Di rumah Reno.Reno menatap Dita dengan ekspresi datar, meskipun dalam kepalanya berbagai kemungkinan mulai ia susun. Wanita di hadapannya ini tidak pernah datang tanpa maksud-maksud tertentu. Dan kali ini, ia tak akan membiarkan Dita mengendalikan situasi."Masuklah," ucap Reno akhirnya, sedikit melangkah ke samping agar Dita bisa masuk.Dita tersenyum kecil, melangkah masuk dengan anggun seolah ia sudah menguasai keadaan. "Ehm, akhirnya, kamu mulai belajar bisa menerima kehadiranku, Reno."Reno tak menggubrisnya. Ia berjalan ke meja, menuangkan dua gelas anggur. Ia tak menawarkan, tapi menaruh salah satunya di depan Dita. Wanita itu hanya tersenyum, lalu duduk dengan santai di sofa seolah tempat ini adalah miliknya."Aku datang bukan hanya untuk basa-basi, Reno." Dita menatapnya tajam. "Aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar ingin membantu Nara?"Reno menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyesap anggurnya pelan. "Aku ingin Nara sadar siapa suaminya sebenarnya. Itu saja."Dita ter
"Kamu seharusnya lebih berhati-hati, Nara..."Suara itu terdengar begitu dingin, menusuk langsung ke dalam tulang-tulangnya. Nara menahan napas, tubuhnya membeku seketika. Perlahan, ia menoleh ke belakang, dan jantungnya seolah berhenti berdetak saat melihat wajah yang begitu familiar. Arka."Kamu?" bisik Nara, matanya melebar penuh keterkejutan dan ketidakpercayaan.Arka tersenyum miring, tetapi senyuman itu tidak lagi seperti dulu. Tidak ada kelembutan, tidak ada kasih sayang. Hanya ada sesuatu yang gelap, sesuatu yang mengancam."Kamu kenapa ada di sini, hah?" suara Nara bergetar, amarah dan kekecewaan bercampur menjadi satu.Arka melepaskan cengkeramannya, tetapi tidak mundur. Ia menatap Nara dengan intens, seolah ingin membaca isi kepalanya. "Aku datang untuk memastikan sesuatu, Nara."Nara mengerutkan kening. "Memastikan apa? Bahwa aku masih bisa kamu permainkan?" suaranya meninggi, kini didorong oleh emosi yang sudah tak terbendung. "Aku pikir kamu berbeda, Arka. Aku pikir kamu
Di sebuah gudang tua yang remang-remang, suara sepatu hak tinggi Dita menggema di lantai beton. Wajahnya merah padam, matanya menyala penuh amarah. Di hadapannya, seorang pria bertubuh kekar berdiri dengan ekspresi datar, sama sekali tak terpengaruh oleh amukan Dita. Beberapa anak buah lainnya berdiri di sekitar, memperhatikan dengan cermat. Mereka tahu Dita bukan orang yang mudah diajak kompromi, tapi kali ini situasinya berbeda."Kalian itu bodoh atau memang sengaja mau cari mati?" suara Dita melengking tajam, gemanya terdengar jelas di dalam gudang yang nyaris kosong. "Aku menyuruh kalian merebut ponselnya, bukan menjualnya, tolol!"Pria yang dipanggil Bandi itu mengangkat bahunya dengan santai. "Kami cuma menjalankan perintah, Bu Dita. Anda bilang rebut ponselnya, tapi tidak bilang kalau ponsel itu harus diserahkan ke Anda. Lagipula, kami butuh uang, dan menjual ponsel itu keputusan terbaik saat itu." Suaranya tetap tenang, nyaris tanpa rasa bersalah.Dita mengepalkan tangan, raha
Apartemen Soraya yang terletak di lantai tinggi sebuah gedung mewah itu diselimuti aura keintiman yang memabukkan. Lampu-lampu redup menerangi ruangan dengan nuansa hangat, sementara aroma parfum mewah yang lembut menguar di udara, menciptakan atmosfer yang penuh gairah.Di dalam kamar tidur yang luas, Rama berdiri diam beberapa detik, mengamati Soraya yang sedang berbaring santai di atas ranjang besar berlapis sprei satin berwarna merah tua. Soraya mengenakan gaun tidur tipis yang nyaris transparan, memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya tergerai liar di atas bantal, sementara bibirnya yang merah merekah melengkung dalam senyuman penuh godaan.“Kau hanya akan berdiri di sana, Rama?” tanyanya dengan suara serak yang dipenuhi nada menggoda.Rama tersenyum kecil, matanya menyapu tubuh Soraya dengan tatapan penuh hasrat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mulai melangkah mendekat, gerakannya perlahan namun penuh kepastian, seperti seorang pemburu yang sedang mendeka
Nara yang awalnya hanya merasa gelisah kini benar-benar ketakutan. Suara motor Reno yang meraung di depan rumahnya membuatnya refleks berlari keluar, tanpa menyadari bahaya yang ada di belakangnya.Sosok pria bercadar yang hampir menyergapnya terhenti sejenak. Ia menyadari bahwa rencananya gagal kali ini. Dengan cepat, ia berbalik menuju jendela yang digunakannya untuk masuk. Tanpa suara, ia melesat keluar, menyelinap ke dalam gelapnya malam sebelum Reno sempat melihatnya.Begitu Nara membuka pintu depan, Reno sudah turun dari motornya dengan ekspresi cemas. “Nara! Kamu baik-baik saja?” tanyanya, langkahnya cepat mendekat.Nara mengangguk, meskipun hatinya masih berdebar. “Aku merasa ada sesuatu yang aneh malam ini, Reno. Seperti ada yang mengawasiku…”Reno melirik ke sekeliling dengan tatapan tajam dan tampak waspada. Lampu-lampu jalanan yang temaram membuat bayangan-bayangan panjang berkelebat di sudut-sudut halaman. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak melihat siapa
Suasana di apartemen Soraya terasa sunyi, meskipun televisi di ruang tamu menyala, menampilkan film laga yang diputar di saluran televisi kabel. Rama duduk di sofa dengan santai, satu tangan memegang remot dan tangan lainnya menggenggam kaleng bir yang sudah setengah kosong. Pandangannya tertuju pada layar, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia tidak benar-benar memperhatikan adegan demi adegan yang berlangsung.Sementara itu, di dalam kamar mandi, Soraya berdiri di depan wastafel dengan ponsel di tangannya. Jemarinya bergerak cepat di atas layar, mengetik pesan yang penuh dengan kemarahan terselubung.“Kalian gagal? Bagaimana mungkin dia bisa lolos? Bukankah kalian sudah menyusun rencana dengan matang?”Pesan itu terkirim, dan beberapa detik kemudian, tanda centang biru muncul. Tidak butuh waktu lama sebelum balasan tiba.“Kami hampir berhasil, tetapi Reno tiba-tiba muncul. Itu di luar dugaan.”Soraya mendengus pelan, rahangnya mengeras. Ia mengetik lagi, kali ini dengan lebih
Tapi, tepat ketika Reno hendak memutar balik arah motornya, sebuah deru mesin mendadak terdengar. Keras, cepat, dan semakin mendekat. Reno hanya punya sepersekian detik untuk menoleh, dan saat itulah dia melihatnya—sebuah mobil Toyota Kijang berwarna gelap melaju dengan kecepatan tinggi ke arah dirinya. Lampu depan mobil itu menyilaukan, seperti dua kilatan tajam yang menusuk kegelapan malam.Segala sesuatu terjadi begitu cepat, tetapi bagi Reno, waktu seakan melambat. Adrenalin langsung menyentak ke seluruh tubuhnya, membuat inderanya waspada dalam sekejap. Napasnya tertahan, matanya melebar. Jarak antara dirinya dan mobil itu semakin menipis—lima meter, tiga meter—dan, telat beberapa detik saja, tubuhnya akan terhempas tanpa ampun ke udara, mungkin menabrak trotoar dengan suara dentuman mematikan.“sial!” Reno mengumpat seraya menari gas motornya dengan gerakan refleks. Ban belakang motor berdecit tajam saat roda berputar cepat di atas aspal. Dalam momen itu, tubuh Reno ikut merundu
Alis Reno berkerut ketika melihat nama Nara muncul di layar. Dengan cepat, ia membuka pesan tersebut.“Maaf, Ren. Ponselku tadi mati dan baru saja selesai dicharge. Aku nggak tahu kalau kamu telepon. Ada apa?”Reno menghela napas panjang, sedikit lega. Jadi, itu alasannya Nara tidak mengangkat teleponnya. Bukan karena sedang dalam bahaya, melainkan karena ponselnya mati. Namun, meski pesan itu sedikit meredakan kecemasannya, firasat buruk di hatinya belum sepenuhnya hilang.Matanya kembali tertuju ke arah rumah Nara yang masih tampak sepi dari kejauhan. Mobil Rama terparkir di halaman, tetapi tidak ada tanda-tanda aktivitas yang mencurigakan.Reno mengetik balasan cepat.“Aku tadi cuma mau memastikan kamu baik-baik saja.”Butuh beberapa detik sebelum tanda “sedang mengetik” muncul di layar. Reno menunggu dengan sabar, meski dalam hatinya, ia masih merasakan ketegangan yang menggantung.Balasan Nara akhirnya muncul.“Iya, Rama sudah pulang.”Reno membaca pesan itu perlahan, berusaha me
"Aku tadinya gak tega, sungguh," lanjutnya, matanya menerawang ke lampu-lampu jalanan di bawah sana. "Tapi kau yang memaksa, Arka. Kau berani berkhianat padaku. Kau ancam rencanaku. Bahkan kau sempat menakut-nakuti aku dengan pesan-pesan itu... kau pikir aku akan diam saja? Kau pikir kau bisa memegang kendali?"Dita tertawa lagi, kali ini lebih keras. Wajahnya bersinar oleh rasa puas yang tak bisa disembunyikan. Angin malam menyibak sebagian rambutnya, tapi ia tak peduli."Terpaksa, Arka... terpaksa sekali. Tapi terima kasih, ya? Kau sudah jadi senjata pembuka jalan untuk rencana besar ini. Indah sekali... kematianmu bahkan lebih dramatis dari yang kuharapkan."Ia menutup jendela perlahan, lalu berjalan ke arah meja kecil di dekat sofa. Di sana, laptop terbuka dengan tab-tab yang masih menyala: satu berita utama tentang kecelakaan Arka, satu lagi tentang profil perusahaan milik Rama, dan satu jendela obrolan pesan pribadi yang belum ia balas—dari Soraya.Dita menyipitkan mata, membaca
Hening menyelimuti kamar hotel mewah itu. Lampu temaram dari dinding hanya menyoroti sebagian tubuh Rama yang tertidur di atas ranjang, masih mengenakan kemeja kusut dan celana bahan yang tidak sempat diganti. Napasnya berat dan teratur, bau alkohol masih samar tercium dari tubuhnya.Nara duduk di ujung ranjang, punggungnya membungkuk, tangan meremas-remas jemari sendiri tanpa sadar. Matanya terus melirik ke arah Rama, memastikan pria itu benar-benar tertidur pulas. Tapi bukan itu yang membuat hatinya berdebar kencang.Pikiran Nara sudah melayang jauh sejak beberapa jam lalu. Ia tidak bisa tidur. Tidak setelah berita duka tentang Arka memenuhi layar TV beberapa jam sebelumnya. Dan sekarang, bayang-bayang itu kembali menghantuinya dengan lebih nyata, lebih mengerikan."Arka..." bisiknya pelan, nyaris tak bersuara.Ia memejamkan mata, mengingat kembali detik-detik terakhir sebelum semuanya berubah.Nara menoleh lagi ke arah suaminya yang terbaring tanpa kesadaran. Tak ada ketenangan dal
Di ujung sambungan, Soraya mengerutkan kening. “Reno?” Ia mengulang pelan, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Kau yakin?”“Dia satu-satunya yang punya akses ke Arka tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia dekat dengan Nara. Bisa saja Arka sempat membuka mulut, atau… atau ada informasi yang sampai ke Reno.”“Tunggu,” potong Soraya cepat, nadanya tak setuju. “Itu terdengar terlalu dipaksakan. Reno bahkan bukan bagian dari lingkaran ini, Dita. Dia bukan tipe orang yang main kotor. Bahkan, terlalu bersih menurutku.”“Justru karena itu,” sahut Dita tajam. “Orang-orang seperti dia... yang tampak bersih dan tak tahu apa-apa... biasanya menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya.”“Tapi membunuh Arka? Ayolah, Dit. Itu terlalu jauh untuk seseorang seperti Reno. Dia tidak punya cukup alas an, kan?”Dita menghela napas kasar. “Siapa yang tahu apa yang dia dengar dari Nara? Siapa tahu dia mulai curiga tentang Arka? Tentang kita?”Soraya terdengar ragu. “Kalau benar Reno pelakunya, itu artinya
Nara melangkah mundur perlahan. Napasnya mulai sesak.Dan saat ia berdiri di depan TV yang masih menayangkan ulang gambar mobil Arka yang hancur, satu hal menjadi semakin jelas.Kematian Arka bukan kecelakaan biasa.Soraya masih terjaga di dalam kamar hotelnya, duduk di tepi ranjang dengan mata menatap layar ponsel yang menampilkan berita duka terbaru. Arka, pria yang selama ini menjadi pion dalam permainan busuk mereka, dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan tragis. Soraya membaca ulang berita itu beberapa kali, mencoba menyaring setiap informasi yang tertera di layar: lokasi kecelakaan, kondisi mobil, dan terutama detail mencurigakan bahwa sopir truk yang menabrak mobil Arka diduga meloncat dari kendaraan beberapa detik sebelum benturan.Semuanya terlalu rapi. Terlalu sempurna.Soraya memicingkan mata, bibirnya mengerucut, dan jemarinya mulai bergerak cepat mengetik sebuah nama di layar ponsel. Ia menelpon Dita. Butuh tiga nada sambung sebelum akhirnya suara Dita terdengar di ujun
Tubuh Nara membeku di ambang pintu.Dua orang pria berdiri di depannya. Salah satunya tampak mengenakan seragam hitam sederhana, jelas seorang staf hotel—mendorong sebuah kursi roda perlahan.Dan di atas kursi roda itu...Nara menelan ludah. Matanya membelalak, napas tercekat di tenggorokan.Rama.Suaminya sendiri, duduk limbung di kursi roda, tubuhnya terkulai dengan kepala tertuinduk. Kemejanya kusut, beberapa kancing terbuka, dan wajahnya merah padam karena alkohol."Apa yang terjadi…?" gumam Nara, setengah tidak percaya.“Maaf, Ibu. Tadi beliau berada di bar dan… tampaknya terlalu banyak minum. Beliau sempat berpesan kepada bartender untuk diantar ke kamar ini kalau sudah tidak sanggup berdiri,” ucap staf hotel itu, sopan, sedikit tergesa.Tanpa pikir panjang, Nara membuka pintu lebar-lebar. “Cepat bawa masuk, Pak”Mereka mendorong kursi roda perlahan melewati ambang pintu.Nara menyingkirkan tas dan sepatu yang berserakan di lantai, lalu membantu staf bar itu memindahkan Rama ke
Tujuannya adalah ke bar hotel.Tempat ia pernah duduk seorang diri bertahun-tahun lalu… saat konflik dalam hidupnya tak bisa ia lawan dengan logika.Dan malam ini, ia kembali kesana.Lift naik perlahan.Di dalam kotak sempit itu, Rama menyandarkan punggungnya ke dinding baja, menunduk."Aku pengecut, ya?" batinnya lirih."Aku tidak sanggup berhadapan dengan Nara?"Angka terus berganti di panel: 10... 14... 19..."Tapi di bar… setidaknya aku bisa diam. Mungkin ada satu gelas yang bisa bikin semua ini berhenti sebentar."Denting lift terdengar.Pintu terbuka pelan.22.Udara berbeda menyambutnya. Lampu remang, suara musik jazz dari kejauhan, aroma alkohol dan kayu tua.Langkah Rama pelan saat menyusuri lorong.Ia tidak lagi memikirkan alasan atau kata maaf.Ia hanya ingin duduk.Dan lupa.Bar hotel tampak sepi.Seorang bartender tengah membersihkan gelas di sudut meja panjang.Beberapa kursi kosong berjejer di depan cermin besar yang memantulkan pantulan kelam wajah Rama sendiri.Ia men
Udara malam menyusup masuk dari celah jaket Reno yang belum ia rapatkan sepenuhnya. Lampu-lampu jalan menari di visor helmnya, sementara motornya melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang sepi. Tapi pikirannya sama sekali tak tenang.Pertanyaan demi pertanyaan menumpuk di kepalanya, seperti kabut pekat yang menolak tersingkap."Siapa mereka tadi?""Apakah ini semua berkaitan dengan Dita… atau bahkan seseorang yang lebih punya pengaruh di balik semua ini?"Reno menggeleng pelan, mencoba menepis kekalutan itu. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat firasatnya bahwa ini bukan hanya soal peringatan biasa.Apalagi saat bayangan mobil Kijang gelap yang menabraknya beberapa hari lalu adalah mobil yanmg sama dengan mobil yang ia kejar tadi. Dan kini, ia yakin, mobil itu tidak muncul secara kebetulan. Ada maksud tertentu. Ada mata yang terus mengawasinya, menunggu momen lengahnya."Sial… ini bukan main-main lagi," gumamnya.Baru saja ia hendak mengalihkan perhatian ke jalan, pa
Begitu suara pintu tertutup dan langkah Rama menjauh di lorong hotel, Soraya membuka matanya perlahan.Ia tak langsung bangkit. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang dihiasi bayangan samar dari lampu temaram. Nafasnya tertahan dalam dada, seolah sedang menimbang sesuatu yang terlalu berat untuk ditelan, tapi terlalu dalam untuk dimuntahkan.Detik demi detik berlalu, dan kesunyian kamar menjadi semakin menyesakkan. Rasa perih yang tak terlihat merayap dari dadanya ke tenggorokan. Mata itu—mata yang tadi tampak kosong—kini mulai berair. Tapi air itu bukan tangis sedih… melainkan bara. Bara cemburu yang membakar lambat-lambat.Rama pergi.Pergi karena wanita itu.Pergi... untuk Nara.“Bangsat...” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi nada itu mengandung muatan penuh luka.Ia menggulingkan tubuhnya pelan, memunggungi sisi ranjang yang dingin karena hanya separuhnya yang digunakan. Ia memejamkan mata sejenak, seakan berharap perasaan itu mereda. Tapi tidak. Perasaan itu justr
Jalanan gelap itu berakhir di pelataran luas sebuah Bangunan gudang tua dengan container container kosong teronggok di sana-sini. Cahaya dari lampu motor Reno menyapu permukaan aspal kasar yang retak. Kijang hitam yang ia kejar kini berhenti di ujung halaman, di depan salah satu bangunan tak berplakat.Reno memperlambat laju motornya, jantungnya berdetak keras. Naluri petarungnya mulai menyala.Saat ia bersiap turun dari motor, terdengar suara pintu mobil dibanting.Satu persatu, sosok-sosok gelap bermunculan dari balik bayangan gudang. Lima orang. Enam. Mungkin lebih. Mereka menyebar dengan langkah lambat namun pasti, seperti kawanan serigala yang mengendus mangsa. Beberapa di antara mereka menggenggam pentungan besi. Ada juga yang memegang samurai, kilatan baja menari di bawah sinar bulan.Reno berdiri di samping motornya, matanya menyapu wajah-wajah mereka. Tidak ada yang dikenalnya. Tapi dari sikap mereka, ia bisa menebak, mereka bukan sekadar penjaga gudang.Salah satu dari mere