Idih, udah kek netizen bet dah itu mulutnya. Ditampar yak apa, Bang Adam? Masa dipecat doang :") Agak kurang rela nggak sih guys lepas gitu aja, yak? Kesel gak sih kalian denger omongan si pelayan pertama? Atau malah kalian merasa sama kayak dia dan malah merasa Evelyn tuh hina? Coba deh dikomen! Jangan lupa like sama votes juga yaaak. Share sama teman-teman pembaca lain tentang karya ini! Love you peeps!
Panggilan Adam membuat Evelyn terkejut. Untuk menghindari rasa canggung dan menunjukkan semua orang ekspresi terluka serta marahnya, wanita itu tadinya berniat untuk menunggu semua orang pergi sebelum keluar. Akan tetapi, sekarang dia tidak ada pilihan. Evelyn berjalan keluar dari lorong rak buku, lalu memaksakan diri untuk terlihat seperti biasa. Namun, usahanya itu malah membuat Adam mampu membaca jelas perasaannya. “Kamu sudah pulang?” tanya Evelyn, berusaha membuka pembicaraan dengan basa-basi kosong. “Tumben sekali cepat?” Selama sesaat, Adam terdiam sembari memperhatikan Evelyn. Ada sesuatu dalam hatinya yang membuat pria itu ingin menanyakan perasaan wanita tersebut. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Evelyn berusaha mengesampingkan kejadian beberapa saat lalu, Adam pun hanya bisa mengikuti kemauan wanita itu. “Semua kerjaan selesai lebih awal,” jawab Adam singkat. “Di mana anak-anak?” Pria itu yakin bahwa saat ini merupakan jam pulang sekolah Liam dan Lili. “Pak Aldi sed
“Lili!” bentak Evelyn dengan wajah merona merah, malu dan juga marah karena sang putri selalu mencoba mengapitkan Adam dengannya. “Jangan—" Sebelum Evelyn bisa mengatakan apa pun, Liam langsung berseru, “Nggak boleh!” Seruannya mengejutkan semua orang, membuat mereka menatap bocah dengan ekspresi marah terpasang di wajahnya. “Om Adam nggak boleh jadi papa kita!” “Kenapa nggak boleh?” tanya Lili yang bingung dengan ucapan kakak kembarnya. Dia sangat menyukai Adam, jadi dia ingin pria itu menjadi ayahnya. Kenapa sang kakak tidak mengizinkannya?! Liam langsung menjawab sembari meremas gaun ibunya, “Belum menikah berarti bukan papa!” Di dalam hatinya, bocah itu tidak rela memberikan ibunya ke sembarang pria, terlebih seorang pria dingin dan menyeramkan seperti Adam. Kalau ibunya nanti tersiksa, bagaimana?! Mendengar hal itu, alis kanan Adam langsung meninggi. “Kalau menikah, bisa jadi papa? Begitu, ‘kan?” tanyanya membuat Evelyn dan Nila kembali ternganga, tak menyangka Adam akan menan
Liam dan Lili sedang duduk di ruang makan bersama dengan sang ibu dan tuan rumah. Di hadapan mereka terdapat sejumlah makanan yang dihidangkan sebagai makan malam. Namun, walau makanan yang ada di depan mata mereka mereka terlihat begitu menggiurkan, perhatian kedua bocah itu hanya terarah pada dua orang di dua sisi ujung meja yang memasang wajah datar dan canggung. Siapa lagi kalau bukan Evelyn dan Adam? “Apa yang … terjadi?” bisik Liam kepada Lili yang hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Makan malam sebelum-sebelumnya memang tidak bisa dibilang nyaman, ada kecanggungan yang mengudara antara Evelyn, anak-anaknya, dan juga Adam. Hanya saja, seiring waktu berlalu dan mereka melalui makan malam ketiga dan keempat bersama, kecanggungan tersebut menghilang karena mereka berakhir terbiasa. Lalu … apa ini sekarang?! Ketidaknyamanan dan kecanggungan yang menyelimuti ruangan tersebut malam ini jauh lebih terasa dibandingkan kali pertama mereka makan bersama! Lili pun berbisik,
“Pak, mobil sudah siap dan menunggu di depan,” lapor Aldi, sang kepala pelayan kediaman Adam, sembari memberi hormat kepada majikannya. Aldi melirik para pelayan wanita yang mengintip dari dapur belakang, memberikan peringatan agar mereka menjaga sikap. Akan tetapi, jujur saja, wanita mana yang bisa tenang melihat sosok Adam kala itu. Kalau biasanya sudah ada begitu banyak orang yang terpukau dengan ketampanan pria tersebut, tapi malam itu pastinya tidak ada orang yang bisa mengalihkan pandangan mereka untuk waktu yang lama darinya. Adam terlihat jauh berbeda dari penampilan sehari-harinya. Ketika dia biasanya membiarkan rambutnya turun dan terlihat alami, malam itu dia membiarkan setengah rambutnya ditarik ke belakang dengan gel. Diserasikan dengan jas berwarna biru gelap yang membalut tubuhnya, pria itu diselimuti aura elegan yang menakjubkan. Ketampanannya diperkuat berkali-kali lipat! “Bapak tidak menunggu di mobil?” tanya Aldi, melihat Adam telah mengecek jam berwarna perak
Dalam perjalanan menuju kediaman Diwangkara, terlihat sosok Evelyn tidak mampu berdiam diri. Wanita itu terus-menerus memainkan jarinya di dalam mobil, kentara gugup dengan pesta yang akan segera dirinya hadiri. Duduk di sebelah Evelyn, Adam, yang sedari tadi berusaha keras untuk tidak menatap wanita itu lantaran khawatir tak mampu mengalihkan pandangan, mampu merasakan kekhawatiran pasangan pestanya tersebut. “Gugup?” tanyanya, menyuarakan pertanyaan dalam hati. Mendengar pertanyaan Adam, Evelyn menoleh. Dia memaksakan sebuah senyuman selagi menjawab, “Aku berbohong kalau menjawab ‘tidak’.” Terus terang saja, banyak hal yang dikhawatirkan oleh Evelyn. Dimulai dari kemungkinan bertemu Andre, Risa, dan Reyhan, sampai peluang dipermalukan kembali oleh Nissa atau anggota Keluarga Diwangkara yang lain. Bagaimana kalau dirinya bahkan lupa cara bersikap sopan dan berakhir mempermalukan diri sendiri?! Melihat bahwa Evelyn tak kunjung berhenti memainkan jarinya, Adam menggenggam tangan
Mata Evelyn dengan cepat melirik Adam, sedikit terkejut pria itu kembali mengutarakan kalimat terlarang tersebut. ‘Sudah kuperingatkan padanya untuk tidak menyebut diriku wanitanya!’ batin Evelyn dalam hati. Selain mengeluh dalam batinnya, Evelyn tidak bisa melakukan apa pun lagi kala sejumlah suara berkumandang membicarakan kedatangan mereka. “Astaga! Siapa pria tampan itu?!” pekik salah seorang wanita seraya menepuk pelan pundak tamu lain beberapa kali, bersemangat melihat apa yang menghiasi pandangannya. Seorang tamu wanita lain membelalakkan mata, seperti seorang pemburu yang menemukan mangsa. “Kamu tahu dia? Apa dia pejabat? Atau malah keturunan kerajaan luar negeri? Lihat perawakan dan penampilannya, ganteng banget!” pujinya dengan mata berbinar. “Matanya biru! Jelas dia bukan dari Nusantara, ‘kan? Atau dia berdarah campuran?” Evelyn ingin sekali menggelengkan kepala mendengar pujian para wanita itu. Dia melirik Adam, mengakui bahwa pria itu sangatlah tampan. Akan tetapi
“Evelyn?” Salah seorang tamu mengerutkan kening ketika mendengar panggilan Andre kepada wanita yang bersanding dengan Adam Dean itu. Dalam dua detik, tamu itu terbelalak dan berkata dengan cukup keras, “Astaga! Dia adalah Evelyn Aditama! Mantan pewaris Aditama yang kabur dari perjodohan dengan sang pewaris Diwangkara!” Begitu menyadari identitas Evelyn, seisi ruangan tersebut dipenuhi dengan desas-desus. “Bukannya dia dikabarkan sudah meninggal?” tanya seorang tamu. “Nggak mungkin orang itu Evelyn Aditama, ‘kan?” Mendengar pertanyaan itu, seorang tamu lain menimpali, “Bod*h, rumor dari mana itu? Dia jelas-jelas kabur ke luar negeri karena nggak mau dinikahkan dengan Andre Diwangkara.” Suara tamu itu rendah, tapi cukup jelas untuk didengar sejumlah besar orang. “Ada yang bilang dia punya kekasih gelap yang nggak disetujui oleh ayahnya!” “Sembarangan, dia itu sudah terlanjur hamil. Untuk menutupi hal tersebut, Reyhan Aditama berujung mengusir putrinya itu,” celetuk tamu wanita l
Ucapan Adam membuat sejumlah orang yang mendengarnya terbelalak, termasuk Evelyn. Wanita itu meremas lengan pria tersebut, memperingatkannya untuk tidak memicu keributan. Kalaupun Adam adalah sang pewaris terhormat Grup Dean dari Capitol, tapi di negeri orang lain, terlebih di Nusantara, baiknya dia mengumpulkan teman dan bukan musuh. Di sisi lain, Handi merasa sangat tersinggung. Bagaimana pun, dirinya adalah kepala Keluarga Diwangkara yang ternama. Reputasinya sebagai keluarga bisnis adalah yang nomor satu di Nusantara. Ketika semua orang tunduk padanya, bahkan memuji dan menjilatnya untuk mendapatkan kesempatan bekerja sama, Adam Dean malah menyerangnya secara terbuka?! ‘Baj*ngan tidak tahu adat ini!’ maki Handi dalam hati, sangat tidak terima. Akan tetapi, walau hatinya menyimpan benci, tapi ekspresi di wajah pria itu masih tersenyum, sungguh contoh sempurna seseorang berwajah dua. ‘Bahkan kalau dia bagian dari Keluarga Dean, jika memang aku ingin menyingkirkannya di Nusantara
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p