Jangan lupa follow IG otor @luciferater Lihat betapa menawannya karakter-karakter GCSP, terutama Dominic!! #ehloh
“Aku mengerti,” ucap Dominic yang sudah berada dalam ruang kerja Adam di puncak menara Grup Dean. Ponselnya menempel di telinga, menandakan dirinya sedang menelepon seseorang. “Pastikan untuk mengawasi wanita itu,” perintahnya tegas.Setelah mengucapkan hal tersebut, Dominic pun mematikan panggilannya. Dia mengangkat pandangan, mendapati sejumlah orang tengah menunggu penjelasannya.Adam yang terduduk di sebelah Evelyn terlihat menatapnya tajam. Di sofa satuan, sosok Henry yang juga telah tiba setelah keributan di Grup Dean mereda tampak memandang kepala Keluarga Grey itu dengan penuh tanya.“Helen diperlukan untuk memberikan pengakuan, orangku akan memastikan wanita itu tidak akan kabur,” ucap Dominic sembari menyandarkan punggungnya ke sofa. Tangannya menyentuh lehernya yang tegang, merasa sangat lelah. Lagi pula, dirinya belum tidur semalaman.Di saat ini, sebuah suara dalam yang tegas terdengar berkata, “Aku rasa kamu berutang penjelasan kepada kami semua.”Ucapan tersebut membuat
“Turun,” titah pria itu. “Kalau kamu tidak ingin terlibat dalam hal ini, maka turun sekarang juga.” Namun, bahkan setelah dirinya menurunkan perintah itu, Dominic tidak melihat Rena bergerak sedikit pun. Kilatan berbahaya terpancar di manik pria tersebut seiring dirinya meraih sesuatu dari sisi kursinya. “Aku ulangi sekali lagi, Rena.” Dengan pistol yang terarah kepada Rena, Dominic menegaskan, “Turun kalau tidak mau mati.” Selama sesaat, Rena terkejut. Ada ekspresi terluka terpancar di maniknya melihat Dominic bersikap begitu kejam kepadanya. Akan tetapi, gadis itu tidak bergeming. “Tembak saja,” ucap Rena membuat mata Dominic membesar. “Kenapa terlihat begitu ragu?” Seisi mobil itu diselimuti ketegangan yang luar biasa. Dengan mulut senjata masih terarah padanya, pandangan Rena tidak sedikit pun terlihat takut. “Sial!” maki Dominic seiring dirinya menurunkan senjata dan langsung menginjak gas. Dia tidak memiliki waktu untuk dibuang, tapi dia juga tidak bisa menyakiti Rena. “Ket
Mendengar ucapan Evelyn, Henry pun menjatuhkan pandangannya ke bawah. Pria itu akhirnya mengerti. ‘Jadi, itu alasan Helen dengan sangat bersedia membongkar semua kebusukan Keluarga Smith,’ batin Henry. Dia pun menatap calon menantunya itu dengan saksama. Evelyn Erlangga, itulah identitas wanita yang akan segera bersanding dengan putranya pertama kali mereka bertemu. Akan tetapi, sekarang, setelah semua hal yang terjadi di Capitol, terbongkar sudah bahwa dirinya merupakan adik kandung Dominic Grey. Demikian, nama yang sekarang diakui oleh kebanyakan orang ialah Evelyn Grey. Mengesampingkan kenyataan Evelyn adalah keturunan Grey, sepertinya masih ada banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai wanita itu. Hal tersebut dicerminkan oleh segudang kemampuan yang sedikit demi sedikit terbongkar seiring waktu berjalan. Ingin sekali Henry menanyakan siapa sebenarnya Evelyn, apa saja yang wanita itu mampu lakukan, dan dari mana dia bisa memiliki kemampuan-kemampuan itu. Akan tetapi, melihat b
“Lepaskan aku!” Sebuah teriakan nyaring terdengar dari salah satu ruang interogasi kepolisian Capitol. Diborgol di kursinya, terlihat seorang wanita memandang marah pintu besi yang tertutup. “Bagaimana kalian bisa memperlakukanku, seorang saksi, seperti ini?! Apa kalian tidak tahu aku siapa?!” celotehnya seraya menggoyang-goyangkan kursi, berusaha melepaskan diri. “Aku adalah Helen Grace Smith! Nyonya Keluarga Dean yang terhormat!” Ya, wanita yang tengah diborgol di kursinya itu tidak lain dan tidak bukan ialah Helen. Sedari dua jam yang lalu, Helen sudah berada di ruang kepolisian untuk memberikan pernyataan dan kesaksiannya mengenai segala kebusukan Tom dan John. Dia menjabarkan dengan detail segala aktivitas ilegal Keluarga dan Grup Smith, sama seperti dengan yang dia sampaikan di depan para wartawan. Sesuai prosedur, seharusnya dia sudah dilepaskan. Akan tetapi, siapa yang menyangka begitu Helen mencapai pertanyaan-pertanyaan terakhir dari detektif yang bertanggung jawab, sejum
“Mengesampingkan Keluarga Smithmu yang memang sepantasnya jatuh ke tanah untuk membayar segala dosa yang kalian buat, apa kamu lupa mengenai apa yang telah kamu lakukan pada putra kandungmu sendiri?” Rosa mendengus, tidak menyangka salah satu orang yang telah dia targetkan untuk separuh hidupnya … adalah seseorang yang tidak mampu berpikir normal. “Apa kamu kira kamu bisa lepas begitu saja dari jeratan hukum?” Mendengar kalimat Rosa, Helen terbelalak. “I-itu adalah sebuah kecelakaan!” “Begitukah?” Wajah Rosa terlihat tidak terhibur. “Lalu, ketika kamu meminta ayahmu untuk menyingkirkanku dan menjualku kepada Lucas Grey, juga saat dirimu mempekerjakan seorang pembunuh bayaran di Nusantara untuk menyingkirkan Diandra Kusuma, apa itu juga kecelakaan?” Detik kalimat itu terlontar dari mulut Rosa, wajah Helen berubah panik. “Aku tidak pernah melakukan hal-hal itu! Jangan libatkan aku dengan apa yang ayah dan kakakku lakukan! Aku tidak tahu apa-apa!” teriak Helen. “Kamu dan Lucas Grey, j
“Madam, sampai kapan Anda akan menetap di Capitol?” tanya sang inspektur yang mengantarkan Rosa sampai ke depan mobilnya. Mereka berada di jalan belakang gedung kepolisian untuk menghindari wartawan di jalur utama. “Apa Tuan Fiore akan ikut berkunjung kemari?” Rosa melirik sang inspektur, tidak menyukai pertanyaan yang diajukan. “Inspektur, pastikan saja apa yang kuperintahkan dilaksanakan dengan baik, bagaimana?” balasnya, secara tidak langsung menyatakan agar pria itu tidak bertanya terlalu banyak. Karena tidak ada lagi urusan baginya di tempat itu, Rosa mengambil langkah untuk masuk ke dalam mobil. Namun, tepat saat wanita itu baru mengangkat kakinya, sebuah panggilan keras terdengar. “Ibu!” Mendengar panggilan itu, Rosa membeku. Mata wanita itu sedikit melebar, memancarkan keterkejutan mendalam. Dengan perlahan, Rosa menegapkan tubuhnya kembali, lalu menghadap ke arah sumber suara. Manik hitam wanita itu pun bertemu sepasang netra yang berwarna serupa dengan miliknya. “Domini
Setelah Dominic dan Evelyn tenang, Rosa melepaskan pelukannya dan menatap kedua anaknya. Terlihat mata pasangan kakak-adik itu sedikit bengkak. Hal tersebut membuat Rosa tersenyum tak berdaya.“Sudah begitu besar, tapi masih bisa bersikap seperti ini,” goda wanita tersebut. Dia melirik Dominic yang mengusap air matanya cepat. “Terutama dirimu. Bagaimana ingin mendapatkan seorang istri kalau masih begini?”Dominic mengerutkan kening, lalu menatap ibunya kesal. “Salahmu pergi dan tidak kembali,” balasnya ketus.“Aku sudah kembali sekarang.” Rosa mengangkat kedua pundaknya, membuat Dominic memutar matanya.Walau kesal dengan ibunya, tapi pria itu tak elak mengakui dirinya merasa bahagia bisa bersama dengan Rosa lagi. Lebih baik kesal karena keberadaannya dibandingkan bersedih karena merindukan wanita itu.Di saat itu, sebuah suara dalam dan parau terdengar memanggil, “Rosa.”Suara tersebut sukses membuat tubuh Rosa menegang. Manik hitam wanita tersebut bergeser kepada sosok yang baru saj
“Asal kamu tahu, orang yang menolak lamaran itu adalah diriku, oke?” jelas Rosa dengan tangan terlipat di depan dada. “Berhentilah menyalahkan Noah atas kenaifanmu di masa itu.” Helaan napas terdengar dari sisi wanita itu. “Walau kamu tidak sadar, tapi hubungan kita layaknya saudara, dan satu-satunya perasaan yang kamu miliki saat itu adalah rasa protektif seorang kakak terhadap adiknya.” Kali ini, Henry terbelalak. “Kamu yang … menolak?” Dia tak menyangka bahwa selama ini dirinya salah paham dengan sang ayah. “Tunggu, dari mana kamu bahkan tahu apa yang kurasakan? Perasaan itu milikku, bukan—” Rosa menjulurkan tangannya dan menoyor kepala Henry dengan santai, membuat semua orang yang melihat hal itu terbelalak—termasuk Adam, Evelyn, dan juga Dominic. “Berhenti bersikap seperti seorang pahlawan dan lihatlah kenyataan. Kalau kamu benar mencintaiku pada masa itu, luar biasa baj*ngannya dirimu bisa mencintai Diandra dalam waktu yang begitu singkat.” Rosa melanjutkan dengan sebuah dengu
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p