Diego tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Saat biasanya Diego adalah orang yang paling pintar menyembunyikan ekspresinya, tapi di depan Darren, semuanya luntur. Bahkan, tanpa Diego sadari, ia tertawa begitu senang saat makan bersama anak itu. Namun, saat akhirnya Diego menyadari tatapan Anna, tawa itu pun perlahan menghilang lagi. "Ah, kau memiliki anak yang pintar, tapi aku sudah selesai. Aku akan cuci tangan duluan," seru Diego akhirnya. "Darren ikut, Uncle!" Diego hanya mengangguk dan mengajak Darren bersamanya, sedangkan Anna masih begitu betah menatap keduanya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Hingga akhirnya ia buru-buru menyelesaikan makannya karena ia ingin segera kabur dari Diego. "Kau membayar makanannya?" tanya Anna setelah melihat Diego mampir ke meja kasir. "Itu ... terima kasih, sungguh aku tidak minta ditraktir, tapi sekarang aku dan Darren harus pergi. Say goodbye sama Uncle, Darren!" Anna yang buru-buru menarik Darren bersamanya. "Tunggu, Darren m
"Naiklah ke mobilku, aku akan mengantarmu!" Diego akhirnya menawari Anna ikut mobilnya, tapi Anna mati-matian menolak. Bahkan, Anna menolak saat Diego mau membawakan tas besarnya dan Anna memilih membawa tasnya sendiri. "Tidak perlu! Aku akan naik taksi saja!" sahut Anna kukuh. Diego memicingkan matanya menatap Anna. "Sebenarnya kau mau ke mana, Anna? Kau pergi sampai luar kota, tapi kau tidak mengisi bensin mobilnya. Mobil siapa yang kau pakai? Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?" "Aku sudah bilang aku mau liburan dan bisakah jangan menggangguku, Diego?" "Aku mau membantumu, bukan mengganggumu!" "Oh, aku takut sekali dengan bantuanmu karena kau pasti meminta imbalan yang besar." Diego kembali memicingkan matanya. "Kau yang memintanya, Anna. Padahal aku belum memikirkan imbalan apa-apa. Tapi baiklah, yang penting naiklah dulu, aku akan memikirkan imbalannya nanti!" Anna tertawa kesal. "Aku tidak mau! Aku mau mencari taksi saja!" seru Anna kukuh. Namun, Darren mendadak ingi
Anna buru-buru meraih ponselnya di ruang tamu saat ponselnya terus berbunyi. Jantung Anna pun memacu kencang memikirkan siapa yang meneleponnya. Dan Anna pun langsung menahan napasnya sejenak saat melihat nama Jeremy di sana. "Jeremy. Jeremy meneleponku. Tidak usah diangkat! Ya, tidak usah diangkat saja!" Anna baru saja berniat menyimpan ponselnya kembali saat sebuah pesan masuk. Dengan tangan yang gemetar, Anna membuka pesannya dan Anna membelalak melihat foto Martha yang sedang tidur di ranjangnya. "Sial, apa ini? Mengapa ada foto Ibu? Apa yang Jeremy lakukan pada Ibu?" geram Anna ketakutan. Tidak lama kemudian, Jeremy kembali meneleponnya. "Mengapa semua orang harus mengancamku seperti ini? Sial!!!" geram Anna lagi, sebelum akhirnya ia mengangkat teleponnya. "Apa yang kau mau, Jeremy?" "Kau tidak sedang berniat kabur dariku kan, Sayang? Bahkan, kau membawa Darren pergi. Katakan apa rencanamu?" "Rencanaku tidak ada hubungannya denganmu, tapi jangan pernah menyentuh ibuku, Je
"Apa yang mau kau lakukan dengan foto-foto itu? Dan sampai kapan kau di sini?" Martha menatap bingung pada asisten Jeremy yang bernama Bram itu. Tiba-tiba Bram menjenguknya dan meminta ijin untuk mengambil foto Martha. "Bu Anna hanya rindu pada Anda, Bu Martha. Tapi karena Bu Anna tidak sempat ke sini, aku diminta untuk mengambil foto Anda," jawab Bram tenang. Padahal Bram diutus Jeremy agar Jeremy bisa mengancam Anna. "Ah, begitu ya. Mengapa aneh sekali? Biasanya kalau rindu, Anna bisa meneleponku, aku punya ponsel. Ah, memang sering kehabisan baterai karena aku tidak ingat untuk menge-cas-nya, tapi dia bisa menelepon suster juga kan?" Bram tidak menjawab ucapan Martha dan hanya diam sampai Martha makin mengernyit. Ini tidak biasa. Sungguh tidak biasa. Namun, Martha tidak berpikiran apa pun selain merasa aneh. Tidak lama kemudian, ponsel Bram berbunyi dan Bram langsung mengangkatnya. "Baik, Pak. Aku akan pergi sekarang!" Bram menutup teleponnya dan berpamitan pada Martha lal
"Jovan, aku mau kau mencari lagi info tentang Darren, anaknya Anna. Semuanya, termasuk dia sekolah di mana. Segera beri aku kabar kalau kau sudah mendapatkan infonya!" "Baik, Pak."Diego menutup teleponnya dengan gusar. Sebuah keyakinan baru mendadak makin kuat bahwa Darren mungkin memang anaknya. Namun, kenyataan-kenyataan lain sama sekali tidak bisa diabaikan sampai masih ada keraguan di hati Diego. "Kalau Anna memang sudah hamil waktu itu, mengapa dia tidak memberitahuku dan malah menceraikan aku?" "Dia membiarkan aku di penjara, padahal anakku butuh Papanya. Tapi bukankah dia malu punya suami miskin, apalagi narapidana seperti aku?" "Sial! Tapi kalau dia tidak berselingkuh, bagaimana bisa secepat itu dia menikah dengan Jeremy?"Kepala Diego berdenyut memikirkan semuanya sampai Diego hanya terdiam di parkiran hotel sambil menggenggam erat-erat setirnya. Diego terus menatap pintu masuk hotel begitu lama malam itu. Satu jam atau dua jam, Diego tidak tahu lagi. Entah apa yang Die
Martha dan Bik Nim langsung membelalak mendengar laporan Darren. Untuk sesaat, keduanya hanya terdiam, sebelum Martha menatap Bik Nim. "Apa maksudnya, Bik?" Bik Nim menggeleng. "Aku tidak tahu, Bu. Sungguh, aku tidak tahu. Darren ... Darren lihat di mana?" Bik Nim menatap Darren dengan ekspresi yang sama kagetnya. Tentu saja Bik Nim sudah sering melihat pertengkaran antara Jeremy dan Anna. Jeremy menarik Anna atau mendorong Anna dengan kasar juga sudah sering dilihatnya sampai Bik Nim takut. Apalagi Jeremy membentak Anna dan Darren. Semua sudah pernah dilihat dan disembunyikan dengan baik oleh Bik Nim karena Bik Nim tahu memang ada sebagian pria yang seperti itu dan nyatanya, rumah tangga masih bisa berjalan dengan kepala rumah tangga yang kasar. Namun, Bik Nim tidak pernah melihat langsung Anna dipukul dalam bentuk apa pun. Martha yang melihat ekspresi bingung Bik Nim pun akhirnya kembali menatap cucunya. "Darren, jangan bicara sembarangan! Darren lihat di mana?" "Darren tida
"Dah, Grandma!" "Dah, Darren sayang, tapi apa kau harus pergi secepat ini, Anna? Mengapa kunjunganmu kali ini sebentar sekali?" tanya Martha sedih. "Itu ... aku benar-benar ada urusan, Ibu. Besok aku akan ke sini lagi ya." "Tapi janji pada Ibu kalau ada apa-apa kau harus cerita ya!" "Aku selalu menceritakan apa pun pada Ibu kan? Tidak usah khawatir, Ibu!" Martha hanya terdiam dan tidak mengangguk. Martha tahu Anna berbohong. Terlalu banyak kebohongan yang Anna simpan sendiri. "Ibu akan mengaktifkan ponsel Ibu terus 24 jam. Ibu harus jadi orang pertama yang kau telepon kalau kau membutuhkan, Anna." Anna mengembuskan napas panjangnya dan mengangguk. "Aku akan sering-sering menelepon Ibu." Martha ikut mengangguk. Mereka kembali berpamitan, sebelum Anna keluar duluan membawa Darren, sedangkan Martha menahan tangan Bik Nim. "Kau tahu nomor teleponku kan, Bik? Apa pun yang terjadi pada Anna, tolong beritahu padaku, termasuk apa pun yang terjadi pada Darren." Bik Nim mengangguk de
"Apa saja info yang sudah kau dapatkan, Jovan?" Diego langsung menyingkirkan semua berkas di mejanya saat Jovan datang membawa laporannya tentang Darren. "Ini tanggal lahirnya, ini nama rumah sakit tempat Darren dilahirkan, dan Darren bersekolah di sini." "Bu Anna dan Pak Jeremy menikah di tanggal ini, Pak. Semua datanya ada di sini." Jovan menyerahkan berkasnya dan Diego mempelajarinya lagi dengan teliti. Sebagian besar sudah pernah Diego lihat karena Jovan sudah pernah melaporkan yang sama tentang Anna dan Darren. Diego juga sudah tahu bahwa Darren lahir delapan bulan setelah Diego dan Anna bercerai. "Tidak ada yang bisa menegaskan apa Darren itu anakku, Jovan," geram Diego frustasi. Jovan sempat mengernyit mendengarnya. Jovan tahu masa lalu Diego. Yang Jovan tidak tahu adalah siapa mantan istri Diego itu. "Maaf, maksudnya, Pak?" "Anna adalah mantan istriku yang berkhianat dan ada kemungkinan Darren itu anakku." Jovan terdiam mendengar kenyataan itu dan itu menjelaskan sik
"Itu Mama!" seru Darren saat ia baru saja kembali ke ruangan Martha. Diego menggendong Darren agar tidak berlarian di rumah duka. Diego pun bisa melihat Anna yang masih mengobrol dengan seorang wanita yang dari belakang terlihat familiar. Namun, sungguh, Diego tidak berpikir sama sekali bahwa wanita itu adalah Bella. Sampai saat Darren akhirnya memanggil Anna. "Mama ...." Sontak seorang wanita menoleh dan Diego pun sontak menghentikan langkahnya saat tatapannya bertemu dengan tatapan Bella. Untuk sesaat, semuanya hening. Bukan hanya Diego yang mematung, tapi Anna juga. Sampai suara Bella yang terdengar duluan di sana. "Diego? Ternyata kau di sini juga?" seru Bella yang mendadak kembali tersenyum, seolah hatinya begitu tulus tanpa prasangka. Bella pun melangkah mendekati Diego sambil menatap Darren di gendongannya. "Halo, siapa ini, Sayang?" tanya Bella sambil melirik Diego, pria yang dirindukan. Diego sendiri menatap Bella dengan tatapan goyah. Diego belum menjawab apa pun,
"Anna! Anna!" Joyce, teman sekaligus sahabat terbaik Anna, datang melayat ke rumah duka siang itu. Sungguh, Anna ingin acara yang sangat sederhana untuk ibunya. Bukan tidak menghargai ibunya, tapi untuk menjaga privasi karena kematian ibunya bukan dengan cara yang baik dan terlalu banyak aib keluarga di sana. Namun, tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk acara sederhana. Anna tidak punya rumah lagi setelah keluar dari rumah Jeremy. Rumah Jeremy sendiri sudah disegel karena pemiliknya berkasus. Jadi, Anna meletakkan jasad ibunya di rumah duka. Anna sempat memberitahu keluarga Martha, barangkali mereka mau datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Namun, benar kata Martha, mereka sudah lama menganggap Martha mati karena tidak satu pun keluarga Martha yang datang. Hanya ada Pak Rusli dan beberapa karyawannya yang mengenal Martha, Bik Nim, Diego, Jovan, Anna, dan Darren. Terlalu menyedihkan untuk mengantarkan Martha ke peristirahatan terakhirnya, tapi cukup melegakan karena
"Sial! Aku tidak pernah tahu kalau Diego itu ternyata adalah mantan suami Anna! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, hah?" "Sejak awal Anna dan Diego sudah membodohi aku? Keduanya sudah saling mengenal dan memang benar berselingkuh di belakangku?" "Bahkan mereka punya anak ... sial! Darren itu anak Diego! Mengapa kau begitu bodoh dan tidak bisa mencari tahu tentang hal seperti itu, Bram!"Jeremy tidak berhenti berteriak kesal setelah Diego dan Anna pulang. Jeremy yang sudah dikembalikan ke selnya pun begitu emosi sampai menendang kaki Bram. Keduanya ditempatkan di satu sel yang sama, sel sementara di kantor polisi, tapi Jeremy sudah hampir gila sekarang. "Anna memukuli aku dan Diego brengsek itu membuat wajahku bengkak! Sial! Buatkan gugatan! Buatkan gugatan untuk perselingkuhan dan penipuan! Mereka menipuku! Mereka menipuku habis-habisan dan tertawa di atas penderitaanku!" Jeremy membentak pengacaranya yang saat ini juga sudah berdiri di depan selnya. "Maaf, Pak. Itu tidak bisa d
"Hasil forensiknya sudah keluar. Dari tanda fisik yang telah diperiksa, dapat disimpulkan bahwa Bu Martha meninggal karena dicekik." Diego dan Anna akhirnya pergi ke rumah sakit menjelang malam itu dan hasil pemeriksaan forensik untuk penyebab utama kematian sudah keluar. "Selain itu, ada bekas darah di kuku Bu Martha yang menunjukkan Bu Martha sempat melakukan perlawanan. Kemungkinan darah tersebut adalah darah dari pelaku saat Bu Martha mencakar lengan sang pelaku," jelas sang dokter lagi. Seorang polisi yang menhandle kasus ini pun mengangguk dan menambahkan keterangannya. "Sesuai instruksi, kami juga langsung mencocokkan sidik jari yang ditemukan dengan sidik jari dari Pak Jeremy, hasilnya cocok. Pak Jeremy menolak melakukan tes DNA untuk darah di kuku Bu Martha, tapi bekas cakaran di lengan Pak Jeremy sudah bisa menjadi bukti kuat." "CCTV rumah sakit juga bisa membuktikan bahwa Pak Jeremy adalah orang terakhir yang keluar dari kamar Bu Martha setelah Bu Martha meninggal. Bu
Anna membuka matanya sambil mengernyit pagi itu. Tubuhnya terasa begitu lelah dan sakit semua. Anna kesulitan bergerak dan rasa di tenggorokannya begitu kering."Hmm, aku tertidur," gumam Anna. "Di mana ini?" Anna masih mengernyit menatap sekelilingnya yang begitu asing. Anna belum pernah ke apartemen Diego sebelumnya. "Akhh ...," rintih Anna saat ia bangkit duduk. Tidak ada siapa-siapa di samping Anna dan ia sendirian di kamar itu, tapi Anna bisa merasakan aroma parfum yang familiar di sana. Parfum yang biasa Diego pakai. "Ini pasti apartemennya. Hmm, kepalaku sakit sekali," gumam Anna lagi. Demam membuat tubuhnya terasa linu dan sakit di semua bagian. Namun, perlahan Anna bangkit dari ranjangnya dan ia langsung bisa mendengar suara ribut dari luar kamar. Suara ribut yang menyenangkan, suara tawa, dan suara teriakan sumringah anak kecil. Suara yang jarang ia dengar di rumah karena Darren tidak berani tertawa terlalu keras saat ada Jeremy. Suara itu pun membuat Anna penasaran d
Martha benar. Semua cerita Martha benar. Diego tidak pernah meragukannya. Hanya saja, barang berharga yang Diego temukan menegaskan kebenaran itu dan membuat Diego makin membenci dirinya yang begitu brengsek. "Maafkan aku, Anna! Maafkan aku! Aku bodoh! Aku sangat bodoh! Maafkan aku!" ucap Diego penuh penyesalan. Cukup lama Diego meredakan tangisannya, sebelum Diego menggantikan Anna baju. Diego menyeka tubuh Anna dengan kain hangat agar wanita itu merasa nyaman lalu memakaikan sepasang baju tidur yang hangat. Anna hanya membawa satu pasang baju tidur. Dua celana panjang dan beberapa atasan. Hanya itu yang ia bawa dalam pelariannya kali ini. "Besok kita akan belanja. Besok kita akan membeli banyak baju untukmu dan Darren," bisik Diego yang terus membelai kepala Anna sayang. Tidak lama kemudian, Anna mulai bergerak gelisah karena mimpi buruknya dan ia mulai mengigau. Namun, Diego langsung memeluk dan menenangkannya. Diego duduk bersandar di ranjang dan memeluk Anna begitu erat sa
Anna tertidur.Anna tidak tahu kapan pastinya ia tertidur dan sudah berapa lama, tapi Anna hanya bisa merasakan linu di sekujur tubuhnya. Anna juga menggigil dan rasanya sama sekali tidak nyaman. "Kau demam, Anna!" Diego baru saja menghentikan mobilnya di parkiran apartemennya malam itu. Sebenarnya jarak antara rumah sakit dan apartemen tidak sejauh itu, tapi Diego memutar lagi arah mobilnya saat melihat Anna yang akhirnya tertidur. Diego ingin Anna bisa tidur lelap dulu agar Diego tinggal menggendongnya nanti, tapi ternyata Diego malah mendapati Anna yang demam. "Kau dengar aku, Anna? Bagaimana rasanya? Apa kita perlu ke rumah sakit lagi?" bisik Diego lembut, mencoba membangunkan Anna yang terlihat menggigil dan tidak nyaman. Namun, Anna menggeleng dan menarik Diego mendekat, berusaha mencari kehangatan karena ia sangat kedinginan. Diego yang masih duduk di mobilnya pun langsung bergerak cepat, membuka sabuk pengaman, turun dari mobil, dan akhirnya menggendong Anna naik ke apar
Diego benar-benar tersentak mendengar ucapan Anna sampai ia menoleh kaget. "Sial, Anna! Apa yang kau katakan, hah?" "Aku serius! Bukankah kau yang duluan menginginkan tubuhku untuk membayar hutang operasi Darren dan investasi di perusahaan Jeremy? Hanya itu yang aku punya. Aku tahu waktu itu aku sudah menolaknya, tapi aku menarik kembali ucapanku, bagaimana kalau kau memakaiku saja sampai kau puas?" Lagi-lagi Anna tertawa begitu frustasi sampai Diego pun menggenggam erat setirnya. Dengan geram, Diego membelokkan mobilnya ke pinggir jalan dan menghentikan mobilnya asal. Anna ikut tersentak. "Ada apa ini? Mengapa kita berhenti di sini? Aku harus menjemput Darren." Diego tidak menyahutinya, tapi Diego membuka sabun pengamannya dan menatap Anna. Diego menangkup wajah Anna dan menatapnya lekat-lekat. Wajah cantik itu masih belum benar-benar hidup. Kedua manik mata indah itu juga tidak menyala, hingga air mata Diego pun ikut menetes. Bukankah saat kita sedang bersedih, hal yang akan
"Anna sialan! Diego sialan! Brengsek semua!" Jeremy tidak berhenti mengumpat saat akhirnya ia terpaksa turun dari pesawat dan ikut dengan polisi. Namun, Jeremy tidak mau terlihat seperti seorang buronan dan ia ingin tetap terlihat terhormat. Jeremy pun berjanji tidak akan kabur, tapi ia menolak diborgol. Polisi mengijinkannya berjalan sendiri dengan pengawasan ketat karena ternyata di bawah pesawat sendiri sudah ada beberapa anggota polisi yang lain. "Berani sekali kalian memperlakukan aku seperti ini! Aku bukan penjahat!" "Silakan dijelaskan di kantor, Pak! Anda juga dipersilakan memanggil pengacara. Tapi selama proses penyelidikan, Anda tidak diijinkan pergi ke luar kota maupun luar negeri." Jeremy tidak banyak bicara lagi, tapi ia tidak berhenti mengirim pesan pada pengacaranya yang dengan cepat sudah menunggu di kantor polisi. Jeremy pikir malam itu ia akan langsung bebas dan pulang ke rumah, tapi sialnya, Martha brengsek itu sebelum meninggal sudah membuat banyak laporan me