Amel menjauhkan pandangannya ketika Riska mencium bibir Alex. Sungguh pemandangan yang begitu menyeramkan, bahkan melebihi film horor.
"Amel, ayo kemari." Panggil Riska.
Amel melangkah mendekati Alex, ia mengangkat tangan untuk menjabat tangan pria tampan itu. "Amel pak," ucapnya dengan lembut.
Alex dan Riska tersenyum secara bersamaan, panggilan pak membuat keduanya merasa lucu.
"Alex, panggil saja om Alex," ucap Alex dengan lembut.
Amel tersenyum sambil mengangguk, "Baik om."
"Om Bram di mana dad?" Tanya Riska.
"Bram lagi di luar kota, mungkin akan kembali 2 atau 3 hari lagi. Tapi tenang saja, uang dan surat sudah disiapkan."
Alex mengeluarkan satu lembar kertas dari dalam amplop, ia menaruhnya di atas meja tepat di hadapan Amel.
"Amel, sebelum menandatangani! kamu bisa membacanya terlebih dahulu," ucap Alex.
Amel tersenyum paksa, "Enggak usaha om, biar aku tandatangani saja. Soalnya Riska sudah menjelaskan semuanya."
"Oh baiklah."
Alex memberikan pena, dan Amel langsung menandatangani surat kontraknya.
"Ya ampun, ini anak benar-benar sempurna. Belum dandan aja sudah cantik, apalagi dandan! menang banyak nih Bram." Bisik dalam hati Alex.
Ia mengagumi Amel, memperhatikan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gairahnya sedikit bergetar saat melihat dada Amel yang begitu menonjol dan menantang. Bahkan ia sampai tidak sadar kalau Riska sudah 2 kali memanggilnya.
"Dad." Panggil Riska untuk ketiga kalinya.
"Ha...iya baby." Sahut Alex.
"Uangnya mana?"
"Aman, nanti daddy transfer." Jawab Alex.
Amel memberikan nomor rekeningnya, setelah itu Alex langsung pergi, sedangkan Amel dan Riska tetap di apartemen.
Kedua wanita cantik itu berbaring di atas tempat tidur sambil berbincang-bincang. Riska menceritakan semuanya kepada Amel, kalau dirinya juga adalah seorang sugar baby. Dan apartemen itu adalah miliknya, pemberian dari Alex.
Amel benar-benar terkejut, "Terus, kost itu?"
"Itu kost teman, kebetulan dia sedang pulang kampung dan kuncinya dititipkan padaku."
"Ow...."
"Kamu tenang saja Mel, om Bram pasti memberimu apartemen dan mobil. Dia juga pasti memberimu uang jatuh bulanan, pokoknya kamu harus pintar-pintar. Setidaknya, setelah kontrak berakhir! kita memiliki uang banyak untuk modal," ucap Riska.
"Aku tidak berharap diberikan mobil dan apartemen Ris, cukup uang saja untuk biaya operasi ibuku."
Riska memeluk Amel, ia terharu melihat pengorbanan sahabatnya itu. Demi kesembuhan ibunya, ia rela mengorbankan masa depannya.
..................Dua hari telah berlalu, sore ini Riska menerima telepon dari Alex. Pria tampan itu meminta Riska dan Amel untuk datang ke sebuah kafe."Mel, tadi om Alex menghubungiku. Katanya om Bram sudah kembali dari luar kota, jadi malam kita harus ke kafe untuk bertemu dengan mereka," ucap Riska.
Amel yang sedang berdiri di depan kaca sambil menyisir rambut! Refleks memutar tubuhnya. "Benarkah?" Tanya Amel.
"Iya."
"Terus, aku harus bagaimana? apa pertemuannya gak bisa besok atau lusa?" Tanya Amel.
Ia belum siap untuk bertemu dengan Bram. Bayangan Amel saat ini, Bram pasti om om bertubuh gemuk, perut buncit dan genit.
"Ya gak bisa dong, malam ini kita harus menemui mereka. Lagipula, nanti malam kamu harus tidur bersama om Bram."
"Apa?" Amel terkejut, bahkan nada suaranya meninggi.
"Iya kamu harus melayaninya, kamu tidak boleh membantah dan menolak. Ingat Mel, uangnya sudah kamu terima dan surat perjanjiannya sudah kamu tandatangani." Riska mengingatkan sahabatnya.
"I...i... Iya." Jawab Amel dengan gugup.
"Ya sudah sekarang kamu siap-siap, aku mandi dulu."
Riska masuk ke dalam kamar mandi, sementara Amel bergegas mengganti pakaian. Setelah itu mereka segera meninggalkan apartemen menuju kafe. Tetapi sebelum mereka ke kafe, kedua wanita cantik itu terlebih dahulu singgah di sebuah butik.
Pakaian yang dikenakan Amel saat ini terlihat kusam, itu sebabnya Riska membelikan sebuah gaun dan sepatu high heels untuk sahabatnya itu.
"Ayo Mel." Ajak Riska sambil menari pergelangan tangan Amel.
Amel menahan tubuhnya dan menolak untuk ke luar dari ruang ganti. "Aku gak mau ke luar pakai baju ini Ris," ucapnya.
"Kenapa? kan bajunya bagus."
"Terlalu seksi Ris." Jawab Amel.
Riska menghela napas, "Mel, gaun ini gak terlalu seksi kok."
Riska berusaha membujuk dan menyakinkan Amel, hingga wanita cantik itu memberanikan diri untuk ke luar dari sana.
Sementara di tempat lain, Alex sedikit kesal dengan sikap Bram. Pria tampan satu anak itu sama sekali tidak berniat untuk bertemu dengan sugar babynya. Bahkan ia sudah dua kali ingin meninggalkan kafe, dengan alasan ada urusan penting.
Tetapi Alex menahannya dan tidak mengizinkannya untuk pergi. Alex yakin, Bram pasti tertarik setelah melihat Amel.
"Lex, Riska udah di mana? masih lama gak?" Tanya Bram.
"Sudah di jalan, sebentar lagi pasti sampai."
Alex baru saja selesai berbicara, pintu tiba-tiba terbuka.
"Hay Daddy." Sapa Riska dengan ceria.
Sedangkan Amel hanya diam sambil menundukkan kepala. Begitu juga dengan Bram, pria tampan itu fokus menatap layar ponselnya, tampan peduli siapa yang datang.
"Hay baby." Balas Alex dan langsung mengecup bibir Riska, setelah itu ia menyapa Amel.
"Bagaimana kabar kamu, Amel?" Tanya Alex.
Amel tersenyum tipis, "Baik om," ucapnya sambil meremas seluruh jarinya karena gugup dan takut.
"Ya Tuhan, dia seperti bidadari." Bisik dalam hati Alex.
Walupun cahaya lampu di dalam ruangan itu remang-remang! tetapi Alex bisa melihat kecantikan Amel dan kemolekan tubuhnya dengan jelas.
"Bram." Panggil Alex, "Kenalan dulu dong sama Amel." Lanjutnya.
"Hm.." Jawab singkat Bram.
Ia bangkit dari sofa, lalu menjulurkan tangan kanannya. Sedangkan tatapan matanya tetap tertuju ke ponsel yang ada di tangan kirinya.
"Amel om," ucap Amel sambil menjabat tangan Bram.
Wanita cantik itu pun, masih tetap tertunduk dan belum melihat wajah Bram sedikitpun.
Bram yang merasa familiar dengan suara itu, seketika menegakkan kepala untuk melihat wajah wanita yang ada di hadapannya.
"Kamu," ucapnya.
Alex dan Riska terkejut, begitu juga dengan Amel. Wanita cantik itu refleks menegakkan kepala.
Ia terkejut bukan main, bahkan ia tidak sanggup untuk menggerakkan bibirnya. Namun tangannya langsung ia lepaskan dari genggaman Alex.
"Bram, kamu sudah kenal Amel?" Tanya Alex.
"Ini tidak bisa, ini tidak bisa. Setiap kali bertemu dengannya! aku selalu sial." Gerutu Bram.
"Enak saja, aku yang sial setiap kali bertemu dengan om." Tantang Amel.
Ia tidak terima dengan ucapan Bram, sehingga bibirnya dengan lantang berbicara tanpa memikirkan akibatnya.
================="Amel, Amel." Panggil Riska.Ia membawa Amel ke sudut ruangan, dengan lembut Riska mencoba menenangkan sahabatnya itu."Mel, kamu gak boleh bicara seperti itu," ucap Riska dengan lembut."Dia yang duluan Rus." Bantah Amel."Iya, iya. Aku tahu itu." Timpal Riska, "Tapi ingat Mel, kamu saat ini membutuhkan uang untuk biaya pengobatan ibumu, dan uang itu sudah kamu terima, bahkan sudah kamu kirimkan ke kampung. Coba bayangkan, jika om Bram sampai membatalkan kontaknya dan meminta uangnya kembali, hanya karena sakit hati dengan ucapan kamu." Lanjutnya. Amel langsung terdiam, "Jangan sampai terjadi Ris," ucapnya dengan wajah pucat."Nah, kalau begitu kamu minta maaf kepada om Bram." Riska menasehati dan memberikan arahan kepada Amel, begitu juga dengan Alex. Ia berusaha menenangkan Bram dan membujuknya, agar tidak membatalkan kontraknya dengan Amel."Ya ampun Lex, aku bisa stres kalau sering bertemu dengannya." Keluh Bram."Percayalah padaku Bram, kamu pasti happy bersama Amel. Yang berl
Tepat pukul 1 siang, Amel sudah tiba di kost. Wanita cantik itu ke sana diantar oleh sahabatnya, sebenarnya Riska mengajaknya ke apartemen, tetapi Amel enggan dan menolak karena Alex pasti datang ke sana untuk menemui Riska. Kring...kring....kring....Amel meraih ponsel dari atas tempat tidur, *Iya, ini siapa?* Ucapnya setelah mengusap layar ponselnya.*Kamu di mana? kenapa belum pulang?* Suara bariton dari seberang sana.Amel sempat terdiam. *I...i...iya om,* Ucapnya setelah mengigat pemilik suara itu adalah Bram. *Apa saya......*Tiba-tiba panggilan terputus, yang membuat Amel tidak melanjutkan kata-katanya. Wanita cantik itu menghela napas kasar dan kembali menaruh ponselnya.Ia naik ke atas tempat tidur, berbaring sambil memejamkan mata. Amel sama sekali tidak peka dengan pertanyaan Bram, yang mengatakan kenapa belum pulang.Rasanya baru saja memejamkan mata, tetapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Amel bangkit dari ranjang, melangkah untuk membuka pintu."Riska," ucapny
"Puk." Amel membenturkan keningnya ke kuning Bram, yang membuat pria tampan itu refleks membuka mata.Ia sama sekali tidak sadar kalau Amel berada di atas tubuhnya, bahkan sebelah tangannya masih melingkar di pinggul wanita cantik itu."Aaaaa...." Teriak Bram saat matanya beradu dengan mata Amel.Kedua tangan kekarnya refleks mendorong tubuh Amel, hingga wanita cantik itu jatuh ke lantai."Aow...." Rintih Amel, "Om sudah gila." Lanjutnya."Kamu yang gila, kenapa tidur di tasku?" Protes Bram dengan wajah kesal, "Kamu pasti....." "Pasti apa?" Sela Amel yang membuat Bram tidak melanjutkan kata-katanya."Pasti ingin memperkosaku, ih....." Bram bergidik."Enak saja." Gerutu Amel sambil bangkit dari lantai, "Yang benar itu! om yang ingin memperkosaku." Lanjutnya."Masa!" "Biar om tahu ya! om yang menarik tangan Amel sambil bicara, tolong jangan tinggalkan aku Tania." Amel berbicara sambil memanyunkan bibir, untuk mencibir Bram."Pasti kamu berbohong, iya kan?" Todong Bram."Terserah, susa
Bram terkejut melihat Amel ada di kantornya. Pria tampan itu sedang meeting di ruang rapat bersama karyawan. Ia sama sekali tidak tahu, kalau Amel melamar kerja di sana dan interview siang ini.Par...Bram menggebrak meja. Semua karyawan tersentak karena terkejut, mereka memalingkan wajah kembali menghadap Bram."Apa kalian tidak pernah melihat wanita?" Tanya Bram dengan lembut namun penuh penekanan.Semua itu terlihat dari raut wajahnya yang begitu tegang, dan sorot mata yang begitu tajam."Maaf pak," ucap karyawan secara bersamaan.Rapat kembali di lanjutkan, namun Bram masih memikirkan Amel. Untuk apa wanita cantik itu datang ke sana? apa dia mencari Bram? tapi untuk apa dia mencari Bram? pertanyaan itulah yang ada dalam pikirannya saat ini.Sementara Amel sedang interview di salah satu ruangan. Wanita cantik itu tersenyum lebar karena diterima bekerja di sana, dan besok ia sudah mulai bekerja sebagai office girls.........................Satu Minggu telah berlalu, Amel menjalani
Tepat pukul 5 lewat 30 menit, Amel sudah tiba di apartemen. Ia sedikit terkejut ketika membuka pintu dan melihat Bram ada di sana."Om sudah pulang?" Tanya Amel yang melangkah dari pintu menuju ruang tamu."Hm..." Jawab Bram, "Kamu dari mana?" Lanjutnya.Amel menjatuhkan bokongnya di atas sofa, "Pulang ke....." Amel tidak melanjutkan ucapnya, karena tiba-tiba mengigat apa yang dikatakan Riska. Bram jangan sampai tahu kalau dia bekerja, karena di dalam kontrak, Amel tidak boleh bekerja tanpa izin dari Bram."Kenapa diam?" Tanya Bram."Um...aku baru pulang dari apartemen Riska, om." Amel terpaksa berbohong."Apa kamu gak kuliah?""Hari ini libur om." Jawab Amel."Aku sudah transfer uang bulanan kamu, coba kamu cek."Amel tersenyum, "Terima kasih ya om? nanti di cek sama adikku." Jawab Amel."Kenapa harus adikmu? emang kamu gak bisa?""Bukan gak bisa om, masalahnya kartunya di kampung dipegang sama ibuku." Jawab jujur Amel.*Ya ampun, apa dia dipaksa ibunya untuk menjadi sugar baby? ibu
Setelah ke luar dari kamar mandi, Bram meraih bokser dari lemari. Ia ke luar dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.Satu malam Bram tidak bisa tidur, ia membayangkan betapa gairahnya saat bercinta dengan Amel. Bahkan benda tumpunya kembali berdiri membayangkan milik Amel yang begitu indah.Padahal selama ini, Bram tidak pernah tertarik untuk bercinta dengan wanita selain istrinya sendiri yaitu Tania.Begitu juga dengan Amel, wanita cantik itu tidak bisa tidur. Walupun matanya terpejam, tetapi otaknya memikirkan apa yang baru saja terjadi.Saat waktu menunjukkan pukul 6 lewat 30 menit, Amel sudah meninggalkan apartemen menuju apartemen Riska. Tetapi sebelum pergi, Amel sudah membuatkan sarapan untuk Bram dan menatanya di atas meja. "Amel." Riska terkejut saat membuka pintu dan melihat Amel.Tanpa dipersilahkan, Amel langsung menerobos masuk. Ia menarik tangan Riska, mengajaknya duduk ke sofa."Ini gawat, ini gawat," ucap Amel dengan serius."Ada apa? gawat kenapa?" Riska terlihat khaw
Waktu menunjukkan pukul 8 malam, Bram duduk di balkon kamar sambil menikmati minuman Wine. Ia berharap Tania pulang, walaupun sebenarnya ia sudah tahu, kalau istri tercintanya itu tidak akan pulang.Ting-nong.... ting-nong....Suara dering ponsel membuat Bram bangkit dari kursi, melangkah masuk ke dalam kamar untuk meraih ponselnya.*Iya Lex* Ucapnya setelah mengusap layar ponselnya.*Bram, bawa anak-anak ke pasar malam, yuk?* Ajak dari seberang sana.*Bryan gak akan mau Bro.**Maksud aku bukan Bryan, Bram. Tapi Riska dan Amel* Alex memperjelas maksudnya.Bram sempat terdiam beberapa menit, *Ok, aku on the way*Akhirnya Bram mau, pria tampan itu bergegas mengganti pakaian. Setelah itu ia langsung meninggalkan kediaman Wijaya menuju apartemen. Sebenarnya Bram paling malas diajak ketempat ramai, tetapi daripada duduk sendiri di balkon! Lebih baik dia pergi.Tok....tok....tok....Bram terpaksa mengetuk pintu, karena kunci miliknya tertinggal dikediaman Wijaya."Om Bram," ucap Amel setel
Suara bel membangunkan Amel di pagi hari. Wanita cantik itu membuka mata dengan malas, ia sedikit terkejut melihat Bram tidur di sofa. Pria tampan itu meringkuk karena kedinginan.Amel menurunkan kedua kaki dari atas tempat tidur, kedua tangannya meraih selimut lalu menyelimuti Bram."Ya Tuhan, om Bram benar-benar sempurna. Dia tampan, tinggi, gagah, putih, hidungnya mancung lagi," ucap Amel, sambil menatap Bram tanpa berkedip."Jangan terlalu mengagumiku, nanti kamu jatuh cinta." Bram tiba-tiba membuka mulut, yang membuat Amel terkejut sekaligus malu. Ia tidak menyangka kalau pria tampan itu akan mendengar ucapannya.Amel memutar tubuhnya, bergegas ke luar dari kamar untuk membuka pintu."Bagaimana keadaan kamu Mel?" Riska langsung bertanya, setelah pintu terbuka. Ia sengaja datang pagi-pagi hanya untuk memastikan kondisi sahabatnya."Aku enggak apa-apa," jawab Amel. Saat ini keduanya sudah duduk di ruang tamu."Syukurlah, satu malam ini aku gak bisa tenang karena khawatir." Kedu
Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia