Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Matahari telah terbit di ufuk timur, kicau burung turut memberikan kesejukan yang menyegarkan. Arren terbangun dalam keadaan bugar. Rasanya, sudah lama sekali, ia tidak merasa sesegar ini, ketika bangun pagi."Astaga, sudah pagi," gumamnya sambil menggeliat perlahan. Hal terakhir yang ia ingat hanyalah memasuki mobil, kemudian tertidur pulas. Entah siapa yang menggendongnya hingga ke atas ranjang malam itu, Arren benar-benar tidak mengingat apapun."Selamat pagi, Nona. Mari, saya bantu mandi dan bersiap," ucap pelayan pribadinya sambil memandu Arren menuju ke kamar mandi."Baik," sahut Arren, kemudian beranjak dari ranjangnya. Cuaca pagi itu sangat cerah, Arren bisa merasakan kedamaian di dalam hatinya. Untuk beberapa saat, pandangannya menyapu ke arah jendela. Ia memandangi suasana di luar kamarnya yang tenang. Arren benar-benar merasa nyaman."Air mandinya sudah siap, Nona. Mari..."Arren bergegas menuju ke bak mandi dan memulai rutinitas paginya. "Anda cantik sekali, Nona," puji s
Sementara itu, di pusat kota, Leon dan beberapa anak buahnya baru saja tiba setelah perjalanan panjang dengan mobil. Mereka telah melewati perbukitan untuk mencapai pusat kota Rossis, setelah menghabiskan satu malam di penginapan dekat pelabuhan.Matahari baru terbit, dan cahayanya perlahan menembus kabut pagi yang menggantung rendah di atas kota. Mereka segera melanjutkan perjalanan, memacu kendaraan melalui jalan-jalan yang masih lengang.Suasana pagi yang tenang menciptakan rasa heran dalam benak Leon. Seharusnya, pusat kota tampak ramai meski masih awal hari. Namun, pusat kota itu tampak berbeda. "Apakah kota Rossie memang sepi seperti ini?" tanya Leon pada salah satu anak buahnya yang terbiasa pulang-pergi ke wilayah ini."Seharusnya tidak, Tuan. Saya juga heran," sahutnya.Suasana yang biasanya ramai dan penuh dengan aktivitas kini terasa lebih sunyi. Namun, rasa heran mereka terpecahkan ketika mobil melintasi jalanan yang masih berdebu dan penuh kekacauan pasca-kerusuhan.Ruas-
Kelompok pria itu memancarkan aura yang tidak ramah. Sejumlah tato yang terlihat di lengan mereka menunjukkan bahwa mereka mungkin adalah anggota dari kelompok tertentu di kota itu. Beberapa di antara mereka sedang merokok dengan santai, sementara yang lain menatap Leon dan anak buahnya dengan tatapan yang menantang. "Apakah ada yang bisa kami bantu?" tanya Leon dengan nada yang dingin. Meskipun ia merasa perlu menjaga ketenangan, namun Leon tidak bisa mengabaikan situasi ini. Salah satu dari pria itu, yang tampaknya menjadi juru bicara kelompok itu, melangkah maju dengan teriakan, "Tunjukkan identitas kalian!” ulangnya. Salah seorang anak buah Leon maju dengan gesit dan menarik kerah orang yang tidak sopan itu. "Jaga bicaramu di hadapan Tuan Leon!" ancamnya dengan nada yang keras. Suasana yang tadinya tegang kini semakin mencekam, dengan adanya tarik-menarik kerah dan makian yang keluar dari kedua belah pihak. “Bajingan!” Orang yang ditarik itu merasa terkejut dan geram. Ia men
"Apa yang kau lakukan?!" teriak gadis itu, yang hanya mendapatkan dorongan keras, tanpa jawaban, sehingga ia tiba-tiba terjatuh ke tanah. "Akh!""Gadis bodoh! Berbelanja sendirian. Kau tidak tahu, orang-orang sedang kelaparan? Haha!" seloroh pria yang mendorong gadis itu dengan jumawa."Kembalikan makananku!""Tidak mau! Makanan ini untuk kami saja!" teriak pria itu lantang, diiringi gelak tawa dua orang lainnya yang berada di belakang."Pergilah, Nak. Sebelum paman itu menyakitimu," ucap pria yang berbadan lebih besar dari pria penyerang tadi."Tidak! Itu satu-satunya makananku! Aku tidak punya uang lagi untuk membeli makanan lain!”"Pergi, kataku!" Seketika, suasana di gang kecil itu berubah menjadi kacau. Teriakan dan tangisan gadis itu pecah, sehingga mengundang Leon dan para anak buahnya untuk mendekat. “Hentikan!”, teriak Leon lantang, sambil mendekat ke arah gadis remaja yang tengah mengalami penjarahan itu. Sekelompok pria kasar telah mengepungnya dan merampas makanannya de
Pisau tajam yang diayunkan oleh pria tadi, menggores lengan Leon dengan cukup parah. Darah segar segera merembes dari kemejanya yang telah sobek oleh amukan benda tajam itu.Leon mengerang kesakitan dan meraih lengannya yang terluka. "Bajingan!" geramnya sambil mencoba menghentikan aliran darah dengan tangan yang gemetar. "Tuan, Anda berdarah!" teriak gadis muda tersebut dengan penuh kepanikan, ketika melihat luka di lengan Leon yang cukup serius. Leon mencoba untuk menenangkan gadis tersebut. "Aku tidak apa-apa. Ini hanya luka gores." Ia memaksakan senyum untuk menenangkan gadis tersebut, tetapi tampaknya luka tersebut lebih serius dari yang ia kira. “Kurang ajar!” Anak buah Leon yang lain merasa marah melihat serangan pengecut dari pria tersebut. Tanpa aba-aba, mereka langsung memukuli pria itu dengan brutal, membalas dendam atas luka yang diterima oleh bos mereka. "Arghh!!!" erangan yang mengenaskan hanya bisa terdengar sesaat, sebelum pria itu tersungkur tanpa kesadaran.Leon s
Saat pusat kota kembali pulih dari kerusuhan sebelumnya, suasana di sana terlihat mulai membaik. Para pedagang merapikan kios-kios mereka yang berantakan dan mulai berjualan, para warga yang sebelumnya besembunyi dan ketakutan, kini kembali beraktivitas seperti biasa. Sisa-sisa kerusuhan tidak menghadirkan lagi ketakutan dalam benak mereka, masyarakat Rossie, secara keseluruhan, kembali menjalani rutinitas mereka, tidak terkecuali Adam Hart, yang masih terus memburu keberadaan Abigail–sang adik ipar. “Di mana jalang itu bersembunyi?” gumamnya, sambil meminum kopi pagi ini. Adam memandang ke luar balkon kamarnya dengan sorot mata penuh dengan amarah. Ia tampak lelah, karena sudah beberapa hari ini melacak jejak Abigail, namun tak kunjung ditemukannya. Sepertinya, wanita itu sedang bersembunyi, entah di mana. “Hans! Cari di butik-butik yang biasa dia datangi. Abigail tidak memliki kenalan lagi. Andersen bangsat itu sudah tewas!” perintah Adam pada salah satu tentara bayarannya. “Bai
Inspektur Kirk kini duduk di kursi tengah ruang rapat. Sorot matanya yang tajam mengarah pada tumpukan berkas penting yang telah disiapkan di atas meja. Semua orang di ruangan itu merasa tegang, menyadari bahwa hari ini akan menjadi hari yang menentukan bagi mereka. Para pejabat yang hadir tampak gelisah dan mulai berkeringat dingin, mengetahui bahwa inspeksi ini adalah saat di mana rahasia-rahasia mereka mungkin terungkap. "Kami akan segera memulai inspeksi," ucap Inspektur Kirk dengan suara tegas.Kini, saat-saat yang mendebarkan telah tiba. Inspektur Kirk berdiri, diiringi beberapa staff-nya yang setia. Semua mata di ruangan itu tertuju pada mereka. Inspektur Johannes Kirk, adalah seorang pejabat yang sangat ketat dalam menjalankan tugasnya. Ia dikenal sebagai pribadi yang adil dan tidak akan terpengaruh oleh tekanan atau pun suap. Tidak ada yang bisa mempengaruhi hasil inspeksi yang dilakukan olehnya. "Saya akan memastikan bahwa semua prosedur dilakukan secara ketat dan tidak
Sementara itu, di Mansion Rossie, suasana perayaan ulang tahun sang Nona muda masih kental terasa, meski sudah lewat beberapa hari. Hiasan-hiasan dekoratif masih kokoh berdiri, kegembiraan para pelayan juga tetap terasa, dan kue-kue yang sebelumnya ditujukan untuk para tamu undangan, kini telah habis disantap oleh pelayan. Juru masak akan menyiapkan hidangan baru sesuai tema pesta yang akan ditentukan oleh sang penyelenggara. “Maafkan Nenek, Arren, acara kita jadi tertunda,” kata Nyonya besar, merasa bersalah. “Tidak apa-apa, Nek. Kesehatan Nenek yang utama,” ucap Arren lembut. Acara perayaan ulang tahun Arren seharusnya berlangsung sepanjang hari setelah pesta kejutan di Pavilun Barat sukses dilaksanakan. Namun, mendadak Nyonya besar pingsan, akhirnya pelaksanaan banquet ulang tahun yang seharusnya berlangsung pada malam harinya, terpaksa ditunda. “Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?” tanya sang Nyonya. “Ini adalah hari ketiga, Nek. Tenanglah, semua baik-baik saja,” sahu
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.