Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu hening.
Emily menatap kosong keluar jendela, pikirannya benar-benar berantakan.Sementara itu, William terus menggenggam tangannya, memberikan kehangatan yang ia harap bisa sedikit menguatkan istrinya itu. William tidak meminta Emily untuk kuat. Ia tidak mengucapkan kata-kata penyemangat klise yang hanya akan terdengar hampa di telinga istrinya. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus rasa sakit yang tengah dirasakan Emily saat ini. Ketika mobil berhenti di lampu merah, William menarik napas dalam dalam. Ia lalu merangkul Emily, mendekap tubuh mungil itu dalam hangat pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Emily, jarinya mengusap rambut wanita itu dengan penuh kasih sayang. Emily terdiam di dalam pelukan itu. Air matanya yang sempat terhenti kini kembali mengalir, membasahi pipinya. Tapi kali ini, ia tidak berusaha menyembunyikannyaSore itu, di kamar William dan juga Emily. Emily menggeliat pelan, mencoba menggeser tubuhnya, tapi segera meringis. Pinggangnya terasa sakit sekali. Ia melirik ke samping, mendapati William masih memeluknya erat, seolah tidak ingin membiarkannya pergi. Pakaian mereka berserakan di lantai, sementara tubuh mereka hanya terbungkus selimut tebal. Wajah Emily memerah saat mengingat kejadian gila di siang bolong itu. “Kau yang memprovokasi duluan. Jangan memasang wajah marah,” ucap William santai, mengeratkan pelukannya. Emily mendengus kesal, tapi wajahnya tetap bersemu merah. Jelas aja dia masih merasa malu, tapi lebih daripada itu, ia menyadari sesuatu. Setelah perasaannya dibuat kacau balau oleh situasi, nyatanya ia tidak menangis lagi. William berhasil mengalihkan pikirannya dari semua kesedihan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ah, lebih baik fokus pada pembicaraan mereka kali ini. “Jangan senyum-senyum seperti itu.” Emily mendorong dada William deng
Pesawat pribadi yang membawa William dan Emily akhirnya mendarat di sebuah negara yang hanya diketahui oleh mereka berdua dan Robert. Semua persiapan telah diatur dengan matang, perjalanan ini dirahasiakan sepenuhnya agar tidak ada satupun orang yang mengikuti dan mengganggu William dan Emily. Begitu turun dari pesawat, udara segar langsung menyambut mereka. “Wah... ternyata udaranya nyaman juga,” ucap Emily. Emily menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. William di sampingnya terlihat lebih santai dari biasanya. Tidak ada tongkat penuntun, tidak ada akting sebagai pria buta. Hanya dirinya yang sebenarnya. Saat mereka sampai di villa pribadi yang sudah disiapkan, William meletakkan kopernya di sudut kamar dan langsung duduk di tepi ranjang. “Ternyata dalamnya bersih dan nyaman,” ujar William. Emily memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanya
Berbeda dengan William dan Emily yang tengah menjalani hari dengan tujuan bahagia, Hendrick yang tengah kesal itu melemparkan botol wine kosong ke sofa dengan kasar. Napasnya memburu, wajahnya memerah menahan amarah. Rencana yang ia susun dengan hati-hati selama ini kembali gagal. Semua orang terasa tidak memiliki kemampuan. Semua orang yang ia suruh seperti manusia tanpa guna. “Dasar orang tua bodoh!” geramnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. “Mereka bahkan tidak bisa mempengaruhi putri mereka sendiri! Mereka bosan hidup nyaman rupanya.” Saat ini dia tengah melakukannya panggilan telepon dengan Kelly. Mendengar kemarahan Hendrick, Kelly benar-benar hanya bisa memakluminya saja. “Kau terlalu terburu-buru, Hendrick,” ucap Kelly dengan nada dingin. “Emily bukan wanita lemah yang mudah dibodohi seperti dulu. Apalagi ada William di sisinya. Ini pasti akan sulit, tapi kita juga tidak boleh menyerah.” Hendri
Malam itu, langit dihiasi taburan bintang yang berkelip lembut. Nampak begitu indah, sukses memanjakan mata. Udara sejuk menyelusup di antara dedaunan yang bergoyang pelan, menciptakan harmoni alam yang damai menenangkan. Di sebuah restoran mewah bertema outdoor di puncak bukit, Emily dan William duduk berhadapan di bawah lampu-lampu gantung berbentuk lentera yang memancarkan cahaya hangat. Mereka begitu romantis. Emily tersenyum, matanya berbinar memandangi hidangan berjejeran di hadapannya. “Aku masih tidak percaya kau memilih tempat seperti ini. Rasanya seperti adegan dalam film, deh.” William meletakkan gelas anggurnya dan menatap Emily penuh kelembutan. “Aku hanya ingin kita memiliki malam yang benar-benar kita ingat. Setelah semua yang kita lalui… kita pantas mendapatkan sedikit kebahagiaan ini.” Emily terdiam sesaat, hatinya terasa menghangat. Ia mengingat momen-momen sulit yang m
Malam semakin larut, tapi William dan Emily nyatanya masih terjaga. Mereka berada di atas ranjang, bersandar pada sandaran empuk dengan tubuh terbungkus selimut tebal. Tubuh mereka polos akibat kegiatan panas mereka beberapa saat lalu. Emily meletakkan kepalanya di dada William, mendengar detak jantung pria itu yang terasa lebih cepat dari biasanya. Di tangannya, William memegang tablet, membaca dokumen yang baru saja dikirimkan Robert. Jemarinya menggenggam erat perangkat itu, ekspresinya berubah serius dan penuh emosi. Emily yang merasakan perubahan itu perlahan menatap wajah William. “Ada apa, William?” tanyanya dengan nada lembut, jantungnya ikut berdebar melihat perubahan ekspresi pria itu. Pasti ada sesuatu yang terjadi. William tidak langsung menjawab. Ia masih terpaku pada informasi yang baru saja ia baca, mencoba mencerna semuanya dengan kepala dingin. Namun, semakin dalam ia membaca, semakin jelas b
Malam itu, ketika Emily telah tertidur pulas di pelukan William, pria itu perlahan bangkit dari ranjang tanpa membuat suara sedikit pun. “Aku keluar kamar sebentar,” bisiknya,aku mengecup kening Emily. Ia mengambil ponselnya, lalu berjalan ke balkon kamar, menyalakan sebatang rokok, dan segera menghubungi Robert di sana. Suara dering terdengar sebentar sebelum akhirnya Robert mengangkat teleponnya. “Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang keberadaan Hendrick?” tanya William tanpa basa-basi, suaranya dingin dan tajam. Robert menghela napas sebelum menjawab, “Saya sudah tahu keberadaannya sejak kemarin, Tuan.” Mata William menyipit, bibirnya melengkung sinis. “Kenapa kau tidak langsung melaporkannya padaku kemarin?” “Saya tidak ingin mengganggu momen liburan anda dengan Nyonya Emily. Lagipula, Hendrick tidak sedang bergerak. Dia ada di negara sebelah, menenangkan diri d
Kelly duduk di depan meja riasnya, menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang kosong. Jemarinya mengepal kuat, kukunya menekan telapak tangannya hingga nyaris melukai kulitnya sendiri. William dan Emily. Ke mana mereka pergi? Sulit sekali mencarinya. Ia telah mengerahkan segala cara untuk melacak keberadaan mereka, menyewa detektif, menyuap orang dalam, bahkan mencoba meretas sistem keamanan mereka, tapi hasilnya benar-benar nihil. Seolah pasangan itu menghilang begitu saja dari dunia ini.Dia sudah menghabiskan uang hari tuanya untuk semua itu. Kelly menggigit bibir bawahnya. “Aku tidak boleh menyerah. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Hendrick!” Jika ia bisa menemukan mereka, rencananya akan berjalan sangat mulus. Ia telah menyusun berbagai skenario, kecelakaan tragis saat mereka berlibur, perampokan yang berakhir dengan pembunuhan, atau bahkan sabotase kendaraan. Dan masih banyak lagi s
Hari itu, langit biru membentang luas tanpa satu pun awan yang menghalangi. Angin pantai berhembus sejuk, membawa aroma asin laut yang khas. Ombak bergulung lembut, menyapu pasir putih yang terasa hangat di bawah kaki yang menapak. Emily dan William menghabiskan waktu mereka di tepi pantai, menikmati kebersamaan yang jarang mereka dapatkan tanpa gangguan seperti ini. Emily berlari kecil di tepian air, sesekali tertawa saat air laut menyentuh kakinya. Gaun pantai tipis yang ia kenakan semula sudah dilepas, menyisakan bikini warna pastel yang membalut tubuhnya dengan begitu sempurna. William, yang sejak tadi berusaha bersikap tenang, sebenarnya tidak rela istrinya mengenakan bikini di tempat umum seperti ini. Matanya mengawasi sekeliling dengan tajam, memastikan tidak ada satupun orang yang berani menatap Emily lebih dari yang seharusnya. Namun, tetap saja, beberapa pria di sekitar pantai sesekali melirik ke ara
Sore itu, kala jam kerja selesai. Emily berdiri membeku di depan pintu utama JB fashion. Jantungnya berdetak begitu kencang saat melihat sosok William berdiri tegap, dan di sampingnya, Elle melompat kegirangan sambil melambaikan tangan. “Ibu!” seru Elle dengan suaranya yang nyaring. Seruan itu menarik perhatian banyak orang. Para pegawai JB fashion yang baru saja keluar dari gedung mulai berbisik-bisik, tatapan mereka tertuju pada Emily yang terlihat bingung Dan panik. Arthur yang berdiri di sampingnya hanya menghela napas pelan. “Suami dan anakmu sudah menunggu. Kenapa kau masih berdiri di sini?” tanyanya dengan santai. Emily menelan ludah. Rasanya seakan seluruh dunia kini memperhatikannya. Dia tidak menyangka William akan datang ke kantor, apalagi membawa serta Elle. Ini sama saja dengan sebuah pengumuman besar bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan biasa antara dirinya dan William. “Ya ampun
“Aku harus menjelaskan ini sebenarnya. Tapi, William tidak mengizinkan ku ikut campur lebih banyak. Padahal, semua ini bermula dariku juga,” jawab Emily. Arthur tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Pria bernama William itu pasti sangat mencintaimu. Sudah bertahun-tahun ditinggal olehmu, dia masih setia menunggumu, dan bahkan langsung mengenalimu yang sudah totalitas dalam menyamar.” Emily tersenyum. “Aku menyesali pola pikirku yang saat itu sangat labil. Tapi, situasi sekarang ini juga masih bisa terbilang tidak baik untuk kami.”Arthur menganggukkan kepalanya, Dia sedikit memahami. “Yah... Anastasia pasti merasa sangat marah dan kecewa. Padahal sudah menghabiskan waktunya untuk mengharapkan cinta dari suamimu, tapi harus berakhir dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan.”Emily menghela napasnya. “William membiarkan wanita itu berada di sekitarnya terus-menerus lemah hampir 4 tahun. Bagaimanapun, William juga bersalah karena tidak ber
Robert mengerutkan keningnya, tidak menyangka kalau Azura benar-benar akan bersikap sangat dingin seperti ini padanya. “Barusan, kau sedang mengusirku?” tanya Robert, ekspresi tak percaya masih nampak jelas di wajahnya. Azura mengepalkan tangannya. Ia pun menatap Robert dengan tatapan yang tajam. “Menurut anda, setelah makian yang anda berikan kepada ku sebelumnya mudah untuk dilupakan? Siapapun orangnya pasti akan mendendam.” Mendengar itu, Robert pun menghela napas. “Terserah kau saja. Mendendam atau tidak, itu bukan urusan ku.” Azura makin kesal. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia bangkit dari duduknya, dan meninggalkan Robert begitu saja. “Aku benar-benar bodoh karena pernah menyukai pria sialan ini,” batin Azura. Robert berdecih kesal, tidak menyangka kalau ada masanya dia diperlakukan dengan dingin oleh wanita yang dia anggap tidak ada apa-apanya. Ia pun bangkit dari duduknya, meninggalkan cafe milik
Mendengar Emily sudah kembali, Nyonya dan Tuan besar meminta izin untuk bertemu. William sudah menolaknya. Dia tidak ingin Emily dipengaruhi lagi. Namun, Nyonya besar sudah berjanji tidak akan melakukan itu lagi, akhirnya William memperbolehkan Nyonya besar menemui Emily dan Elle. Di ruang tengah, tempat itu menjadi saksi Nyonya besar nampak tertunduk lesu. Wajahnya yang dulunya selalu terlihat tegas dan arogan kini menatap tak berdaya. Sudah empat tahun lebih tidak bertemu William dan Emily, wanita itu kini nampak tak mampu lagi menutupi kerapuhan dibalik wajahnya yang keriput. “Maaf... kalian berdua pasti sangat tidak nyaman dengan kedatangan Nenek. Tapi, mumpung masih ada kesempatan, Nenek ingin meminta maaf kepada kalian berdua,” ucap Nyonya besar, suaranya lemah. Tuan besar mengusap punggung istrinya dengan lembut. Dua tahun belakangan ini Nyonya besar mengalami penurunan kesehatan yang makin mengkhawa
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak