Jeng jeng jeng! Kira-kira, apa alasan Anna memilih untuk mengusir Nissa dan Risa dibandingkan Adam dan Evelyn? Apa ada yang tahu? Jangan lupa komen, like, dan vote ya guys! Terima kasih juga yang sudah dukung dan baca sampai sini!
Pernyataan Anna sukses membuat Nissa dan Risa langsung membeku di tempat. Dengan wajah tidak percaya, Nissa bertanya, “Kamu ngusir saya? Saya, Nissa Diwangkara?” Sebuah senyuman mengejek terlukis di wajah wanita itu, masih berpikir Anna kehilangan kewarasannya. “Kamu nggak gila ‘kan, Anna? Kamu tahu komentar saya bisa membuat bisnis kamu di seluruh Nusantara tutup?” Di dalam hati Anna, dia berdoa agar Nissa tutup mulut dan langsung pergi. Kalau Diwangkara bisa menutup bisnisnya di Nusantara, maka Adam Dean bisa menutup bisnisnya di seluruh dunia seumur hidup! Dengan niatan untuk membuka mata Nissa dan Risa, Anna dengan sabar menuturkan, “Bu Nissa dan Bu Risa mungkin belum tahu, tapi bapak di samping saya ini adalah Pak Adam Dean, cucu dari pendiri Grup Dean dari Capitol.” Mata Risa mengerjap beberapa kali, lalu dia menaikkan alisnya. “Lalu? Kalau dia dari Capitol, apa itu berarti kami harus tunduk padanya? Walau Capitol sangat maju, tapi Nusantara juga—” Ucapan wanita itu terhe
Risa melihat ekspresi Nissa begitu gelap, dia pun mulai takut. “Kenapa sih, Nis? Kok kamu malah jadi marah-marah sama aku gitu?” Nissa melirik Risa selama sesaat, lalu dia menghela napas. Dia tidak mengerti bagaimana istri sepupunya itu sama sekali tidak memiliki pemikiran mengenai hal semacam ini. Di Nusantara, Eden Entertainment memang hanya menguasai dunia hiburan. Akan tetapi, Grup Dean menguasai dunia bisnis secara keseluruhan karena investasi besar yang mereka keluarkan untuk perusahaan-perusahaan di berbagai bidang. Keuangan, teknologi, pembangunan, dan masih banyak lagi. Jika Adam menginginkannya, maka hanya dengan satu jentikan jari … Diwangkara bisa jatuh dan sulit bangkit kembali! Mendengar penjabaran Nissa, Risa pun terperangah. “Separah itu?” Mata besarnya mengerjap beberapa kali, seakan baru mengerti, tapi tidak bisa sepenuhnya membayangkan. Tanggapan sederhana Risa membuat Nissa mengernyit. Apa otak di kepala kecil sahabatnya itu tidak bekerja? Bukankah Risa juga ana
“Jangan gila!” teriak Evelyn, masih berusaha mendorong Adam menjauh. Namun, wajah pria itu terus mendekat. “Jauhkan dirimu dariku!” Dia menutup mata dengan tubuh mulai bergetar, mengingat kembali hal yang hampir saja terjadi pada dirinya siang tadi. Penolakan Evelyn membuat Adam terdiam, terlebih ketika merasakan ketakutan wanita tersebut. Akhirnya, pria itu pun menjauhkan dirinya dari wanita tersebut dan menyandarkan punggung kembali pada kursi. Menyadari dirinya terbebas dari belenggu pria tersebut, Evelyn yang ketakutan dengan cepat menjauhkan dirinya dari Adam. Dia menempelkan tubuhnya dekat dengan pintu mobil sebelah kanan, mulai menimang-nimang segala hal yang bisa terjadi kalau dia melompat keluar dari mobil itu. “Jangan bertindak bodoh,” ujar Adam dengan dingin, bisa mengira-ngira apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Manik biru pria itu tidak lagi terarah pada Evelyn, melainkan pada layar tabletnya. Sadar bahwa Adam tahu rencananya, Evely merasa sangat malu, juga hina. Da
“Baj*ngan!” maki Evelyn dengan amarah meluap dari dalam dirinya. Mata wanita itu berkaca-kaca, merasa ingin menangis atas kepercayaan yang terkhianati. “Aku kira kamu bisa dipercaya, tapi ….” Dengan bekas merah menghiasi sebelah wajahnya, Adam melirik Evelyn dengan pandangan tidak percaya. Ini pertama kali ada orang selain sang ibu yang menampar dirinya. “Apa yang kamu pikir kamu—” Ucapan Adam terhenti kala melihat satu tetes air mata menuruni wajah Evelyn. Dia langsung melirik Julian. Mendapatkan kode dari sang atasan, Julian bergegas menghampiri sekretaris Adam dan berkata, “Ayo, sebaiknya kita keluar dari sini.” Sekretaris Adam tidak meluangkan waktu dan langsung menganggukkan kepala. Dia menelan ludah, tidak ingin terlibat dengan api yang sedang membara di ruangan itu. “Jangan pergi! Aku perlu saksi atas kebusukan pria ini!” geram Evelyn sembari menatap Julian dan sekretaris Adam. Intonisasi superior yang dikeluarkan Evelyn membuat Julian dan sang sekretaris entah kenapa berh
“Kok tumben Mama pulang awal, Ma?” tanya Liam yang sekarang berada dalam mobil bersama ibu dan saudarinya. “Biasanya Kak Linda yang jemput aku sama Lili.” Evelyn yang sedang menyetir mobil memaksakan sebuah senyuman. “Iya, Sayang. Kerjaan Mama selesai lebih cepat tadi,” jawabnya, sama sekali tidak berencana menceritakan kegilaan yang terjadi. Lagi pula, tidak ada dari kejadian hari itu yang pantas diceritakan kepada kedua bocah kecil tersebut. “Mama nggak berantem sama Om Adam, ‘kan?” celetuk Lili membuat senyuman Evelyn hampir menghilang karena terkejut. “Nggak kok, Sayang,” balas Evelyn. Dari semua orang, dia tidak mengerti kenapa putrinya bisa menyebutkan nama Adam. “Memang karena tugas Mama sudah selesai saja.” Dia berusaha mengalihkan topik dan bertanya, “Gimana sekolah kalian hari ini?” Beruntung Liam dan Lili tidak terlihat mencurigai apa pun, kedua bocah itu langsung sibuk menceritakan hari mereka dengan ceria. Selagi mendengarkan kedua putra-putrinya yang begitu semangat b
“Sudah kamu pastikan tidak ada yang tahu kebenarannya?” tanya Julian yang sedang menelepon. Dia yang sekarang berada di lorong mewah rumah atasannya melirik ke arah seorang pria berpakaian militer yang sedang memperhatikan isi sebuah ruangan. “Oke. Cari juga dalang kekacauan hari ini sesegera mungkin dan berikan kabar padaku segera,” tegas pria itu sebelum akhirnya memutuskan panggilan.Setelah memasukkan ponsel ke dalam sakunya, Julian memutar tubuhnya dan melangkah mendekati pria berpakaian militer tersebut. Terlihat bahwa pria militer itu mengenakan sebuah masker, membuat siapa pun tidak mengenali parasnya dan hanya bisa melihat sepasang manik birunya yang indah.“Pak, semuanya sudah diatur sesuai perintah Bapak,” ujar Julian dengan suara rendah, tidak ingin mengganggu fokus pria tersebut. “Semua berita telah diturunkan, dan tidak ada dari mereka yang mengenali sosok Bapak,” jelasnya. “Identitas Bapak aman.”Selagi Julian sedang menjelaskan, netra biru pria berpakaian militer itu s
“Loh, kok bisa?!” Suara melengking terdengar menggema di ruang tamu kediaman Diwangkara. Amarah dan ketidakrelaan menyelimuti nada bicaranya selagi wanita berpakaian anggun itu melanjutkan, “Aku dengan sengaja membayar kalian untuk semua berita itu, dan kalian malah menurunkan beritanya. Nggak cuma itu, kalian juga gagal memojokkan Evelyn serta mendapatkan berita berguna lainnya?!” Mata wanita itu melotot seiring dirinya memaki, “Bodoh! Saya nggak mau tahu, pokoknya kalian harus lakuin sesuai perintah saya!” Mungkin kesal dengan betapa keras kepala lawan bicaranya itu, pihak di ujung telepon yang lain langsung membalas, “Maaf, Bu Nissa. Ini sudah di luar kekuatan saya. Semua uang yang telah Ibu berikan untuk hal ini telah saya transfer kembali.” Suara parau pria paruh baya itu menambahkan, “Lawan kali ini terlalu besar untuk saya sentuh. Selamat siang dan terima kasih.” Tanpa menunggu Nissa mengatakan apa pun, pria petinggi perusahaan berita itu mematikan telepon. Hal tersebut memb
“Ya, dan itulah alasan seorang Evelyn Erlangga muncul dari udara kosong di Calpa delapan tahun yang lalu,” tutur Evelyn mengakhiri ceritanya dengan sebuah senyuman pahit menghiasi wajah. Sebelumnya Evelyn hanya menceritakan bagaimana dirinya diusir oleh sang ayah akibat kehamilannya. Akan tetapi, sekarang dia melengkapi cerita itu dengan kenyataan bahwa dirinya dijebak oleh adik kandungnya sendiri. Sekarang, Evelyn tidak lagi memiliki hal untuk disembunyikan, semua telah dia utarakan kepada Adam. Di sisi lain, Adam yang telah selesai membungkus luka Evelyn terlihat tengah terduduk di pinggir tempat tidurnya. Dia menatap wanita itu dengan ekspresi serius. Jujur saja, Adam telah mendengar banyak cerita mengenai perebutan takhta para pewaris, bahkan terlibat di dalamnya. Namun, ini kali pertama dia mendengar secara langsung pertengkaran saudari akibat seorang pria. ‘Layakkah?’ batin Adam dalam hatinya. Sadar bahwa dirinya telah berbicara terlalu banyak, Evelyn menarik napas dan tertaw
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p