"Aku akan melunasi apa yang sudah kau berikan, aku tidak ingin ada hutang di antara kita!" ketus Vina saat dia berada di dalam mobil yang kini sedang melaju. Sergio melirik ke arah Vina dengan ekor matanya. "Ck, uang yang aku berikan kepada Ayahmu itu, bukanlah uang yang sedikit. Kau bekerja sampai mampus pun tidak dapat menggantikan uang tersebut." Vina menyunggingkan bibirnya dengan bola mata memutar malas. Paling seratus juta, yakin? Dirinya sampai seumur hidup tidak dapat membayar hutang tersebut. 'Tuan yang satu ini memang terlalu pede!' Vina membatin. "Harga seorang wanita seperti ini memangnya berapa? Sudah tahu, kan, aku wanita murahan? Jadi aku masih sanggup bayar—""1 Milyar!" potong Sergio dengan cepat. Vina terperangah, dia terkejut lalu menoleh. "Haaa! Are you Serious?" Vina masih syok dengan apa yang dia dengar. "Menurutmu?" Vina menelan salivanya dengan susah payah. Bagaimana bisa dia membayar hutangnya kepada Gio dengan jumlah sebesar itu? Membayar hutang-hutang
"Coba kamu lihat, baca dan pahami isi dari kontrak kerja ini. Setelah membacanya, segera tanda tangan!" Sergio melempar sebuah map ke arah Vina yang berdiri di depan kerjanya. Vina menatap map di atas meja kaca itu tanpa ingin mengambilnya. Dia menatap Sergio yang sedang duduk di depannya itu sambil menggigit bibir bawahnya gelisah. 'Untuk apa dia menyuruhku membacanya? Padahal semuanya dia yang memutuskan. Dasar pria otoriter!' gerutu Vina dalam hati. Melihat Vina hanya berdiam diri sambil menggigit bibir bawahnya, dia mengangkat satu alisnya. "Aku menyuruhmu untuk membacanya, Elvina! Bukan menyuruhmu untuk menggodaku dengan terus menggigit bibir bawahmu itu!" cetus Sergio. Vina mendelik. Apa yang dia dengar? Siapa yang menggoda? Dia hanya kesal dan canggung. Memang itu reaksi Vina jika dirinya merasakan gugup. "Cih, siapa yang menggoda? Kau yang tergoda, hah? Kau kan selalu cabul kalau bertemu denganku! Idih ... Malah melempar batu sembunyi tangan!" ketus Vina sambil memainkan b
Di sudut mata Olivia, terlihat pintu ruangan terbuka perlahan. Ketika Elvano masuk, wajahnya yang datar dan tanpa ekspresi membuat Olivia semakin ketakutan. Hal ini tentu saja menambah beban pikiran Olivia mengenai apa yang telah terjadi.Elvano duduk di sisi yang berlawanan dengan Olivia di meja itu. Bersiap untuk mulai menanyai Olivia perihal penculikan Rubby, Elvano menatap matanya yang tampak ketakutan."Baiklah, Olivia. Aku akan langsung ke intinya. Kamu tahu mengapa kamu berada di sini, bukan?" tanya Elvano dengan nada tegas dan dingin. Walaupun tak bernyali untuk menjawab, Olivia terpaksa mengangguk lemah.Olivia merasa tertekan, lalu menelan ludah. "A-aku t-tidak tahu. Tiba-tiba saja a-aku diangkut kesini, tanpa mengetahui apa kesalahanku," kata Olivia dengan nada ketakutan."Dari informasi yang aku dapat, kamu terlibat dalam kasus penculikan Rubby. Aku ingin tahu apa motivasi dibalik perbuatanmu, dan siapa yang bekerja sama denganmu dalam hal ini?" ujar Elvano, masih menatapn
"Kamu darimana, Olivia?" Suara berat itu menghentikan langkah Olivia yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Masih dengan perasaan takut, Olivia mengangkat wajahnya menatap ke arah sang Ibu yang sedang duduk di sebuah sofa."Habis mengerjakan tugas, Bu," jawabnya. Soraya memencingkang matanya mendengar jawaban putrinya itu. Dia pun berdiri menghampiri Olivia. "Apakah kau sudah bertemu dengan Rubby di kampus?" tanya Soraya. Olivia menggeleng. "Ti---tidak, tolong, Bu. Kita tidak perlu mencari masalah lagi dengan Rubby. Bukankah Anderson sekarang sudah menjadi milik kita?" Soraya mendorong dahi Anaknya itu. "Menjadi milik kita? Dasar anak bodoh! Aku bersusah payah menyingkirkan Emily dan kau ingin ini semua sia-sia? Ayah dan Ibu ingin mengundang Elvano dan Rubby untuk makan malam bersama. Jika kau bertemu dengan anak itu, sampaikan niat baik kami kepada mereka!" cetus Soraya, dia memutar tubuhnya berlalu meninggalkan Olivia yang masih berdiri sendirian. "Hais ... Apa ibu ini tida
"Oh, begitu. Baiklah, terima kasih," ucap Rubby dengan nada kecewa. Ia menghela nafas panjang, bingung harus berbuat apa. Kenyataan bahwa Vina telah pergi tanpa memberitahukannya.Di perjalanan ke kampus, Rubby terus memikirkan dimana Vina bisa berada. Ia mencoba mengingat-ingat tempat yang mungkin Vina kunjungi, dan tiba-tiba teringat tentang sebuah kedai kopi favorit mereka. Rubby pun memutuskan untuk mampir ke sana sebelum melanjutkan perjalanan ke kampus."Mark! Aku ingin mampir ke kedai kopi dulu sebelum ke kampus, boleh? Mungkin Vina ada di sana," kata Rubby pada sopir pribadinya."Baik, Nyonya. Kedai kopi yang mana? Aku akan mengantarkan Anda kesana," jawab Mark ramah."Kedai kopi yang sering kita kunjungi bersama, Mark. Kamu tahu, kan?" ucap Rubby."Mengerti, Nyonya. Akan akan mengantar anda."Sesampainya di kedai kopi, Rubby bergegas masuk sambil memeriksa setiap meja untuk melihat apakah Vina ada di sana. Namun sayang, Vina tak kunjung ditemukan. Rubby mencoba menenangkan dir
"Bagaimana grafik perusahaan dalam minggu ini? Apakah sudah stabil?" tanya Elvano saat berada di ruang meeting. Elvano sengaja mengumpulkan seluruh manajemen penting untuk membahas masalah harga saham yang mengalami ketidakstabilan dan juga ingin membahas masalah lahan proyek yang akan diambil alih oleh Kedua Pamannya, Smith dan Johnson.Namun Elvano mempunyai cara karena Elvano tahu, menurunnya pasar saham, karena ulah kedua pamannya yang tidak ingin Elvano menjadi pemimpin. Dengan menjatuhkan harga saham perusahaan Patrice, maka ada cela untuk menjatuhkan Elvano karena tidak becus menstabilkan atau meningkatkan harga pasar saham. "Ini hasil grafik perusahaan dalam minggu ini," kata Salesia, kepala bagian akuntansi, sambil menunjukkan presentasi powerpoint. Seluruh karyawan tampak serius mengamati data yang ditampilkan."Aku melihat ada penurunan yang cukup signifikan, namun kita harus optimis bahwa kita bisa menghadapinya," ujar Elvano, menatap tajam setiap orang yang ada di ruang
"Membosankan, Paman kenapa lama sekali?" Rubby bergumam, dia kini sedang tengkurap di atas sofa dalam ruangan Elvano sambil terus mencoba menghubungi Vina. Pikiran Rubby tidak bisa tenang sebelum dia mengetahui Vina dimana, Rubby memang terlihat begitu tidak peduli dengan sahabatnya itu. Namun, dalam hati yang terdalam, Rubby begitu menyayangi Vina layaknya saudara sendiri. Sebab, Vina wanita yang mandiri dan selalu berpikir dewasa wanita itu selalu memberikan masukan yang berguna bagi Rubby. "Haaah ... Vina, kok, aku mau menangis? Rasanya sesak saat memikirkanmu. Apa kamu benar-benar sedang kesulitan?" lagi-lagi, Rubby bermonolog. Krek! Mendengar suara pintu ruangan terbuka, Rubby bangkit dari tidurnya, dia melihat Elvano dengan panik disertai wajah cemas berlari menghampirinya. "Monster kecil, ada apa denganmu, apa yang terjadi?" Rubby langsung memeluk tubuh Elvano. Menangis di dada bidang suaminya itu. Elvano menjadi tambah bingung, apakah Ayah dan Ibu tirinya menyakitinya a
Vina terkesiap saat mendengar suara derap langkah kaki yang begitu bergema berjalan ke arah sel dimana dirinya ditahan. Dengan segera, Vina beranjak dari lantai dan menuju ke arah jeruji. Dia tahu, itu tentu sipir wanita yang beberapa saat menemuinya. Deg! Pupil mata Vina membulat saat Gio yang berdiri di depan sel tersebut. Pria arogan itu tampsk membakar rokoknya sambil menyemburkan asapnya ke arah Vina. "Uhuk ... Uhuk!" Vina terbatuk, dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya. "Sepertinya, kau sangat bersemangat melihat kedatanganku, Vina. Bagaimana, apakah kau sudah menyerah?" ujar Gio dengan sinis. Vina menegakkan dirinya dan mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. "Gio, biarlah ini menjadi terakhir kalinya kita bertemu. Tolong, jangan lagi menggangguku. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi," katanya dengan suara bergetar.Gio tertawa sinis. "Oh Vina, kau benar-benar lucu. Bagaimana bisa kau tidak ingin bertemu denganku? Sementara kau memiliki hutang ya