Hmm, mungkin nggak seorang Nissa akan menjadi kawan untuk Evelyn ke depannya kalau tahu apa yang sebenarnya Risa lakuin? Coba komentar di bawah yaa! Btw, ini ganti karena kemarin nggak sempat update hehe. Semoga kalian enjoyyy!
“Kok tumben Mama pulang awal, Ma?” tanya Liam yang sekarang berada dalam mobil bersama ibu dan saudarinya. “Biasanya Kak Linda yang jemput aku sama Lili.” Evelyn yang sedang menyetir mobil memaksakan sebuah senyuman. “Iya, Sayang. Kerjaan Mama selesai lebih cepat tadi,” jawabnya, sama sekali tidak berencana menceritakan kegilaan yang terjadi. Lagi pula, tidak ada dari kejadian hari itu yang pantas diceritakan kepada kedua bocah kecil tersebut. “Mama nggak berantem sama Om Adam, ‘kan?” celetuk Lili membuat senyuman Evelyn hampir menghilang karena terkejut. “Nggak kok, Sayang,” balas Evelyn. Dari semua orang, dia tidak mengerti kenapa putrinya bisa menyebutkan nama Adam. “Memang karena tugas Mama sudah selesai saja.” Dia berusaha mengalihkan topik dan bertanya, “Gimana sekolah kalian hari ini?” Beruntung Liam dan Lili tidak terlihat mencurigai apa pun, kedua bocah itu langsung sibuk menceritakan hari mereka dengan ceria. Selagi mendengarkan kedua putra-putrinya yang begitu semangat b
“Sudah kamu pastikan tidak ada yang tahu kebenarannya?” tanya Julian yang sedang menelepon. Dia yang sekarang berada di lorong mewah rumah atasannya melirik ke arah seorang pria berpakaian militer yang sedang memperhatikan isi sebuah ruangan. “Oke. Cari juga dalang kekacauan hari ini sesegera mungkin dan berikan kabar padaku segera,” tegas pria itu sebelum akhirnya memutuskan panggilan.Setelah memasukkan ponsel ke dalam sakunya, Julian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati pria berpakaian militer tersebut. Terlihat bahwa pria militer itu mengenakan sebuah masker, membuat siapa pun tidak mengenali parasnya dan hanya bisa melihat sepasang manik birunya yang indah.“Pak, semuanya sudah diatur sesuai perintah Bapak,” ujar Julian dengan suara rendah, tidak ingin mengganggu fokus pria tersebut. “Semua berita telah diturunkan, dan tidak ada dari mereka yang mengenali sosok Bapak,” jelasnya. “Identitas Bapak aman.”Selagi Julian sedang menjelaskan, netra biru pria berpakaian militer itu s
“Loh, kok bisa?!” Suara melengking terdengar menggema di ruang tamu kediaman Diwangkara. Amarah dan ketidakrelaan menyelimuti nada bicaranya selagi wanita berpakaian anggun itu melanjutkan, “Aku dengan sengaja membayar kalian untuk semua berita itu, dan kalian malah menurunkan beritanya. Nggak cuma itu, kalian juga gagal memojokkan Evelyn serta mendapatkan berita berguna lainnya?!” Mata wanita itu melotot seiring dirinya memaki, “Bodoh! Saya nggak mau tahu, pokoknya kalian harus lakuin sesuai perintah saya!” Mungkin kesal dengan betapa keras kepala lawan bicaranya itu, pihak di ujung telepon yang lain langsung membalas, “Maaf, Bu Nissa. Ini sudah di luar kekuatan saya. Semua uang yang telah Ibu berikan untuk hal ini telah saya transfer kembali.” Suara parau pria paruh baya itu menambahkan, “Lawan kali ini terlalu besar untuk saya sentuh. Selamat siang dan terima kasih.” Tanpa menunggu Nissa mengatakan apa pun, pria petinggi perusahaan berita itu mematikan telepon. Hal tersebut memb
“Ya, dan itulah alasan seorang Evelyn Erlangga muncul dari udara kosong di Calpa delapan tahun yang lalu,” tutur Evelyn mengakhiri ceritanya dengan sebuah senyuman pahit menghiasi wajah. Sebelumnya Evelyn hanya menceritakan bagaimana dirinya diusir oleh sang ayah akibat kehamilannya. Akan tetapi, sekarang dia melengkapi cerita itu dengan kenyataan bahwa dirinya dijebak oleh adik kandungnya sendiri. Sekarang, Evelyn tidak lagi memiliki hal untuk disembunyikan, semua telah dia utarakan kepada Adam. Di sisi lain, Adam yang telah selesai membungkus luka Evelyn terlihat tengah terduduk di pinggir tempat tidurnya. Dia menatap wanita itu dengan ekspresi serius. Jujur saja, Adam telah mendengar banyak cerita mengenai perebutan takhta para pewaris, bahkan terlibat di dalamnya. Namun, ini kali pertama dia mendengar secara langsung pertengkaran saudari akibat seorang pria. ‘Layakkah?’ batin Adam dalam hatinya. Sadar bahwa dirinya telah berbicara terlalu banyak, Evelyn menarik napas dan tertaw
“Sesuai pernyataan Bu Evelyn, kamar 1001 memang dipesan atas nama adiknya, Risa Aditama,” Julian berkata di hadapan meja kerja Adam, mengubah panggilannya terhadap Evelyn dengan sengaja karena wanita itu jauh lebih penting dibandingkan yang dia kira. Mata pria itu masih terlihat mengantuk, efek dari menghabiskan sejumlah malam untuk mencari informasi yang atasannya itu inginkan. Dari laporan yang Julian dapatkan, yang mana salah satunya adalah rekaman pengakuan manajer hotel tempat Adam dan Evelyn bermalam delapan tahun lalu, terbukti bahwa cerita wanita itu kepada Adam bukanlah sebuah kebohongan. Evelyn memang seharusnya bermalam di kamar 1001, tapi entah bagaimana caranya berujung masuk ke kamar Adam. Selain itu, alasan Julian tidak mampu menemukan bukti atau rekaman CCTV apa pun ... adalah karena Reyhan, sang kepala Keluarga Aditama, memerintahkan manajer hotel untuk menyingkirkan rekaman CCTV dari jam sembilan malam sampai jam tujuh pagi di hari berikutnya. Sebelumnya, Julian tid
“Sore, Bu Evelyn,” sapa seorang pelayan dengan sebuah senyum semringah, merasa matanya diberkahi melihat seseorang yang begitu rupawan seperti Evelyn menghiasi pemandangannya. Bukan sekadar rupawan yang membuat pelayan itu menyukai Evelyn, tapi lebih kepada senyuman indah yang diberikan wanita tersebut, jauh berbeda dari sang majikan yang selalu memasang wajah dingin mengerikan. “Teh jasmine? Hari ini cukup dingin karena hujan,” kata pelayan tersebut sembari menyuguhkan secangkir teh hangat. Sembari menyandarkan diri pada meja dapur, Evelyn membalas, “Terima kasih, Nila.” Manik hitamnya melirik ke kanan dan ke kiri. “Pak Aldi ke mana?” Wanita itu meneguk teh yang disediakan, mencari-cari keberadaan kepala pelayan kediaman Adam di Nusantara itu. Dengan lincah mempersiapkan bahan makanan untuk makan malam, Nila menjawab, “Pak Aldi pergi untuk ikut menjemput Liam dan Lili, Bu.” Mendengar hal itu, senyuman Evelyn sedikit membuyar. Sudah beberapa hari sejak dirinya datang dan tinggal di
Panggilan Adam membuat Evelyn terkejut. Untuk menghindari rasa canggung dan menunjukkan semua orang ekspresi terluka serta marahnya, wanita itu tadinya berniat untuk menunggu semua orang pergi sebelum keluar. Akan tetapi, sekarang dia tidak ada pilihan. Evelyn berjalan keluar dari lorong rak buku, lalu memaksakan diri untuk terlihat seperti biasa. Namun, usahanya itu malah membuat Adam mampu membaca jelas perasaannya. “Kamu sudah pulang?” tanya Evelyn, berusaha membuka pembicaraan dengan basa-basi kosong. “Tumben sekali cepat?” Selama sesaat, Adam terdiam sembari memperhatikan Evelyn. Ada sesuatu dalam hatinya yang membuat pria itu ingin menanyakan perasaan wanita tersebut. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Evelyn berusaha mengesampingkan kejadian beberapa saat lalu, Adam pun hanya bisa mengikuti kemauan wanita itu. “Semua kerjaan selesai lebih awal,” jawab Adam singkat. “Di mana anak-anak?” Pria itu yakin bahwa saat ini merupakan jam pulang sekolah Liam dan Lili. “Pak Aldi sed
“Lili!” bentak Evelyn dengan wajah merona merah, malu dan juga marah karena sang putri selalu mencoba mengapitkan Adam dengannya. “Jangan—" Sebelum Evelyn bisa mengatakan apa pun, Liam langsung berseru, “Nggak boleh!” Seruannya mengejutkan semua orang, membuat mereka menatap bocah dengan ekspresi marah terpasang di wajahnya. “Om Adam nggak boleh jadi papa kita!” “Kenapa nggak boleh?” tanya Lili yang bingung dengan ucapan kakak kembarnya. Dia sangat menyukai Adam, jadi dia ingin pria itu menjadi ayahnya. Kenapa sang kakak tidak mengizinkannya?! Liam langsung menjawab sembari meremas gaun ibunya, “Belum menikah berarti bukan papa!” Di dalam hatinya, bocah itu tidak rela memberikan ibunya ke sembarang pria, terlebih seorang pria dingin dan menyeramkan seperti Adam. Kalau ibunya nanti tersiksa, bagaimana?! Mendengar hal itu, alis kanan Adam langsung meninggi. “Kalau menikah, bisa jadi papa? Begitu, ‘kan?” tanyanya membuat Evelyn dan Nila kembali ternganga, tak menyangka Adam akan menan
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p