Oh tidak! Evelyn terpojok! Apa dia bisa ngebebasin dirinya sendiri?! Coba tebak kelanjutannya di komen ya, guys. Hehehehe
“Lepas!” teriak Evelyn seraya mencoba untuk melepaskan diri. Akan tetapi, tidak dia sangka bahwa Reza memiliki tenaga yang begitu besar. Tersadar dirinya tak mampu melawan pria tersebut, Evelyn pun mulai berseru, “Tolong!” Alih-alih panik, teriakan Evelyn membuat Reza tersenyum. Sesuatu dalam dirinya merasa dibangkitkan dengan niatan wanita itu untuk kabur. “Kantor saya ini kedap suara, jadi nggak akan ada yang bisa dengar teriakanmu, Sayang,” ujar Reza seraya menempelkan tubuhnya pada tubuh Evelyn, membuat wanita itu mengernyit seraya terus menahan tubuh gempal pria itu. Melihat wajah mesum Reza mendekat, Evelyn memasang ekspresi jijik bercampur ngeri. Tahu bahwa berteriak minta tolong pun tidak ada guna, wanita itu memutuskan untuk menggunakan cara lain. Dengan kencang, Evelyn mengangkat kaki dan menabrakkan lututnya ke ruang di antara dua kaki Reza. Hal tersebut mengakibatkan mata pria tersebut seakan ingin meloncat keluar dan ekspresinya terlihat luar biasa kesakitan. “Ag
“Kamu wanita yang masuk ke dalam ruangan hotelku delapan tahun yang lalu, bukan?” Pertanyaan yang Adam lontarkan membuat Evelyn terpaku di tempatnya. ‘Bagaimana mungkin dia tahu?’ batin wanita itu. Dia yakin bahwa setelah pertemuan terakhirnya dengan pria tersebut, Adam tidak mungkin mengenalinya, atau bahkan ingin berurusan dengannya lagi. ‘Lalu, kenapa?!’ *Beberapa saat yang lalu* Mata Adam terpaku pada rentetan tulisan yang ada di hadapannya. Tubuhnya yang biasa begitu santai berubah menjadi sangat tegang. “Probabilitas terduga ayah lebih dari 99 persen …,” gumamnya dengan tangan menutupi mulutnya. Satu tarikan napas kasar yang diikuti dengan tubuh Adam yang bersandar di kursi membuat Julian yakin bahwa hati atasannya begitu kalut. Bagaimana tidak? Satu jam sebelumnya, Adam hanyalah seorang lajang yang memikirkan karir dan perkembangan bisnisnya. Sekarang, dirinya menyandang status sebagai ayah dari dua bocah kembar berumur tujuh tahun yang tak jelas muncul dari mana. “K
Baru saja Adam ingin buka suara, tapi dentingan lift yang diikuti dengan pintunya yang terbuka membuat pria itu mengurungkan niatnya. Mata tajamnya menangkap keberadaan sejumlah orang yang telah mengantre menunggu lift, dan dia pun langsung melepas jas untuk menutupi kepala Evelyn. Pria itu tidak ingin ada rumor tidak sedap lain yang mengelilingi wanita tersebut. Terkejut dengan jas pria tersebut yang menimpanya, Evelyn memekik, “Apa yang kamu—!?” “Ikut denganku,” potong Adam sembari melingkarkan tangan di pinggang Evelyn, membuat wajah wanita itu terasa panas. Dengan wajah serius, Adam membawa Evelyn keluar lobi untuk menghampiri sebuah mobil yang telah menunggunya di depan kantor. Tindakannya membuat sejumlah orang memberikan tatapan penasaran. “Eh, itu Pak Adam pergi sama siapa!?” seru seorang karyawan wanita dengan mata berbinar, haus akan gosip. “Kok ditutupin gitu, sih?!” Seorang karyawan lain menyeletuk, “Jangan-jangan pacarnya!” Sejumlah dugaan pun terlontar dari bibir pa
“Apa maksudmu?” tanya Evelyn dengan ketakutan terpancar jelas dari manik hitamnya. “Ikut ke mana?” Seakan puas dengan ketakutan yang ditunjukkan wanita itu, Adam menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengabaikan Evelyn. Pria itu kemudian membuka tablet dan mulai membaca sejumlah postingan tentang dirinya. [Adam Dean sudah memiliki kekasih?!] [Mungkinkah wanita ‘berkerudung’ ini kekasih sang pewaris?] [Wanita yang disembunyikan sang pewaris mengenakan—] “Adam Dean!” bentak Evelyn lagi, kesal dengan sikap pria itu yang seenaknya. “Singkirkan tabl—” Ketika Evelyn ingin merebut tablet pria itu dan menyingkirkannya, mobil berbelok cepat dan mengakibatkan wanita itu terjerembap ke dalam pangkuan Adam. Yah, tablet itu memang tersingkirkan secara tidak langsung karena terjatuh ke lantai mobil. Akan tetapi, sekarang Evelyn berada dalam posisi yang begitu memalukan. “Apa ini cara terbarumu untuk menggodaku?” tanya Adam dengan wajah datar, memperhatikan Evelyn yang bagian atas tubuhnya sukses
“Pak Adam, sudah begitu lama sejak Bapak mengunjungi saya, apa karya saya masih kurang memuaskan?” ujar Anna dengan nada menggoda, menempelkan dadanya pada lengan Adam secara sengaja. Adam yang sedang berjalan menuju ruang tunggu VIP terlihat mengernyitkan dahi. Sedari dulu, wanita itu memang selalu menggodanya. Namun, tidak pernah seterbuka ini. “Jaga sikapmu, Anna,” tegur Adam sembari mencoba melepaskan wanita itu dari lengannya. Akan tetapi, Anna dengan tidak tahu malu bertahan di lengan Adam. “Pak Adam, jangan galak-galak. Sudah lama kita tidak jumpa, Bapak malah bawa wanita lain ke sini, apa Bapak tidak tahu saya cemburu?” goda Anna dengan sebuah senyuman nakal selagi menyentuh dada Adam dengan jari-jari lentiknya. Tanpa Adam ketahui, sebenarnya kemunculan Evelyn membuat Anna merasa dirinya memiliki kesempatan, terlebih karena dia merasa dirinya jauh lebih cantik dan molek dibandingkan wanita itu. Kalau dirinya bisa naik ke atas ranjang Adam satu malam saja, dia percaya pria i
“Lepas!” teriak Nissa seraya berusaha membebaskan diri dari cengkeraman Adam. Melihat Nissa berusaha melepaskan diri, Adam pun dengan sukarela melepaskan cengkeramannya. Hal tersebut mengakibatkan wanita itu kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan bokong menabrak lantai. “Ah!” seru Nissa dengan raut wajah kesakitan. “Nissa!” Risa yang melihat hal tersebut langsung membantunya untuk berdiri. Dengan wajah marah, Nissa melemparkan sebuah tatapan nyalang pada Adam. “Siapa kamu?! Beraninya bersikap kurang ajar padaku! Apa kamu nggak tahu aku siapa?!” Mendengar celotehan Nissa, Evelyn ingin memutar bola matanya. Terlepas dari dirinya sendiri, apa wanita itu pikir orang yang mengunjungi tempat ini adalah orang biasa? Selain itu, kenapa cara sepupu Andre itu berbicara membuat seakan-akan Keluarga Diwangkara adalah orang nomor satu di negara ini? Tanpa memedulikan Risa, Adam berbalik dan menatap Evelyn. “Kenapa diam saja?” “Hah?” Evelyn melongo, tak mengerti maksud pertanyaan Ad
Pernyataan Anna sukses membuat Nissa dan Risa langsung membeku di tempat. Dengan wajah tidak percaya, Nissa bertanya, “Kamu ngusir saya? Saya, Nissa Diwangkara?” Sebuah senyuman mengejek terlukis di wajah wanita itu, masih berpikir Anna kehilangan kewarasannya. “Kamu nggak gila ‘kan, Anna? Kamu tahu komentar saya bisa membuat bisnis kamu di seluruh Nusantara tutup?” Di dalam hati Anna, dia berdoa agar Nissa tutup mulut dan langsung pergi. Kalau Diwangkara bisa menutup bisnisnya di Nusantara, maka Adam Dean bisa menutup bisnisnya di seluruh dunia seumur hidup! Dengan niatan untuk membuka mata Nissa dan Risa, Anna dengan sabar menuturkan, “Bu Nissa dan Bu Risa mungkin belum tahu, tapi bapak di samping saya ini adalah Pak Adam Dean, cucu dari pendiri Grup Dean dari Capitol.” Mata Risa mengerjap beberapa kali, lalu dia menaikkan alisnya. “Lalu? Kalau dia dari Capitol, apa itu berarti kami harus tunduk padanya? Walau Capitol sangat maju, tapi Nusantara juga—” Ucapan wanita itu terhe
Risa melihat ekspresi Nissa begitu gelap, dia pun mulai takut. “Kenapa sih, Nis? Kok kamu malah jadi marah-marah sama aku gitu?” Nissa melirik Risa selama sesaat, lalu dia menghela napas. Dia tidak mengerti bagaimana istri sepupunya itu sama sekali tidak memiliki pemikiran mengenai hal semacam ini. Di Nusantara, Eden Entertainment memang hanya menguasai dunia hiburan. Akan tetapi, Grup Dean menguasai dunia bisnis secara keseluruhan karena investasi besar yang mereka keluarkan untuk perusahaan-perusahaan di berbagai bidang. Keuangan, teknologi, pembangunan, dan masih banyak lagi. Jika Adam menginginkannya, maka hanya dengan satu jentikan jari … Diwangkara bisa jatuh dan sulit bangkit kembali! Mendengar penjabaran Nissa, Risa pun terperangah. “Separah itu?” Mata besarnya mengerjap beberapa kali, seakan baru mengerti, tapi tidak bisa sepenuhnya membayangkan. Tanggapan sederhana Risa membuat Nissa mengernyit. Apa otak di kepala kecil sahabatnya itu tidak bekerja? Bukankah Risa juga ana
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p