“Asal kamu tahu, orang yang menolak lamaran itu adalah diriku, oke?” jelas Rosa dengan tangan terlipat di depan dada. “Berhentilah menyalahkan Noah atas kenaifanmu di masa itu.” Helaan napas terdengar dari sisi wanita itu. “Walau kamu tidak sadar, tapi hubungan kita layaknya saudara, dan satu-satunya perasaan yang kamu miliki saat itu adalah rasa protektif seorang kakak terhadap adiknya.” Kali ini, Henry terbelalak. “Kamu yang … menolak?” Dia tak menyangka bahwa selama ini dirinya salah paham dengan sang ayah. “Tunggu, dari mana kamu bahkan tahu apa yang kurasakan? Perasaan itu milikku, bukan—” Rosa menjulurkan tangannya dan menoyor kepala Henry dengan santai, membuat semua orang yang melihat hal itu terbelalak—termasuk Adam, Evelyn, dan juga Dominic. “Berhenti bersikap seperti seorang pahlawan dan lihatlah kenyataan. Kalau kamu benar mencintaiku pada masa itu, luar biasa baj*ngannya dirimu bisa mencintai Diandra dalam waktu yang begitu singkat.” Rosa melanjutkan dengan sebuah dengu
“Tenanglah, aku bersama dengan Ibu dan Kakak, bukan?” ujar Evelyn yang sedang berada dalam sebuah panggilan. Senyuman tipis menghiasi wajahnya, terlihat sungguh manis dan santai, jauh berbeda dari beberapa waktu belakangan ini. “Aku mengerti, Adam. Akan kukirimkan segera padamu, oke? Hm … ya, sampai bertemu.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Evelyn pun menurunkan ponselnya dari telinga. Manik hitamnya memperhatikan layar benda pipih di tangannya itu selama sesaat, lalu mengirimkan lokasinya sekarang kepada calon suaminya itu. “Baru setengah jam yang lalu kalian bertemu, dan dia juga tahu kamu bersamaku dan Ibu, apa pria itu harus segila itu mengawasimu?” Evelyn mengangkat pandangannya, menatap sosok sang kakak yang terduduk di seberangnya sembari menyilangkan kaki. Netra hitam segelap malam miliknya memancarkan rasa jijik akan interaksi pasangan yang bisa dia dengar beberapa saat lalu. “Adam masih dihantui oleh apa yang hampir Helen lakukan padaku,” jelas Evelyn dengan sabar. Dia
Halo semua pembaca setia Gairah Cinta sang Pewaris, semoga hari/malam kalian baik dan menyenangkan! Mohon maaf karena harus mengecewakan kalian dengan pengumuman ini dan bukan bab baru. Dengan pengumuman ini author mau mengabarkan bahwa hari ini tidak bisa melakukan update dikarenakan kondisi kesehatan yang kurang baik. Mohon doanya agar setelah istirahat hari ini bisa update rutin lagi di hari esok! Semoga para pembaca sekalian sehat-sehat juga ya. -- pengulangan -- Halo semua pembaca setia Gairah Cinta sang Pewaris, semoga hari/malam kalian baik dan menyenangkan! Mohon maaf karena harus mengecewakan kalian dengan pengumuman ini dan bukan bab baru. Dengan pengumuman ini author mau mengabarkan bahwa hari ini tidak bisa melakukan update dikarenakan kondisi kesehatan yang kurang baik. Mohon doanya agar setelah istirahat hari ini bisa update rutin lagi di hari esok! Semoga para pembaca sekalian sehat-sehat juga ya.
“Dia adalah suamiku.” Evelyn dan Dominic pun ternganga. Mereka tidak pernah menyangka akan mendapatkan kejutan seperti ini dari ibu mereka. “S-suami?” Evelyn mengulangi lagi ucapan ibunya. Dia pun menatap pria yang berdiri di sebelah Rosa itu. Pria bernama Raffaele Fiore itu bertubuh tinggi dengan kulit condong pucat khas penduduk negara Calpa. Dengan netra mata yang berwarna abu-abu kehijauan, tatapan pria itu cenderung lebih lembut dibandingkan perawakannya keseluruhannya. Dari wajahnya, Evelyn dan Dominic merasa usia Raffaele di bawah ibu mereka. Menerima tatapan dua anak Rosa, Raffaele pun tersenyum canggung sembari berkata, “Duduklah, sepertinya kita perlu waktu untuk berkenalan, bukan begitu?” *** “Jadi, kalian adalah saudara sepupu?!” Evelyn terkesiap sembari menatap Raffaele dan Anita secara bergantian. Dia mendaratkan pandangan kepada Rosa. Walau tidak mengatakan apa pun, tapi pandangan wanita itu seakan meneriakkan, ‘Ibu serius?’ Melihat reaksi Evelyn, Rosa melipat ke
[Mengesampingkan kenyataan dirinya membantu penyelidikan tindakan keji keluarganya, Helen Grace Smith dinyatakan oleh pihak kepolisian sebagai dalang utama kematian Diandra Kusuma, putri keluarga konglomerat Nusantara dan juga istri dari Henry Dean, beberapa tahun silam.] Sepasang netra cokelat gelap tengah memperhatikan reporter yang memberitakan pengakuan Helen di televisi. Pandangan pemilik netra tersebut diselimuti kebingungan dan ketidakpercayaan yang mendalam. “Ibu … masih hidup?” Daniel mengepalkan tangannya. [Tidak hanya itu, Helen juga dikabarkan terlibat dalam usaha penculikan calon istri Adam Dean dan adik kandung presiden direktur Grup Grey, Dominic Grey. Dia—] Mendadak, televisi tersebut dimatikan, membuat Daniel mengalihkan pandangan. “Kakek,” panggilnya terhadap pria bermanik biru yang entah sejak kapan telah kembali berada di ruangannya. “Siapa yang mengizinkanmu untuk menyalakan televisi? Dokter menyuruhmu untuk istirahat!” sergah Noah dengan wajah diselimuti kekh
“Bagaimana mungkin seseorang yang sama sekali bukan Keturunan Dean menjadi bagian dari keluarga kalian?” Mendengar ucapan adiknya, Adam menautkan alisnya. “Omong kosong apa yang kamu katakan?” Di saat ini, Adam melihat Daniel meremas kuat kertas di tangannya. Hal tersebut menarik perhatiannya, membuat pria itu mengulurkan tangan dan dengan cepat merebut benda tersebut dari tangan adiknya. Saat pandangan Adam mendarat pada kertas tersebut, ekspresi pria itu berubah gelap dalam hitungan detik. “Siapa … yang memberikan ini padamu?” tanyanya seraya mengalihkan tatapan pada Daniel. Karena sang adik tidak menjawab dan hanya menatapnya gamang, dia pun mengulang, “Daniel, jawab ak—” “Kenapa Kakak tidak terkejut??” potong Daniel sembari menatap Adam lurus. Dia mempelajari ekspresi di wajah kakaknya dengan saksama, menemukan bahwa pria itu terkejut mendengar pertanyaannya itu. “Kakak … tahu mengenai hal ini?” Ketika Adam terdiam sebagai tanggapan dari pertanyaannya, Daniel pun langsung tahu
Bruk! “T-Tuan Henry!” Di sore menjelang malam itu, suara Charles, sang kepala pelayan Keluarga Dean, bisa terdengar bergema di ruang tengah kediaman terhormat keluarga tersebut. Dia bergegas menghampiri sosok kepala Keluarga Dean yang tubuhnya baru saja terbanting keras ke atas sofa. “A-Anda baik-baik—" Ucapan Charles terhenti kala dirinya melihat tangan Henry terangkat, mengisyaratkan agar dirinya berhenti bicara. Akhirnya, pelayan tua itu pun hanya bisa bungkam memperhatikan betapa hancurnya sosok sang majikan setelah mendengar informasi yang baru saja dia dapatkan. “Ulang … ulangi kata-katamu,” ucap Henry dengan suara bergetar. Charles menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Wanita itu …,” dia bahkan tak berani menyebut nama Helen sekarang, “sering menghabiskan waktu di Hotel Greymore sebelum dirinya berakhir … menghabiskan malam denganmu.” Pria itu melanjutkan dengan hati-hati, “Dan, satu minggu sebelum dia bersamamu, seorang dokter kandungan dipanggil secara khusus ke kedia
“Aku kemari untuk melihatmu menderita setelah menyadari bahwa kebodohanmulah yang mengakibatkan kematian putriku!”Seruan Ardi membuat Henry mematung. Pria itu menundukkan kepala, lalu berlutut di hadapan ayah kandung dari Diandra itu.“Ayah Mertua … aku bersalah,” ucap Henry seraya membungkukkan tubuhnya di kaki Ardi, bersujud begitu rendah kepada pria itu. “Aku … sungguh bodoh!”Melihat Henry bersujud di depannya, Ardi merasa hatinya semakin panas. Dia mengepalkan tangannya kuat, merasa emosi malah mulai menggebu akibat tindakan menantunya itu.“Kamu—"“Ardi.”Suara parau dan tegas terdengar berkata bersamaan dengan mendaratnya sebuah tangan pada pundak Ardi. Pria tua itu pun menoleh untuk melihat pemilik suara.“Noah,” panggil Ardi dengan ekspresi gelap.Noah terlihat menghampiri dengan kepala menggeleng kecil. “Ardi, bukan ini yang kita sepakati,” ucap pria itu membuat Henry mengangkat pandangan dengan terkejut. “Kalaupun aku bersedia membantumu untuk menjatuhkan Keluarga Smith be
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
BUK! Suara tubuh yang terbanting ke tempat tidur empuk bisa terdengar. Hal tersebut diikuti dengan kecupan basah dan lenguhan yang saling beradu. Dalam ruang tidur di pesawat pribadi itu, Dominic tampak sedang mengungkung sosok Rena. Tangan pria tersebut menelusup masuk ke dalam pakaian gadis di hadapan, meremas sedikit dan menyebabkan sebuah lenguhan rendah untuk kabur dari bibir Rena. “Hah ….” Napas yang terengah terdengar kala ciuman mereka terpisah. “Dom …,” panggil Rena. Ujung mata gadis itu tampak sedikit merah dan basah, terlihat begitu menggoda. “Jangan sekarang ….” Mereka sekarang di mana? Di dalam pesawat dengan puluhan bawahan yang menunggu di depan ruang pribadi. Kalaupun sudah berpindah ke kamar tidur, tapi Rena tidak bisa menjamin segala hal yang terjadi dalam ruangan tersebut tidak akan didengar oleh orang-orang di luar! Sebagai seseorang yang telah berkutat dengan dunia malam, tidur dengan seorang pria jelas adalah sesuatu yang tidak begitu asing untuknya. Akan te
Adhisti tersenyum, lalu menepuk pelan punggung Rena. “Aku tidak berkata kamu akan menikah sekarang, bukan?” Dia melirik Dominic yang hanya terdiam di tempatnya selagi menatap intens ke arah Rena. “Akan tetapi, aku yakin seseorang tidak bisa lagi menunggu lama.”Satria, yang mendorong kursi roda Adhisti—Rena yakin sepertinya keduanya telah berbaikan setelah mengetahui kebenaran di balik kematian Wulan—tertawa rendah dan menimpali, “Jikalau memang kalian akan merayakannya, jangan lupa untuk mengundang kami.”Mendengar hal itu, Bhadrika langsung bersiaga dan berujar, “Tuan Putri, di hari itu, tolong infokan paling tidak satu bulan sebelum. Banyak persiapan yang perlu regu pengawal siapkan untuk memastikan keluarga kerajaan bisa pergi ke luar kerajaan.” Dia sudah memikirkan seribu satu cara untuk menjaga acara pernikahan tersebut.Rena hanya bisa tertawa mendengar ucapan semua orang. Senyuman di bibirnya merekah lebar lantaran senang semuanya berakhir baik.Pandangan Rena mendarat pada An
Menepiskan pandangan para pengunjung hotel pada dirinya, Dominic masuk ke dalam lift khusus untuk kemudian menuju penthouse miliknya.Sebelum pintu tertutup, manajer hotel tersebut berucap, “Jikalau ada yang diperlukan, silakan menghubungi saya, Tuan Grey. Saya permisi.”Dominic melangkah masuk ke dalam kamar, lalu meletakkan Rena dengan hati-hati di sana. Lelah sepertinya merasuk tubuh gadis tersebut, bahkan setelah semua kericuhan untuk tiba di kamar tersebut, Rena sama sekali tidak terganggu.Tidak ingin mengusik Rena, Dominic pun keluar dari ruangan. Dia mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.“Kami sudah tiba,” ucap Dominic.“Rena … sudah menemui Eli Black?” tanya suara melantun dari ujung telepon yang lain.“Sudah.”“Apa … dia baik-baik saja?” tanya suara itu lagi.Dominic melirik ke arah Rena dari celah pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. “Dia bertahan, Yang Mulia.”Mendengar balasan Dominic, Yara tersenyum sendu. “Bagus … itu bagus.”Dominic menjatuhkan pandangan, lal
Ketegangan di antara kedua pria asing itu membuat sejumlah pengunjung kafe dan juga pejalan kaki memerhatikan mereka. Hal tersebut membuat Rena langsung mengenakan kembali kaca mata hitamnya dan menarik ujung hoodie putih Dominic.“Kita pergi saja. Jangan menarik perhatian,” ucap Rena dengan suara rendah, takut ada yang mendengar atau mengenali dirinya.Bagaimanapun, mereka masih berada di Kerajaan Nusantara, tempat di mana dirinya sempat dikenal sebagai pewaris takhta.Mendengar permintaan Rena, Dominic pun menurut dan menghempaskan tangan Eli. Dia melingkarkan tangan di pinggang Rena dan menarik gadis itu pergi menjauh dari Eli Black.Sebelum sepenuhnya pergi, Eli sedikit berseru, “Yarena! Apa kamu akan pergi begitu saja?!”Sungguh, Eli berharap Rena akan memberikan ‘akhir’ yang dia inginkan, bukan mengabaikannya seperti ini. Atas segala dosa yang dia lakukan, Eli ingin Rena mengakhirinya dan memberikan balasan yang setimpal.Di saat mendengar pertanyaan Eli, Rena menghentikan langk
*Beberapa waktu lalu* PIP! PIP! PIP! Bunyi mesin yang mengusik telinga bisa terdengar, beriringan dengan terbukanya mata gadis tersebut. Pandangan gadis itu mendarat pada langit-langit yang putih, lalu perlahan maniknya bergeser ke kanan, pada sosok yang tertidur dalam posisi terduduk dan tangan terlipat di depan dada. “Do … minic?” Panggilan itu membuat kening sang pria sedikit berkerut, diikuti dengan matanya yang perlahan terbuka. Saat manik hitam segelap malam milik pria itu mendarat pada netra hijau sang gadis, mata pria tersebut membesar dan dia pun langsung menghampiri pinggir tempat tidur. “Rena!” seru sang pria dengan wajah lega. “Kamu sudah sadar!” Seusai mengatakan hal tersebut, Dominic pun menekan tombol merah di tembok dekat tempat tidur, lalu meraih telepon yang terhubung dengan meja jaga rumah sakit. Gegas dia memanggil perawat untuk memeriksa keadaan Rena yang akhirnya siuman setelah satu minggu tidak sadarkan diri. “Kondisi Nyonya Wijaya telah stabil, tapi per
Di seisi Kerajaan Nusantara, berita mengenai rencana pembunuhan Putri Mahkota Yarena oleh Adinasya tersebar luas. Besarnya kericuhan akibat kejadian tersebut membuat pihak istana tidak mampu menyembunyikannya, terlebih ketika satu berita kematian membuat semua orang berakhir berkabung.“Tidak kusangka bahwa Putri Mahkota akan meninggal ….”“Belum sempat dirinya mengabdi untuk kerajaan secara penuh, tapi langit sudah terlebih dahulu mengambilnya.”“Memang mantan adipati pria yang berbisa! Teganya dia mengorbankan nyawa keluarga kerajaan hanya karena dirinya berambisi terhadap takhta!? Dan lagi, orang yang dia bunuh adalah putri wanita yang dahulu dia cintai!”Komentar-komentar pedas terlontar, mengungkap rasa kecewa yang begitu mendalam terhadap Adinasya dan juga kesedihan terhadap kematian putri mahkota Kerajaan Nusantara, Yarena Sangramawijaya.Belum ada satu minggu putri mahkota itu diangkat, tapi musibah sudah menimpanya dan menyebabkan dirinya kehilangan nyawa.Namun, yang lebih m
Sang dokter terkejut, lalu melirik Yara. Walau nyawanya terancam oleh Dominic, tapi sebagai bagian dari kerajaan, dia lebih tahu kekuasaan tertinggi berada di tangan sang ratu. Wajah pemimpin Kerajaan Nusantara itu tampak tak berdaya. Karena tahu omongan Dominic bukan main-main, dia pun hanya bisa menganggukkan kepala, memberi izin kepada sang dokter untuk lanjut bertindak. Di tengah pekerjaan sang dokter, Dominic mendadak berujar kepada Yara yang berakhir juga menunggu di dalam ruangan, “Kalau sesuatu terjadi padanya … aku tidak akan pernah memaafkanmu.” Mendengar ucapan itu, Yara mendengus selagi menatap sosok Rena yang tidak sadarkan diri. “Tidak perlu dirimu … bahkan aku tidak akan memaafkan diriku sendiri ….” Setelah pertolongan pertama oleh sang dokter dan kondisi Rena semakin stabil, gadis itu pun dipindahkan ke rumah sakit utama Kerajaan Nusantara. Berbeda dari penjagaan yang biasa diberikan untuk keluarga kerajaan, kali ini yang berjaga di depan ruangan Rena bukan hanya p