Bram terkejut melihat Amel ada di kantornya. Pria tampan itu sedang meeting di ruang rapat bersama karyawan. Ia sama sekali tidak tahu, kalau Amel melamar kerja di sana dan interview siang ini.
Par...Bram menggebrak meja.
Semua karyawan tersentak karena terkejut, mereka memalingkan wajah kembali menghadap Bram.
"Apa kalian tidak pernah melihat wanita?" Tanya Bram dengan lembut namun penuh penekanan.
Semua itu terlihat dari raut wajahnya yang begitu tegang, dan sorot mata yang begitu tajam.
"Maaf pak," ucap karyawan secara bersamaan.
Rapat kembali di lanjutkan, namun Bram masih memikirkan Amel. Untuk apa wanita cantik itu datang ke sana? apa dia mencari Bram? tapi untuk apa dia mencari Bram? pertanyaan itulah yang ada dalam pikirannya saat ini.
Sementara Amel sedang interview di salah satu ruangan. Wanita cantik itu tersenyum lebar karena diterima bekerja di sana, dan besok ia sudah mulai bekerja sebagai office girls.
........................Satu Minggu telah berlalu, Amel menjalani hari-harinya dengan penuh semangat. Pagi hingga sore ia bekerja, sedangkan malam hari ia kuliah. Selama bekerja di perusahaan Pratama Grup, Amel tidak pernah bertemu dengan Bram.Sudah tiga Minggu ia menjadi sugar baby, tetapi Bram baru dua kali menemuinya ke apartemen.
"Mel, apa kamu tidak menghubungi om Bram?" Tanya Riska.
Saat ini kedua wanita cantik itu sedang duduk di sebuah kafe. Mereka baru pulang dari kampus, singgah di sana sebentar sebelum kembali ke apartemennya masing-masing.
"Enggak." Jawab Amel dengan santai.
"Kenapa? harusnya kamu menghubungi om Bram, suruh dia datang ke apartemen."
"Ah... Malas. Lagipula aku nyaman om Bram gak datang ke sana, soalnya setiap ada dia! aku selalu makan hati." Jawab Amel dengan serius.
"Tapi Mel, sudah tugas kamu harus memperhatikan om Bram, harus melayaninya dan membuatnya nyaman. Nanti kamu pasti dapat uang lebih dari om Bram."
"Uang kemarin aja udah cukup Ris, aku gak berharap lebih."
Memang benar, Amel tidak mengharapkan uang lebih dari Bram. Uang 3 ratus juta yang ia terima waktu itu! sudah cukup untuk biaya operasi ibunya. Sekarang yang ada dalam hati Amel, semoga waktu cepat berlalu, agar kontraknya dengan Bram segera berakhir.
"Aku tahu itu, tapi kamu tahu gak kenapa om Alex meminta kamu untuk jadi sugar baby om Bram?" Tanya Riska.
"Enggak."
"Om Bram itu tidak pernah mendapat perhatian dari istrinya, bahkan mereka sering berdebat yang membuat om Bram sering stres. Om Bram itu pria yang baik, tulus dan setia, kasihan pria setampan itu harus frustasi."
Riska menceritakan apa yang dia ketahui tentang Bram dari Alex.
"Mungkin om Bram terlalu angkuh, itu sebabnya istrinya tidak perhatian."
"Terbalik Mel, dulu om Bram baik dan ramah. Tetapi setelah istrinya berubah! om Bram mulai angkuh dan sedikit kasar." Jawab Riska.
"Emang kenapa istrinya tiba-tiba berubah?"
"Katanya sih." Riska mendekatkan bibirnya ke telinga Amel, "Selingkuh, tapi om Bram gak percaya karena belum ada bukti."
"Ya ampun." Keluh Amel.
"Makanya, berikanlah sedikit perhatian untuk om Bram."
Amel segera meraih ponsel dari dalam tas, jari lentiknya menekan tombol warna hijau untuk menghubungi Bram.
*Ada apa?* Suara dari seberang sana.
*Om di mana? Kok gak pernah ke apartemen?* Balas Amel dengan lembut.
*Tumben, apa kamu sedang butuh uang?*
*Pokoknya malam ini om harus ke apartemen.* Amel langsung memutuskan sambungan teleponnya.
"Nah, gitu baru sahabatku." Puji Riska.
Setelah menghabiskan makanan dan minumannya, kedua wanita cantik itu meninggalkan kafe. Riska mengantar Amel terlebih dahulu baru ia kembali ke apartemennya.
Tepat pukul 11 malam, Bram sudah tiba di apartemen. Sebenarnya pria tampan itu tidak ingin bertemu dengan Amel, tetapi karena Amel menghubunginya dan memintanya untuk datang! Bram terpaksa harus menemuinya.
"Om mau minum teh apa kopi?" Tanya Amel setelah Bram duduk di sofa.
Ia memandang wajah tampan Bram, hatinya sedikit tersentuh dan kasihan.
"Kopi ajah." Jawab Bram tampan melihat lawan bicaranya.
Amel bergegas ke dapur, dibuatkannya satu gelas kopi. Lalu membawanya ke ruang tamu bersama cemilan kering yang ia beli dari supermarket.
"Silahkan diminum om," ucap Amel dengan lembut.
Bram memutar kepala melihat Amel yang duduk di sampingnya. "Ini anak pasti ada maunya," ucap dalam hati Bram.
Ia sudah terbiasa dengan sikap Tania, istri tercintanya itu selalu bersikap manis setiap menginginkan sesuatu, atau saat dia butuh uang banyak. Sama persis dengan sikap Amel saat ini.
"Om kenapa melihatku seperti itu?"
Tanya Amel yang membuat Bram tersadar dari pikiran buruknya.
"Kamu butuh uang berapa?" Bukannya menjawab, Bram justru balik bertanya.
Amel sebenarnya kesal dengan pertanyaan Bram, tetapi ia tiba-tiba mengigat apa yang diceritakan Riska kepadanya.
"Aku tidak butuh uang, tapi aku butuh om." Jawab Amel.
"Butuh untuk apa?" Tanya Bram.
"Untuk menemaniku," jawab Amel sambil tersenyum. "Soalnya aku takut sendirian di apartemen ini. Aku gak terbiasa tinggal di ruangan sebesar ini om." Lanjutnya.
"Hm...malam ini aku menginap di sini. Tapi ingat, jangan membuatku kesal." Tegas Bram.
Amel tersenyum, "Siap om."
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, Bram masih fokus menatap layar laptopnya. Pria tampan itu duduk di kursi kerjanya, sedangkan Amel duduk di sofa.
"Apa masih lama om?" Tanya Amel tiba-tiba.
"Ha.." Bram sedikit terkejut.
Ia tidak tahu kalau Amel masih duduk di sana, Bram berpikir kalau Amel sudah masuk ke kamar dan tidur.
"Kamu kenapa masih di situ?" Tanya Bram.
"Untuk menemani om." Jawab Amel.
Bram menghela napas, "Kamu enggak perlu menemaniku, sana tidur."
"Tapi......"
"Enggak ada tapi-tapian, sekarang masuk ke kamarmu." Perintah Bram.
Dia seperti ayah yang sedang memarahi anaknya.
"Baiklah, aku tidur duluan ya om?" Pamit Amel dan langsung masuk ke dalam kamar.
"Hm...." Jawab Bram dengan singkat.
Tetapi ia memperhatikan Amel yang sedang melangkah menuju kamar, dari sudut matanya.
"Semua wanita memang sama, sok manis kalau lagi ada maunya. Ujung-ujungnya besok pasti minta uang." Gerutu Bram dalam hati.
Ia menutup laptopnya, bergegas masuk ke dalam kamar yang terletak di samping kamar Amel. Di sana pria tampan itu membaringkan tubuh kekarnya sambil memejamkan mata untuk menjemput mimpi indah.
"Aaaaaa....." Suara teriakan itu menggema memenuhi seluruh ruangan kamar.
Bram berteriak, ketika membuka mata di pagi hari dan melihat seseorang tidur di sampingnya.
Amel yang terkejut mendengar teriakkan Bram! refleks memeluknya dengan erat, dengan posisi Amel di atas dan Bram dibawah. Bahkan bibir keduanya saling beradu, tanpa mereka sadari.
Pak..... Bram menepuk pantat montok Amel, yang membuat wanita cantik itu refleks membuka mata.
Dengan sigap Amel menegakkan kepala untuk melepaskan bibirnya dari bibir Bram. Ia tersenyum paksa sambil menurunkan tubuhnya dari atas tubuh Bram.
"Maaf om," ucapnya dengan lembut.
Tapi jangan ditanya bagaimana perasaan Amel saat ini. Sudah pasti malu, bukan hanya malu tapi jantungnya juga berdegup kencang.
Bahkan saat ia bekerja, masih terbayang bagaimana lembutnya bibir Bram, dan betapa tampannya pria itu.
Amel mengangkat tangan untuk menyentuh bibirnya, ia tersenyum mengingat kejadian tadi pagi.
===============Tepat pukul 5 lewat 30 menit, Amel sudah tiba di apartemen. Ia sedikit terkejut ketika membuka pintu dan melihat Bram ada di sana."Om sudah pulang?" Tanya Amel yang melangkah dari pintu menuju ruang tamu."Hm..." Jawab Bram, "Kamu dari mana?" Lanjutnya.Amel menjatuhkan bokongnya di atas sofa, "Pulang ke....." Amel tidak melanjutkan ucapnya, karena tiba-tiba mengigat apa yang dikatakan Riska. Bram jangan sampai tahu kalau dia bekerja, karena di dalam kontrak, Amel tidak boleh bekerja tanpa izin dari Bram."Kenapa diam?" Tanya Bram."Um...aku baru pulang dari apartemen Riska, om." Amel terpaksa berbohong."Apa kamu gak kuliah?""Hari ini libur om." Jawab Amel."Aku sudah transfer uang bulanan kamu, coba kamu cek."Amel tersenyum, "Terima kasih ya om? nanti di cek sama adikku." Jawab Amel."Kenapa harus adikmu? emang kamu gak bisa?""Bukan gak bisa om, masalahnya kartunya di kampung dipegang sama ibuku." Jawab jujur Amel.*Ya ampun, apa dia dipaksa ibunya untuk menjadi sugar baby? ibu
Setelah ke luar dari kamar mandi, Bram meraih bokser dari lemari. Ia ke luar dari sana dan masuk ke dalam kamarnya.Satu malam Bram tidak bisa tidur, ia membayangkan betapa gairahnya saat bercinta dengan Amel. Bahkan benda tumpunya kembali berdiri membayangkan milik Amel yang begitu indah.Padahal selama ini, Bram tidak pernah tertarik untuk bercinta dengan wanita selain istrinya sendiri yaitu Tania.Begitu juga dengan Amel, wanita cantik itu tidak bisa tidur. Walupun matanya terpejam, tetapi otaknya memikirkan apa yang baru saja terjadi.Saat waktu menunjukkan pukul 6 lewat 30 menit, Amel sudah meninggalkan apartemen menuju apartemen Riska. Tetapi sebelum pergi, Amel sudah membuatkan sarapan untuk Bram dan menatanya di atas meja. "Amel." Riska terkejut saat membuka pintu dan melihat Amel.Tanpa dipersilahkan, Amel langsung menerobos masuk. Ia menarik tangan Riska, mengajaknya duduk ke sofa."Ini gawat, ini gawat," ucap Amel dengan serius."Ada apa? gawat kenapa?" Riska terlihat khaw
Waktu menunjukkan pukul 8 malam, Bram duduk di balkon kamar sambil menikmati minuman Wine. Ia berharap Tania pulang, walaupun sebenarnya ia sudah tahu, kalau istri tercintanya itu tidak akan pulang.Ting-nong.... ting-nong....Suara dering ponsel membuat Bram bangkit dari kursi, melangkah masuk ke dalam kamar untuk meraih ponselnya.*Iya Lex* Ucapnya setelah mengusap layar ponselnya.*Bram, bawa anak-anak ke pasar malam, yuk?* Ajak dari seberang sana.*Bryan gak akan mau Bro.**Maksud aku bukan Bryan, Bram. Tapi Riska dan Amel* Alex memperjelas maksudnya.Bram sempat terdiam beberapa menit, *Ok, aku on the way*Akhirnya Bram mau, pria tampan itu bergegas mengganti pakaian. Setelah itu ia langsung meninggalkan kediaman Wijaya menuju apartemen. Sebenarnya Bram paling malas diajak ketempat ramai, tetapi daripada duduk sendiri di balkon! Lebih baik dia pergi.Tok....tok....tok....Bram terpaksa mengetuk pintu, karena kunci miliknya tertinggal dikediaman Wijaya."Om Bram," ucap Amel setel
Suara bel membangunkan Amel di pagi hari. Wanita cantik itu membuka mata dengan malas, ia sedikit terkejut melihat Bram tidur di sofa. Pria tampan itu meringkuk karena kedinginan.Amel menurunkan kedua kaki dari atas tempat tidur, kedua tangannya meraih selimut lalu menyelimuti Bram."Ya Tuhan, om Bram benar-benar sempurna. Dia tampan, tinggi, gagah, putih, hidungnya mancung lagi," ucap Amel, sambil menatap Bram tanpa berkedip."Jangan terlalu mengagumiku, nanti kamu jatuh cinta." Bram tiba-tiba membuka mulut, yang membuat Amel terkejut sekaligus malu. Ia tidak menyangka kalau pria tampan itu akan mendengar ucapannya.Amel memutar tubuhnya, bergegas ke luar dari kamar untuk membuka pintu."Bagaimana keadaan kamu Mel?" Riska langsung bertanya, setelah pintu terbuka. Ia sengaja datang pagi-pagi hanya untuk memastikan kondisi sahabatnya."Aku enggak apa-apa," jawab Amel. Saat ini keduanya sudah duduk di ruang tamu."Syukurlah, satu malam ini aku gak bisa tenang karena khawatir." Kedu
Satu hari telah berlalu, di mana saat ini waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Amel dan Riska menaiki mobil yang sama, menuju kediaman Wijaya. Sedangkan Bryan menaiki motornya sendiri. "Wao...ini rumah atau gedung?" ucap Amel. Saat ini mereka sedang memasuki gerbang istana Wijaya.Amel begitu mengagumi bangunan tinggi, berlantai tiga yang ada di hadapannya saat ini. Begitu juga dengan Riska, kedua wanita cantik itu membayangkan, berapa milliar untuk membangun rumah sebesar itu."Ayo masuk." Suara Bryan menyadarkan Amel dan Riska dari khayalan. Keduanya bergegas mengikuti Bryan masuk ke dalam rumah.Amel menelan saliva melihat furniture yang ada di sana. Sofa yang terletak di ruang tamu, pasti harganya fantastis. Begitu juga dengan televisi yang tergantung di tembok, ini pertama kalinya Amel melihat sofa semewah itu dan televisi sebesar itu."Mari, silahkan Nona." Seorang pelayan menuntun Amel dan Riska menuju ruang makan."Oh Tuhan, kak Bryan benar-benar anak konglomerat," ucap da
Bram memutar tubuh, ia menungkupkan kedua tangannya di wajah Amel. "Jangan menggodaku, karena aku tidak menyukai itu," ucapnya dengan lembut.Amel menatap sendu kedua manik mata Bram, sambil memanyunkan bibir seperti anak yang sedang merajuk."Apa kamu mengerti?" Bram kembali membuka mulut."Mengerti Om, tapi aku menyukainya," jawab Amel.Bram menghela napas sebelum membuka mulut. "Jika kamu menginginkan sesuatu! Tidak perlu bersikap murahan seperti ini," ucapnya yang membuat Amel sedikit tersinggung.Amel segera melepaskan kedua tangannya dari tubuh Bram. Akal sehatnya kembali, setelah mendengar ucapan pria tampan itu. Sementara Bram, langsung pergi meninggalkan Apartemen. Ia menghubungi Alex, memintanya datang ke kelap. "Kamu kenapa lagi Bram?" tanya Alex.Kedua pria tampan itu sudah berada di sebuah ruangan VIP. Ditemani dua orang waiters, dan seorang penari erotis."Aku enggak apa-apa," jawab Bram dengan santai."Terus, kenapa kamu memintaku datang kemari? Padahal, aku lagi di
Dua hari telah berlalu, Amel selalu mencari tahu kondisi Bram melalui Riska. Entah mengapa wanita cantik itu merasa khawatir, bahkan ia tidak bisa tidur dan tidak selera makan."Selamat malam Amel?"Tiba-tiba terdengar suara Bariton dari arah punggung. Amel memutar kepala untuk melihat, siapa yang menyebut namanya."Kak Bryan," ucap Amel dan Riska secara bersamaan.Ketiganya duduk di kafe yang terletak di samping kampus. Bryan menceritakan kondisi ayahnya, karena Amel dan Riska bertanya."Kasihan Daddy, pelayan yang harus mengurusnya," ucap Bryan."Memang Tante ke mana, ka?" tanya Riska."Mami sudah berangkat ke Singapura, soalnya besok acara peresmian perusahaan Women's Collection. Mami memiliki saham 50 persen di sana, jadi mami harus menghadirinya.""Ow." Amel dan Riska menjawab secara bersamaan."Kalau aku dan Amel, menjenguk om, boleh gak?" Akhirnya Riska memberanikan diri untuk bertanya. Sementara Amel langsung menjepit pinggul sahabatnya dengan lembut."Boleh, enggak apa-apa.
"Om sudah bangun." Amel muncul dari pintu, melangkah menuju tempat tidur sambil membawa nampan di tangannya."Apa itu?" tanya Bram."Aku membuat bubur ayam untuk Om," jawab Amel dengan lembut, "Om makan, ya? lanjutnya dengan nada membujuk."Aku tidak suka bubur," tolak Bram.Bram memang tidak menyukai bubur, pria tampan itu menyukai roti untuk sarapan di pagi hari."Tapi ini bagus untuk orang yang sedang sakit Om." Amel berusaha membujuk Bram."Tapi aku tidak menyukainya, dan aku belum pernah memakannya." Bram tetap saja menolak. Melihatnya saja, sudah membuat tenggorokannya geli."Ini enak Om, coba sedikit saja." Amel membujuk Bram, hingga pria tampan itu membuka mulut untuk menerima suapan dari Amel."Bagaimana Om, enakkan?" tanya Amel."Lumayan," sahut Bram."Kalau begitu, Om makan lagi ya? Biar cepat sembuh."Amel menyuapi Bram, hingga bubur yang ada di dalam mangkuk habis tanpa tersisa. Sebenarnya Bram masih ingin, tetapi ia malu untuk meminta tambah.Selesai menyuapi Bram, Amel
Ramel tidak membuka mulut, rasa terharu sekaligus sedih membuat bibirnya kaku."Jadi untuk sementara waktu...." Melisa belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari lantai dua. Sontak membuat keduanya refleks meninggalkan ruang tamu menuju arah datangnya suara."Tidak, tidak, tidak." Teriakan itu menyambut Ramel dan Melisa."Ibu, ibu, ada apa ibu?" Melisa merangkul ibunya, wajahnya terlihat khawatir.Begitu juga dengan Ramel, pria tampan itu menarik Bella lalu memeluknya dengan erat. Menungkupkan wajah wanita cantik itu di dada bidangnya, sambil mengecup ujung kepala Bella dengan penuh kasih sayang.Setelah Bella sedikit tenang, Ramel mengajaknya duduk di sisi ranjang. Memberinya air mineral sambil berbicara dengan lembut."Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, aku merasakan sesuatu saat memasuki kamar ini," ucap Bella dengan wajah bingung.Ramel tersenyum tipis, "Apa kamu mengingat sesuatu?"Bella menggeleng, "Aku hanya merasa tidak asing dengan kamar ini, padahal
Dua hari telah berlalu, Ramel dan Tania sedang bersiap-siap untuk menemui wanita itu. Selama ini ayah satu anak itu benar-benar sibuk karena kliennya datang dari Singapura. "Kenan, kamu gak jadi ikut?" tanya Ramel saat tiba di meja makan.Dua hari yang lalu pria tampan berusia 17 tahun itu berjanji untuk ikut. Namun pagi ini ia masih terlihat mengenakan baju santai."Enggak Pah," jawab Kenan."Kenapa?" Tentu Ramel bertanya, apa alasan putranya tidak ikut!"Kenan merasa tidak enak badan Pah, kepalaku sedikit pusing.""Yasudah, kamu istirahat aja di rumah." Kali ini Tania yang membuka mulut.Ruangan itupun seketika hening, semua sibuk menikmati sarapannya masing-masing. Setelah itu Ramel dan Tania meninggalkan kediaman Wijaya bersama Lukas sopir kepercayaan keluarga Wijaya.Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya mereka tiba. Tania memperhatikan rumah sederhana yang berdiri kokok di hadapannya. "Ayo Oma," ajak Ramel.Keduanya melangkah secara bersamaan, Ramel mengangkat sat
Tepat pukul satu siang, Ramel dan teman-temannya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan Villa dan kembali ke kota. Sebenarnya mereka masih memiliki satu tujuan lagi, tetapi Ramel tiba-tiba ada urusan mendadak. Kliennya dari Singapura besok pagi sudah tiba di Indonesia."Mel, dari tadi Melisa kok gak kelihatan ya? Apa dia gak kerja?" tanya Alex sambil membantu Ramel memasukkan barang-barang ke dalam mobil."Dia shift malam, jadi udah pulang tadi pagi," jawab Ramel dengan jujur."Oh, pantas itu anak gak kelihatan," sahut Alex, "Oh iya, kamu tahu dari mana?" lanjutnya."Tadi aku yang mengantarnya pulang." Ramel menceritakan semuanya kepada Alex, ia juga mengatakan merasakan sesuatu saat melihat ibunya Melisa berdiri di depan jendela."Kenapa kamu gak singgah dulu?" Tentu Alex bertanya!"Segan sama tetangganya, soalnya di rumah itu gak ada laki-laki," dalih Ramel."Iya juga sih, tapi Melisa dan ibunya kapan ke Jakarta? Bukannya kamu menawarinya untuk jadi asisten rumah tangga di kediaman W
"Kamu baru lulus sekolah ya?" Ramel kembali bertanya."Iya Om," sahut singkat Melisa."Kalau baru lulus sekolah jangan langsung nikah, lanjut kuliah dulu. Pernikahan itu tidak seindah yang dibayangkan." Ramel seketika menjadi seorang ayah yang sedang menasehati putrinya."Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya jadi tukang masak, lebih baik cari laki-laki yang mapan lalu nikah." Jawaban melihat membuat Ramel dan teman-temannya tercengang.Melisa bicara dengan wajah polos tanpa sedikitpun tersenyum. Wanita cantik berusia 18 tahun itu sungguh-sungguh ingin menikah, terlihat dari sorot matanya saat menatap Ramel.Entah apa yang membuatnya ingin segera menikah, padahal usianya masih sangat muda."Gimana Om? Mau nikah dengan saya?" lanjut Melisa sembari bertanya.Ramel tersenyum mengejek, "Anak zaman sekarang selalu bertindak tanpa berpikir dulu. Kamu pikir pernikahan itu mainan? Lagipula aku tak mungkin menikah denganmu.""Kenapa gak mungkin Om? Yang penting kan, suka sama suka," p
Tujuh belas tahun telah berlalu, selama itu juga Ramel hidup dalam kesendirian, ia membesarkan Kenan bersama Tania yang saat ini sudah menginjak usia 67 tahun. Wanita tua itu sudah sering kali meminta Ramel untuk menikah, tetapi permintaannya selalu ditolak.Tania sudah mencoba menjodohkan beberapa wanita dari golongan atas kepala Ramel, tetapi pria tampan itu sama sekali tidak tertarik. Ia masih berharap Bella hidup dan kembali ke pelukannya."Ken," panggil Ramel yang duduk di ruang tamu bersama Tania.Kenan yang melangkah menuju pintu utama, terpaksa memutar langkah menghampiri ayah dan buyutnya."Iya Pah," sahut Kenan sambil menjatuhkan bokongnya di samping Tania."Besok pagi Papah mau touring ke luar kota, tolong jaga Buyut dan jangan pulang larut malam," pesan Ramel kepada putranya."Baik Pah, Kenan gak diajak Pah?" jawab Kenan sembari balik bertanya."Fokus dengan sekolahmu." Setelah mengatakan itu, Ramel bergegas meninggalkan ruang tamu.Kenan pun berpamitan kepada buyutnya, an
"Pantas saja ini tempat favorit mas Ramel, selain pemandangannya yang indah, suasananya juga terasa tenang," ucap Bella dengan nada lembut dan nyaris tak terdengar.Wanita satu anak itu memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya dari hidung dengan lembut, sambil menikmati sejuknya hembusan angin."Bella."Bella refleks membuka mata saat mendengar seseorang memanggil namanya, ia baru saja akan memutar kepala untuk melihat orang yang memanggilnya, tetapi dua telapak tangan sudah terlebih dahulu mendorong punggungnya dari belakang."Aaaaaahh...." teriak Bella yang terguling ke jurang hingga jatuh ke aliran air terjun.Saat itu juga Ramel terbangun dari tidurnya, seluruh kening pria tampan itu terlihat mengkilat akibat tetesan keringat, sehingga membuat Tania bingung dan terkejut ketika melihatnya ke luar dari kamar."Ramel, kamu kenapa?" tanya Tania yang sedang memberikan susu formula pada Kenan."Bella di mana Oma?" Bukannya menjawab, Ramel justru balik bertanya.
Setelah melepas hasrat sebanyak dua kali, Ramel dan Bella meninggalkan rumah pohon dan kembali ke Villa. Setibanya di sana, Tania langsung mengajak mereka untuk makan siang bersama. Wanita tua itu sudah menyiapkan beberapa menu di atas meja bersama pelayan.Makan siang kali ini sedikit berbeda, biasanya suasana di meja makan pasti akan hening karena tak ada yang boleh berbicara. Tetapi saat ini Ramel, Bella dan Tania menikmati makan siangnya sambil berbincang-bincang."Mel, Bel, malam ini Kenan biar tidur sama Oma aja ya?" ucap Tania sambil mengunyah makanannya.Iya, Ramel dan Bella menamai putranya Kenan Alexander Wijaya."Kenan setiap malam sering minta susu, nanti Oma jadi terganggu," sahut Bella."Enggak apa-apa, Oma gak merasa terganggu kok," ucap Tania.Wanita tua itu sengaja meminta Kenan tidur di kamarnya, agar Bella dan Ramel bisa berduaan menikmati liburannya. Dari awal Tania sudah menolak untuk ikut ke Villa, tetapi Bella memaksa."Yaudah, terserah Oma aja." Kali ini Ramel
Empat puluh hari telah berlalu, hari ini keluarga Wijaya sedang bersiap untuk liburan. Ramel akan memboyong keluarganya ke villa, seperti permintaan Bella waktu itu. Rencananya mereka akan menginap di sana selama satu Minggu."Mas," panggil Bella.Ramel yang melangk menuju pintu, menghentikan langkahnya lalu berputar menghadap Bella."Iya sayang," sahut Ramel dengan lembut."Sebabnya ada yang ingin aku bicarakan, Mas," ucap Bella dengan wajah serius.Ramel melangkah menghampiri istrinya yang duduk di sisi ranjang tepat di samping wanita cantik satu anak itu."Bicara apa sayang? Apa tentang liburan kita?" todong Ramel.Bella menggeleng, "Tidak mas, aku ingin bicara tentang pak Bara dan Mbok Inem," ucapnya.Ramel menghela napas, ia meraih tangan Bella lalu menggenggamnya dengan erat. Walupun Bella belum mengatakan apapun, Ramel sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.Tentu tentang kejadian beberapa bulan yang lalu, di mana pak Bara dan Mbok Inem tiba-tiba mengkhianatinya
"Kenapa sayang?" tanya Ramel yang langsung memeluk Bella."Mas tega," bisik Bella."Bukan tega sayang, tapi Mas hanya mengikuti saran dari dokter," sahut Ramel yang juga berbisik.Akhirnya Bella mengikuti kemauan suaminya, ia mengijinkan dokter untuk melakukan tugasnya. Bella menggigit ujung baju Ramel untuk menahan rasa sakit yang luar biasa, bahkan lebih sakit dari melahirkan."Sudah Dok, saya gak kuat lagi," keluh Bella, akhirnya wanita cantik itu menyerah."Sebentar lagi ya Bu, tinggal satu jahitan lagi," sahut dokter. Wanita berjubah putih itu sengaja mengajak Bella bicara, untuk mengalihkan rasa sakitnya.Setelah 60 menit berlalu, Bella dipindahkan ke ruang inap begitu juga dengan bayi mungilnya. Wanita cantik itu sudah pasti menempati kamar President Suite.Ramel tak sedetikpun meninggalkan istri dan anaknya. Tatapnya tak lepas dari wajah tampan putranya, bayi mungil itu benar-benar mirip dengannya. Sungguh Ramel tak menyangka memiliki anak diusianya yang masih sangat muda, ia