Diego menatap rumah Anna dengan perasaan tidak jelas di hatinya. Bahkan, Diego tidak berhenti merutuki dirinya yang bisa-bisanya menyetir sampai ke rumah Anna hanya untuk melihat wanita itu. Sudah dua hari berlalu sejak pertemuan di rumah sakit dan Diego belum melihat Anna lagi. Dari Jovan, Diego tahu Anna sudah pulang ke rumah. Karena itulah, Diego ada di sini, menatap rumah Anna seperti orang gila yang tidak punya tujuan. Diego pun sempat melihat mobil Anna keluar rumah tadi, tapi Jeremy yang menyetir, bukan Anna. "Sial, sudah hampir satu jam kau di sini dan apa yang kau harapkan, Diego? Mengapa mendadak kau menjadi lemah seperti ini?" geram Diego pada dirinya sendiri. Diego terus mengembuskan napas kesalnya. Baru saja Diego berniat pergi dari sana, tapi mendadak sebuah mobil berhenti di depan pintu gerbang. Anna dan Darren pun keluar dari pintu itu sampai Diego mengernyit melihatnya. "Anna? Darren? Mau ke mana mereka? Mengapa memakai mobil lain? Dan ... apa isi tas besar itu?
"Uncle Ronaldo!" Darren memekik senang sambil langsung turun dari kursinya dan memeluk Diego di sana. Diego sendiri sontak memeluk Darren balik. Diego tidak menyukai anaknya Jeremy, tapi anehnya, sekalipun mengetahui fakta itu, Diego tetap menyukai Darren. "Diego, mengapa kau bisa di sini? Dan sini, Darren, sama Mama!" Anna mencoba menarik Darren, tapi Darren menggandeng erat tangan Diego bersamanya. "Darren mau sama Uncle!" "Mengapa dia tidak boleh denganku?" tanya Diego juga yang begitu enggan dipisahkan dari Darren. "Itu ... aku tidak tahu mengapa kau bisa di sini." "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Diego balik. Anna mengernyit. "Aku? Tentu saja aku makan, apa lagi yang bisa dilakukan di restoran?" Diego tersenyum simpul. "Sama seperti yang kau lakukan, aku juga mau makan, Anna. Lagipula ini tempat umum, mengapa kau harus begitu terkejut melihatku di sini?" "Tapi ... ini ...." "Kebetulan? Baiklah, aku juga terkejut melihatmu di sini, tapi bukankah yang
Diego tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Saat biasanya Diego adalah orang yang paling pintar menyembunyikan ekspresinya, tapi di depan Darren, semuanya luntur. Bahkan, tanpa Diego sadari, ia tertawa begitu senang saat makan bersama anak itu. Namun, saat akhirnya Diego menyadari tatapan Anna, tawa itu pun perlahan menghilang lagi. "Ah, kau memiliki anak yang pintar, tapi aku sudah selesai. Aku akan cuci tangan duluan," seru Diego akhirnya. "Darren ikut, Uncle!" Diego hanya mengangguk dan mengajak Darren bersamanya, sedangkan Anna masih begitu betah menatap keduanya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Hingga akhirnya ia buru-buru menyelesaikan makannya karena ia ingin segera kabur dari Diego. "Kau membayar makanannya?" tanya Anna setelah melihat Diego mampir ke meja kasir. "Itu ... terima kasih, sungguh aku tidak minta ditraktir, tapi sekarang aku dan Darren harus pergi. Say goodbye sama Uncle, Darren!" Anna yang buru-buru menarik Darren bersamanya. "Tunggu, Darren m
"Naiklah ke mobilku, aku akan mengantarmu!" Diego akhirnya menawari Anna ikut mobilnya, tapi Anna mati-matian menolak. Bahkan, Anna menolak saat Diego mau membawakan tas besarnya dan Anna memilih membawa tasnya sendiri. "Tidak perlu! Aku akan naik taksi saja!" sahut Anna kukuh. Diego memicingkan matanya menatap Anna. "Sebenarnya kau mau ke mana, Anna? Kau pergi sampai luar kota, tapi kau tidak mengisi bensin mobilnya. Mobil siapa yang kau pakai? Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?" "Aku sudah bilang aku mau liburan dan bisakah jangan menggangguku, Diego?" "Aku mau membantumu, bukan mengganggumu!" "Oh, aku takut sekali dengan bantuanmu karena kau pasti meminta imbalan yang besar." Diego kembali memicingkan matanya. "Kau yang memintanya, Anna. Padahal aku belum memikirkan imbalan apa-apa. Tapi baiklah, yang penting naiklah dulu, aku akan memikirkan imbalannya nanti!" Anna tertawa kesal. "Aku tidak mau! Aku mau mencari taksi saja!" seru Anna kukuh. Namun, Darren mendadak ingi
Anna buru-buru meraih ponselnya di ruang tamu saat ponselnya terus berbunyi. Jantung Anna pun memacu kencang memikirkan siapa yang meneleponnya. Dan Anna pun langsung menahan napasnya sejenak saat melihat nama Jeremy di sana. "Jeremy. Jeremy meneleponku. Tidak usah diangkat! Ya, tidak usah diangkat saja!" Anna baru saja berniat menyimpan ponselnya kembali saat sebuah pesan masuk. Dengan tangan yang gemetar, Anna membuka pesannya dan Anna membelalak melihat foto Martha yang sedang tidur di ranjangnya. "Sial, apa ini? Mengapa ada foto Ibu? Apa yang Jeremy lakukan pada Ibu?" geram Anna ketakutan. Tidak lama kemudian, Jeremy kembali meneleponnya. "Mengapa semua orang harus mengancamku seperti ini? Sial!!!" geram Anna lagi, sebelum akhirnya ia mengangkat teleponnya. "Apa yang kau mau, Jeremy?" "Kau tidak sedang berniat kabur dariku kan, Sayang? Bahkan, kau membawa Darren pergi. Katakan apa rencanamu?" "Rencanaku tidak ada hubungannya denganmu, tapi jangan pernah menyentuh ibuku, Je
"Apa yang mau kau lakukan dengan foto-foto itu? Dan sampai kapan kau di sini?" Martha menatap bingung pada asisten Jeremy yang bernama Bram itu. Tiba-tiba Bram menjenguknya dan meminta ijin untuk mengambil foto Martha. "Bu Anna hanya rindu pada Anda, Bu Martha. Tapi karena Bu Anna tidak sempat ke sini, aku diminta untuk mengambil foto Anda," jawab Bram tenang. Padahal Bram diutus Jeremy agar Jeremy bisa mengancam Anna. "Ah, begitu ya. Mengapa aneh sekali? Biasanya kalau rindu, Anna bisa meneleponku, aku punya ponsel. Ah, memang sering kehabisan baterai karena aku tidak ingat untuk menge-cas-nya, tapi dia bisa menelepon suster juga kan?" Bram tidak menjawab ucapan Martha dan hanya diam sampai Martha makin mengernyit. Ini tidak biasa. Sungguh tidak biasa. Namun, Martha tidak berpikiran apa pun selain merasa aneh. Tidak lama kemudian, ponsel Bram berbunyi dan Bram langsung mengangkatnya. "Baik, Pak. Aku akan pergi sekarang!" Bram menutup teleponnya dan berpamitan pada Martha lal
"Jovan, aku mau kau mencari lagi info tentang Darren, anaknya Anna. Semuanya, termasuk dia sekolah di mana. Segera beri aku kabar kalau kau sudah mendapatkan infonya!" "Baik, Pak."Diego menutup teleponnya dengan gusar. Sebuah keyakinan baru mendadak makin kuat bahwa Darren mungkin memang anaknya. Namun, kenyataan-kenyataan lain sama sekali tidak bisa diabaikan sampai masih ada keraguan di hati Diego. "Kalau Anna memang sudah hamil waktu itu, mengapa dia tidak memberitahuku dan malah menceraikan aku?" "Dia membiarkan aku di penjara, padahal anakku butuh Papanya. Tapi bukankah dia malu punya suami miskin, apalagi narapidana seperti aku?" "Sial! Tapi kalau dia tidak berselingkuh, bagaimana bisa secepat itu dia menikah dengan Jeremy?"Kepala Diego berdenyut memikirkan semuanya sampai Diego hanya terdiam di parkiran hotel sambil menggenggam erat-erat setirnya. Diego terus menatap pintu masuk hotel begitu lama malam itu. Satu jam atau dua jam, Diego tidak tahu lagi. Entah apa yang Die
Martha dan Bik Nim langsung membelalak mendengar laporan Darren. Untuk sesaat, keduanya hanya terdiam, sebelum Martha menatap Bik Nim. "Apa maksudnya, Bik?" Bik Nim menggeleng. "Aku tidak tahu, Bu. Sungguh, aku tidak tahu. Darren ... Darren lihat di mana?" Bik Nim menatap Darren dengan ekspresi yang sama kagetnya. Tentu saja Bik Nim sudah sering melihat pertengkaran antara Jeremy dan Anna. Jeremy menarik Anna atau mendorong Anna dengan kasar juga sudah sering dilihatnya sampai Bik Nim takut. Apalagi Jeremy membentak Anna dan Darren. Semua sudah pernah dilihat dan disembunyikan dengan baik oleh Bik Nim karena Bik Nim tahu memang ada sebagian pria yang seperti itu dan nyatanya, rumah tangga masih bisa berjalan dengan kepala rumah tangga yang kasar. Namun, Bik Nim tidak pernah melihat langsung Anna dipukul dalam bentuk apa pun. Martha yang melihat ekspresi bingung Bik Nim pun akhirnya kembali menatap cucunya. "Darren, jangan bicara sembarangan! Darren lihat di mana?" "Darren tida
"Terima kasih untuk bantuan dan perawatannya selama ini!" Anna benar-benar berterima kasih dari hatinya yang paling dalam untuk dokter dan suster yang merawatnya selama berminggu-minggu ia dan Diego menginap di rumah sakit. "Sama-sama, Bu Anna! Kami senang sekali melihat Bu Anna dan Pak Diego bisa keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang stabil." "Aku juga senang, Suster. Aku sudah tidak sabar pulang ke rumah. Istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan." "Tentu saja, Bu! Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ya." Hari itu akhirnya Anna dan Diego diijinkan keluar dari rumah sakit. Tentu saja mereka harus tetap kontrol rutin dan membatasi aktivitasnya. Mereka masih belum boleh beraktivitas berat dan terlalu lelah karena tubuh mereka masih adaptasi.Biasanya pasien transplantasi butuh waktu beberapa bulan sampai satu tahun untuk bisa beraktivitas normal, tergantung pemulihan masing-masing. Dokter juga sudah menjelaskan bagaimana Anna dan Diego harus beraktivitas di rumah nanti. Mer
"Apa aku sudah cantik, Joyce? Apa ini tidak terlalu menor?" Anna berdandan hari itu karena setelah beberapa hari dirawat, Diego akhirnya akan keluar dari ruang isolasi dan dipindahkan ke kamar rawat inap biasa. Ini akan menjadi pertemuan pertama antara Anna dan Diego secara langsung tanpa ada batasan kaca dan jantung Anna kembali berdebar kencang. Joyce yang melihatnya sampai terus tertawa sendiri. Di umur Anna yang sudah matang, tidak seharusnya Anna heboh sendiri seperti ini, tapi Joyce paham, sangat paham. Bahkan, Joyce ikut tidak sabar menantikan pertemuan itu. "Sudah cantik, Anna! Sama sekali tidak menor! Aku yakin Diego tidak akan berkedip melihatmu!" Anna tergelak mendengarnya dan mendadak tersipu sendiri. Tidak lama kemudian, Darren pun datang bersama Bik Nim dan Retha. "Mama!" "Darren Sayang!" Anna memeluk anak kesayangannya itu. Anna sendiri sudah mulai belajar berjalan, tapi karena tubuhnya masih adaptasi, Anna masih harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat.
"Diego sudah sadar, Anna! Diego sudah sadar!"Akhirnya Anna mendengar kabar yang ingin ia dengar. Anna sampai tidak bisa beristirahat sepanjang sisa hari itu karena ia memikirkan Diego-nya. "Kau yakin, Joyce? Kau tidak berbohong kan? Kau sudah melihatnya? Apa itu benar? Diego sudah sadar?" "Diego sudah membuka matanya. Aku bertemu dengan dokter dan suster di bawah." "Ya Tuhan! Syukurlah! Syukurlah Diego sudah membuka matanya." Anna kembali menangis malam itu, tapi tangisan ini tangisan bahagia. "Terima kasih, Tuhan! Terima kasih! Tapi aku mau melihatnya, Joyce! Aku mau melihatnya!" "Sabar dulu, Anna! Kata suster, Diego baru saja membuka matanya malam ini dan dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun. Dokter juga harus memastikan Diego stabil setidaknya sampai besok. Besok baru kita bisa melihatnya." "Tapi aku ingin melihatnya sebentar saja." "Sepertinya tidak bisa, Anna. Diego ada di ruang isolasi yang peraturannya sangat ketat. Kita harus bersabar sampai besok. Aku juga akan me
"Maaf, Bu. Waktu kunjungan yang diijinkan oleh dokter sudah habis. Anda harus keluar dulu ya." Seorang suster tersenyum ramah pada Anna yang masih menggenggam tangan Diego."Sebentar lagi saja, Suster. Aku masih merindukannya ...." "Maaf, Bu, tapi aturan di ruang isolasi sangat ketat. Makin lama Anda di sini, resiko pasien akan makin besar." Anna tersenyum lirih sambil terus membelai tangan Diego dalam genggamannya. Anna pun mengangguk dan dengan enggan mengucapkan perpisahannya dengan Diego. "Diego, aku harus pergi dulu karena suster tidak mengijinkan aku terlalu lama. Tapi aku menunggumu. Ingatlah kalau aku menunggumu. Kau harus segera sadar. Kau mengerti?" Anna mencium tangan Diego dan menatapnya lekat, sebelum akhirnya Anna mengangguk menatap suster. Suster pun mendorong kursi roda Anna menuju ke pintu keluar. Namun, belum sempat mereka keluar, suara bip yang lebih cepat dari biasanya terdengar dari monitor di ruangan Diego. "Sebentar, Bu!" Suster langsung berhenti mendoro
"Di mana aku?"Diego berjalan sendirian di tengah taman yang luas. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, seolah-olah ia hanya melayang di atas tanah. Di sekelilingnya, pohon-pohon tinggi menjulang, daunnya berwarna keemasan seakan diterpa cahaya matahari senja yang lembut. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang bermekaran. Namun, ada sesuatu yang aneh, tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Hening. Sepi.Diego menunduk, memperhatikan dirinya sendiri. Bajunya putih bersih, kakinya tidak beralas, tapi ia tidak merasakan dingin atau pun panas. Rasanya kosong, seakan-akan tubuhnya bukan lagi miliknya. Ini ... mimpi? Atau ... apakah ia sudah mati?Tiba-tiba, di kejauhan, Diego melihat sesuatu yang begitu indah. Anna-nya berdiri di bawah sebuah pohon sakura yang sedang berbunga, angin menerbangkan kelopak-kelopak merah muda di sekitarnya. Wajah Anna berseri-seri, tubuhnya tampak sehat, tidak lagi pucat dan lemah seperti tera
"Dokter, tolong katakan padaku siapa yang mendonorkan hatinya padaku! Tolong, Dokter!" Dokter visit sore itu ke kamar Anna dan Anna mendesaknya untuk memberitahu identitas pendonornya, tapi sang dokter yang sudah terikat janjinya kukuh tidak memberitahukan apa pun. "Maaf, ini permintaan dari pendonor untuk identitasnya dirahasiakan." "Tapi pendonornya dari keluargaku kan? Mana dia? Aku mau melihatnya, Dokter! Dia keluargaku kan?" Sang dokter nampak salah tingkah dan melirik suster yang sudah keceplosan itu."Maaf lagi, Bu Anna! Tapi Anda baru saja sembuh, Anna harus tenang dulu!" "Aku tenang, Dokter! Aku sangat tenang. Aku hanya mau tahu siapa yang sudah mendonorkan hatinya padaku, aku harus berterima kasih padanya." "Seperti yang sudah kubilang, kami tidak bisa memberitahukan identitas pendonor. Tolong istirahat, Bu Anna!" Dokter dan suster akhirnya berhasil keluar dari kamar itu tanpa memberitahukan apa pun pada Anna, tapi begitu Joyce masuk, Joyce yang menjadi sasaran Anna.
Empat hari berlalu sejak Anna sadar dan kondisi Anna sudah benar-benar stabil, Anna pun akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan semua orang pun bernapas lega karenanya. Anna sudah bisa duduk di ranjangnya walaupun belum bisa terlalu lama karena rasanya masih pegal. Terkadang ada rasa aneh di tubuhnya karena menurut dokter, organ-organ Anna masih beradaptasi lagi. Tapi kondisi Anna sudah sangat aman."Pak Rusli, Anda datang!" sapa Anna saat Pak Rusli menjenguknya untuk pertama kalinya sejak Anna sadar. Sebelumnya, Anna ditempatkan di ruang isolasi yang tidak bisa sembarangan dijenguk, sehingga Pak Rusli baru datang sekarang. "Bu Anna, aku senang sekali melihat Anda sudah sadar. Ini benar-benar mukjizat. Aku sedih sekali saat tahu Anda pergi dan menyembunyikan penyakit Anda." "Semua sudah berlalu, Pak Rusli. Tapi Tuhan baik, Tuhan sangat baik. Tuhan mengijinkan kita memenangkan kasus dengan Jeremy dan Tuhan memberiku kesempatan hidup kedua." "Anda benar, Bu Anna. Tuhan s
Cahaya putih yang menyilaukan menusuk kelopak mata Anna saat ia membuka matanya. Ada sensasi berat di tubuhnya, seolah ia baru saja melewati sesuatu yang sangat besar. Dadanya terasa sesak, dan ada selang oksigen yang membantu pernapasannya. Semua terasa asing, tapi juga … ringan.Anna berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan di sekelilingnya. Dinding putih, bau antiseptik yang menusuk, serta suara monitor jantung yang berdetak pelan di sampingnya. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat bayangan beberapa orang di sekitarnya. "Anna, kau sudah sadar? Anna ...."Anna mengenali suara Joyce yang penuh kecemasan. Perlahan pandangannya mulai jelas dan benar saja, wajah Joyce terlihat di hadapannya. Sahabatnya itu membungkuk sambil tertawa haru. "Anna ... kau lihat aku? Kau kenal aku kan?" "J-Joyce ...."Anna mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering, suaranya hanya keluar sebagai bisikan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan Joyce langsung menggenggamn
"Bu Martha, aku tahu Anda sudah tenang di sana. Aku tidak akan mengganggu Anda. Aku hanya ingin meminta ... kalau Anda dekat dengan Tuhan, tolong minta keselamatan ... bukan untukku, tapi untuk Anna." "Anna akan dioperasi dan restuilah agar operasi ini berjalan lancar. Maaf waktu itu aku terlambat mengetahui semuanya. Maaf aku tidak sempat menyelamatkan Anda. Tapi kali ini ... aku janji akan menyelamatkan anak Anda." "Aku janji akan membuat anak Anda bahagia. Aku janji, Bu Martha. Aku hanya meminta restu Anda ...." Diego menatap langit penuh bintang malam itu dan berharap Martha bisa mendengarnya. Semua pemeriksaan sudah dielesaikan dalam beberapa hari berikutnya dan Diego dinyatakan siap melakukan operasi transplantasi hati itu. Jadwal operasi pun sudah dibuat dan besok, Diego akan memberikan hatinya untuk wanita yang sangat ia cintai itu. Semua orang sudah merestui, entah terpaksa atau tidak, Diego sudah tidak mau memikirkannya lagi. Diego hanya minta doa agar semuanya dilanca