Jangan lupa vote, komen, dan like~
Evelyn memandang Adam, tahu masalah sudah terlewat besar. Semua orang telah mempertanyakan sikap Adam yang terkesan terlewat sombong. Kalau pria itu tidak menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, maka reputasinya yang akan terluka. Namun, sebelum Adam bisa mengatakan apa pun, Rusli mengambil satu langkah maju, menghentikan ucapan keturunan Dean itu. “Pak Adam, apa sungguh dirimu ingin memulai masalah di malam ini?” tanya pria tua itu dengan wajah tegas. “Kalaupun Pak Adam enggan menghormati cucu-cucuku, tapi paling tidak berikanlah sedikit hormat pada pria tua ini.” Ucapan Rusli sukses membuat alis Adam tertaut erat. Pria itu merasa emosinya sulit terkontrol kalau bukan karena tangan Evelyn masih melingkari lengannya, sebuah usaha untuk mengingatkannya akan tujuan utamanya ke tempat tersebut malam itu. Teringat jelas dalam ingatan Adam bahwa Nissa sempat menghinanya di butik Anna. Sekarang, tahu perihal statusnya, wanita itu ingin berusaha menggoda dirinya? Seakan tidak cukup lanca
Mendengar ucapan Adam, semua orang langsung membeku di tempat. Tak hanya itu, bahkan ada yang menganga lebar seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja pria itu katakan. “Aku tidak salah dengar, ‘kan? Adam Dean baru saja mengumumkan bahwa wanita itu adalah calon istrinya?!” seru salah seorang tamu wanita yang pertama kali sadar. “Jadi, mereka bukan hanya sekadar kekasih?!” “Aku bahkan mengira wanita itu hanya mainan sang pewaris saja!” timpal seorang tamu lain. Sementara para tamu sibuk mengungkapkan perkiraan mereka masing-masing, para anggota Keluarga Diwangkara hanya bisa terdiam dengan wajah penuh kengerian. ‘Bagaimana mungkin?’ batin Rusli dengan wajah terkejut. Dia tidak menyangka bahwa hubungan Evelyn dengan Adam ternyata begitu intim, jauh melebihi perkiraannya. Sama dengan sang tetua Diwangkara, sosok Nissa terlihat memasang wajah tidak rela. ‘Tidak, bagaimana bisa seorang Adam Dean yang begitu berkuasa memilih wanita tidak jelas seperti Evelyn?!’ Dia mengepalkan tan
Di saat pernyataan Adam terlontar, ekspresi terkejut kembali menghiasi wajah semua orang di ruangan itu. “Jebakan?” celetuk Andre dengan alis bertautan. ‘Jebakan apa yang dimaksud?’ batin pria itu. Berpuluh-puluh skenario terbersit di benak semua orang di ruangan tersebut. Namun, tidak ada yang berani mengutarakan satu pun darinya. Lagi pula, mereka yang ada di sana tahu betapa dalam dan gelapnya lika-liku hidup anggota kalangan atas Nusantara. Di tempatnya, Risa terlihat begitu ketakutan. Dia khawatir bahwa suami yang terlihat bertanya-tanya akan mengetahui kebenarannya. Manik Risa yang sempat terpaku pada Adam langsung berpindah pada Evelyn, merasa tidak percaya bahwa wanita itu memiliki keberuntungan yang begitu luar biasa. ‘Dari sekian banyak kamar, ternyata dia memasuki kamar Adam Dean?!’ batinnya. ‘Jadi alasan manajer hotel nggak bisa kasih tahu informasi klien saat itu … adalah karena klien yang tinggal di kamar itu sang pewaris Grup Dean?!’ Tidak jauh berbeda dengan Risa,
Saat ini, seseorang memutuskan untuk maju dan menghampiri Rusli. “Ayah, apa harus begitu? Kalau Nissa dan Risa berlutut di sini, muka mereka mau ditaruh mana?!” desis seorang wanita yang terdiam cukup lama selagi memperhatikan perkembangan peristiwa di ruangan itu. “Membungkuk seharusnya sudah cukup!” Mata Evelyn menggerayangi sosok baru itu, mencoba mengingat apa hubungan wanita itu dengan Keluarga Diwangkara. ‘Ah!’ Sekejap, wanita itu langsung sadar siapa wanita berbalut gaun malam berwarna hitam sopan tersebut. ‘Vera Diwangkara,’ batin Evelyn, menyebutkan nama anak kedua Rusli setelah Handi, ibu kandung dari Nissa. Mendengar ucapan Vera, mata Rusli melotot. “Diam!” bentak pria itu sembari menepiskan pegangan tangan sang putri pada lengannya. “Anakmu sendiri yang menggali lubang kematiannya. Kalau bukan dia yang menanggung hal ini, apa harus Keluarga Diwangkara yang ikut jatuh bersamanya?!” desisnya dengan suara rendah sebelum melotot ke arah Nissa. “Berlutut adalah suatu hal yang
Mendengar ucapan Evelyn, Nissa langsung menegapkan tubuh dan menatap Risa. ‘Persaudaraan macam apa yang mereka miliki? Yang satu selalu secara tidak langsung menjelekkan kakaknya, sedangkan yang satu lagi tidak akan pernah memaafkan adiknya.’ Walau dia tidak menyukai Evelyn--bahkan mungkin membencinya setelah kejadian ini--tapi Nissa menjadi sedikit penasaran dengan apa yang telah dilakukan Risa pada wanita itu. Seburuk-buruknya hubungan Nissa dengan Andre saja, mereka tidak berniat untuk saling menjatuhkan seperti itu. Namun, dengan kenyataan dirinya tidak lagi memiliki masalah dengan sang calon istri Adam Dean, Nissa pun tidak mempedulikan Risa dan kembali ke lingkaran kakek dan ibunya. Dia tidak ingin ikut campur lebih dalam dengan masalah antarsaudara itu. Melihat tidak akan ada yang membantu putrinya, Reyhan langsung maju selangkah dan berkata, “Evelyn, jangan keterlaluan kamu!” Pria itu merasa bahwa putri pertamanya itu sudah bersikap lewat batas. “Apa tinggal di luar Nusan
Pernyataan dari rekaman itu membuat semua orang terkejut. Ingin mereka mempertanyakan keaslian rekaman, tapi sejumlah tamu senior mengenal jelas suara tersebut. Riki Sinarta, dia memang manajer Narwangsa, hotel ternama di Nusantara. Sebelum dirinya berhenti sebagai manajer hotel delapan tahun lalu, pria itu memang sering membantu para kalangan atas menuntaskan ‘kebutuhan’ mereka. Perselingkuhan, pemantauan, ‘pertukaran bisnis’, dan berbagai macam hal yang terjadi di Narwangsa jelas dilancarkan oleh pria tersebut. Seluruh anggota Keluarga Diwangkara ternganga mendengar hal tersebut. Mereka menatap Risa dengan pandangan penuh kengerian. ‘W-wanita itu ….’ Handi sungguh kehabisan kata-kata. ‘Bagaimana mungkin aku membiarkan Andre menikahi wanita seperti dia!?’ Nissa yang juga baru sadar seberapa bodoh dirinya bisa terbawa emosi karena permainan Risa memaki dalam hati, ‘Jal*ng licik!’ Selagi para anggota Keluarga Diwangkara sibuk memaki dan menilai Risa, Andre terpaku menatap ke
Dalam perjalanan pulang, Adam sesekali melemparkan sebuah pandangan menelisik ke arah Evelyn. Akan tetapi, dia hanya bisa melihat ekspresi kosong yang terlukis di wajah wanita itu dari pantulan pada kaca mobil. Setelah meninggalkan pesta dan masuk ke dalam mobil, Evelyn masih belum mengutarakan sepatah kata pun. Tak hanya itu, tidak ada ekspresi bahagia maupun marah yang ditunjukkan wanita tersebut, membuat Adam merasa sedikit penasaran. “Kamu tidak terlihat senang,” ujar Adam dengan suara rendah, membuat Evelyn menoleh ke arahnya. Manik hitam segelap malam milik wanita itu terlihat begitu dalam dan menenggelamkan. “Aku senang,” balasnya dengan sebuah senyuman. “Aku akhirnya bisa mempermalukan mereka yang dahulu membuangku, bagaimana mungkin aku tidak senang?” Balasan wanita tersebut membuat Adam kembali berkata, “Pancaran matamu bukan milik seseorang yang sedang senang.” Pria itu melanjutkan, “Ada sesuatu yang kamu khawatirkan.” Mendengar perkataan Adam, senyuman di wajah Evelyn
Mendengar hal tersebut, Evelyn membeku di tempat. Secara perlahan dia menengadahkan kepala, membalas tatapan dalam sepasang netra biru milik Adam. Dia tidak salah dengar, bukan? “Adam, jangan bercanda,” balas Evelyn dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. Jantungnya tak elak berdetak cepat, merasa tatapan Adam terlewat serius untuk sebuah candaan. “Sudah cukup kamu berbohong di pesta, tidak perlu melanjutkannya sampai ke sini,” tambahnya. Evelyn sudah sangat terkejut ketika Adam mengakui dirinya sebagai calon istri di depan publik. Dengan keberadaan sejumlah orang media di pesta tadi, Evelyn yakin bahwa pernyataan pria tersebut akan menggemparkan dunia begitu beritanya tersebar. Hal itu cukup membuat kepala wanita tersebut menjadi pening. Namun sekarang, belum sempat menyelesaikan satu masalah itu, Adam malah menyatakan ingin menikahi dirinya? Balasan Evelyn membuat Adam membalas, “Aku tidak bercanda.” Pria itu mengerutkan kening, menampakkan ekspresi tidak bercanda. “Aku serius.”
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p