Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca!
“BANGUN!” Leon terkesiap tatkala sebuah suara mengejutkannya. Ia membuka mataya perlahan, rasa sakit masih menjalari tubuhnya. Memori terakhir yang diingatnya hanyalah wajah Arren yang menangis, meskipun begitu … istrinya itu tetap cantik. Setelahnya, Leon tidak ingat. Ia memandang sekeliling. Gelap. Tidak ada sorot cahaya apa pun yang dapat membantunya menerka-nerka … ada di mana ini sebenarnya? Detik kemudian, suara derit pintu besi mulai terdengar. Engsel berat terbuka perlahan. Cahaya yang dinantikan Leon masuk walaupun samar. Ia dapat mengetahui, akhirnya … ruang ini adalah sel dengan rantai dan jeruji besi persis seperti bangunan untuk tahanan pada umumnya. “Dia sudah sadar, Yang Mulia!” teriak salah seorang penjaga yang baru saja masuk. Ia membawa baki berisi kentang dan juga air minum. Tangannya gemetar, baki besi itu bergetar, menandakan bahwa penjaga itu tidak ingin berlama-lama di dekat sel Leon. “Akhirnya! Bajingan itu sadar juga!” Raja Charlie merangsek masuk, membu
Raja Charlie tercengang, ia sama sekali tidak menyangka bahwa putrinya akan mengajukan permintaan gila seperti itu. Di sisi lain, Leon juga terkejut mendengar permintaan Lesel. Apa yang sedang terjadi? Apakah ini hanya trik untuk mengalihkan perhatian Raja? “Lesel, kau gila? Mengapa kau meminta sesuatu seperti itu?” bentak Raja Charlie, kebingungan mencengkram hatinya. Ia tidak akan pernah menerima lelaki gila itu menjadi menantu sahnya. Putri Lesel menatap ayahnya dengan mata penuh tekad. “Jika Ayah benar-benar menyayangiku, Ayah akan menyetujuinya. Aku tidak akan hidup dengan tenang jika orang yang kucintai harus menderita.” “KAU BISA MENJADIKANNYA SELIR! MAINAN! BUKAN SUAMI!” Raja masih menolak keras usul sang putri dengan wajah memerah. Ia sama sekali tidak setuju dengan kegilaan ini. Tidak masuk akal! Putri Lesel kembali memungut pisau yang ada di bawah kakinya. Kali ini, ia akan menghujamkan senjata tajam itu ke perutnya. “Katakan kau akan menolaknya, Ayah! Dan … Aku akan per
Persiapan pernikahan telah dimulai. Lesel tampak riang mematutkan diri di depan cermin. Gaun indah segera menjadikannya pusat perhatian di antara pelayan. “Anda yang tercantik, Putri!” seru pelayan pribadinya yang turut memasangkan gaun itu kepadanya. Gaun putih dengan sulaman tangan bertahtakan berlian menjadi gaun paling mahal yang pernah ia kenakan. “Kau tidak berbohong?” tanya Lesel dengan alis terangkat. Namun, sebenarnya ia mengetahui bahwa penampilannya memang sangat memikat. Leon pasti akan segera melupakan istri yang telah ditinggalkannya di Rossie dan mencintainya dengan sepenuh hati. “Anda seperti dewi, Putri ….” “Aku setuju,” ucap sang putri sambil mencoba memutar gaunnya. Ekor gaun yang panjang dan indah, ingin dilihatnya secara langsung, sebelum semua orang menjadi terpesona. “Leonn pasti akan semakin mencintaiku!” desisnya penuh percaya diri. Sebelum berada di kamar ganti ini, Lesel dan Leon telah bertengkar hebat. Leon tidak bisa menerima keputusan pernikahan ini,
“Baiklah. Persiapan sudah siap. Kami akan memperindah pakaian ini dan mengirimkan kembali ketika hari pernikahan tiba!” seru sang desainer yang tiba-tiba takut jika akan terjadi perseteruan pasangan di kamar ganti ini. Gaun Lesel dan tuxedo Leon dikembalikan. Pakaian pernikahan itu kemudian disimpan dengan indahnya di ruangan khusus. Sang desainer akan memastikan bahwa setiap lipatan dan detail gaun akan terlihat sempurna ketika hari pernikahan tiba. “Mohon bantuannya,” ucap Lesel dengan senyum kemenangan yang tersungging di wajahnya meski mimik wajahnya menunjukkan sebaliknya. Ia tahu, bagaimana pun, Lesel tidak akan pernah memenangkan hati Leon ketika pria itu bahkan terus merasa terjebak dalam permainannya. “Bagaimana lagi aku harus mencoba, Leon? Kapan kau akan memberikan hatimu untukku?” Lesel meratap penuh kesedihan ketika kembali ke kamarnya. Sementara itu, Leon kembali di antar ke paviliun luar istana karena mereka belum menikah secara resmi. Status Leon di kerajaan ini ha
Sementara itu, di Mansion Rossie, Arren terbaring lemah tak berdaya. Para dokter yang memeriksanya mengira itu adalah komplikasi kehamilan namun ternyata, dugaan mereka salah! “Uhuk! Uhuk!” Sekali lagi, Arren terbatuk. Kali ini, ada darah berwarna hitam yang turut menyertai dahak yang keluar. Kesadarannya telah separuhnya menghilang. Suasana muram menyelimuti kamar Arren. Nyonya besar tak bisa mengusir kekhawatirannya. “Dokter, lakukan semua pengobatan yang kau bisa!” serunya tanpa berhenti berdoa. Penguasa Rossie itu kini mengalami cobaan lain yang tidak diduganya. Sebelumnya, ia sangat gembira karena Arren telah berhasil ditemukan. Namun, kali ini, hatinya kembali terluka ketika segala sesuatu tidak seperti yang seharusnya. “Kami akan mengusahakan sebisanya, Nyonya!” Para dokter yang dipanggil dengan cepat melakukan pemeriksaan lanjutan. Seperti yang terjadi, sebelumnya, dugaan mereka adalah Arren mungkin mengalami komplikasi kehamilan yang meracuni tubuhnya. Namun, ketika g
Ketidakberdayaan dokter membuat semua orang merasa tertekan. Clark tidak ingin tinggal diam. “Bisakah kau ekstraksi racun itu, Dokter?” tanyanya dengan raut wajah kesal. Pria itu merasa sangat bersalah, terlebih … nyawa Arren benar-benar berada di ujung tanduk tanpa bisa diduga. Dokter, yang merasa tertekan oleh ketidakpastian penyakit yang tidak biasa ini, menjawab dengan suara serak, "Saya telah mencoba, Tuan Clark. Namun, racun ini begitu kompleks dan terkait erat dengan sistem tubuh Nona Arren. Ekstraksi bisa menjadi resiko besar, bahkan bisa memperburuk keadaannya." Clark menatap dokter dengan sorot mata yang penuh keputusasaan. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Sementara itu, Nyonya Besar yang duduk di ruang tengah, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. Kehilangan Arren, cucu satu-satunya, akan menjadi pukulan berat bagi keluarga Rossie. "Apakah tidak ada pilihan lain?" desak Clark, mencoba mencari jawaban yang bisa membawa harapan. Dokt
Langit di Kerajaan Rocky terlihat kelam, berbanding terbalik dengan kemeriahaan di dalam istana. Pesta pernikahan masih berlangsung dan hiruk-pikuk tamu undangan memenuhi aula kerajaan. Tepat di lantai teratas istana, di kamar sang putri, pasangan pengantin baru itu masih tapak tegang. Putri Lesel, yang kini tidak berbusana, masih saja merapatkan tubuhnya pada sang suami baru yang enggan disentuhnya. Bukannya enggan, pria itu jelas menolak. Tidak sudi jika harus berbagi ranjang dengan istri palsunya. “Kau tidak ingin Arren selamat rupanya?” ancam Lesel dengan congkaknya. Leon hanya menggeram dan seakan tuli dengan sumpah-serapah serta ancaman yang dilontarkan oleh pasangan hidupnya yang baru saja diresmikan oleh pendeta itu. “DIAM!” Lesel hanya tersenyum sinis dan terus menggoda lelaki yang sedari tadi mendorong tubuhnya menjauh. Wanita muda itu tidak mudah tergoyahkan. “Aku masih perawan, lho! Kau akan menyesal karena telah menolak gairah yang kutawarkan.” “CIH!” Lesel semakin m
Arren mencoba mengendalikan emosinya saat bertanya tentang suaminya, Leon. Wajahnya yang baru saja memancarkan rona kebahagiaan kini kembali meredup. Kecemasan menggerogoti hatinya. “Tenanglah, Arren. Kita akan menyelamatkannya. Yang terpenting sekarang adalah … kesembuhanmu terlebih dulu,” ucap neneknya mencoba membujuk Arren agar tidak terlalu banyak pikiran. Arren menggeleng. Ia mengetahui bagaimana rasa sesak menjadi tawanan. Kengerian di penjara bawah tanah seperti baru kemarin terjadi. Arren tidak dapat begitu mudah melupakannya. “Clark, tolong … bebaskan Leon.” Clark mendekat, menyunggingkan senyum lembut pada sang nona muda. “Tentu saja, kami akan menyiapkan misi penyelamatan.” Nyonya besar mengangguk, menyetujui usul Clark. “Mengapa kalian baru melakukannya? Mengapa tidak sejak awal? Menga—” “Arren! Kami fokus pada kesembuhanmu! Kami tidak bisa membiarkanmu berjuang melawan maut tanpa pantauan! Leon … pria itu pasti baik-baik saja!” tegas Nyonya Rossie yang tidak bisa la