Share

45. Luna

Penulis: Tari suhendri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-24 11:30:24

Mobil berhenti di dalam parkiran sebuah gedung perkantoran di pinggir kota Boston. Aku curiga kantor ini juga milik James.

"Ayo turun," titah James dingin.

Aku cepat membuka pintu dan mengikuti berjalan dibelakangnya. Dua penjaga bertubuh bongsor langsung turun dari sebuah mobil jeep dan mengikuti dibelakangku.

Bulu romaku meremang. Sikap James seketika berbeda saat sudah sampai disini. Dia menjadi dingin dan terlihat kejam. Aku sedang berpikir untuk mencoba kabur tapi aku harus melihat apa yang ingin James tunjukkan padaku.

Dalam hati kecilku, kepercayaan masih tersimpan untuknya.

Kami menyusuri basemen di bawah area parkir gedung itu. Semakin gelap saat sampai di anak tangga terakhir. Kedua penjaga dibelakangku langsung menyalakan senter.

Aku sebenarnya ingin berjalan sejajar dengan James dan menggandeng tangannya. Aku takut dengan sikapnya yang dingin saat ini.

James berhenti di ujung tembok, lalu berbelok ke sebuah ruangan bercahaya remang. Aku langsung mengikutinya dan memperhat
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Gairah Paman Sahabatku   46. Luka lainnya

    " Luna, katakan saja," pintaku lembut. Aku ingin ini segera selesai dan akan mencoba membujuk James mengobati Luna."Dia seorang mucikari?" tanya James tak sabar. Mata Luna melebar karena terkejut, lalu dia pun menunduk malu. "Lalu kenapa Daisy dibunuh?" "Itu tidak sengaja," Luna mengakui, kelihatannya dia berkata jujur. "Maksudmu?""Saat itu aku datang mencari Alice. Tapi ternyata dia tidak ada disana. Aku sudah merasa lega sampai orang suruhan ayahku datang. Dia begitu marah dan memukuli aku. Entah dari mana Daisy langsung memukul pria itu sampai dia tersungkur. Aku mencoba menyelamatkan Daisy, tapi dia tertembak saat kami akan melompati jendela. Aku terpaksa melarikan diri sendirian," Aku merasa lega ternyata bukan James yang membuat Luna babak belur. Juga karena bukan dia yang membunuh Daisy. Aku tau dia orang baik. "Tapi bagaimana kau tau ayahku mucikari?" tanya Luna keheranan pada James."Itu mudah, aku sudah mengikutimu sejak lama. Bahkan sebelum kau masuk Harvard," jawab

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-24
  • Gairah Paman Sahabatku   47. kosong

    Sudah dapat ditebak kemana James akan membawaku. Rumah pinjamannya yang sudah aku tinggalkan selama beberapa bulan belakangan.Tapi James tidak membawaku kesana, hanya dia yang turun lalu masuk lagi ke dalam mobil. Aku terlalu lelah dan kecewa untuk bertanya. Mobil melaju cepat melewati jalanan Boston yang lengang. Sangking mengantuknya, aku pun tidak sadar telah tertidur dengan mata yang masih basah. Jika bisa memilih, aku rasanya tidak ingin bangun lagi.Dalam mimpi saja aku masih bisa merasakan sakit yang teramat sangat hingga membuat nafasku sesak. Apalagi ketika aku bangun nanti, pasti akan lebih sakit. Sempat beberapa kali terbangun, yang aku rasakan hanya hangat dan tangan berat yang memelukku. Lalu aku pun terlelap lagi.Sebuah cahaya silau memaksaku bangun. Kehangatan menyusup dari balik selimutku yang tersingkap. Setelah mengerjapkan mata beberapa kali, aku memutuskan untuk bangun. Benar saja, hatiku masih terasa sakit. Kali ini, rasa sakitnya berlipat ganda. Mungkin kare

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-26
  • Gairah Paman Sahabatku   48. Cemburu buta

    "Siapa dia? Apa kau mengajakku kesini untuk mengenalkan wanita barumu hah?" Kekesalanku menjadi-jadi. Wanita itu nampak ketakutan dan berlari ke dalam rumah. Ingin sekali aku mengejar dan menjambak rambutnya. Tapi urusanku dengan James harus segera diselesaikan."Aku bahkan tidak mengenalnya, Alice!" elak James dengan wajah bingung.Aku menyeringai sambil bertepuk tangan, "bagus sekali, apa kau sudah menjadi aktor hollywood belakangan? Pandai sekali kau bersandiwara!" "Sayang," James maju hendak memelukku tapi aku mundur dan menepis tangannya dengan kekuatan penuh."Aduh!, sejak kapan kau berlatih beladiri sayang? Sakit sekali," keluh James memegangi tangannya yang memerah."Sejak kau menjadi pria brengsek!" dengusku kesal.Keributan terdengar dari dalam rumah. Aku terus menatap James dengan pandangan mematikan. Rasanya ingin sekali aku mencari benda yang bisa kujadikan alat untuk memukulinya."Aku benar-benar tidak mengenalnya sayang, sumpah!" James memohon dengan wajah yang merah.

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-27
  • Gairah Paman Sahabatku   49. Hadiah-hadiah

    Frans keluar dari kamarnya dengan menyembunyikan tangan. Senyuman jahil terpancar dari wajahnya. Setelah duduk dan memasang wajah serius, dia pun menunjukkan sesuatu yang membuatku terkejut."Kau akan menikah dalam waktu dekat?" tanyaku yang entah mengapa merasa bahagia. Frans mengangguk antusias, "kau suka?""Selamat Frans!" seruku gembira.James berdecak tak suka, "ayolah sayang, apakah menurutmu undangan dari Frans merupakan kado yang bagus?" Aku mengabaikan James. Frans lalu memberikan hadiah lain dari dalam sebuah paper bag bekas. "Terima kasih kau sudah menganggap undangan itu kado yang bagus, Alice. Aku terharu," ucap Frans dengan air mata buaya. "Tapi bukan itu kadonya," Tambah Frans seraya memberikanku sebuah kotak perhiasan."Pertama, ini dariku. Dan yang ini kau bisa melihat catatannya," "Oke, terima kasih Frans," gumamku terharu memeluk kotak perhiasan itu.Sebuah gelang perak cantik dengan berbagai bandul yang lucu. Aku ingat pernah menginginkan gelang ini saat kami

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-29
  • Gairah Paman Sahabatku   50. kebenaran

    "Bagaimana kabarmu?" tanyaku pada Luna yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Sebenarnya aku masih merasa jijik melihatnya, tapi kutepis sebentar untuk menjenguknya. Setidaknya, persahabatan kami bukan kepalsuan. Entah bagi Luna begitu atau tidak.James berdiri tak sabar didekat jendela dengan wajah datar. Dia tampak tidak peduli sama sekali pada Luna yang masih memiliki luka lebam disekujur tubuhnya." Sudah lebih baik, Alice. Terima kasih masih mau menemui aku," jawab Luna dengan suara serak.Aku tidak tersenyum ataupun bersimpati. Mengingat pekerjaan yang Luna lakoni selama ini telah memakan banyak korban. Gadis-gadis yang memiliki orang-orang yang menyayangi mereka. Masa depan yang direngut secara paksa. Juga kebebasan yang dirampaa. "Ceritakan," pintaku langsung keintinya.Luna memejamkan mata seraya menghela nafas berat. Matanya mulai berkaca-kaca dengan alis yang turun. "Aku sebenarnya sangat bersyukur ada disini sekarang," kata Luna sedih, suaranya bergetar heb

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-30
  • Gairah Paman Sahabatku   51. Terbawa mimpi

    Aku dan James begitu tegang saat berada didalam mobil. Setelah mengetahui kisah sebenarnya dari Luna tadi. Mereka salah, dan sudah terjerumus terlalu dalam. Hingga merasa sangat beruntung jika polisi menangkapnya. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Menyerahkan Luna pada polisi tidak memberi jaminan dia akan selamat. Bisa saja Luna dibebaskan oleh bos besar mereka sebelum sidang dan itu sangat berbahaya."Sayangnya, aku tidak tau dimana markas besar itu. Aku hanya bekerja dilingkungan kerja ayahku," Begitulah kesaksian dari Luna sebelumnya. Tapi yang menjadi teka-teki dari itu semua adalah, apa hubungan semua kejadian ini dengan James yang ikut terlibat. Bahkan dia harus beradegan mesra dengan Luna untuk mendapatkan informasi. Hal itu masih mengganjal di hatiku."Jadi sayang, apakah ada yang ingin kau tanyakan padaku?" tanya James lembut sambil mengelus rambutku. Aku menggeleng lemah. Bukan tipeku untuk menginterogasi seseorang. Jika dia ingin cerita ya ceritakan saja bukan?"

    Terakhir Diperbarui : 2024-01-31
  • Gairah Paman Sahabatku   52. Luluh

    "Dari mana kau mendapatkan ini?""Saat fashion show waktu itu," "Lalu apa yang kau tau tentangnya?'" Dia ada di mimpiku James! Ozi! Dia paman kandung Daisy!" raungku ketakutan.James langsung memelukku erat dan membopongku kekamar. Dalam keadaan begini pun aku masih bisa mempertanyakan bagaimana bisa James menggendongku sambil menaiki tangga?Setelah merebahkan aku diranjang, James memberikan ku minum. Menungguku hingga tenang dan mulai bertanya perlahan."Kau bermimpi?" tanya James lemah lembut. Aku mengangguk."Apa cerita Luna membuatmu ketakutan hingga memimpikannya?" "Ya, aku begitu ketakutan atau mungkin obsesi?" jawabku bingung. Ozi tidak ada dalam cerita Luna. "Tenanglah sayang, setidaknya kau sudah membantu menemukan salah satu petinggi mereka," "Tapi James, siapa Ozi?" "Dia salah satu pemilik perusahaan agensi amerika. Aku tidak pernah mencurigai nya sebagai salah satu tersangka," "Apakah dia menjadikan talent nya sebagai korban juga?' Tanyaku takut, karena beberapa te

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Gairah Paman Sahabatku   53. kisah James kecil

    James terus menatapku tanpa bergeming. Seolah takut aku akan menghilang seperti asap di depan matanya. Dia terlihat gigih ingin berbicara denganku.Aku masih duduk memeluk lutut, sambil menatap langit cerah penuh bintang. Setelah lama berdiam diri, akhirnya kuputuskan untuk kembali ke ranjang yang empuk dan nyaman. "Alice, bisa kita bicara sekarang? Aku sangat tersiksa," James memohon padaku dengan wajah memelas."Membicarakan apa?" tanyaku dingin. "Tentang kita,"Aku tersenyum getir, dadaku bergemuruh karena merasa situasi ini konyol dan tidak tepat. Banyak sekali rasa sakit yang aku pendam sendiri."Aku bahkan tidak tau ingin bicara apa denganmu," jawabku dengan suara rendah.James mengikutiku naik ke atas ranjang dan duduk berhadapan. Matanya menyorotkan keseriusan yang tidak dapat ditolak.Aku menghela nafas dalam sambil memejamkan mata. Sulit sekali menepis bayangan James di dalam hatiku yang merindukannya."Baiklah, mari bicara," kataku akhirnya mengalah."Maafkan aku, sungguh

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04

Bab terbaru

  • Gairah Paman Sahabatku   93. past

    "jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.

  • Gairah Paman Sahabatku   92. Pembajak

    "sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan

  • Gairah Paman Sahabatku   91. Insiden

    Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora

  • Gairah Paman Sahabatku   90. Diskusi

    "Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa

  • Gairah Paman Sahabatku   89. Rumah sakit

    Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se

  • Gairah Paman Sahabatku   88. Tujuan yang sama

    "sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk

  • Gairah Paman Sahabatku   87. Bella

    Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja

  • Gairah Paman Sahabatku   86. pesona

    Pagi ini berlangsung menyenangkan. Karena si pria megalomaniak itu sudah pergi ke kantor lebih dulu. Aku akhirnya bisa mandi dan sarapan dengan tenang. Beberapa pesan tak penting dari James hanya kubaca sekilas tanpa membalasnya. Aku tak ingin mengganggu pagi yang menyenangkan ini. Hari ini, Scott tidak bisa ikut ke kampus. Dia sedang ada tugas rahasia sejak beberapa hari yang lalu bersama Olive. Aku bahkan tidak dapat menghubungi Olive. Kupikir mereka sedang menyelidiki kapal selam perang milik rusia. Aku memutuskan akan mengendarai mobil sendiri saja. James sudah lama memberiku salah satu mobilnya yang sama sekali belum aku sentuh. Mungkin ini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Setelah membuka garasi yang menghabiskan seperempat bangunan itu, aku mencari -cari kunci mobilku yang tergantung apik dalam kotak kaca. Tak disangka, saat menemukan mobilku, sudah ada kertas yang berisi pesan dari James. "Hati-hati sayang. Aku tau kau akan menggunakannya suatu saat," Begitulah p

  • Gairah Paman Sahabatku   85. Thomas

    Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m

DMCA.com Protection Status