Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Wanita perwakilan demonstran mengangguk sebagai tanda persetujuan atas pembicaraan yang lebih dalam. Arren merasa lega bahwa mereka bisa mencoba untuk mencapai kesepakatan tanpa kekerasan. Namun, masalah belum berakhir, dan mereka masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."Terima kasih atas kesempatan ini," kata Nyonya Besar Rossie dengan sopan. "Kami sangat ingin mendengarkan tuntutan dan aspirasi kalian. Rossie adalah rumah kita bersama, dan kita semua harus berusaha untuk memperbaikinya."Wanita perwakilan tersebut tampak muram. Sebersit kekhawatiran mulai merajai hatinya. "Rekan-rekan kami juga banyak yang terluka dalam kerusuhan ini. Kami ingin perubahan nyata. Kami ingin perubahan yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga Rossie."Arren memperhatikan tuntutan mereka dengan serius. "Kami mendengarkan kalian, dan kami akan mencoba untuk memahami tuntutan-tuntutan itu dengan baik. Tapi kami juga harus memastikan bahwa Rossie tetap berada dalam kerangka
“Dimana Lora?” Seorang wanita paruh baya tampak gelisah mencari-cari putrinya yang menghilang. Sejak kemarin, ia tidak ditemukan di manapun. Desa Tar, tempat tinggal mereka, juga sedang kacau akibat kerusuhan di kota. Beberapa pemuda dan bapak-bapak berbondong-bondong pergi ke sana, sedangkan para wanita ditugaskan menjaga anak-anak agar aman di rumah mereka. “Kami tidak melihatnya, Nyonya!” seru tetangga yang berada di seberang rumahnya. “Oh tidak! Jangan sampai dia nekad kabur ke kota dan mencari kakaknya! Oh Tuhan! Bencana apa lagi ini! Huhu… hu…” Wanita itu tergugu dalam kepdihan. Belum lama ini, anak lelakinya ditahan di penjara keluarga Rossie atas tuduhan provokasi. Kemarin, suaminya berdemo, dan saat ini, putrinya ikut menghilang. Ia benar-benar tidak tahan lagi. “Aku akan pergi ke kota sekarang!” “Nyonya! Tenanglah! Di sini lebih aman. Kau tidak lihat berita?” “Apa yang bisa kulakukan, Nina? Lihatlah! Anggota keluargaku tidak ada semua!” Ia tetap bersikeras. “Bagaiman
CRAK! "Aww!" Lora menjerit, karena duri mawar menggores lengannya kala ia sedang berjinjit diantara semak-semak. Ternyata, semak-semak yang ia lewati itu adalah kebun mawar, Lora tidak menyadarinya. "Da--rah?" Seketika Lora terhuyung, dan hampir jatuh. Suaranya yang berbenturan dengan peralatan kebersihan milik tukang kebun, membuat kegaduhan yang cukup mengagetkan seorang perawat. "Dik, kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Lora segera mundur meski dalam keadaan berjongkok. "Jangan tangkap aku!" teriaknya masih nyaring, meski dengan wajah pucat yang bahkan kucing yang sedang lewat pun mengetahui jika Lora sedang terpojok. "Kau menyelinap kemari?" tanya perawat itu penasaran. Sebenarnya, ia adalah seorang perawat jaga, dan saat ini, ia sedang berjalan-jalan di sekitar paviliun selatan. Nona muda sedang dioperasi, dan sudah cukup banyak tenaga medis yang menanganinya di dalam sana. Jadi, si perawat jaga hanya bersiaga saja, agar siap sedia jika tenaganya tiba-tiba diperlukan. "
"Kakakku mana? Sesuai janji Anda," tanya Lora setelah bangkit dari ranjangnya. Meski masih keletihan karena kehabisan banyak darah, Lora tetap bersikeras ingin bertemu dengan kakakknya. Arren sudah kembali beristirahat, saat ini, hanya ada Lora dan Nyonya besar yang berada di luar kamar perawatan. "Jaga bicara Anda, Nona. Anda sedang berhadapan dengan Nyonya paling dihormati di wilayah ini...""Sudahlah, Jess. Tidak masalah. Kau sangat gigih rupanya, Nona," ucap sang Nyonya sambil tersenyum lembut kepadanya. "Sa--saya hanya ingin segera bertemu dengan kakak saya," katanya lagi, sambil menundukkan kepala. Lora merasa takut dengan kepala pelayan yang tampak galak kepadanya. Nyonya besar bangkit dari kursinya, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Lora. "Ayo, ikut aku..." ucapnya. Lora mendongakkan kepala, seutas senyum segera berkembang di wajahnya. "Baik!"***"Bagaimana?""Sedang aku coba! Eughh..." Terlihat dua orang pria sedang mencoba untuk membuka gembok sel dengan sebuah be
"Cepat!"Langkah kaki para tahanan yang kabur segera melesat bak kilat, melewati lorong-lorong gelap yang mencekam. Siapa yang mengira? Ternyata usaha pelarian mereka benar-benar berhasil. "Yes! Udara bebas, kami datang!" seru Mark dengan girang. Laurens tampak ikut senang, karena berhasil membuka gembok tua yang hampir menjerat mereka selamanya. "Tidak sia-sia, kau biasanya membuka gembok buku harian Lora!" gurau Mark dengan gelak tawa menggelegar. "Sst! Diamlah! Kau ingin tertangkap?""Haha... ups!"Mereka kemudian fokus mencari jalan keluar dengan segera, mencoba menghindari kejaran sipir yang mungkin sudah menyadari pelarian mereka. "Sebelah sini!" seru Mark dengan gegap gempita. Bayangan padang hijau dan harumnya bunga sudah bermekaran di pikirannya. Mark benar-benar ingin segera melangkah pergi dari tempat terkutuk ini.Dalam kegelapan yang melingkupi lorong bawah tanah, langkah kaki mereka bergema dengan nyaring. Mark dan Laurens merasa gembira, adrenalin mereka terus terpom
Suasana di lorong penjara itu semakin mencekam, dan kini dua orang sandera dari pihak tahanan mengancam keamanan di Mansion Rossis.Wajah Nyonya besar memancarkan amarah yang membara di hadapan Joseph, sang tahanan tua, yang dulu pernah menjadi salah satu orang kepercayaan Tuan Besar Rossie."Apa yang kau lakukan!" teriak Nyonya Rossie dengan suara yang memecah keheningan. Wajahnya memerah oleh amarah, dan napasnya memburu seperti hendak menerkam mangsa. "Joseph! Kau tidak berubah!"Joseph, yang dulunya adalah seorang pelayan setia keluarga Rossie, tiba-tiba berubah menjadi pengkhianat yang bekerja untuk Abigail. Atas iming-iming harta dan kedudukan, Joseph berkomplot dengan musuh internal keluarga Rossie dan hampir mencelakai Nyonya besar.Sudah bertahun-tahun Joseph dipenjara di sel isolasi, karena ulahnya yang selalu mencelakai tahanan lain dan bahkan sipir penjara. Kekejaman Joseph adalah imbas dari keserakahan dirinya yang kemudian menggerogoti hati nuraninya.Saat ini, pria kejam
Sepeninggalnya rombongan warga desa Tar dari Mansion Rossie, Arren, Nyonya Rossie dan Clark tampak berjalan-jalan di sekitar Mansion.Saat ini, mereka berada di taman bunga, dan Arren terlihat kelelahan. "Arren, duduklah," ucap Nyonya Rossie lembut, sambil menyuruh pelayan untuk mengambilkan kursi yang ada di belakang mereka. "Terima kasih, Nek..." ucap Arren kemudian duduk di kursi yang telah disiapkan. Ia mengedarkan pandang ke sekitar, mengamati suasana senja yang begitu syahdu dan indah. Arren tidak dapat menampik kekagumannya terhadap pemandangan yang menakjubkan ini. "Clark, bagaimana keadaanmu?" Arren menoleh ke arah Clark, yang sedang tersenyum kepadanya. "Aku sudah lebih baik, tubuhku terasa utuh kembali," guraunya. Arren melebarkan matanya sambil mengerucutkan bibirnya. "Tidak lucu, Clark! Aku sangat khawatir!" desisnya. "Aku baik-baik saja, Nona muda," ucapnya lembut, sambil mendekat ke arah Arren. Clark meraih punggung tangan gadis itu dan menciumnya dalam kepatutan.
Sunyi senyap menguasai kapal Serenade yang berlayar melintasi lautan yang gelap dan ganas. Langit mendung menambah kesan seram yang terpancar dari cahaya bulan yang samar. Cahaya itu tembus melalui kabut tebal hingga ke dek kapal yang terus melaju dengan tenang. Suara ombak yang menghantam lambung Serenade menjadi irama yang menegangkan, membuat para awak kapal selalu bersiaga, bila saja terjadi ombak yang tiba-tiba. Beberapa waktu ini, cuaca sering berubah, dan badai sering datang tanpa aba-aba. Di tengah ruang perkapalan yang berkarat, Leon, yang berpakaian hitam dengan keringat yang membasahi tubuhnya, sedang menatap tajam seorang penjahat yang terikat pada kursi kayu di hadapannya. Dibalut tali kawat baja, penjahat itu berjuang keras untuk melepaskan diri namun sia-sia."Belum mau bicara?""Grraaah!"Leon mengamati wanita itu dengan wajahnya yang bengis. Sisa-sisa amarah di dalam dadanya masih belum juga habis. Leon begitu membencinya. Mei Ling, wanita itu adalah wanita yang te