Me to Sera: Mommy yes, Mommy? #LAHH?!
“Apa kamu tertarik untuk ditusuk? Dengan begitu, kamu bisa tahu apakah kamu akan membenci penusuknya atau tidak, bukan?”Pertanyaan itu membuat sejumlah orang terkesiap, tapi tidak ada yang berani menggunjing Seraphina mengenai ucapannya. Semua tamu yang hadir masih memiliki hubungan keluarga dengan Keluarga Dean. Demikian, mereka tahu bahwa Seraphina adalah tuan putri di kediaman itu. Bahkan, Noah dan Henry sendiri saja tidak bisa melawan gadis itu!“Maaf, Bibi Sera, aku salah bicara!” ujar salah satu keponakan jauh Seraphina dan Henry itu seraya menutup setengah wajahnya dengan kipas.Seorang wanita menarik gadis itu ke belakangnya dan tersenyum canggung kepada Seraphina. “Sera, putriku masih begitu muda, aku mohon maafkan dia atas kelancangannya,” ujar wanita yang merupakan sepupu jauh Seraphina dan Henry dari keluarga Jenna.Dengan sebuah dengusan, Seraphina melemparkan garpu ke arah nampan seorang pelayan. “Jaga mulut putrimu dengan baik.” Dia menatap wanita itu dengan tatapan di
“Apakah sang Adam Dean sedang merasa gugup?” Ucapan Evelyn menyadarkan Adam, dan pria itu pun tersenyum tak berdaya. “Melihat calon istriku begitu memukau, aku merasa sedikit sulit bernapas,” akunya dengan sangat jujur, membuat wanita di hadapan—yang awalnya berniat menggoda—malah berakhir dengan wajah bersemu merah. Kehangatan menyelimuti hati Evelyn, terlebih karena genggaman tangan Adam terasa mengamankan dirinya. Kegugupan yang sejujurnya juga sempat hinggap di hatinya seketika sirna di saat dia bersanding di sisi pria tersebut. Pertukaran kalimat sederhana itu mungkin tidak berarti bagi orang lain, tapi hal tersebut menguatkan keduanya. Acara berjalan lancar sesuai rencana; pendeta mengutarakan sejumlah hal terkait pernikahan, sedikit pengingat bagi dua orang yang akan segera mengemban hidup bersama, sampai pada akhirnya sumpah pernikahan pun harus terucap. Para tamu yang hadir berdiri seiring pengantin pria dan wanita berakhir saling berhadapan. Dengan netra birunya menatap l
“Ayo, bersulang untuk kedua pengantin!” “Evelyn, kamu sudah tahu ke mana Adam akan membawamu untuk bulan madu nanti?!” “Astaga, Adam. Berhenti bersikap begitu dingin. Kamu sekarang sudah menjadi suami orang!” Celotehan dan juga komentar dari sanak saudara yang menghadiri pesta pernikahan tidak berhenti terdengar. Seiring dua pengantin yang telah secara sah dinyatakan sebagai sepasang suami istri itu mengunjungi setiap meja dari tamu yang hadir, selalu ada percakapan mencengangkan yang membuat Adam serta Evelyn kelabakan. “Apa Liam dan Lili akan punya adik lagi?” “Satu? Dua? Oh! Atau mungkin kalian mau hasilkan satu tim sepak bola?” Canda dan tawa yang membuat kepala Evelyn sedikit berdengung itu terus terucap tanpa henti. Hal tersebut membuat ekspresi wanita yang awalnya tersenyum lembut itu mulai terlihat lelah. Menjelang pertengahan pesta, Adam pun berbisik, “Haruskah kita kabur?” Evelyn yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk kembali duduk di kursinya sedikit terkejut. “A
Catatan: Untuk yang menjalankan puasa, tolong jangan dibaca ya [sebelum buka? wkwk]. Pembaca disarankan bijak dalam memilih untuk lanjut membaca atau tidak. Author tidak bertanggung jawab atas batalnya puasa kalian wkwkwk. Mereka yang memutuskan lanjut, semangat. Author tulis ini pas setengah mabok, jadi nggak tahu bener ato nggak. Kalo nggak, jangan lupa tulis di komen, biar nanti direvisi #LOH!? ______________________________________________ “Evelyn, apa ini … cara baru menggodaku?” Mendengar pertanyaan itu dari bibir Adam, Wajah Evelyn terasa begitu panas. Dia mendorong pria itu menjauh dan langsung mendudukkan diri selagi menarik kembali jubah mandinya, menutupi tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam berenda warna hitam dilengkapi dengan gaun merah muda tembus pandang. “Ini bukan ideku!” teriak Evelyn dengan sangat malu. “Aku hanya tidak menemukan pakaianku!” Tanpa berani menatap Adam, Evelyn memaki dalam hati siapa pun yang telah memindahkan barang-barangnya. Saat dia
‘Evelyn, aku yakin dirimu akan menemukan kebahagiaan. Percayalah dan teruslah berjuang.’ Kelopak mata Evelyn terbuka seiring dirinya teringat kalimat yang pernah diucapkan satu orang itu. Hal tersebut mengizinkan manik hitam segelap malamnya menikmati pemandangan mempesona di hadapan. Dada bidang yang dilengkapi dengan otot liat itu tengah memberikannya kehangatan, lengkap dengan sepasang tangan kekar yang melingkupi tubuhnya dengan sebuah pelukan dan berfungsi sebagai bantalan bagi kepalanya. Pandangan Evelyn pun perlahan terangkat, menatap wajah rupawan Adam yang begitu tenang ketika tertidur di sebelahnya. Alis hitam tebal milik pria itu terlihat tajam, hidung mancungnya tinggi, tidak lupa bibir tipisnya juga tampak menggoda. Ditambah dengan rahang tegasnya yang memukau, keseluruhan penampilan pria tersebut memang sungguh menawan hati. Tangan Evelyn terjulur, menyentuh lembut wajah Adam. Jari-jarinya menyusuri wajah pria tersebut dengan hati-hati, mulai dari dahi, alis, turun ke
‘A-apa yang—' Evelyn terkejut dengan kondisi tubuhnya. Kakinya bergetar dan pinggulnya terasa nyeri. Mungkinkah tadi malam mereka segila itu sampai-sampai dirinya berakhir seperti ini?! “Tidak bisa berdiri?” tanya suara di belakang Evelyn. Wanita itu menoleh cepat dan menatap Adam yang terlihat memasang wajah terhibur, satu tangan pria itu menopang kepalanya. “Apa tadi malam terlalu berlebihan untukmu?” goda pria itu. “J-jangan sembarangan bicara!” sahut Evelyn ketus, berusaha menutupi rasa malunya. “A-aku bisa. Hanya terkejut saja lantainya begitu dingin,” jawabnya, berbohong. “Begitukah?” Adam memperhatikan wanita tersebut dengan tenang, tapi pancaran matanya terkesan mengejek. “Akan tetapi, lantai kamar ini dilapisi karpet. Bagaimana bisa dingin?” Menyadari hal tersebut, wajah Evelyn sontak merona. Dia baru tersadar dengan betapa konyol dan bodohnya kebohongan yang baru saja terucap. Melihat wajah sang istri, Adam pun tertawa rendah. Pria itu mendudukkan diri dan meraih jubah
“Bisa kulihat pengantin baru kita menghabiskan malam mereka dengan begitu maksimal.” Itu adalah hal pertama yang Evelyn dengar begitu dirinya melangkah ke area sarapan hotel. Dia menatap ke depan, pada sang ibu yang terduduk di sebelah Raffaele. Lili dan Liam juga sudah siap di sana bersama dengan orang tua dan kedua kakek Adam. Terlihat Sera dan Elena tertawa geli karena komentar Rosa. Di sebelah mereka, Julian dan Daniel hanya tersenyum tak berdaya. Hal ini membuat Evelyn tahu mengenai apa yang pastinya dibicarakan oleh orang-orang sebelum dirinya dan Adam datang. “Ini semua karenamu!” desis Evelyn sembari menyikut pinggang Adam. Wajahnya terlihat merona merah, sangat malu karena dirinya berakhir telat satu jam akibat ‘tindakan’ Adam. Adam melingkarkan tangannya di pinggang Evelyn dengan santai, lalu membalas, “Terlambat atau tidak, mereka tetap akan bereaksi sama.” Dia tersenyum tipis dan berbisik, “Siapa yang tidak tahu apa yang kita lakukan di malam yang lalu?” “Tidak tahu ma
“Gaun malam apa yang kalian bicarakan?” Selagi Adam bertanya dengan wajah gelap, Evelyn mengernyitkan dahinya, memiliki gambaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sudah jelas bahwa insiden gaun malam tembus pandang itu memiliki hubungan dengan Elena dan Sera. Namun, dia tidak berniat ikut campur dan membiarkan Adam menyelesaikan hal ini sendiri. Lagi pula, pria itu sudah berjanji, bukan? “Aku kira dia akan senang,” bisik Elena kepada Sera. “Tapi, kelihatannya dia marah besar,” sahut bibi kecil Keluarga Dean itu kepada keponakannya. Keduanya sibuk menundukkan kepala untuk menghindari tatapan Adam. Karena tidak ada yang menjawab dan suasana semakin lama menjadi semakin suram, Daniel pun memutuskan untuk buka suara, “Kak Elena menukar pakaian tidur Kak Evelyn dan menyembunyikan semua pakaiannya yang lain.” Elena terbelalak dan bertanya, “Kenapa kamu tahu?!” Dia yakin kalau hanya dirinya dan Sera yang mengetahui hal ini. Sebuah senyuman tak berdaya terlukis di wajah Daniel. “Bag
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p