sekarang adalah memastikan kamu tidak terlalu lelah,” jawab Reval dengan nada serius tetapi matanya menyimpan canda. Naura menghela napas panjang, meski dalam hati ia tidak bisa menahan senyum. Akhirnya, ia berkata, “Kalau begitu, tolong ambilkan handuk untuk saya.” Reval tertawa kecil. “Baik, Nyonya. Aku akan menurut.” Saat Reval akhirnya melangkah menjauh untuk mengambil handuk, Naura menarik napas dalam-dalam. Tetapi sebelum ia bisa sepenuhnya tenang, Reval kembali dengan handuk di tangannya dan senyum khasnya yang jahil. “Ini untukmu,” ujar Reval sambil mengulurkan handuk. Saat Naura mengambil handuk itu, Reval menatapnya dengan lembut. “Terima kasih sudah mencuci piring. Kamu benar-benar perempuan luar biasa, Naura.” Naura hanya tersenyum canggung. Merasa bahwa sikap Reval terlalu berlebihan kepadanya. Meski begitu, hatinya terasa menghangat. Saat semuanya selesai, Reval menoleh ke arah Naura. “Mau nonton film?” tanyanya. Naura mengangguk. “Tentu, kalau Ba
Di dapur yang hangat dengan aroma manis tepung dan mentega, Naura berdiri memegang sebuah mangkuk adonan, mengamati Reval yang sibuk menyiapkan loyang. Lengan kemeja Reval digulung sampai siku, memperlihatkan ototnya yang bergerak saat ia bekerja. Suasana begitu santai, tetapi di hati Naura, ada rasa gugup yang tak bisa ia abaikan. Apalagi mengingat nanti malam jika ia akan pergi makan malam untuk bertemu mama Reval. “Kita mulai dari mana?” tanya Naura, mencoba terdengar tenang meski ia merasa canggung berdiri begitu dekat dengan pria itu. Reval menoleh sambil tersenyum. “Kita? Aku pikir kamu hanya mau menonton.” Naura mendengkus kecil. “Kalau cuma menonton, saya tidak akan ada di sini.” “Baiklah,” jawab Reval dengan nada menggoda. “Kalau begitu, ayo bantu aku mengaduk adonan ini. Jangan terlalu pelan, tapi juga jangan terlalu cepat.” Naura mengambil spatula dan mulai mengaduk, mengikuti petunjuk Reval. Ia merasa tangannya sedikit gemetar saat Reval berdiri di belakangnya, mem
Naura tetap terdiam, menggenggam spatula di tangannya dengan canggung. Pertanyaan itu terus bergema dalam pikirannya, sementara ia mencoba mencari jawaban. Reval, di sisi lain, memperhatikan Naura dengan pandangan penuh perhatian. Ia tahu bahwa ia telah menyentuh sesuatu yang sensitif, tetapi ia tidak ingin memaksanya untuk berbicara lebih jauh. “Naura,” Reval memecah keheningan, suaranya lembut. “Kue ini belum selesai kalau kita tidak menghiasnya. Kamu mau membantu?” Naura mendongak perlahan, mencoba memulihkan dirinya dari emosi yang mulai menyeruak. “Hias?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja. Reval tersenyum kecil dan mengambil spatula lain. “Ya, kita bisa tambahkan topping di atasnya. Ayo, mari kita coba.” Dengan canggung, Naura mengambil wadah kecil berisi krim kocok. Ia memulai dengan hati-hati, mencoba membuat pola di atas kue, tetapi tangannya sedikit gemetar. Melihat itu, Reval kembali mendekat dan berdiri di sisinya. “Biarkan aku bantu,” katanya, meraih tangannya
Reval hanya tersenyum kecil, tetapi matanya menunjukkan sesuatu yang sulit ditebak. Ia menerima loyang itu, memasukkannya ke dalam oven, lalu menutup pintunya dengan hati-hati. “Sekarang kita tinggal menunggu,” ujar Reval, mencoba memecah keheningan. Naura mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia melangkah mundur, bersandar pada meja dapur, mencoba mengatur napasnya yang masih belum normal. Reval berdiri tak jauh darinya, menyilangkan lengannya di dada sambil menatap oven. Tetapi dari sudut matanya, ia terus mengawasi Naura. Ada senyum tipis di wajahnya, senyum yang hanya dia tahu maknanya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Reval akhirnya, memecah keheningan. Naura mengangguk cepat. “I-iya, saya baik,” jawabnya dengan nada yang terlalu tinggi, membuatnya terlihat semakin canggung. Reval menahan tawa, lalu mengangguk. “Bagus kalau begitu.” Mereka kembali diam, tetapi suasana di antara mereka terasa begitu kaku. Naura berusaha keras menghindari kontak mata dengan Reval, sementara pria itu
Reval mengangkat bahu. “Panas tidak masalah, asal kamu yang menyajikannya.” Kata-kata itu membuat tangan Naura sedikit gemetar, tetapi ia cepat-cepat menyembunyikannya dengan senyum tipis. Ia melanjutkan memotong kue hingga akhirnya mereka memiliki beberapa potong yang siap dinikmati. Reval membawa piring-piring itu ke meja makan, sementara Naura mengambil dua gelas dan teko berisi teh hangat dari meja dapur. Ketika semuanya sudah tersaji, mereka duduk berhadapan di meja kecil itu, memandangi kue yang tampak sempurna di bawah cahaya lampu dapur. Namun, sebelum mereka sempat mencicipinya, Naura mulai merasa tidak nyaman. Ia melirik ke tangannya yang masih penuh noda tepung, lalu ke pakaiannya yang juga tampak berantakan. Pandangannya beralih ke Reval, yang ternyata sama saja. Kemejanya penuh bercak tepung dan krim, rambutnya sedikit berantakan, dan ada noda kecil di pipinya yang entah kapan menempel di sana. “Kita ini seperti baru keluar dari perang di dapur,” komentar Naura akh
Namun, Reval tak menjawab mamanya. Alih-alih, ia melangkah mendekati Callista, membuat gadis itu mundur setapak demi setapak hingga punggungnya hampir menyentuh dinding.“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di pesta malam itu?” Suaranya rendah, namun setiap kata menghantam Callista seperti cambukan. “Aku sudah melihat semuanya, Callista.”Mata Callista membesar. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Jantungnya berdegup kencang, hampir menenggelamkan suara di sekitarnya.“Kamu salah paham, Reval. Bukan aku pelakunya.”Suara Callista terdengar gemetar, meski ia berusaha tetap tenang. Namun, Reval tak bergeming. Napasnya berat, dada naik-turun cepat seolah menahan badai amarah yang siap meledak. Jemarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.Adelia melangkah maju, berdiri di antara mereka dengan wajah penuh amarah. “Kamu lebih membela perempuan itu daripada tunanganmu sendiri?” Suaranya menggema di ruangan luas, mengguncang udara seolah-olah dinding ikut menyaksikan
Mendengar itu, senyuman di wajah Reval kian lebar. Ia menjauhkan wajahnya sedikit, namun tatapannya tetap mengunci mata Callista. Lalu, dengan gerakan tenang, ia merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel. Layar ponsel menyala, memantulkan cahaya redup yang menerangi wajahnya. Jempolnya bergerak cepat, membuka sebuah video yang tersimpan di galeri.Saat video mulai diputar, suara samar terdengar. Suara langkah kaki, suara pintu yang terbuka, dan suara seseorang yang berbicara dengan nada terburu-buru. Callista menoleh ke arah layar, dan seketika wajahnya memucat. Bola matanya melebar, bibirnya ternganga tanpa mampu mengeluarkan suara.“Apakah kamu ingat kejadian ini, Callista?” tanya Reval, suaranya terdengar tenang, namun setiap kata mengandung tekanan yang tak bisa diabaikan.Tubuh Callista membeku. Di layar, sosoknya sendiri terlihat dengan jelas. Berdiri di depan sebuah pintu kamar hotel, berbicara dengan seseorang yang wajahnya tak terlihat jelas karena sudut pengambil
Wajah Dion memucat seketika. Jemarinya melemah, cengkeramannya mengendur. Namun, amarahnya belum padam. “Jangan sok jadi pahlawan! Aku tahu kau punya niat lain terhadap Naura!” “Dan kau? Di mana kau saat istrimu nyaris kehilangan nyawa?” Tatapan Reval menusuk tajam. “Saat dia memanggil namamu, kau tidak ada. Kau bahkan tak bisa dihubungi. Aku yang menemukannya terkapar di kolam, aku yang membawanya ke rumah sakit. Sekarang kau datang dan menuduhku?” Dion terdiam. Napasnya masih memburu, namun sorot matanya goyah. Callista memandang keduanya dengan cemas. Matanya berpindah dari Dion ke Reval, seolah mencoba membaca situasi. “Sudah, Dion. Cukup! Jangan buat keributan di sini. Aku akan membawa Reval pulang.” “Tidak perlu.” Reval melepas tangan Dion dari kerahnya dengan tenang. “Aku akan pergi setelah Naura sadar. Tapi sebelum itu, aku ingin kau ingat satu hal.” Ia melangkah maju, berdiri tepat di depan Dion. Suaranya rendah namun tajam. “Jika kau tidak bisa menjaga Naura dan anak
Kelopak mata Naura perlahan terbuka. Mata beningnya tampak buram, seolah belum sepenuhnya sadar dari tidurnya yang lemah. “Pak Reval...?” “Iya, aku di sini. Kamu baik-baik saja?” Naura berkedip beberapa kali, lalu matanya turun ke perutnya. Sontak ia meraba perutnya dengan panik. “Bayi saya...” Reval segera menenangkan. “Tenang, bayi kamu baik-baik saja. Dokter sudah memastikan kondisinya stabil.” Air mata Naura menetes. Ia menutup wajahnya dengan tangan yang masih terhubung dengan selang infus. “Saya takut ... saya takut kehilangan dia.” Reval merasakan ada sesuatu yang mencubit hatinya. Ia meraih tangan Naura kembali, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Kamu harus beristirahat dan jangan terlalu banyak berpikir.” Naura menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi ... Mas Dion ...” Reval menghela napas panjang, tetapi ia tidak ingin menambah beban Naura saat ini. “Aku sudah mencoba menghubungi Dion, tapi dia tidak bisa dihubungi. Aku akan
“Naura, jawab aku!” desak Reval, nadanya terdengar putus asa. Naura menelan ludah, kemudian menggeleng sangat pelan. “Tidak, Pak Reval…” suaranya terputus, menahan nyeri yang terus menyerang. “Ini… anak Mas Dion.” Perkataan itu seolah menghantam Reval. Rahangnya mengeras, matanya menyiratkan emosi yang sulit diartikan. Campuran antara marah, kecewa, dan luka. Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram pergelangan tangan Naura yang lemah, seakan tak ingin mempercayai penolakannya. Reval menahan napas, menyadari Naura sudah kesakitan dan ketakutan. Tubuh wanita itu menggigil, wajahnya pucat pasi. Perlahan, genggamannya mengendur. Ia menarik napas panjang, mencoba meredam luapan emosi yang hampir meledak. Tetapi keadaan Naura yang menegang, tangannya menekan perut, dan darah yang terus menetes ke lantai memaksanya untuk mengambil tindakan cepat. “Ervan!” teriak Reval, menoleh mencari sosok asistennya di antara kerumunan yang mulai berdatangan. Seketika, seorang pria berjas rapi munc
“Aku janji, aku cuma sebentar,” teriak Dion. Lalu, tanpa menunggu jawaban, lelaki itu melangkah pergi, menghilang di antara tamu-tamu yang berpakaian mewah. Naura mematung di tempatnya. Pesta ini tidak lagi terasa menyenangkan. Sejak awal, ia sebenarnya enggan datang. Naura menghela napas panjang. Terasa sesak. Naura menegakkan tubuhnya. Tidak, ia tidak boleh sedih. Wanita itu hanya perlu mencari tempat yang lebih sepi. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah keluar dari keramaian, menuju tempat kolam renang berada. Tempat itu lebih tenang. Lampu-lampu taman menerangi air yang tampak berkilauan. Angin berembus lembut, membawa sedikit ketenangan bagi hatinya yang kalut. Naura melangkah lebih dekat ke tepi kolam. Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat seorang anak kecil tertawa riang, bermain gelembung sabun bersama teman-temannya. Wajah mereka berseri-seri tanpa beban, tanpa tahu bahwa dunia orang dewasa begitu rumit. Perlahan, tangannya terangkat, mengelus perutnya yang ma
Naura langsung menegang. Dion hanya tertawa ringan. “Aku bilang juga apa, kan?” Naura merasa ada sesuatu yang panas menjalar di dadanya. Tatapan pria-pria itu kepadanya terasa berbeda. Bukan sekadar kagum, melainkan menelanjangi. Mereka menatapnya terlalu lama, seolah menikmati pemandangan di depan mata mereka. Naura menggigit bibirnya, menahan rasa tidak nyaman yang semakin menguasai dirinya. Para pria tersebut berbicara santai dengan Dion, sesekali tertawa, tetapi mata mereka terus melirik ke arah Naura. Naura semakin erat menggenggam lengan Dion, berharap suaminya menyadari kegelisahannya. Tetapi Dion seolah tak menyadari apa pun, atau lebih tepatnya, tidak peduli. Salah satu pria menyenggol Dion sambil melirik Naura. “Kau benar-benar beruntung, Dion.” Dion hanya tertawa, tidak memberikan reaksi lain. Lelaki itu melepaskan tangan Naura perlahan. “Mau minum?” tawar Dion kemudian. Naura hanya menggeleng pelan. “Kamu saja, Mas. Aku tidak haus.” Naura menatap pu
Siang itu, matahari bersinar terik, tetapi angin bertiup cukup sejuk, membawa aroma bunga dari halaman belakang rumah. Naura duduk di bangku kayu, menatap kosong ke taman kecil di hadapannya. Sejak menerima undangan itu dua hari lalu, pikirannya terus dipenuhi berbagai pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. Reval dan Callista akan bertunangan. Semua orang di kantor diundang, termasuk dirinya. Naura menunduk, mengusap perutnya yang masih datar. Ia tahu, dalam tubuhnya ada kehidupan baru yang kelak akan mengubah hidupnya. “Haruskah aku datang?” lirih Naura. Batinnya berkecamuk. “Untuk apa? Aku tidak punya alasan untuk berada di sana.” Naura menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Reval sudah membuat keputusan. Apa pun alasannya, Reval memilih Callista. Sekalipun ada banyak pertanyaan di hatinya, dia tidak berhak untuk mencari jawaban. Mendadak— Sebuah tepukan pelan di bahunya membuatnya tersentak. Naura menoleh cepat. “Sayang, ikut aku. Kita harus bersiap-siap,” kata
Seperti terkena sengatan listrik, ekspresi Dion langsung berubah. Senyum yang tadi mengembang di wajahnya perlahan memudar, digantikan dengan tatapan tidak suka. “Kenapa? Ini kan perjalanan kita berdua, Sayang. Aku ingin menikmati waktu hanya dengan kamu,” jawab Dion dengan nada yang terdengar sedikit kesal. Naura mengerutkan kening. “Tapi Mas, mereka juga pasti ingin jalan-jalan. Apalagi Ibu, dia jarang sekali keluar kota. Lagipula, kalau ada mereka, kita bisa lebih santai.” “Dion benar, Naura,” suara lembut Ibu Lastri memecah keheningan. “Kalian butuh waktu berdua. Biarkan ibu di sini saja bersama Bi Mirna.” Naura menghela napas pelan. “Tapi, Bu … kapan lagi kita bisa pergi bersama? Aku hanya ingin ibu juga menikmati waktu di luar kota.” Ibu Lastri tersenyum, namun sorot matanya menunjukkan sesuatu yang sulit Naura pahami. “Tidak usah, Nak. Ibu sudah cukup senang melihat kalian berdua pergi. Lagipula, siapa yang akan menjaga rumah kalau ibu ikut?” Naura melirik Bi Mirna yang