Tangisan Emily semakin kencang, menggema di seluruh ruangan.
Tubuhnya bergetar hebat di dalam pelukan William, seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang begitu menyakitkan. “William... bencilah aku! Kumohon, maki aku sebanyak yang kau bisa!” seru Emily dengan suara yang penuh kepedihan. Namun, bukannya menjauh, William justru mencengkram kedua pundak Emily dengan kuat, membuat Emily menatap langsung ke dalam matanya. Tatapan William begitu tajam, tegas, dan penuh keteguhan hati. “Emily, Jangan pernah bicara seperti itu lagi!” suara William dalam dan tegas, membuat Emily semakin terisak pilu. Azura yang ada di dalam kamar ujung mendengar suara tangisan itu. Ia terkejut dan segera keluar dari kamarnya, berdiri di depan pintu kamar William dan Emily tanpa mengetuk. Ia hanya ingin memastikan keadaan sahabatnya baik-baik saja tanpa ingin mengganggu mereka.“Apa hal seperti ini biasa terjadi?” gumam Azura, pelan.Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Emily dari tidurnya. Begitu matanya terbuka, dia terkejut melihat William sudah bangun dan duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Tatapan William begitu lembut, tapi ada sesuatu di dalamnya, seperti sebuah emosi yang sulit ditebak. “Tatapan macam apa itu? Jelas dia sedang kesal,” batin Emily. Ia pun hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, William tiba-tiba tersenyum dan mengusap wajah Emily dengan lembut, membuatnya sedikit terkejut. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu mengecup keningnya dengan penuh kasih dan lembut. “Selamat pagi, istriku,” ujar William, suaranya terdengar dalam dan menenangkan. Emily masih diam, hatinya dipenuhi dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. William lalu berkata, “Aku ingin mengajakmu liburan. Kita bisa menenangkan diri selama beber
Pertanyaan dari Emily itu membuat Julia mendelik kesal. Langsung saja Julia menarik tangan Emily dengan kasar, membawanya ke ruang tengah, menjauh dari para pelayan dan orang-orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Johan menyusul, meskipun ia tidak berniat terlalu banyak ikut campur dalam pembicaraan itu. Begitu sampai di ruangan itu, Julia berbalik, menatap Emily dengan tatapan tajam penuh peringatan. “Kenapa Ibu menyembunyikan ini dariku? Kenapa kalian berdua ikut andil dalam melukai William selama ini?” suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang begitu besar menguasainya. Julia terdiam. Matanya melirik ke arah Johan, berharap suaminya bisa memberikan jawaban, tapi Johan hanya duduk pasrah, memilih untuk tidak banyak bicara. Emily melangkah mendekati Ibunya, matanya menatap penuh luka dan penghianatan. “Apakah tidak cukup bagi kalian berdua menyakiti ibunya William? Kenapa harus William juga?” tanya Emily lirih. “Benarkah Ayah dan Ibu adal
Emily berdiri dengan lemah di ruang keluarga, tatapannya nanar menembus kedua orang tuanya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya tanpa bisa dihentikan lagi. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan, tapi karena sakit hati yang menghimpit dadanya. Bahkan kata ‘sakit’ tidak cukup untuk menggambarkannya. “Emily, kami melakukannya juga untuk kelangsungan kehidupan kita. Kami juga ingin memberikan kehidupan yang layak untukmu dan juga Sean,” sergah Julia yang tidak ingin terus-menerus mendengar Emily menyalahkannya. Alasan itu tidak bisa Emily terima. Kalau tahu akan jadi begini, tentu saja dia lebih memilih hidup miskin, serba kekurangan. “Dari awal, kalian berdua sudah salah!” Emily berteriak, suaranya penuh dengan kepedihan dan frustrasi. “Aku bisa memahami kalau kalian dulu kesulitan ekonomi, tapi sekarang? Sekarang semua sudah membaik, tapi kalian tidak berhenti juga! Kalian malah terus mel
Begitu Emily melangkah keluar dari rumah orang tuanya, udara dingin seketika itu langsung menyambutnya. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi air matanya masih menggenang di pelupuk matanya. William yang sejak tadi menunggu di luar, segera berdiri dan mendekatinya. Ekspresi wajahnya tetap seperti biasa, tenang dan tak terbaca, seperti seseorang yang masih buta. Emily terdiam, hatinya penuh dengan perasaan kepasrahan. Semua yang ia percayai runtuh begitu saja. Sekarang, ia tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana menjalani hidupnya ke depan saat harus bersama William. William, dengan tongkat penuntunnya, berjalan perlahan mendekati Emily. Tanpa ragu, pria itu menarik Emily ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam hati istrinya. “Andai kau bisa lebih bersabar sedikit untuk tidak menemui orang tuamu dulu, aku tidak perlu melihat kau makin f
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu hening. Emily menatap kosong keluar jendela, pikirannya benar-benar berantakan. Sementara itu, William terus menggenggam tangannya, memberikan kehangatan yang ia harap bisa sedikit menguatkan istrinya itu. William tidak meminta Emily untuk kuat. Ia tidak mengucapkan kata-kata penyemangat klise yang hanya akan terdengar hampa di telinga istrinya. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus rasa sakit yang tengah dirasakan Emily saat ini. Ketika mobil berhenti di lampu merah, William menarik napas dalam dalam. Ia lalu merangkul Emily, mendekap tubuh mungil itu dalam hangat pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Emily, jarinya mengusap rambut wanita itu dengan penuh kasih sayang. Emily terdiam di dalam pelukan itu. Air matanya yang sempat terhenti kini kembali mengalir, membasahi pipinya. Tapi kali ini, ia tidak berusaha menyembunyikannya
Sore itu, di kamar William dan juga Emily. Emily menggeliat pelan, mencoba menggeser tubuhnya, tapi segera meringis. Pinggangnya terasa sakit sekali. Ia melirik ke samping, mendapati William masih memeluknya erat, seolah tidak ingin membiarkannya pergi. Pakaian mereka berserakan di lantai, sementara tubuh mereka hanya terbungkus selimut tebal. Wajah Emily memerah saat mengingat kejadian gila di siang bolong itu. “Kau yang memprovokasi duluan. Jangan memasang wajah marah,” ucap William santai, mengeratkan pelukannya. Emily mendengus kesal, tapi wajahnya tetap bersemu merah. Jelas aja dia masih merasa malu, tapi lebih daripada itu, ia menyadari sesuatu. Setelah perasaannya dibuat kacau balau oleh situasi, nyatanya ia tidak menangis lagi. William berhasil mengalihkan pikirannya dari semua kesedihan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ah, lebih baik fokus pada pembicaraan mereka kali ini. “Jangan senyum-senyum seperti itu.” Emily mendorong dada William deng
Pesawat pribadi yang membawa William dan Emily akhirnya mendarat di sebuah negara yang hanya diketahui oleh mereka berdua dan Robert. Semua persiapan telah diatur dengan matang, perjalanan ini dirahasiakan sepenuhnya agar tidak ada satupun orang yang mengikuti dan mengganggu William dan Emily. Begitu turun dari pesawat, udara segar langsung menyambut mereka. “Wah... ternyata udaranya nyaman juga,” ucap Emily. Emily menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. William di sampingnya terlihat lebih santai dari biasanya. Tidak ada tongkat penuntun, tidak ada akting sebagai pria buta. Hanya dirinya yang sebenarnya. Saat mereka sampai di villa pribadi yang sudah disiapkan, William meletakkan kopernya di sudut kamar dan langsung duduk di tepi ranjang. “Ternyata dalamnya bersih dan nyaman,” ujar William. Emily memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanya
Berbeda dengan William dan Emily yang tengah menjalani hari dengan tujuan bahagia, Hendrick yang tengah kesal itu melemparkan botol wine kosong ke sofa dengan kasar. Napasnya memburu, wajahnya memerah menahan amarah. Rencana yang ia susun dengan hati-hati selama ini kembali gagal. Semua orang terasa tidak memiliki kemampuan. Semua orang yang ia suruh seperti manusia tanpa guna. “Dasar orang tua bodoh!” geramnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. “Mereka bahkan tidak bisa mempengaruhi putri mereka sendiri! Mereka bosan hidup nyaman rupanya.” Saat ini dia tengah melakukannya panggilan telepon dengan Kelly. Mendengar kemarahan Hendrick, Kelly benar-benar hanya bisa memakluminya saja. “Kau terlalu terburu-buru, Hendrick,” ucap Kelly dengan nada dingin. “Emily bukan wanita lemah yang mudah dibodohi seperti dulu. Apalagi ada William di sisinya. Ini pasti akan sulit, tapi kita juga tidak boleh menyerah.” Hendri
Malam itu, langit dihiasi taburan bintang yang berkelip lembut. Nampak begitu indah, sukses memanjakan mata. Udara sejuk menyelusup di antara dedaunan yang bergoyang pelan, menciptakan harmoni alam yang damai menenangkan. Di sebuah restoran mewah bertema outdoor di puncak bukit, Emily dan William duduk berhadapan di bawah lampu-lampu gantung berbentuk lentera yang memancarkan cahaya hangat. Mereka begitu romantis. Emily tersenyum, matanya berbinar memandangi hidangan berjejeran di hadapannya. “Aku masih tidak percaya kau memilih tempat seperti ini. Rasanya seperti adegan dalam film, deh.” William meletakkan gelas anggurnya dan menatap Emily penuh kelembutan. “Aku hanya ingin kita memiliki malam yang benar-benar kita ingat. Setelah semua yang kita lalui… kita pantas mendapatkan sedikit kebahagiaan ini.” Emily terdiam sesaat, hatinya terasa menghangat. Ia mengingat momen-momen sulit yang m
Berbeda dengan William dan Emily yang tengah menjalani hari dengan tujuan bahagia, Hendrick yang tengah kesal itu melemparkan botol wine kosong ke sofa dengan kasar. Napasnya memburu, wajahnya memerah menahan amarah. Rencana yang ia susun dengan hati-hati selama ini kembali gagal. Semua orang terasa tidak memiliki kemampuan. Semua orang yang ia suruh seperti manusia tanpa guna. “Dasar orang tua bodoh!” geramnya sambil mengusap wajahnya dengan kasar. “Mereka bahkan tidak bisa mempengaruhi putri mereka sendiri! Mereka bosan hidup nyaman rupanya.” Saat ini dia tengah melakukannya panggilan telepon dengan Kelly. Mendengar kemarahan Hendrick, Kelly benar-benar hanya bisa memakluminya saja. “Kau terlalu terburu-buru, Hendrick,” ucap Kelly dengan nada dingin. “Emily bukan wanita lemah yang mudah dibodohi seperti dulu. Apalagi ada William di sisinya. Ini pasti akan sulit, tapi kita juga tidak boleh menyerah.” Hendri
Pesawat pribadi yang membawa William dan Emily akhirnya mendarat di sebuah negara yang hanya diketahui oleh mereka berdua dan Robert. Semua persiapan telah diatur dengan matang, perjalanan ini dirahasiakan sepenuhnya agar tidak ada satupun orang yang mengikuti dan mengganggu William dan Emily. Begitu turun dari pesawat, udara segar langsung menyambut mereka. “Wah... ternyata udaranya nyaman juga,” ucap Emily. Emily menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. William di sampingnya terlihat lebih santai dari biasanya. Tidak ada tongkat penuntun, tidak ada akting sebagai pria buta. Hanya dirinya yang sebenarnya. Saat mereka sampai di villa pribadi yang sudah disiapkan, William meletakkan kopernya di sudut kamar dan langsung duduk di tepi ranjang. “Ternyata dalamnya bersih dan nyaman,” ujar William. Emily memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanya
Sore itu, di kamar William dan juga Emily. Emily menggeliat pelan, mencoba menggeser tubuhnya, tapi segera meringis. Pinggangnya terasa sakit sekali. Ia melirik ke samping, mendapati William masih memeluknya erat, seolah tidak ingin membiarkannya pergi. Pakaian mereka berserakan di lantai, sementara tubuh mereka hanya terbungkus selimut tebal. Wajah Emily memerah saat mengingat kejadian gila di siang bolong itu. “Kau yang memprovokasi duluan. Jangan memasang wajah marah,” ucap William santai, mengeratkan pelukannya. Emily mendengus kesal, tapi wajahnya tetap bersemu merah. Jelas aja dia masih merasa malu, tapi lebih daripada itu, ia menyadari sesuatu. Setelah perasaannya dibuat kacau balau oleh situasi, nyatanya ia tidak menangis lagi. William berhasil mengalihkan pikirannya dari semua kesedihan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ah, lebih baik fokus pada pembicaraan mereka kali ini. “Jangan senyum-senyum seperti itu.” Emily mendorong dada William deng
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu hening. Emily menatap kosong keluar jendela, pikirannya benar-benar berantakan. Sementara itu, William terus menggenggam tangannya, memberikan kehangatan yang ia harap bisa sedikit menguatkan istrinya itu. William tidak meminta Emily untuk kuat. Ia tidak mengucapkan kata-kata penyemangat klise yang hanya akan terdengar hampa di telinga istrinya. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus rasa sakit yang tengah dirasakan Emily saat ini. Ketika mobil berhenti di lampu merah, William menarik napas dalam dalam. Ia lalu merangkul Emily, mendekap tubuh mungil itu dalam hangat pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Emily, jarinya mengusap rambut wanita itu dengan penuh kasih sayang. Emily terdiam di dalam pelukan itu. Air matanya yang sempat terhenti kini kembali mengalir, membasahi pipinya. Tapi kali ini, ia tidak berusaha menyembunyikannya
Begitu Emily melangkah keluar dari rumah orang tuanya, udara dingin seketika itu langsung menyambutnya. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi air matanya masih menggenang di pelupuk matanya. William yang sejak tadi menunggu di luar, segera berdiri dan mendekatinya. Ekspresi wajahnya tetap seperti biasa, tenang dan tak terbaca, seperti seseorang yang masih buta. Emily terdiam, hatinya penuh dengan perasaan kepasrahan. Semua yang ia percayai runtuh begitu saja. Sekarang, ia tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana menjalani hidupnya ke depan saat harus bersama William. William, dengan tongkat penuntunnya, berjalan perlahan mendekati Emily. Tanpa ragu, pria itu menarik Emily ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam hati istrinya. “Andai kau bisa lebih bersabar sedikit untuk tidak menemui orang tuamu dulu, aku tidak perlu melihat kau makin f
Emily berdiri dengan lemah di ruang keluarga, tatapannya nanar menembus kedua orang tuanya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya tanpa bisa dihentikan lagi. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan, tapi karena sakit hati yang menghimpit dadanya. Bahkan kata ‘sakit’ tidak cukup untuk menggambarkannya. “Emily, kami melakukannya juga untuk kelangsungan kehidupan kita. Kami juga ingin memberikan kehidupan yang layak untukmu dan juga Sean,” sergah Julia yang tidak ingin terus-menerus mendengar Emily menyalahkannya. Alasan itu tidak bisa Emily terima. Kalau tahu akan jadi begini, tentu saja dia lebih memilih hidup miskin, serba kekurangan. “Dari awal, kalian berdua sudah salah!” Emily berteriak, suaranya penuh dengan kepedihan dan frustrasi. “Aku bisa memahami kalau kalian dulu kesulitan ekonomi, tapi sekarang? Sekarang semua sudah membaik, tapi kalian tidak berhenti juga! Kalian malah terus mel
Pertanyaan dari Emily itu membuat Julia mendelik kesal. Langsung saja Julia menarik tangan Emily dengan kasar, membawanya ke ruang tengah, menjauh dari para pelayan dan orang-orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Johan menyusul, meskipun ia tidak berniat terlalu banyak ikut campur dalam pembicaraan itu. Begitu sampai di ruangan itu, Julia berbalik, menatap Emily dengan tatapan tajam penuh peringatan. “Kenapa Ibu menyembunyikan ini dariku? Kenapa kalian berdua ikut andil dalam melukai William selama ini?” suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang begitu besar menguasainya. Julia terdiam. Matanya melirik ke arah Johan, berharap suaminya bisa memberikan jawaban, tapi Johan hanya duduk pasrah, memilih untuk tidak banyak bicara. Emily melangkah mendekati Ibunya, matanya menatap penuh luka dan penghianatan. “Apakah tidak cukup bagi kalian berdua menyakiti ibunya William? Kenapa harus William juga?” tanya Emily lirih. “Benarkah Ayah dan Ibu adal
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Emily dari tidurnya. Begitu matanya terbuka, dia terkejut melihat William sudah bangun dan duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Tatapan William begitu lembut, tapi ada sesuatu di dalamnya, seperti sebuah emosi yang sulit ditebak. “Tatapan macam apa itu? Jelas dia sedang kesal,” batin Emily. Ia pun hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, William tiba-tiba tersenyum dan mengusap wajah Emily dengan lembut, membuatnya sedikit terkejut. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu mengecup keningnya dengan penuh kasih dan lembut. “Selamat pagi, istriku,” ujar William, suaranya terdengar dalam dan menenangkan. Emily masih diam, hatinya dipenuhi dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. William lalu berkata, “Aku ingin mengajakmu liburan. Kita bisa menenangkan diri selama beber