Arka mengatupkan rahangnya erat-erat, hingga gigi gerahannya menggeretak. Dia masih memegang ponsel yang baru saja terputus sambungannya. Ada rasa tegang yang menguasai dadanya. Suara tawa di ujung telepon itu terdengar dingin dan sinis,, Tapi Arka seoerti mengenali nada itu dengan baik. Bandi.Bandi adalah salah satu anak buah Dita. Dulu, dia hanya seseorang yang patuh dan jarang berbicara. Tapi sekarang, dari caranya berbicara tadi, Arka tahu bahwa Bandi tidak lagi takut pada Dita… atau pada siapa pun.Dada Arka berdebar keras saat mengingat isi percakapan singkat itu.“Kau mencari ponsel itu, bukan?”Dan setelah itu, permintaan tebusan yang luar biasa besar: dua miliar rupiah.Belum sempat Arka mengatakan setuju atau menolak, Bandi langsung memutus panggilan.Di sebuah gudang tua yang gelap dan berdebu, Bandi meletakkan ponselnya di meja kayu reyot sambil tertawa keras. Beberapa orang di sekitarnya, gerombolan anak buah yang kini menjadi pengikutnya, ikut tertawa.“Coba bayangkan
DUK! DUK! DUK!Ketukan itu semakin keras dan kasar. Arka merasakan jantungnya berdegup begitu kencang hingga seolah hendak meledak. Dengan tangan gemetar, dia berjalan mendekati pintu, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba memburu.“Buka, Arka! Buka pintu sialan ini sekarang juga!” suara itu terdengar lebih tajam dan penuh ancaman.Dita.Arka memejamkan matanya sejenak, merutuk dalam hati. Ia tahu Dita bukan orang yang sabar. Jika ia tidak segera membukakan pintu, perempuan itu mungkin akan membuat keributan yang lebih besar.Dengan enggan, Arka memutar kunci dan menarik gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Dita langsung menerobos masuk tanpa menunggu undangan. Mata tajamnya menyapu seisi ruangan, lalu menatap Arka dengan sorot penuh tuntutan.“Ada apa?” Arka berusaha terdengar tenang, meski dadanya masih berdegup keras.Dita menatapnya dengan tatapan dingin. “Aku butuh sesuatu.”Arka mengernyit. “Sesuatu?”Dita mendekat, suaranya merendah, tapi penuh tekanan. “Rekaman itu, Arka. Re
Keesokan paginya, di meja makan, Nara duduk di seberang Rama yang tengah menikmati sarapannya dengan santai. Aroma kopi hitam yang mengepul memenuhi ruangan, bercampur dengan bau roti panggang yang baru keluar dari pemanggang. Sinar matahari pagi yang menerobos melalui jendela dapur menyoroti meja kayu yang tertata rapi dengan piring, sendok, dan cangkir porselen berisi kopi hitam pekat.Nara mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, namun ia tidak benar-benar berniat menyantapnya. Perutnya terasa penuh, bukan karena kenyang, melainkan karena pikirannya yang kacau. Semalaman ia nyaris tidak tidur, kepalanya dipenuhi bayangan-bayangan yang membuatnya gelisah. Sesekali, ia melirik ke arah Rama, yang tampak tenang menikmati sarapannya.Dengan ragu, ia akhirnya membuka suara. "Rama, aku ingin bicara sesuatu," katanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam suara detik jam dinding.Rama, yang tengah menyesap kopinya, melirik sekilas. Ia meletakkan cangkirnya kembali ke meja, lalu menghela napas
Reno masih duduk di tepi ranjangnya, memandangi perban yang melilit lengannya. Kulitnya terasa perih di bawah perban itu, luka yang masih baru mengingatkannya pada kejadian semalam. Pikirannya berputar tanpa henti, mengulang kembali kejadian yang nyaris merenggut nyawanya. Mobil Kijang gelap itu muncul entah dari mana, melaju kencang ke arahnya dengan kecepatan yang tidak wajar. Jika saja ia tidak refleks menarik gas motor dengan kecepatan yang akurat, mungkin kini ia sudah menjadi berita utama di koran pagi ini. Pikiran itu membuat tengkuknya meremang.Ia mengepalkan tangannya, berusaha menekan rasa marah dan frustrasi yang bercampur aduk. Dadanya naik turun dengan napas berat. Ini bukan kebetulan. Seseorang menginginkan dirinya mati. Matanya menatap kosong ke lantai, kemudian beralih ke jendela yang setengah terbuka. Angin segar di pagi hari berhembus pelan membelai wajahnya, membawa kesunyian yang membuatnya semakin gelisah. Apakah ini peringatan? Atau ini hanya permulaan?Ponseln
“Maaf, Pak Rama. Ibu Soraya…” Orang itu Bernama Andre. Ia melirik Soraya dengan cepat, seolah meminta izin tak langsung. “…saya perlu bicara sekarang. Ini soal transfer dana proyek luar negeri.”Soraya memutar tubuhnya sedikit, menatap Andre tanpa ekspresi. “Silakan, Pak Andre. Saya rasa Bapak Rama perlu tahu sekarang juga.”Rama menghela napas, mengusap wajahnya. “Apa lagi sekarang?”Andre berdiri tegak, keringat tampak membasahi pelipisnya. “Barusan kami menerima notifikasi dari bank—ada transfer keluar dari rekening escrow untuk proyek Semarang… sebesar 2,8 miliar.”Rama langsung duduk tegak. “Apa? Dana itu belum boleh dipakai sebelum tahap dua selesai!”Andre mengangguk, gugup. “Itu dia, Pak. Kami nggak tahu siapa yang meng-otorisasi. Sistem menunjukkan approval dari akun Bapak, tapi... Pak Rama belum pernah login hari ini, kan?”Rama memicingkan mata, nadanya berubah dingin. “Tentu saja belum. Laptop saya bahkan belum disentuh sejak pagi.”Soraya berpura-pura terkejut. “Ini bisa
Apartemen Arka.Lampu gantung di ruang tengah redup, hanya ditemani sorot layar laptop yang menampilkan folder dengan nama yang cukup jelas:"REKAMAN - NARA"Arka duduk di sofa, mengenakan kaus hitam lusuh, wajahnya serius menatap layar. Tangannya menggenggam mouse, kursornya sudah menyorot file video berdurasi 08:27. Detik-detik sebelum ia menyeret file itu ke jendela chat Dita.Ponselnya bergetar di atas meja. Notifikasi dari Dita:"Kirim sekarang. Aku tunggu. Setelah itu aku yang akan hancurkan dia."Arka menatap pesan itu lama. Pikirannya bercabang. Hatinya gelisah. Ini rencananya dari awal—menjadi alat untuk menghancurkan Nara, membuat Rama murka, dan Dita puas.Tapi sekarang...Matanya bergerak menatap thumbnail kecil di video itu. Wajah Nara. Lirih, rapuh, tapi hangat. Ingatannya berputar: senyum tipis Nara setelah mencuri waktu bersamanya di tengah dunia yang menghakimi. Sentuhan yang tulus. Napas yang bergetar di antara luka dan gairah.Tangannya menegang.Satu klik lagi, dan
Jantung Nara berdebar begitu cepat seolah hendak meledak dari dadanya. Dia membuka laci terakhir di rak ruang tamu—dan di sanalah, kunci mobil itu tergeletak, menyelip di antara tumpukan nota belanja dan baterai bekas.“YES!” serunya tertahan, cepat meraih kunci itu dan berdiri.Tanpa membuang waktu lagi, ia menyambar tas, jaket, lalu menuju pintu utama dengan langkah tergesa. Tangannya gemetar saat memutar kunci pintu, lalu membantingnya tertutup begitu ia keluar, langsung menguncinya dari luar.Di sisi lain rumah, dua pria berpakaian hoodie hitam itu baru saja membuka pintu belakang.Mereka masuk.Sunyi.Tapi ruang tamu kosong. Tirai bergoyang pelan. TV mati. Hanya bau parfum samar dan jejak sepatu wanita di lantai yang masih hangat.Salah satu dari mereka berjalan cepat ke jendela depan, mengintip keluar.Lampu mobil menyala.Mesin meraung.Mereka melihat sekilas sosok Nara di balik kemudi, wajahnya tegang tapi fokus. Mobil itu mundur cepat dari garasi, lalu melaju keluar gerbang.
Dengan hati-hati, Reno menjaga jarak. Motor hitam yang ia tunggangi melaju dalam keheningan malam, membuntuti mobil putih Nara yang meluncur mulus membelah jalanan kota yang mulai sepi. Lampu jalan menyorot lembut ke aspal basah bekas hujan sore tadi, memantulkan kilau samar pada helmnya yang legam. Angin dingin menerpa wajahnya yang tersembunyi di balik visor, menusuk hingga ke tengkuk, namun tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya yang tengah kacau.Dalam diamnya, Reno menyadari betapa cepat degup jantungnya berdetak, hampir menyamai suara mesin motor yang menderu lembut. Bukan karena kecepatan, tapi karena pertanyaan yang terus berputar di kepalanya—pertanyaan yang tak berani ia jawab sendiri.Mobil itu berbelok ke kiri, memasuki kawasan yang tak asing baginya. Kompleks bangunan komersial yang di siang hari tampak biasa saja, kini menjelma menjadi wilayah abu-abu, tempat penginapan dan hotel-hotel yang ramai namun tetap menyimpan nuansa misterius. Papan-papan neon menyala temaram,
Soraya berdiri di depan cermin panjang kamarnya, wajahnya masih basah usai membasuhnya dengan air dingin. Matanya memerah—bukan karena tangis, tapi karena emosi yang tak bisa lagi dikekang. Tangannya mencengkeram erat tepi meja rias, kuku-kukunya menekan kayu dengan keras hingga sendi-sendinya menegang."Apa sebenarnya maumu, Dita...?" desisnya lirih, tapi penuh bara.Ia sudah lama curiga. Dita terlalu banyak bermain api, terlalu lihai menebar umpan dan terlalu cepat menyingkirkan pion-pion yang tak lagi ia butuhkan. Dan kini, setelah Arka tewas dalam kecelakaan yang tak masuk akal, Soraya merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres.“Jangan-jangan Arka… Sial! Apakah sebenarnya Dita terlibat?”Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalanya.Dari awal, Soraya memang punya tujuan yang jelas: mendapatkan Rama. Bukan hanya cintanya—jika itu bisa disebut cinta—tapi seluruh yang menyertai pria itu. Nama, kekayaan, dan semua akses eksklusif yang hanya dimiliki seorang pria dengan reputasi sekua
"Aku tadinya gak tega, sungguh," lanjutnya, matanya menerawang ke lampu-lampu jalanan di bawah sana. "Tapi kau yang memaksa, Arka. Kau berani berkhianat padaku. Kau ancam rencanaku. Bahkan kau sempat menakut-nakuti aku dengan pesan-pesan itu... kau pikir aku akan diam saja? Kau pikir kau bisa memegang kendali?"Dita tertawa lagi, kali ini lebih keras. Wajahnya bersinar oleh rasa puas yang tak bisa disembunyikan. Angin malam menyibak sebagian rambutnya, tapi ia tak peduli."Terpaksa, Arka... terpaksa sekali. Tapi terima kasih, ya? Kau sudah jadi senjata pembuka jalan untuk rencana besar ini. Indah sekali... kematianmu bahkan lebih dramatis dari yang kuharapkan."Ia menutup jendela perlahan, lalu berjalan ke arah meja kecil di dekat sofa. Di sana, laptop terbuka dengan tab-tab yang masih menyala: satu berita utama tentang kecelakaan Arka, satu lagi tentang profil perusahaan milik Rama, dan satu jendela obrolan pesan pribadi yang belum ia balas—dari Soraya.Dita menyipitkan mata, membaca
Hening menyelimuti kamar hotel mewah itu. Lampu temaram dari dinding hanya menyoroti sebagian tubuh Rama yang tertidur di atas ranjang, masih mengenakan kemeja kusut dan celana bahan yang tidak sempat diganti. Napasnya berat dan teratur, bau alkohol masih samar tercium dari tubuhnya.Nara duduk di ujung ranjang, punggungnya membungkuk, tangan meremas-remas jemari sendiri tanpa sadar. Matanya terus melirik ke arah Rama, memastikan pria itu benar-benar tertidur pulas. Tapi bukan itu yang membuat hatinya berdebar kencang.Pikiran Nara sudah melayang jauh sejak beberapa jam lalu. Ia tidak bisa tidur. Tidak setelah berita duka tentang Arka memenuhi layar TV beberapa jam sebelumnya. Dan sekarang, bayang-bayang itu kembali menghantuinya dengan lebih nyata, lebih mengerikan."Arka..." bisiknya pelan, nyaris tak bersuara.Ia memejamkan mata, mengingat kembali detik-detik terakhir sebelum semuanya berubah.Nara menoleh lagi ke arah suaminya yang terbaring tanpa kesadaran. Tak ada ketenangan dal
Di ujung sambungan, Soraya mengerutkan kening. “Reno?” Ia mengulang pelan, seolah ingin memastikan ia tidak salah dengar. “Kau yakin?”“Dia satu-satunya yang punya akses ke Arka tanpa menimbulkan kecurigaan. Dia dekat dengan Nara. Bisa saja Arka sempat membuka mulut, atau… atau ada informasi yang sampai ke Reno.”“Tunggu,” potong Soraya cepat, nadanya tak setuju. “Itu terdengar terlalu dipaksakan. Reno bahkan bukan bagian dari lingkaran ini, Dita. Dia bukan tipe orang yang main kotor. Bahkan, terlalu bersih menurutku.”“Justru karena itu,” sahut Dita tajam. “Orang-orang seperti dia... yang tampak bersih dan tak tahu apa-apa... biasanya menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya.”“Tapi membunuh Arka? Ayolah, Dit. Itu terlalu jauh untuk seseorang seperti Reno. Dia tidak punya cukup alas an, kan?”Dita menghela napas kasar. “Siapa yang tahu apa yang dia dengar dari Nara? Siapa tahu dia mulai curiga tentang Arka? Tentang kita?”Soraya terdengar ragu. “Kalau benar Reno pelakunya, itu artinya
Nara melangkah mundur perlahan. Napasnya mulai sesak.Dan saat ia berdiri di depan TV yang masih menayangkan ulang gambar mobil Arka yang hancur, satu hal menjadi semakin jelas.Kematian Arka bukan kecelakaan biasa.Soraya masih terjaga di dalam kamar hotelnya, duduk di tepi ranjang dengan mata menatap layar ponsel yang menampilkan berita duka terbaru. Arka, pria yang selama ini menjadi pion dalam permainan busuk mereka, dinyatakan tewas dalam sebuah kecelakaan tragis. Soraya membaca ulang berita itu beberapa kali, mencoba menyaring setiap informasi yang tertera di layar: lokasi kecelakaan, kondisi mobil, dan terutama detail mencurigakan bahwa sopir truk yang menabrak mobil Arka diduga meloncat dari kendaraan beberapa detik sebelum benturan.Semuanya terlalu rapi. Terlalu sempurna.Soraya memicingkan mata, bibirnya mengerucut, dan jemarinya mulai bergerak cepat mengetik sebuah nama di layar ponsel. Ia menelpon Dita. Butuh tiga nada sambung sebelum akhirnya suara Dita terdengar di ujun
Tubuh Nara membeku di ambang pintu.Dua orang pria berdiri di depannya. Salah satunya tampak mengenakan seragam hitam sederhana, jelas seorang staf hotel—mendorong sebuah kursi roda perlahan.Dan di atas kursi roda itu...Nara menelan ludah. Matanya membelalak, napas tercekat di tenggorokan.Rama.Suaminya sendiri, duduk limbung di kursi roda, tubuhnya terkulai dengan kepala tertuinduk. Kemejanya kusut, beberapa kancing terbuka, dan wajahnya merah padam karena alkohol."Apa yang terjadi…?" gumam Nara, setengah tidak percaya.“Maaf, Ibu. Tadi beliau berada di bar dan… tampaknya terlalu banyak minum. Beliau sempat berpesan kepada bartender untuk diantar ke kamar ini kalau sudah tidak sanggup berdiri,” ucap staf hotel itu, sopan, sedikit tergesa.Tanpa pikir panjang, Nara membuka pintu lebar-lebar. “Cepat bawa masuk, Pak”Mereka mendorong kursi roda perlahan melewati ambang pintu.Nara menyingkirkan tas dan sepatu yang berserakan di lantai, lalu membantu staf bar itu memindahkan Rama ke
Tujuannya adalah ke bar hotel.Tempat ia pernah duduk seorang diri bertahun-tahun lalu… saat konflik dalam hidupnya tak bisa ia lawan dengan logika.Dan malam ini, ia kembali kesana.Lift naik perlahan.Di dalam kotak sempit itu, Rama menyandarkan punggungnya ke dinding baja, menunduk."Aku pengecut, ya?" batinnya lirih."Aku tidak sanggup berhadapan dengan Nara?"Angka terus berganti di panel: 10... 14... 19..."Tapi di bar… setidaknya aku bisa diam. Mungkin ada satu gelas yang bisa bikin semua ini berhenti sebentar."Denting lift terdengar.Pintu terbuka pelan.22.Udara berbeda menyambutnya. Lampu remang, suara musik jazz dari kejauhan, aroma alkohol dan kayu tua.Langkah Rama pelan saat menyusuri lorong.Ia tidak lagi memikirkan alasan atau kata maaf.Ia hanya ingin duduk.Dan lupa.Bar hotel tampak sepi.Seorang bartender tengah membersihkan gelas di sudut meja panjang.Beberapa kursi kosong berjejer di depan cermin besar yang memantulkan pantulan kelam wajah Rama sendiri.Ia men
Udara malam menyusup masuk dari celah jaket Reno yang belum ia rapatkan sepenuhnya. Lampu-lampu jalan menari di visor helmnya, sementara motornya melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang sepi. Tapi pikirannya sama sekali tak tenang.Pertanyaan demi pertanyaan menumpuk di kepalanya, seperti kabut pekat yang menolak tersingkap."Siapa mereka tadi?""Apakah ini semua berkaitan dengan Dita… atau bahkan seseorang yang lebih punya pengaruh di balik semua ini?"Reno menggeleng pelan, mencoba menepis kekalutan itu. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat firasatnya bahwa ini bukan hanya soal peringatan biasa.Apalagi saat bayangan mobil Kijang gelap yang menabraknya beberapa hari lalu adalah mobil yanmg sama dengan mobil yang ia kejar tadi. Dan kini, ia yakin, mobil itu tidak muncul secara kebetulan. Ada maksud tertentu. Ada mata yang terus mengawasinya, menunggu momen lengahnya."Sial… ini bukan main-main lagi," gumamnya.Baru saja ia hendak mengalihkan perhatian ke jalan, pa
Begitu suara pintu tertutup dan langkah Rama menjauh di lorong hotel, Soraya membuka matanya perlahan.Ia tak langsung bangkit. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang dihiasi bayangan samar dari lampu temaram. Nafasnya tertahan dalam dada, seolah sedang menimbang sesuatu yang terlalu berat untuk ditelan, tapi terlalu dalam untuk dimuntahkan.Detik demi detik berlalu, dan kesunyian kamar menjadi semakin menyesakkan. Rasa perih yang tak terlihat merayap dari dadanya ke tenggorokan. Mata itu—mata yang tadi tampak kosong—kini mulai berair. Tapi air itu bukan tangis sedih… melainkan bara. Bara cemburu yang membakar lambat-lambat.Rama pergi.Pergi karena wanita itu.Pergi... untuk Nara.“Bangsat...” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Tapi nada itu mengandung muatan penuh luka.Ia menggulingkan tubuhnya pelan, memunggungi sisi ranjang yang dingin karena hanya separuhnya yang digunakan. Ia memejamkan mata sejenak, seakan berharap perasaan itu mereda. Tapi tidak. Perasaan itu justr