Penasaran, Evelyn ada penyesalan nggak ya nikahin Adam? wkwk Gimana menurut kalian gengs?
“Aku bilang akan memberikan balasan yang setimpal. Karena aku senang dengan hasilnya, memberikannya hadiah adalah balasan yang cukup, bukan?” Ucapan Adam membuat Rosa tertawa keras, sedangkan Noah menganggukkan kepalanya, bangga lantaran sang cucu sepertinya menerima didikannya dengan baik dan benar. Berkebalikan dengan mereka, Henry dan Ardi hanya bisa menggelengkan kepala. Manik hitam Evelyn menyapu sekilas pemandangan sekeliling, bagaimana semua orang di sekitarnya tampak bahagia dengan cara mereka masing-masing. Kalaupun memang dirinya cukup menjadi korban, tapi hal tersebut bukanlah masalah besar. Lagi pula, mampu melihat kebahagiaan terpancar di wajah orang-orang ini adalah suatu hal yang sangat berharga untuknya. ‘Terlebih … setelah semua hal yang telah kita lalui,’ batin Evelyn dalam hati. Selagi mereka berbincang dan sarapan yang telah dipesan mulai dihidangkan, Evelyn menyadari bahwa ada sejumlah hal yang kurang. “Di mana Kakak?” tanya Evelyn ke arah sang ibu. ‘Rena juga
“Aku—” Tidak sempat Dominic menyelesaikan ucapannya, dia membeku. Hal tersebut tertangkap oleh Evelyn yang langsung mengikuti arah pandang kakaknya itu. Terlihat sosok Rena melangkah masuk ke dalam ruangan dengan kemeja putih dan celana panjang berwarna hitam, masih tampak profesional seperti Julian. Yah, mungkin itu karena keduanya masih dalam kondisi sedang ‘bertugas’. Setelah menyapa semua orang dengan senyuman dan anggukan kepala, Rena menghampiri Evelyn. “Nyonya, untuk hari ini, aku ingin mengambil izin,” ucapnya seraya merendahkan punggungnya untuk berbisik kepada sang atasan. “Apakah itu memungkinkan?” Di saat Rena sibuk berbicara dengan sang istri, Adam menangkap mata Dominic tidak terlepas dari sosok asisten pribadi Evelyn itu. Hal tersebut membuat matanya memicing penuh kecurigaan, terlebih saat dia menangkap pancaran mata kesulitan dari sang kakak ipar. ‘Apa sungguh … tidak ada apa pun di antara mereka?’ batin Adam. Dia mengalihkan pandangan pada Rena. ‘Terlebih karena
“Ada yang aneh,” ucap Evelyn dengan tenang seiring dirinya melangkah masuk ke dalam ruang ganti ruangan hotelnya. Dia menanggalkan kalung dan gelangnya sebelum kemudian meletakkannya di atas meja rias. “Hari ini Kakak tidak bersikap seperti biasanya.” Benak Evelyn mencoba mengingat jelas cara sang kakak berbicara hari ini, begitu tidak alami, seakan pria tersebut memiliki beban pikiran tertentu. Kalaupun kalimat Dominic masih pedas seperti biasanya, tapi pemilihan kata dan ekspresi pria itu terlihat diselimuti ketidaktenangan. “Dia bahkan sama sekali tidak bereaksi terhadap candaan Anita terkait hotelnya.” Evelyn mulai meraih gaun pantainya, berniat untuk mengganti pakaiannya sebelum menemani dua buah hatinya pergi. “Mengingat dia sangat bangga dengan hasil kerja kerasnya, itu adalah hal yang aneh.” Kemudian, tubuh Evelyn membeku. Dia mengingat bagaimana pembahasan mengenai Rena memantik aura dingin dari sang kakak. Tidak hanya itu, cara pria tersebut menarik Rena pergi dari restora
“Datang di waktu yang tak jauh berbeda, memiliki bekas merah mencurigakan yang sama, juga kepergian yang mengundang tanda tanya.” Adam memandang Evelyn lekat. “Menurutmu, apa yang telah terjadi di antara mereka?” Pertanyaan Adam membuat Evelyn membeku. Otak wanita itu berputar, mencoba mencari jawaban lain, tapi dia tak mampu. Mata Evelyn tertutup, mencoba membayangkan puluhan skenario yang menyebabkan kedua orang itu berakhir demikian. Hal tersebut membawanya kepada satu skenario yang paling menakutkan. Kalau memang benar Rena dan Dominic menghabiskan malam bersama, apakah hal itu didasari oleh cinta dan persetujuan bersama … atau kecelakaan dan nafsu sementara semata? Melihat Evelyn berpikir begitu keras mengenai orang lain, Adam pun mengerutkan keningnya. Dia mencium tengkuk sang istri, membuat wanita itu terkesiap, lalu berbisik, “Berikan aku perhatian.” “Adam ….” Evelyn memanggil pria itu kala tangan sang suami mulai menggeser tali atasan miliknya sampai menuruni pundak, sebu
*Beberapa saat yang lalu* “Itu adalah kali pertama aku menghabiskan malamku dengan seorang wanita … dan aku minta pertanggungjawaban.” Detik kalimat itu terlontar, keheningan menyelimuti Rena dan Dominic. Suara bising deru mesin mobil yang melewati parkiran tersebut adalah satu-satunya hal yang bergema di tempat itu. Mata Rena menatap manik hitam Dominic dengan saksama, mencari-cari kebohongan yang mungkin tersembunyi di baliknya. Pria itu pun melakukan hal yang tak jauh berbeda, memandang gadis di hadapan dengan harapan akan mendapatkan balasan sesuai keinginan. Akan tetapi— “Ha ha ha ha!” Tawa nyaring terdengar di tempat tersebut. Hal itu membuat Dominic sontak mengerutkan dahinya sembari menatap sosok Rena yang tertawa terbahak-bahak, begitu geli sampai gadis itu memegang perutnya kuat. “Dominic Grey, kamu lucu sekali,” ujar Rena sembari menghapus air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Masih setengah tertawa, gadis itu melanjutkan, “Kamu ingin berkata bahwa dirimu, sang pe
“Haruskah kuingatkan bahwa dirimulah yang memaksakan dirimu padaku?” Ucapan Dominic membuat Rena membeku, lalu arus ingatan terkait kejadian di malam yang lalu mengalir ke dalam benaknya. *Malam yang lalu* “Berikan aku anggurnya lagi!” seru seorang gadis yang sedang bertengger di punggung seorang pria. Wajah manisnya terlihat merah karena mabuk dan kelakuannya pun mulai tidak jelas lantaran kesadaran yang tersisa hanya setipis benang. “Rena! Berhenti bergerak atau aku akan menjatuhkanmu!” tegur pria yang sedang menggendong gadis tersebut di belakang punggungnya dengan susah payah. Tidak jauh berbeda dari Rena, wajah pria itu samar-samar terlihat merah. Akan tetapi, pria tersebut kentara jelas masih jauh lebih sadar lantaran dia masih bisa membawa Rena kembali ke kamar bersamanya. Mendengar teguran pria tersebut, Rena mengerutkan keningnya. “Dasar pria galak,” makinya. “Pantas saja dengan wajah tampan dan kedudukanmu sebagai penguasa dunia bawah itu, tidak ada wanita yang betah be
“Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?!”Dominic berseru seraya mencoba mendorong Rena dari atas tubuhnya. Namun, saat melakukan hal tersebut, pria itu menyadari bahwa kedua tangannya tengah diikat kuat dengan sebuah ikat pinggang. Dari bentuknya yang familier, Dominic mengenali ikat pinggang itu sebagai milik Rena.Alis Dominic tertaut. “Apa-apaan—!”“Sshh ….” Rena meletakkan jari telunjuknya di bibir Dominic, mengisyaratkan agar pria itu diam. “Jangan berisik. Bagaimana kalau kamu mengganggu orang di kamar sebelah?” ujarnya membuat sang penguasa dunia bawah itu mengernyitkan dahi. Jelas-jelas ruangan hotelnya begitu luas, bahkan kalau dia berteriak, tamu di kamar sebelah juga tidak mungkin tahu.Mendengar ucapan tidak masuk akal itu terlontar dari bibir Rena membuat Dominic yakin bahwa gadis itu masih berada dalam kuasa alkohol. Namun, selain hal itu, ada satu hal penting lagi yang tak bisa Dominic kesampingkan.Bagaimana mungkin dirinya, sang pemimpin klan mafia terbesar di Capi
Sebelum Dominic bisa mendapatkan jawaban, dia merasakan Rena menjauhkan diri darinya. Pandangan pria itu pun mengikuti gerakan gadis tersebut, memperhatikan bagaimana gadis dengan kemeja yang tidak lagi dikancing itu menegapkan tubuh dan menyugar rambut panjangnya ke belakang, terlihat begitu panas dan menggoda. Netra hitam Dominic menyapu pemandangan yang disuguhkan di hadapan. Bibir mungil yang berisi, leher jenjang yang indah, dada sintal yang berbalut bra hitam, dan pinggang ramping yang diakhiri dengan bokong padat berisi. Semua hal itu membuat darah Dominic berdesir dan napasnya pun menjadi semakin berat. Sesuatu dalam dirinya terpancing dan mulai meronta. “Apa yang kamu lihat?” Suara Rena terdengar berkata seiring jari telunjuk gadis itu mengangkat dagu Dominic untuk menatapnya. Netra hijaunya yang menatap lurus ke arah pria di hadapan memancarkan keinginan mendalam untuk membuat pemimpin klan mafia Capitol itu merintih. Bibir Dominic terbuka. “Aku—!” Belum sempat pria itu me
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p