Emily tertegun melihat William berdiri di ambang pintu.
Saat Emily akan keluar dari kamar untuk menemui Azura, William juga akan masuk kamar. “Kau—” Belum sempat Emily mengatakan apapun, William langsung memeluknya erat. Emily terdiam, membiarkan William memeluknya seperti yang diinginkan. “Aku merindukan mu,” ucap William lirih. Mendengar itu, Emily pun membalas pelukan William. “Apa sudah selesai?” tanyanya. William menganggukkan kepalanya, tapi tidak melepaskan pelukannya dari Emily. “Tentu saja belum. Tapi, aku juga tidak mau kalau kita terlalu lama tidak bertemu.” Emily pun tersenyum. “Ini baru dua hari, kan?” “Baru dua hari, katamu? Dua hari itu seperti dua abad untukku, Emily.” Segera William melepaskan pelukannya. Membawa Emily masuk ke kamar.beberapa saat kemudian.Emily terdiam dalam dekapan William, merasakan betapa eratnya genggaman priEmily terdiam sebentar. “Tidak. Aku memang hanya ingin pergi ke dapur sebentar.” Pada akhirnya, William pun hanya bisa membiarkan Emily pergi ke dapur. Begitu Emily keluar, William duduk di pinggiran tempat tidur. Pikirannya benar-benar kacau, bahkan mengungkapkan perasaannya saat ini dia sudah tidak lagi mampu. Tentu saja dia paham apa yang dipikirkan Emily. Namun, William sendiri tidak mampu memenangkan kekhawatiran Emily untuk saat ini. “Emily... aku benar-benar sedang dalam kondisi yang tidak baik sekarang. Maaf. Mungkin sikap ku akan menyakitimu beberapa waktu belakangan ini. Tapi, aku berharap kau bisa sedikit lebih sabar menghadapi ku sampai aku benar-benar mampu mengendalikan diriku dengan baik,” ucap William, lirih. Emily melangkah keluar dari dapur dengan perasaan sedikit ragu untuk kembali ke kamar. Seorang pelayan tiba-tiba saja datang, lalu memberitahunya bahwa Julia datang dan ingin berbica
Emily menghela napas panjang, perasaannya bercampur aduk mendengar rencana kedua orang tuanya setelah semua yang terjadi. “Pedesaan? Ayah dan Ibu apa benar-benar yakin?” Emily mengulang dengan suara pelan, kepalanya menunduk. “Jadi, Ibu dan Ayah benar-benar ingin meninggalkan semua ini begitu saja?” Julia pun mengangguk. “Kami tidak punya pilihan, Emily. Semua sudah hancur. Perusahaan, nama baik keluarga, bahkan hubungan kami denganmu juga.” Julia menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. “Kami sadar kami telah melakukan banyak kesalahan. Kami tidak ingin menjadi bebanmu. Beternak dan bertani adalah satu-satunya cara bagi kami untuk hidup dengan tenang tanpa harus menyusahkan mu lagi di masa depan.” Emily menggigit bibirnya, ia menahan air mata yang hampir jatuh. “Aku minta maaf… Aku benar-benar tidak bisa berbuat banyak untuk membantu kalian.” Julia tersenyum lemah, “Tidak, Emily. Kau sudah melakukan lebih dari cukup untuk kami. Lagip
Malam itu, William dan Emily berbaring tanpa adanya pembicaraan apapun. Saling memunggungi, sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Emily dengan kegelisahan, ketakutan, dan harapan akan keselamatan keluarganya. Sementara William yang juga memikirkan banyak hal. “Aku ingin tidur...” batin William. Sudah dua jam berpura-pura tidur, nyatanya masih segar matanya. Begitu juga dengan Emily. Di dalam hatinya, ia berharap Tuhan akan sedikit kasihan sehingga hati William luluh, dan tidak terlalu kejam kepada kedua orang tuanya. Entah selama apa mereka terus bergulat dengan pemikirannya, hingga pada akhirnya mereka merasa ngantuk, dan mulai tertidur. Esok harinya, di kediaman Sebastian. Sebastian duduk di dalam mobilnya, menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh perasaan amarah. Kali ini, dia tidak akan menahan
Kelly masih terbaring di tempat tidur rumah sakit, tapi tubuhnya semakin penuh luka dan rasa sakit yang luar biasa. Ia bahkan tidak bisa lagi menggerakkan satu saja jarinya dengan baik. Seluruh tubuhnya seperti remuk redam, bukan hanya karena kecelakaan yang dialaminya, tetapi juga akibat kemarahan Sebastian yang tidak terkontrol. “Sa... kit...” keluh Kelly, tak berdaya. Pria itu awalnya masih bersabar, menanyainya dengan nada dingin tentang keberadaan surat rumah dan barang-barang berharganya yang dicuri Kelly. Tapi wanita itu justru semakin keras kepala, dan terus saja menyalahkan William atas semua ini, seolah-olah William yang telah mengambil semuanya. Sebastian tidak bodoh. Ia tahu Kelly hanya berusaha mengalihkan kesalahan agar selamat dari amukannya. Namun, kesabaran Sebastian juga sudah pasti ada batasnya. Saat Kelly tetap bungkam, Sebastian mulai menunjukkan betapa marahnya dia karena itu. I
William duduk santai di ruang kerjanya, segelas wine merah berputar di tangannya, sementara tatapannya terpaku pada layar besar yang menampilkan rekaman CCTV di rumah sakit tempat Kelly berada. Bibirnya melengkung membentuk seringai penuh kemenangan, merasa terhibur dengan yang dia lihat. Di layar itu, Sebastian tampak kehilangan kendali, tengah melampiaskan amarahnya pada Kelly yang masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Wanita itu nyaris tidak bisa bergerak, tubuhnya semakin penuh dengan luka, wajahnya pucat, dan matanya memancarkan ketakutan yang begitu jelas. “Ah… lihatlah,” gumam William, suaranya dipenuhi kepuasan. “Dulu kalian begitu kompak menjatuhkan ku, mencoba untuk menyingkirkan ku. Sekarang? Saling menghancurkan seperti ini.” Sebastian mencengkeram dagu Kelly dengan kasar, wajahnya dipenuhi kemarahan yang membara. “Dimana surat rumah ku itu, Kelly?!
Emily menghela napas lega setelah menekan tombol ‘kirim’ di layar ponselnya. Semua tabungan yang ia kumpulkan selama ini telah ia transfer kepada kedua orang tuanya, sepenuhnya. Kini, ia hanya berharap mereka bisa memulai hidup yang lebih baik di pedesaan, jauh dari intrik dan keserakahan yang dulu menguasai hati mereka. Tatapannya beralih ke jendela, memandangi langit senja yang perlahan berubah menjadi gelap. Dalam hatinya, Emily merasakan sedikit lebih ringan. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, tetapi ia tahu bahwa ini adalah yang terbaik untuk semuanya. Ia jelas tidak ingin membalas dendam, meskipun luka yang ditorehkan keluarganya masih ada. Sementara itu, Sean sudah membuat keputusannya sendiri. Pria itu akhirnya menerima tawaran dari Tuan Xavier untuk bergabung dengan perusahaan miliknya.Namun, bukan sebagai petinggi atau pemimpin, melainkan sebagai karyawan biasa, memulai semuanya dari bawa
Tuan besar menarik napasnya dalam-dalam, mengembuskan dengan berat. Ditatapnya Hendrick yang terus memohon, bersimpuh di hadapannya. Sebenarnya, sejak kecil ia hanya menganggap William saja sebagai cucunya. Namun, Nyonya besar selalu mengingatkan, dan harus bersikap adil mengingat Hendrick juga adalah cucu mereka. Namun, Tuan besar menyadari kalau feeling-nya memang benar. Hendrick adalah cucu yang sangat hebat membuat aib, bintang kesialan. “Hendrick, Kakek akan memberikan uang padamu, tapi Kakek tidak bisa memberikan lebih dari pada itu. Tapi, kalau Nenek mu Sudi mbantu, maka aku tidak akan ikut campur. Resikonya juga akan diambil oleh Nenekmu sendiri,” ucap Tuan besar. Pria itu memilih untuk segera bangkit, tidak tahan berlama-lama di sana. Melihat Hendrick membuatnya terluka, seolah merasakan penderitaan William, dan keluarganya oleh sifat Hendrick. Mirip seperti Kelly, iblis yang mel
Setelah mendapatkan kabar tentang keberadaan Kelly, Hendrick langsung saja menuju ke sana. Beberapa saat kemudian. Hendrick berdiri kaku di depan ranjang tempat ibunya terbaring tak berdaya. Napasnya tersengal, dadanya terasa sesak melihat kondisi Kelly yang lebih parah dari yang ia bayangkan. Wajah ibunya bengkak, memar keunguan hampir menutupi seluruh kulitnya, dan perban di kepala menunjukkan betapa fatalnya luka yang diderita wanita itu. Entah siapa yang berani melakukan semua itu. “Ibu…” Hendrick berbisik, suaranya bergetar. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi masker yang menutupi sebagian wajahnya. “Kenapa bisa begini?” Kelly tidak bisa merespons. Matanya tetap tertutup, tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Hendrick menelan ludah, lalu dengan cepat ia berbalik, melangkah keluar kamar untuk mencari dokter agar memberikan penjelasan padanya. Namun, saat ia keluar ke koridor, perasaan
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek