Pertanyaan Emily barusan seakan menghantam dada William dengan keras. Ia menghela napas panjang, lalu tanpa ragu menangkup wajah istrinya, menatap dalam-dalam mata bening itu.
“Aku mencintaimu, Emily,” ucap William, suaranya terdengar begitu tulus. “Aku benar-benar tidak tahu sejak kapan perasaan ini tumbuh, tapi aku sadar bahwa bersamamu adalah kebahagiaan bagiku. Namun, kebahagiaan itu bukan berarti aku harus menekan rasa sakit ku juga.”Emily menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Ia tahu ada sesuatu yang masih disembunyikan William.“Tapi Kenapa waktu itu kau mendiamkan ku?” tanya Emily lagi, suaranya mengandung kekecewaan yang besar.William langsung terdiam.Pertanyaan itu adalah sesuatu yang selama ini ia ingin hindari. Tapi kemudian ia teringat pesan dari Tuan Xavier, bahwa ia harus jujur, bahwa ia tidak boleh membiarkan Emily terus meragukannya.“Aku sempat terkejut mengetahui sebuah kebenaran di masa lalu... BukaTangisan Emily semakin kencang, menggema di seluruh ruangan. Tubuhnya bergetar hebat di dalam pelukan William, seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang begitu menyakitkan. “William... bencilah aku! Kumohon, maki aku sebanyak yang kau bisa!” seru Emily dengan suara yang penuh kepedihan. Namun, bukannya menjauh, William justru mencengkram kedua pundak Emily dengan kuat, membuat Emily menatap langsung ke dalam matanya. Tatapan William begitu tajam, tegas, dan penuh keteguhan hati. “Emily, Jangan pernah bicara seperti itu lagi!” suara William dalam dan tegas, membuat Emily semakin terisak pilu. Azura yang ada di dalam kamar ujung mendengar suara tangisan itu. Ia terkejut dan segera keluar dari kamarnya, berdiri di depan pintu kamar William dan Emily tanpa mengetuk. Ia hanya ingin memastikan keadaan sahabatnya baik-baik saja tanpa ingin mengganggu mereka. “Apa hal seperti ini biasa terjadi?” gumam Azura, pelan.
Pagi itu, sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membangunkan Emily dari tidurnya. Begitu matanya terbuka, dia terkejut melihat William sudah bangun dan duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Tatapan William begitu lembut, tapi ada sesuatu di dalamnya, seperti sebuah emosi yang sulit ditebak. “Tatapan macam apa itu? Jelas dia sedang kesal,” batin Emily. Ia pun hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, William tiba-tiba tersenyum dan mengusap wajah Emily dengan lembut, membuatnya sedikit terkejut. Tanpa mengatakan apa pun, pria itu mengecup keningnya dengan penuh kasih dan lembut. “Selamat pagi, istriku,” ujar William, suaranya terdengar dalam dan menenangkan. Emily masih diam, hatinya dipenuhi dengan banyak pertanyaan yang belum terjawab. William lalu berkata, “Aku ingin mengajakmu liburan. Kita bisa menenangkan diri selama beber
Pertanyaan dari Emily itu membuat Julia mendelik kesal. Langsung saja Julia menarik tangan Emily dengan kasar, membawanya ke ruang tengah, menjauh dari para pelayan dan orang-orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Johan menyusul, meskipun ia tidak berniat terlalu banyak ikut campur dalam pembicaraan itu. Begitu sampai di ruangan itu, Julia berbalik, menatap Emily dengan tatapan tajam penuh peringatan. “Kenapa Ibu menyembunyikan ini dariku? Kenapa kalian berdua ikut andil dalam melukai William selama ini?” suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang begitu besar menguasainya. Julia terdiam. Matanya melirik ke arah Johan, berharap suaminya bisa memberikan jawaban, tapi Johan hanya duduk pasrah, memilih untuk tidak banyak bicara. Emily melangkah mendekati Ibunya, matanya menatap penuh luka dan penghianatan. “Apakah tidak cukup bagi kalian berdua menyakiti ibunya William? Kenapa harus William juga?” tanya Emily lirih. “Benarkah Ayah dan Ibu adal
Emily berdiri dengan lemah di ruang keluarga, tatapannya nanar menembus kedua orang tuanya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya tanpa bisa dihentikan lagi. Napasnya tersengal, bukan karena kelelahan, tapi karena sakit hati yang menghimpit dadanya. Bahkan kata ‘sakit’ tidak cukup untuk menggambarkannya. “Emily, kami melakukannya juga untuk kelangsungan kehidupan kita. Kami juga ingin memberikan kehidupan yang layak untukmu dan juga Sean,” sergah Julia yang tidak ingin terus-menerus mendengar Emily menyalahkannya. Alasan itu tidak bisa Emily terima. Kalau tahu akan jadi begini, tentu saja dia lebih memilih hidup miskin, serba kekurangan. “Dari awal, kalian berdua sudah salah!” Emily berteriak, suaranya penuh dengan kepedihan dan frustrasi. “Aku bisa memahami kalau kalian dulu kesulitan ekonomi, tapi sekarang? Sekarang semua sudah membaik, tapi kalian tidak berhenti juga! Kalian malah terus mel
Begitu Emily melangkah keluar dari rumah orang tuanya, udara dingin seketika itu langsung menyambutnya. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi air matanya masih menggenang di pelupuk matanya. William yang sejak tadi menunggu di luar, segera berdiri dan mendekatinya. Ekspresi wajahnya tetap seperti biasa, tenang dan tak terbaca, seperti seseorang yang masih buta. Emily terdiam, hatinya penuh dengan perasaan kepasrahan. Semua yang ia percayai runtuh begitu saja. Sekarang, ia tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana menjalani hidupnya ke depan saat harus bersama William. William, dengan tongkat penuntunnya, berjalan perlahan mendekati Emily. Tanpa ragu, pria itu menarik Emily ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam hati istrinya. “Andai kau bisa lebih bersabar sedikit untuk tidak menemui orang tuamu dulu, aku tidak perlu melihat kau makin f
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil begitu hening. Emily menatap kosong keluar jendela, pikirannya benar-benar berantakan. Sementara itu, William terus menggenggam tangannya, memberikan kehangatan yang ia harap bisa sedikit menguatkan istrinya itu. William tidak meminta Emily untuk kuat. Ia tidak mengucapkan kata-kata penyemangat klise yang hanya akan terdengar hampa di telinga istrinya. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus rasa sakit yang tengah dirasakan Emily saat ini. Ketika mobil berhenti di lampu merah, William menarik napas dalam dalam. Ia lalu merangkul Emily, mendekap tubuh mungil itu dalam hangat pelukannya. Dengan lembut, ia mengecup puncak kepala Emily, jarinya mengusap rambut wanita itu dengan penuh kasih sayang. Emily terdiam di dalam pelukan itu. Air matanya yang sempat terhenti kini kembali mengalir, membasahi pipinya. Tapi kali ini, ia tidak berusaha menyembunyikannya
Sore itu, di kamar William dan juga Emily. Emily menggeliat pelan, mencoba menggeser tubuhnya, tapi segera meringis. Pinggangnya terasa sakit sekali. Ia melirik ke samping, mendapati William masih memeluknya erat, seolah tidak ingin membiarkannya pergi. Pakaian mereka berserakan di lantai, sementara tubuh mereka hanya terbungkus selimut tebal. Wajah Emily memerah saat mengingat kejadian gila di siang bolong itu. “Kau yang memprovokasi duluan. Jangan memasang wajah marah,” ucap William santai, mengeratkan pelukannya. Emily mendengus kesal, tapi wajahnya tetap bersemu merah. Jelas aja dia masih merasa malu, tapi lebih daripada itu, ia menyadari sesuatu. Setelah perasaannya dibuat kacau balau oleh situasi, nyatanya ia tidak menangis lagi. William berhasil mengalihkan pikirannya dari semua kesedihan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ah, lebih baik fokus pada pembicaraan mereka kali ini. “Jangan senyum-senyum seperti itu.” Emily mendorong dada William deng
Pesawat pribadi yang membawa William dan Emily akhirnya mendarat di sebuah negara yang hanya diketahui oleh mereka berdua dan Robert. Semua persiapan telah diatur dengan matang, perjalanan ini dirahasiakan sepenuhnya agar tidak ada satupun orang yang mengikuti dan mengganggu William dan Emily. Begitu turun dari pesawat, udara segar langsung menyambut mereka. “Wah... ternyata udaranya nyaman juga,” ucap Emily. Emily menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan yang sudah lama tidak ia rasakan. William di sampingnya terlihat lebih santai dari biasanya. Tidak ada tongkat penuntun, tidak ada akting sebagai pria buta. Hanya dirinya yang sebenarnya. Saat mereka sampai di villa pribadi yang sudah disiapkan, William meletakkan kopernya di sudut kamar dan langsung duduk di tepi ranjang. “Ternyata dalamnya bersih dan nyaman,” ujar William. Emily memperhatikannya dengan tatapan penuh pertanya
Emily menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum membuka pintu kamar Elle dengan hati-hati. Dalam pikirannya, dia yakin William pasti tertidur di samping Elle. Namun, saat dia melangkah masuk, dia justru menemukan William duduk di tepi tempat tidur, melamun sambil menatap jendela yang sedikit terbuka. Emily mengerutkan kening. Ini bukan pemandangan yang biasa. William bukan tipe pria yang suka melamun, apalagi di malam hari seperti ini. “Kenapa dia melamun begitu?” batin Emily. “William?” panggilnya pelan. Pria itu tidak langsung merespon. Dia masih terdiam, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Emily mendekat, lalu duduk di sampingnya. “Kau kenapa?” tanyanya, mencoba mencari tahu apa yang membuat suaminya terlihat begitu serius. William akhirnya menoleh, menatap Emily dengan mata yang terlihat sedikit lelah. Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Aku baru
“... William, jangan lupa kalau nyawaku juga akan dipertaruhkan.” Mendengar itu, William pun mengerutkan keningnya. “Kenapa kau mempertaruhkan nyawa? Apa kau pikir aku memintamu pergi ke Medan perang?” Emily terdiam. Melihat bagaimana ekspresi William, jelas saja pria itu tidak memahami apa resiko kehamilan yang hanya akan terjadi pada wanita. Ia pun menghela napas, memeluk tengkuk William dan menjelaskan. “Melahirkan itu benar-benar bentuk penyiksaan yang sakitnya bahkan seperti ingin mati. Apa kau pernah membayangkan bagiamana bisa bayi itu keluar dari vagin*? Bukankah artinya sama dengan menghancurkan vagin*. Walaupun aku melahirkan secara sesar, sakitnya juga luar biasa. Aku harus punya cacat kulit di perutku.” William menelan ludah. Dia memang tidak pernah memikirkan soal itu. Semuanya terlalu cepat. Emily kembali ke sisinya setelah Elle berusia tiga setengah tahun, proses kehamilan yang tidak dia lihat secara langsu
Sore itu, kala jam kerja selesai. Emily berdiri membeku di depan pintu utama JB fashion. Jantungnya berdetak begitu kencang saat melihat sosok William berdiri tegap, dan di sampingnya, Elle melompat kegirangan sambil melambaikan tangan. “Ibu!” seru Elle dengan suaranya yang nyaring. Seruan itu menarik perhatian banyak orang. Para pegawai JB fashion yang baru saja keluar dari gedung mulai berbisik-bisik, tatapan mereka tertuju pada Emily yang terlihat bingung Dan panik. Arthur yang berdiri di sampingnya hanya menghela napas pelan. “Suami dan anakmu sudah menunggu. Kenapa kau masih berdiri di sini?” tanyanya dengan santai. Emily menelan ludah. Rasanya seakan seluruh dunia kini memperhatikannya. Dia tidak menyangka William akan datang ke kantor, apalagi membawa serta Elle. Ini sama saja dengan sebuah pengumuman besar bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan biasa antara dirinya dan William. “Ya ampun
“Aku harus menjelaskan ini sebenarnya. Tapi, William tidak mengizinkan ku ikut campur lebih banyak. Padahal, semua ini bermula dariku juga,” jawab Emily. Arthur tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Pria bernama William itu pasti sangat mencintaimu. Sudah bertahun-tahun ditinggal olehmu, dia masih setia menunggumu, dan bahkan langsung mengenalimu yang sudah totalitas dalam menyamar.” Emily tersenyum. “Aku menyesali pola pikirku yang saat itu sangat labil. Tapi, situasi sekarang ini juga masih bisa terbilang tidak baik untuk kami.”Arthur menganggukkan kepalanya, Dia sedikit memahami. “Yah... Anastasia pasti merasa sangat marah dan kecewa. Padahal sudah menghabiskan waktunya untuk mengharapkan cinta dari suamimu, tapi harus berakhir dengan cinta yang bertepuk sebelah tangan.”Emily menghela napasnya. “William membiarkan wanita itu berada di sekitarnya terus-menerus lemah hampir 4 tahun. Bagaimanapun, William juga bersalah karena tidak ber
Robert mengerutkan keningnya, tidak menyangka kalau Azura benar-benar akan bersikap sangat dingin seperti ini padanya. “Barusan, kau sedang mengusirku?” tanya Robert, ekspresi tak percaya masih nampak jelas di wajahnya. Azura mengepalkan tangannya. Ia pun menatap Robert dengan tatapan yang tajam. “Menurut anda, setelah makian yang anda berikan kepada ku sebelumnya mudah untuk dilupakan? Siapapun orangnya pasti akan mendendam.” Mendengar itu, Robert pun menghela napas. “Terserah kau saja. Mendendam atau tidak, itu bukan urusan ku.” Azura makin kesal. Tanpa mengatakan apapun lagi, ia bangkit dari duduknya, dan meninggalkan Robert begitu saja. “Aku benar-benar bodoh karena pernah menyukai pria sialan ini,” batin Azura. Robert berdecih kesal, tidak menyangka kalau ada masanya dia diperlakukan dengan dingin oleh wanita yang dia anggap tidak ada apa-apanya. Ia pun bangkit dari duduknya, meninggalkan cafe milik
Mendengar Emily sudah kembali, Nyonya dan Tuan besar meminta izin untuk bertemu. William sudah menolaknya. Dia tidak ingin Emily dipengaruhi lagi. Namun, Nyonya besar sudah berjanji tidak akan melakukan itu lagi, akhirnya William memperbolehkan Nyonya besar menemui Emily dan Elle. Di ruang tengah, tempat itu menjadi saksi Nyonya besar nampak tertunduk lesu. Wajahnya yang dulunya selalu terlihat tegas dan arogan kini menatap tak berdaya. Sudah empat tahun lebih tidak bertemu William dan Emily, wanita itu kini nampak tak mampu lagi menutupi kerapuhan dibalik wajahnya yang keriput. “Maaf... kalian berdua pasti sangat tidak nyaman dengan kedatangan Nenek. Tapi, mumpung masih ada kesempatan, Nenek ingin meminta maaf kepada kalian berdua,” ucap Nyonya besar, suaranya lemah. Tuan besar mengusap punggung istrinya dengan lembut. Dua tahun belakangan ini Nyonya besar mengalami penurunan kesehatan yang makin mengkhawa
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,