Marco menatap wajah pucat yang terbaring lemah di dekatnya. Digenggamnya tangan gadis yang seolah lelap dalam tidurnya itu. Kepalanya yang terbalut perban dan selang infus yang menempel di pergelangan tangannya, membuat kondisi Cassandra semakin dramatis. Semenjak peristiwa itu, Marco sama sekali tak beranjak dari ruangan itu. Lelaki itu merasa bertanggung jawab atas semua yang dialami oleh Cassandra. Ia merasa bersalah dan juga tak tega untuk meninggalkannya bahkan untuk sekejap saja. Tak ada lagi wajah ceria nan manja yang memanggilnya Om. Tak terdengar lagi suaranya yang merdu merayu saat meminta sesuatu. Marco menundukkan kepalanya. Matanya terasa berat karena tak dapat dipejamkan beberapa hari terakhir. Dengan tangan masih menggenggam erat gadisnya, ia pun berusaha memejamkan mata. Namun seperti sebuah mimpi, jemari yang digenggamnya terasa bergerak. Marco menegakkan kembali kepalanya. Ia menatap wajah pucat gadis yang masih tampak lelap dalam tidurnya itu. Ia merasa kecewa
“Amnesia?” Sepasang manik mata lelaki itu membola mendengar penjelasan Dokter Ivan. “Amnesia disosiatif. Ada beberapa bagian peristiwa dalam hidupnya terlupakan olehnya. Sepertinya ia mengalami trauma kejadian di masa lalunya dan reaksi pikirannya mencegah untuk mengingat kembali hal yang tak ingin diingatnya,” jelas Ivan. “Jadi … dia tidak akan mengingatku lagi?” tegas Marco yang masih tak bisa menerima kenyataan. “Mungkin saja ingatannya akan kembali,” lanjut Ivan. “Semua ini tergantung pada keinginannya. Aku, atau bahkan dokter ahli dimanapun tak bisa mengatakan dengan pasti kapan memorinya akan kembali.” Tubuh Marco kembali terasa lemas dan tak bergairah. Harapan yang semula ada, tiba-tiba lenyap dengan seketika. Ia merasa seperti dihempaskan begitu saja dari tempat yang tinggi oleh kenyataan. “Cassandra, anakku.” Wajah Irfan memerah dengan ekspresi yang tak jelas. “Seharusnya aku lebih memperhatikan dia. Tolong, Dokter. Lakukan apapun yang terbaik agar dia segera pulih kembal
Pertanyaan itu seakan sengaja menyudutkan Marco. Lelaki itu menghela napas panjang. Ia tidak membiarkan emosinya menguasai kesadarannya. “Semua ini karena dia salah paham dan mengira aku sudah menyewa seseorang untuk membunuhnya,” papar Marco. “Padahal justru aku sedang memerintahkan seseorang untuk menjaganya.” “Benarkah?” Marco mengeraskan rahangnya. “Bagaimana denganmu sendiri. Apa yang sudah kamu lakukan di masa lalu? Kenapa lelaki itu berambisi untuk membunuh Cassandra? Dosa apa yang kamu lakukan dua puluh tahun yang lalu?” cecar Marco. Irfan tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Apa pedulimu? Bukankah yang terpenting aku menghasilkan banyak uang untuk bisa kamu pakai?” “Kak Irfan! Kalau memang Cassandra bukan putri kandungmu, kenapa kamu justru mau menikahinya dua puluh tahun yang lalu?” “Karena ayahnya menawarkan Sophie Laurent, sebagai bayarannya,” sahut Marco. “Dan aku tak bisa menolaknya karena saat itu kamu sedang membutuhkan banyak uang untuk biaya pendidikanmu.”
“Ya, aku mencintainya. Aku cukup bahagia walau hanya melihat senyum bahagianya dari sini,” sahut Marco. Ia tidak ingin Hani berpikiran aneh tentang hubungannya dengan Cassandra.Namun gadis itu tertawa. Ia tahu bahwa Marco satu-satunya lelaki yang ada di hati sahabatnya. Mungkin benar jika Marco bagi sahabatnya adalah sekedar pria bunglon. Tapi bukankah cinta adalah obat yang paling ampuh untuk semua penyakit. Karena itu Hani tidak bisa diam dan melepaskan peluang untuk memulihkan ingatan sahabatnya itu, walau itu berarti menghancurkan kesempatan Fritz untuk mendapatkan hati Cassandra.“Kenapa dari cuma dari luar sini. Om berhak untuk bertemu dengannya, lebih dari kami temannya,” ujar Hani sembari menarik tangan Marco. Ia membuka pintu ruang rawat inap yang didiami Cassandra, membuat kedua makhluk yang ada di dalamnya menghentikan tawanya. “Om Marco duduk aja di sini. Nggak perlu berdiri di luar macem patung penyambut tamu gitu,” celetuk Hani dengan sengaja. “Aku dan Fritz masih h
“Jangan lupa obat-obatnya diminum secara teratur. Dan … jangan terlalu memaksanya untuk mengembalikan memorinya,” ucap Dokter Ivan pada Marco. “Terima kasih, tentu saja. Aku akan menjaganya baik-baik.” Marco akhirnya bisa bernapas lega karena bisa membawa Cassandra kembali pulang. Walau kini semuanya berbeda. Gadis yang dulu ceria dan selalu tersenyum manja saat bersamanya, kini hanya diam membisu bahkan tatapan matanya kosong seakan tanpa harapan. Seminggu berlalu, namun sepanjang hari gadis itu hanya menghabiskan waktu di depan jendela kaca lebar apartemennya, dengan tatapan matanya yang kosong. “Sandra.” Panggilan Marco hanya seperti angin yang berlalu di telinga gadis itu. “Kamu nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus kembali seperti Cassandra yang dulu.” Gadis itu tak menggubrisnya. Tatapan hampanya masih tertuju pada jendela kaca yang memperlihatkan cerahnya langit hari itu.Marco menarik tangannya, membuatnya berdiri tegak. “Kita pergi sekarang.” Kali ini Cassandra menat
Gadis itu menelan kasar salivanya. Ia tak bisa melepaskan pandangannya wajah tampan yang sedang lelap dalam tidurnya itu. Perlahan kilas kenangan masa lalunya melintas begitu saja. Seperti sebuah dejavu, ia melihat sosok yang lelap itu tertidur di atas sofa panjang di hadapannya. Cassandra memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat kembali semua yang pernah terjadi di masa lalunya. Namun semakin ia mengingat, kepalanya terasa semakin sakit. Gadis itu meremas kepalanya dan mulai mengerang kesakitan. Suara itu membuat Marco terbangun dari tidurnya. Ia melihat gadisnya kesakitan. Segera diraihnya gadis itu dan memeluknya di dadanya. Cassandra dapat merasakan detak irama jantung lelaki itu. Ia merasakan kehangatan yang terasa tak asing baginya. Lagi dan lagi, ia merasakan seperti sebuah dejavu yang terus menghampirinya. Perlahan rasa sakit yang menyiksa itu menghilang. Marco melepaskan pelukannya. Ia tak mau gadis itu salah paham dan kembali membencinya. Ia menatap sepasang mata cant
“Om ingin membunuhku,” tuduh Cassandra. “Sandra, aku tak tahu apa yang kamu ingat. Tapi … aku tidak seperti yang kamu pikirkan,” elak Marco. “Aku bisa menjelaskan semuanya. Berikan aku kesempatan.” “Kesempatan apa? Kesempatan agar kamu bisa membodohiku karena aku lupa masa laluku?” Cassandra menatap lelaki di hadapannya seolah ingin membaca hatinya. “Aku tidak ada hubungannya dengan pembunuh itu. Sampai saat ini, orangku sedang mencari tahu siapa dia,” jelas Marco.“Pergilah!” pinta Cassandra, “biarkan aku sendiri.”Marco hanya menganggukkan kepalanya dengan perasaan kecewa. Ia pun kembali ke kamar apartemennya. Ia sadar, cepat atau lambat gadisnya akan mengingat kembali alasannya menghindari Marco sebelum terjadi kecelakaan itu. Ia akan mengingat kecurigaannya kala itu.Hanya satu yang bisa dilakukannya saat ini, membiarkan gadis itu berpikir sambil mencari tahu siapa lelaki yang berusaha menyerangnya. Mungkinkah Irfan memiliki banyak musuh di masa lalunya? Hal itu masih merupak
Marco masih merasa kesal. Bagaimana tidak, wanita yang dibayarnya jelas-jelas meremehkannya. Sungguh! Ia merasa sangat kesal. Baru saja ia selesai membersihkan diri, tiba-tiba saja ia mendengar suara ponselnya, Lelaki itu merasa semakin kesal ketika melihat nomer yang sangat dikenalinya mengambang di layarnya. Deringannya yang seakan tanpa jeda itu, membuatnya tak bisa mengabaikan panggilan itu, Diangkatnya ponselnya walau dengan perasaan enggan. “Benar, ini aku,” ucapnya dengan gusar. “Kenapa kamu menghubungiku lagi? Apa kamu sudah berhasil menangkap laki-laki itu?” “Hanya tinggal selangkah lagi,” sahutnya. Marco terkejut mendengar jawaban lelaki itu. “Maksud kamu?”“Dia sudah berada di depanku. Siap memangsa kelinci yang menjadi targetnya,” sahut lelaki itu dengan santainya. “Cassandra?” teriaknya tanpa sadar. “Tapi … bukankah dia ada di dalam apartemennya?”“No … no. Dia sedang menikmati udara penuh asap knalpot jalanan seperti kelinci kecil tanpa dosa,” lapornya. “Haruskah a
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem