"Hmm, aku belum jalan-jalan ke mall sama sekali sejak aku pulang. Ini menyenangkan sekali, Sayang. Bella tertawa begitu sumringah saat akhirnya Diego kembali ke kantor siang menjelang sore itu. Diego kembali sangat terlambat, tapi Bella sengaja tidak makan siang duluan agar ia bisa makan berdua dengan tunangannya itu. Diego pun membawa Bella ke mall. "Maaf aku tidak ikut rapat tadi pagi." "Tidak masalah. Aku sudah bilang aku bisa menghandlenya kan? Dan aku menghandlenya dengan baik. Bahkan, aku membuat laporan hasil rapat untuk kau pelajari." Diego tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Bella. Kalau ada kau, semua pekerjaan pasti beres." "Tentu saja! Tapi ayo makan yang banyak!" Bella langsung menambahkan lauk di piring Diego. Diego pun makan dengan bersemangat karena perasaan hatinya sendiri sedang senang setelah melewatkan waktu bersama Darren. Walaupun sebentar, tapi sangat berarti. "Setelah makan, temani aku jalan-jalan sebentar ya!" pinta Bella. "Tentu!" Bella pun teru
"Apa tidak bisa kalian menginap di sini saja, Anna? Jangan kembali ke neraka itu lagi!" seru Martha setelah cukup lama ia dan Anna mengobrol bersama di kamar. Anna yang sudah lebih tenang pun mendekati Martha dan tersenyum. "Untuk saat ini tidak bisa, Ibu. Kalau aku tidak pulang, dia akan marah dan aku akan kembali ...." Anna menghentikan ucapannya karena Martha sudah akan menangis lagi. "Laporkan dia sekarang juga, Anna! Ibu mohon! Kalau kau tidak mau, Ibu yang akan melaporkannya!" tegas Martha. "Sudah ada bukti video, apa lagi yang kau tunggu?" Anna tidak menjawabnya, tapi mendadak Martha teringat sesuatu. "Atau kau minta bantuan Pak Rusli saja, pengacara keluarga kita. Kau masih menyimpan nomornya kan? Dia bisa membantumu. Dia sangat baik. Dia masih sering menjenguk Ibu sampai sekarang, walaupun Ibu terlalu malu untuk meminta bantuannya karena banyak hutang kita padanya yang belum dibayar." "Tapi saat ini, hanya dia yang bisa membantu kita. Hubungi dia dan minta dia mengurus
"Apa kau akan kembali ke kantor, Sayang?" Lagi-lagi Bella menelepon Diego sore itu. Diego sendiri masih terdiam cukup lama di depan ruang laboratorium setelah ia mengetahui bahwa Darren adalah anaknya. Perasaan Diego tidak bisa dijelaskan. Ada rasa sayang yang membuncah, tapi ada rasa tidak terima juga karena Anna menyembunyikan semuanya. Diego pun berniat langsung mencari Anna setelah dari rumah sakit. "Aku tidak akan kembali ke kantor, Bella. Urusanku belum selesai," jawab Diego akhirnya. "Hmm, lalu apakah nanti malam kita bisa bertemu lagi? Aku akan ke apartemenmu." "Mungkin tidak bisa. Maafkan aku, Bella! Tapi aku benar-benar harus menyelesaikan sesuatu dan aku tidak tahu jam berapa akan pulang nanti. Jovan yang akan menggantikan aku menghandle pekerjaanku." Bella terdiam sejenak dan kembali tersenyum. "Begitu ya? Baiklah, tidak masalah. Kita akan bertemu besok." "Baiklah, Bella! Kututup dulu teleponnya!" Tanpa menunggu jawaban Bella, Diego pun menutup teleponnya begitu
Anna terus memegangi dadanya setelah ia pergi meninggalkan Diego begitu saja. Kakinya lemas, tapi Anna memaksa untuk tetap melangkah. Sekalipun tubuh Anna gemetar saat ini, tapi Anna tidak akan membiarkan Diego melihat betapa rapuh dirinya. Anna pun mempercepat langkahnya sampai ia pun masuk ke dalam mobil, bergabung bersama Darren dan Bik Nim. "Mama kok lama?" tanya Darren polos. "Maaf, Mama lama, Sayang. Tapi tidak ada apa-apa. Sini, Darren!" Anna meraih Darren dalam pelukannya dengan gigi yang masih gemerutuk dan tubuh yang menggigil. "Kok tangan Mama dingin?" "Ah, AC di rumah sakit tadi terlalu dingin," dusta Anna. "Kasihan, Mama kedinginan! Sini, Darren peluk keras-keras biar Mama tidak kedinginan lagi!" seru Darren yang memeluk Anna begitu kuat sampai Anna begitu terharu. Pelukan itu sangat hangat, walau tubuh Anna tetap terasa menggigil. Sungguh, satu masalah muncul lagi. Ketakutan Anna terjadi saat Diego tahu segalanya dan meminta Darren darinya. Tapi sumpah demi apa
Martha masih mematung di kursi rodanya dengan air mata yang bercucuran. "D-Diego? Kau ... Diego?" lirih Martha yang masih tidak percaya. Diego di hadapannya terlihat sangat keren dengan tubuh gagah, penampilan mahal, dan kepercayaan diri yang tinggi. Sangat berbeda dengan menantunya dulu yang kurus, penampilan apa adanya dengan kaosnya, dan sering menunduk menatap orang lain. Ya, sangat berbeda, tapi kedua pria itu sama. Senyuman Martha pun mendadak muncul di tengah tangisannya. Diego sendiri belum bergerak dari tempatnya dan masih menatap Martha dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Diego sudah pernah melihat Martha sekilas waktu itu, tapi melihat jelas Martha sekarang membuat hati Diego miris. Wanita tua yang dulu sangat cantik dan berpenampilan seperti sosialita, sekarang berubah menjadi pesakitan dengan wajah yang kusam dan tidak bercahaya sama sekali. Itu karma. Ya, itu karma yang menimpa seluruh keluarga Anna, tanpa kecuali."Bu Martha. Ya, aku Diego. Ternyata Anda m
Diego hanya bisa mematung mendengar cerita masa lalu dari Martha. Jantung Diego memacu tidak karuan."Anna sudah hampir gila saat itu, Diego, dia menghubungi pengacara keluarga dan siapa pun yang bisa membantu, tapi tidak ada yang bisa membantu membebaskanmu dari penjara. Dulu Wijaya masih punya power yang sangat besar." "Anna berjuang untukmu, sangat berjuang. Sampai akhirnya jalan terakhir yang bisa dia lakukan adalah melepaskanmu agar kau mendapatkan kebebasanmu." "Namun, nyatanya, Wijaya juga menipunya dan malah memaksanya menikah dengan Jeremy." Martha kembali menangis menyesali kebodohannya di masa lalu yang membiarkan Wijaya mengatur nasib Anna. Diego sendiri masih mematung menatap Martha. Diego terkejut dengan kenyataan itu, tapi sebagian harga dirinya masih berusaha mencari kesalahan Anna. "Lalu akhirnya dia setuju menikahi Jeremy karena dia sudah terlanjur hamil anakku? Darren itu anakku, anak yang Anna sembunyikan dariku selama ini. Anna terlalu malu mengakui kalau itu
Para suster langsung saling menatap mendengar ucapan Diego. Untuk sesaat, suasananya hening, sebelum suster itu bisa menyahut. "Itu ... kami harus membicarakannya dulu dengan pihak keluarga, Pak. Operasi adalah hal yang besar, kami juga harus memastikan dulu kondisi Bu Martha apa siap untuk operasi segera." Diego mengangguk. "Lakukan apa pun, Suster! Tapi biarkan namaku tetap menjadi anonim. Tidak perlu memberitahu mereka siapa yang melunasi biaya rumah sakit nantinya." Para suster kembali saling menatap, sebelum mereka mengangguk, memegang teguh sumpah perawat untuk merahasiakan data Diego yang akhirnya melunasi tunggakan Anna. Hati Diego terasa lebih tenang setelah melakukannya. Martha adalah orang yang sangat berarti bagi Anna dan Martha adalah orang yang akhirnya membuka mata Diego akan kebenaran di masa lalu. Diego tidak akan membiarkan Martha kalah oleh penyakitnya. Diego pun akhirnya pergi dari rumah sakit dan berakhir dengan melajukan mobilnya berputar-putar. Diego tidak
Anna mematung mendengar ucapan Diego yang tidak pernah disangkanya itu. Anna lemas seketika dan mendadak salah tingkah, tapi ia berusaha keras mempertahankan dirinya. "Dasar tidak waras!" Blep!Buru-buru Anna menutup teleponnya tanpa menunggu sahutan Diego lagi. Jantung Anna berdebar makin kencang. Entah apa maksud Diego sekarang. Setelah tadi sore bersikap begitu keras, mendadak sekarang bersikap begitu lembut. Apa ini modus untuk mendekati Darren? Permainan apa yang sedang Diego mainkan lagi kali ini? Sungguh, walaupun Anna tahu Diego mempermainkannya, tapi sialnya, Anna tidak bisa mencegah debaran jantungnya yang menggila. "Mama!" panggil Darren lagi. "Mama datang, Sayang! Mama datang!" seru Anna yang akhirnya berbaring menemani Darren di ranjang, walau dengan debaran jantung yang tidak kunjung normal. Sementara Diego kembali tersenyum menatap kamar Anna, lampunya tidak dinyalakan lagi, mungkin Darren tidur. Ya, anaknya sedang tidur saat ini. "Darren, apa Mama memelukmu? P
Diego seketika terdiam mendengar ucapan Anna. Sederhana, tapi sangat tepat sasaran. Bukan istri. Ya, Anna bukan istri Diego lagi. Itu benar, walaupun entah mengapa Diego tidak peduli. "Memangnya kenapa kalau kau bukan istriku lagi? Nyatanya Darren tetap anakku kan?" ucap Diego tetap kukuh mempertahankan Anna. Anna kembali tertawa nanar. "Lalu aku harus tinggal di sini sebagai apa? Sebagai simpananmu? Atau sebagai pengasuh anakmu?""Aku tidak peduli apa pun statusmu, Anna! Aku hanya mau kau tetap di sini bersamaku dan tidak memutuskan apa pun sendirian seperti dulu! Kau harus tetap bersamaku, Anna!" Air mata Anna akhirnya menetes juga dan tawanya pun makin frustasi. "Nyatanya kita sudah tidak bersama, Diego! Bahkan, dengan kebenaran masa lalu yang akhirnya kau ketahui, itu tidak mengubah apa pun.""Kebenaran itu hanya akan membuatmu berhenti membenciku, kebenaran itu hanya akan membuatmu akhirnya iba padaku dan menolongku dengan lebih ikhlas tanpa mengharapkan imbalan. Tapi itu te
Diego berdebar. Jantung Diego memacu sangat kencang dan bohong kalau Diego tidak gugup saat ini. Diego sudah berpikir untuk memberitahukan semuanya pada Bella sesegera mungkin. Namun, Diego tidak menyangka Bella harus mengetahuinya dengan cara yang tidak "tenang" seperti ini. Diego takut menyakiti Bella yang sudah begitu baik padanya, tapi tidak akan pernah ada waktu yang tepat kalau waktu yang tepat itu tidak diciptakan sendiri. Seketika suasana kembali hening karena semua orang sudah menahan napasnya sejenak. Anna yang tidak menyangka Diego akan jujur seperti ini dan Bella yang begitu syok dengan kejujuran tunangannya itu. "Apa ... apa kau bilang, Diego? Bu Anna ini ...." "Kau tahu aku pernah menikah kan? Aku seorang duda. Dulu aku pernah menikah dengan Anna selama satu tahun dan aku ... baru tahu kalau Anna melahirkan anakku. Darren adalah anak kandungku, bukan anak Jeremy." Bahkan, Bik Nim pun saat ini ikut menahan napasnya sejenak karena rasanya sangat menegangkan. Bik Nim
Bella tersenyum cerah saat ia berdiri di depan pintu apartemen Diego pagi itu.Semalam, Bella sempat mengirim pesan pada Diego. Bella sudah mengosongkan jadwalnya tadi malam hanya untuk mendengarkan semua cerita Diego, tapi sampai begitu larut, Diego ternyata belum kembali ke apartemen. Karena itu, Bella batal mengunjungi Diego dan baru kemari pagi ini. Bella menenteng paper bag berisi sarapan yang akan ia nikmati berdua dengan Diego. Bella pun begitu antusias saat pintu apartemen mulai dibuka. Namun, sedetik kemudian, Bella mendadak kehilangan senyumnya sama sekali saat ia melihat seseorang di sana. Bukan Diego, melainkan wanita yang tidak pernah ia sangka. "B-Bu Anna?" sapa Bella kaget. Anna sendiri sudah berdiri mematung melihat Bella sampai untuk sesaat, ia hanya diam di tempatnya. "Siapa, Anna? Bukan Jovan?" Suara Diego terdengar di sana, sebelum Diego membuka pintunya lebih lebar dan ia pun tersentak sejenak melihat Bella berdiri di sana. "Bella?" Diego dan Anna berdiri
Malam itu, Anna tidak jadi pergi. Rencana Anna untuk pergi dari apartemen Diego batal karena Darren sakit. Bahkan, Anna terpaksa membiarkan Diego naik ke ranjangnya dan tidur bersama Darren karena Darren sama sekali tidak mau ditinggalkan oleh Diego. "Tidurlah di samping Darren, Anna! Dia membutuhkan kedua orang tuanya," seru Diego saat Darren sudah tidur sambil memeluknya. Anna melirik tempat kosong di samping Darren, tapi Anna menggeleng. "Aku akan tidur di luar saja." "Kau tidak mau tidur di samping Darren bukan karena ada aku kan? Jangan bilang kau keberatan tidur di ranjang yang sama denganku? Kita sudah pernah berbagi ranjang, Anna." "Tidak seharusnya hal seperti itu kau katakan saat Darren sedang tidur! Alam bawah sadarnya bisa menyerapnya, Diego! Dan ya, aku keberatan berbagi ranjang denganmu! Sekalipun kita pernah melakukannya, tapi sekarang tidak akan lagi, Diego. Jadi aku akan tidur di luar saja!" "Kau masih tetap keras kepala, Anna! Tapi tidak perlu tidur di luar, t
"Apa maksudmu, Diego? Ini bukan rumahku dan aku tidak bisa tinggal di sini!" bantah Anna. "Ini juga rumahmu dan Darren, Anna! Kalian bisa tinggal di sini selamanya!" "Tidak, Diego! Aku ...." Belum sempat Anna menyelesaikan ucapannya, tapi suara Darren sudah terdengar begitu lemas. "Mama ...," rintih Darren. "Bu, badan Darren panas sekali!" lapor Bik Nim yang sedang menggendong Darren. Saat Darren lemas dan tertidur di mobil tadi, Bik Nim sudah merasa badan Darren hangat. Begitu juga saat Bik Nim menggendong Darren naik ke apartemen. Namun, sekarang rasa panasnya sudah makin panas sampai Bik Nim cemas. "Mama ...," rintih Darren lagi. "Astaga, dia demam?" Anna langsung meletakkan tasnya dan menggendong Darren bersamanya. "Ya ampun, mengapa mendadak panasnya begitu tinggi, Bik?" "Aku juga tidak tahu, mungkin Darren kelelahan. Tadi wajahnya sudah pucat dan dia tidak mau makan apa pun." "Sayang, Darren dengar Mama? Apa yang Darren rasakan?" Anna akhirnya duduk lagi di ranjangn
Perasaan Anna tidak pernah benar setelah kedatangan Bella. Sekalipun Diego terus menemaninya dan membantunya beberapa hari ini, tapi Anna tidak boleh sampai melupakan tentang Bella. Ya, sekarang Diego punya Bella. Kenyataan itu membuat perasaan Anna makin tidak jelas. Anna pun memilih terus menjaga jarak dengan Diego sepanjang sisa hari itu, walaupun Darren dan Diego sudah seperti tidak bisa dipisahkan. "Anna, kau benar-benar harus meneleponku kapan pun kau butuh bantuan. Lalu ... apa kau akan tetap tinggal di apartemen Diego? Bukankah wanita yang tadi adalah tunangan Diego?" Joyce menatap Anna cemas setelah semua acara duka selesai dilakukan. "Tentu tidak, Joyce. Aku akan mencari tempat tinggal lain." "Tinggal di tempatku saja, Anna! Ayolah, jangan sungkan padaku!" Anna mengangguk. "Aku akan menghubungimu nanti. Terima kasih, Joyce." Joyce mengangguk dan memeluk Anna, sebelum ia berpamitan pergi. Anna pun segera mencari Pak Rusli untuk bicara serius. "Maafkan aku yang menanya
"Itu Mama!" seru Darren saat ia baru saja kembali ke ruangan Martha. Diego menggendong Darren agar tidak berlarian di rumah duka. Diego pun bisa melihat Anna yang masih mengobrol dengan seorang wanita yang dari belakang terlihat familiar. Namun, sungguh, Diego tidak berpikir sama sekali bahwa wanita itu adalah Bella. Sampai saat Darren akhirnya memanggil Anna. "Mama ...." Sontak seorang wanita menoleh dan Diego pun sontak menghentikan langkahnya saat tatapannya bertemu dengan tatapan Bella. Untuk sesaat, semuanya hening. Bukan hanya Diego yang mematung, tapi Anna juga. Sampai suara Bella yang terdengar duluan di sana. "Diego? Ternyata kau di sini juga?" seru Bella yang mendadak kembali tersenyum, seolah hatinya begitu tulus tanpa prasangka. Bella pun melangkah mendekati Diego sambil menatap Darren di gendongannya. "Halo, siapa ini, Sayang?" tanya Bella sambil melirik Diego, pria yang dirindukan. Diego sendiri menatap Bella dengan tatapan goyah. Diego belum menjawab apa pun,
"Anna! Anna!" Joyce, teman sekaligus sahabat terbaik Anna, datang melayat ke rumah duka siang itu. Sungguh, Anna ingin acara yang sangat sederhana untuk ibunya. Bukan tidak menghargai ibunya, tapi untuk menjaga privasi karena kematian ibunya bukan dengan cara yang baik dan terlalu banyak aib keluarga di sana. Namun, tidak ada tempat yang bisa digunakan untuk acara sederhana. Anna tidak punya rumah lagi setelah keluar dari rumah Jeremy. Rumah Jeremy sendiri sudah disegel karena pemiliknya berkasus. Jadi, Anna meletakkan jasad ibunya di rumah duka. Anna sempat memberitahu keluarga Martha, barangkali mereka mau datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Namun, benar kata Martha, mereka sudah lama menganggap Martha mati karena tidak satu pun keluarga Martha yang datang. Hanya ada Pak Rusli dan beberapa karyawannya yang mengenal Martha, Bik Nim, Diego, Jovan, Anna, dan Darren. Terlalu menyedihkan untuk mengantarkan Martha ke peristirahatan terakhirnya, tapi cukup melegakan karena
"Sial! Aku tidak pernah tahu kalau Diego itu ternyata adalah mantan suami Anna! Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, hah?" "Sejak awal Anna dan Diego sudah membodohi aku? Keduanya sudah saling mengenal dan memang benar berselingkuh di belakangku?" "Bahkan mereka punya anak ... sial! Darren itu anak Diego! Mengapa kau begitu bodoh dan tidak bisa mencari tahu tentang hal seperti itu, Bram!"Jeremy tidak berhenti berteriak kesal setelah Diego dan Anna pulang. Jeremy yang sudah dikembalikan ke selnya pun begitu emosi sampai menendang kaki Bram. Keduanya ditempatkan di satu sel yang sama, sel sementara di kantor polisi, tapi Jeremy sudah hampir gila sekarang. "Anna memukuli aku dan Diego brengsek itu membuat wajahku bengkak! Sial! Buatkan gugatan! Buatkan gugatan untuk perselingkuhan dan penipuan! Mereka menipuku! Mereka menipuku habis-habisan dan tertawa di atas penderitaanku!" Jeremy membentak pengacaranya yang saat ini juga sudah berdiri di depan selnya. "Maaf, Pak. Itu tidak bisa d