Ramel melepaskan cengkeramannya dengan kasar."Aku tidak menipumu, tapi kamulah yang terlalu bodoh," sahut James.Ramel memutar mata, ditatapnya James dengan tatapan tajam. Ia tidak menyangka pria pria tua itu akan membuka mulut, ternyata James benar-benar bermental baja."Apa aku pernah menipumu?" James kembali membuka mulut.Ramel yang tersulut emosi, refleks mengepalkan seluruh jari tangannya lalu melayangkan satu pukulan di wajah James, yang membuat sudut bibir pria tua itu mengeluarkan cairan kental berwarna merah."Jangan membuatku semakin kesal," ucap Ramel dengan tegas.James bukannya takut, ia justru tersenyum sinis sambil menatap Ramel dengan tatapan mencibir. Entah apa yang ada di dalam pikiran pria tua itu, sehingga ia tidak memiliki rasa takut sedikitpun. Padahal di sana ada 5 pengawal Ramel yang siap untuk menghajarnya."Aku tidak takut, jika kamu ingin membunuhku! Silahkan," ucap James dengan santai, "Tapi ingat, sebentar lagi Bella akan mengetahui yang sebenarnya. Bers
Hanya berselang 20 menit, Dokter sudah tiba di kediaman Wijaya. Pria berjubah putih itu mulai memeriksa Bella dengan alat kedokteran."Bagaimana? Apa yang terjadi? Apa ada hal yang serius?" tanya Ramel yang sudah tidak sabar."Tidak Tuan, Nyonya mungkin terlalu lelah dan banyak berpikir," jawab Dokter sambil melepaskan stetoskop dari kedua telinganya.Perasaan Ramel sedikit lega mendengar ucapan Dokter. Ia segera meminta Mbok Inem untuk menebus obat ke apotik. Sedangkan Ramel duduk di sisi ranjang, ia mengelus ujung kepala Bella dengan lembut. Berharap istrinya itu segera sadar dan membuka mata."Permisi Tuan," ucap Bibi Mina yang baru muncul di bibir pintu.Wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar sambil membawa makan malam untuk Ramel di atas nampan. Sebab Tuannya itu belum makan malam, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 9 lewat 10 menit."Tuan makan dulu," ucap Bi Mina sambil menaruh nampan di atas meja kecil yang terletak di samping tempat tidur."Iya, nanti aku makan," jawab
"Bukan begitu Sarah, tapi semua itu terjadi di luar kesadaranku," ucap Ramel dengan tegas, "Seharusnya kamu menolak sata itu," lanjutnya."Bagaimana aku menolak Ramel! Kamu memaksaku, kamu melepaskan pakaianku dengan paksa," protes Sarah.Ramel mengacak rambutnya dengan kasar, "Ok, beri aku waktu untuk memikirkannya."Setelah mengatakan itu Ramel bangkit dari kursi, tanpa pamit ia langsung meninggalkan kafe dan kembali ke kediaman Wijaya.Sepanjang perjalanan, Ramel berusaha mengigat kejadian itu tapi ia sama sekali tidak mengingat apa-apa. Yang terbayang di matanya, bercak darah yang ada di atas seprei."Aahhh...." Geram Ramel sambil memukul stir mobilnya dengan kasar.Sementara di tempat lain, dua orang sedang tersenyum puas. Siapa lagi kalau bukan Sarah dan Kevin! Setelah Ramel pergi, Kevin langsung menghampiri Sarah."Aku sudah melakukan tugasku, sekarang lakukan tugasmu," ucap Sarah kepada Kevin."Beres, jangan terburu-buru," sahut Kevin."Aku sudah menghubungi Bella, tapi dia sa
"Aku memang bodoh, kak Kevin kan rekan bisnis Ramel! Tentu dia di sini untuk membicarakan bisnis." Bella kembali berbicara sendiri.Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu utama. Di luar sudah terlihat taksi yang ia pesan dari ponselnya."Kediaman Wijaya ya, Pak," ucap Bella setelah masuk ke dalam taksi."Baik Nona," sahut sopir taksi dari bangku pengemudi.Mobil warna hitam itupun meninggalkan lobi perusahaan Pratama Grup, tetapi baru saja ke luar dari gerbang! Tiba-tiba Bella meminta berhenti."Tolong berhenti Pak," ucap Bella.Ia meraih satu lembar uang dari dalam tas, lalu memberinya ke sopir taksi, "Terima kasih ya Pak," ucapnya yang langsung turun dari mobil."Uangnya Nona, ini terlalu banyak." Sopir taksi memanggil Bella, namun wanita cantik itu tidak menjawab sama sekali. Ia berlari ringan dan kembali masuk ke dalam bangunan tinggi itu.Otaknya berpikir positif tentang kedatangan Kevin ke sana, tetapi hatinya berkata lain. Hal itu yang membuat Bella kembali ke lantai e
"Bukan begitu Sarah, tapi semua itu terjadi di luar kesadaranku," ucap Ramel dengan tegas, "Seharusnya kamu menolak saat itu," lanjutnya."Bagaimana aku menolak Ramel! Kamu memaksaku, kamu melepaskan pakaianku dengan paksa," protes Sarah.Ramel mengacak rambutnya dengan kasar, "Ok, beri aku waktu untuk memikirkannya."Setelah mengatakan itu Ramel bangkit dari kursi, tanpa pamit ia langsung meninggalkan kafe dan kembali ke kediaman Wijaya.Sepanjang perjalanan, Ramel berusaha mengigat kejadian itu tapi ia sama sekali tidak mengingat apa-apa. Yang terbayang di matanya, bercak darah yang ada di atas seprei."Aahhh...." Geram Ramel sambil memukul stir mobilnya dengan kasar.Sementara di tempat lain, dua orang sedang tersenyum puas. Siapa lagi kalau bukan Sarah dan Kevin! Setelah Ramel pergi, Kevin langsung menghampiri Sarah."Aku sudah melakukan tugasku, sekarang lakukan tugasmu," ucap Sarah kepada Kevin."Beres, jangan terburu-buru," sahut Kevin."Aku sudah menghubungi Bella, tapi dia sa
Tiga hari telah berlalu, kondisi kediaman Wijaya semakin kacau. Bella tidak berhenti bertanya kepada Ramel tentang ucapan Kevin waktu itu, tetapi Ramel selalu berkilah bahkan membentak Bella agar istrinya itu berhenti menanyakannya.Ramel benar-benar pusing dan stres, hidupnya seperti terancam. Ingin rasanya berkata jujur, tetapi ia takut kehilangan Bella."Kamu tidak usah menungguku, malam ini aku tidak akan pulang," ucap Ramel setelah menghabiskan sarapannya."Apa kamu ingin menginap dengan Sarah?" tanya Bella tiba-tiba.Ramel memutar mata ke arah Bella, ditatapnya wanita cantik itu dengan tatapan bingung. Entah kenapa istrinya itu tiba-tiba menyebut nama Sarah."Aku tidak mengerti maksudmu," sahut Ramel yang langsung bangkit dari kursi."Bukankah dalam waktu dekat ini kamu dan Sarah akan melangsungkan pernikahan?" ucap Bella sambil tersenyum sinis, "Aku tidak melarang kamu menikah dengannya, tapi ceraikan dulu aku," lanjutnya."Kita tidak akan pernah bercerita, camkan itu," tegas R
"Apa yang harus aku katakan?" sahut Tania.Wanita tua itu masih berusaha untuk mengelak, walupun ia tahu usahanya itu akan sia-sia karena Bella sudah melihat buktinya."Tentang yang sebenarnya," jawab Kevin."Aku mohon Oma." Kali ini Bella yang membuka mulut.Ia menatap Tania dengan sendu, wajahnya terlihat sedih dan memohon. Hal itu membuat Tania menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata lalu membuka mulut."Iya," ucap Tania masih dengan mata terpejam, "Pelakunya adalah Kakekmu sendiri, bukan Bryan," lanjutnya.Seketika butiran bening bercucuran dari kedua mata indah Bella, ia menutup mulut dengan telapak tangannya. Sungguh kenyataan ini sulit untuk dipercayai, Bella benar-benar tidak menyangka kakeknya begitu tega memfitnah ayahnya."Ke..ke... kenapa Oma menutupinya diriku?" tanya Bella disela-sela tangisan, bahkan ia tidak bisa bicara dengan jelas.Tania mengusap air matanya sendiri, "Oma tidak bermaksud menutupinya darimu sayang," ucapnya."Terus," desak Bella dengan rasa
"Nona Bella pendarahan," jawab Dokter."Maksudnya?" tanya Ramel untuk memperjelas."Nona Bella keguguran." Dokter meralat ucapannya.Ramel tercengang, ia tidak menyangka kalau Bella selama ini sedang mengandung anaknya. Rasa bersalah dan penyesalan semakin menyelimuti hati dan perasaan Ramel. Ia merasa telah membunuh anaknya sendiri."Terus, bagaimana keadaan Bella saat ini?" ucap Ramel sembari bertanya."Nona Bella sedang kritis dan belum sadarkan diri, Pak," jawab jujur Dokter."Selamatkan istriku," perintah Ramel dengan nada lembut namun penuh penekanan."Kami pasti berusaha semaksimal mungkin Pak, berdoalah agar Nona Bella segera sadar," ucap Dokter.Tentu Dokter tidak berani menjamin keselamatan Bella, karena kondisi wanita cantik itu saat ini sedang kritis. Sedangkan Dokter hanyalah seorang tenaga medis, sedangkan pemilik napas adalah Tuhan. Sebesar apapun usah manusia! Jika Tuhan berkehendak lain, semuanya tidak akan terjadi.....................Tiga hari telah berlalu, Bella