Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Setelah kerusuhan di pusat kota Rossie, situasi di wilayah tersebut semakin memanas. Aksi damai yang semula dilakukan oleh ribuan warga, kini berubah menjadi badai kekerasan yang melanda kota.Respon aparat terhadap kerusuhan ini tidak dapat disebutkan sebagai upaya penenangan. Sebaliknya, mereka mengirim sejumlah besar polisi anti-huru-hara dengan peralatan yang canggih untuk menekan keras para demonstran. Huru-hara terjadi di jalanan kota, serta kantor-kantor pemerintah, yang tersebar di seluruh wilayah Rossie. Polisi dan para demonstran terlibat dalam bentrokan brutal.Protes yang awalnya dimulai dengan tuntutan ketidaksetujuan terhadap Abigail Rossie berubah menjadi aksi destruktif yang merusak banyak aset publik dan bisnis. Toko-toko di pusat kota dirampok dan dibakar, pusat perbelanjaan yang sebelumnya ramai, kini menjadi reruntuhan hitam yang terbakar. Bangunan-bangunan pemerintah tidak dapat beroperasi akibat serangan para demonstran.Para warga yang sebelumnya bergabung seba
Di rumah sakit pusat kota, suasana kericuhan masih kental terasa. Tim medis terus sibuk berlalu-lalang, menerima pasien yang bolak-balik datang. Para korban ricuh, baik dari kalangan pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, menderita luka-luka serius yang membutuhkan pertolongan segera. Ruangan gawat darurat dipenuhi dengan pasien yang kesakitan karena luka tembak atau luka bakar akibat bentrokan dengan aparat keamanan. Dokter dan perawat berusaha semampu mereka untuk memberikan pertolongan pertama, meskipun tekanan yang mereka hadapi cukup besar. "Kami butuh lebih banyak obat penghilang rasa sakit!" teriak salah satu perawat kepada rekan-rekannya. Korban-korban tidak hanya datang dari warga sipil yang terluka, namun, pihak aparat juga banyak yang mengalami pendarahan akibat ledakan serta pukulan dari pendemo yang melakukan kekerasan. Mereka juga membutuhkan perawatan medis dengan cekatan. Beberapa di antara aparat itu bahkan menderita patah tulang dan luka memar akibat serangan be
Sementara itu, di tengah kerusuhan yang melanda pusat kota Rossie, Arren dan Nyonya Besar memulai perjalanan mereka menuju ke sana. Perjalanan ini cukup melelahkan dan berbahaya karena harus melalui jalan raya yang sebagian besar telah dikuasai oleh para demonstran yang marah. Ruas jalan kini penuh dengan berbagai kendaraan yang dibakar, serta puing-puing yang berserakan akibat bentrokan sebelumnya.Nyonya besar dan Arren berada dalam mobil yang dilengkapi dengan pelindung khusus dan pengawalan ketat. Arren duduk di samping sopir sementara Nyonya Besar Rossie duduk di kursi belakang. Kedua macan Rossie ini tampak serius dan tegang, mereka berdoa bahwa, apa yang mereka rencanakan akan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Hujan deras turun dari langit yang keabu-abuan, menambah suasana gelap dan suram di sekitar lokasi demontrasi. Gemuruh petasan dan jeritan para demonstran memenuhi udara, menyebabkan kecemasan yang melanda hati mereka. Meskipun hujan turun dengan deras, nyala api
Wanita perwakilan demonstran mengangguk sebagai tanda persetujuan atas pembicaraan yang lebih dalam. Arren merasa lega bahwa mereka bisa mencoba untuk mencapai kesepakatan tanpa kekerasan. Namun, masalah belum berakhir, dan mereka masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."Terima kasih atas kesempatan ini," kata Nyonya Besar Rossie dengan sopan. "Kami sangat ingin mendengarkan tuntutan dan aspirasi kalian. Rossie adalah rumah kita bersama, dan kita semua harus berusaha untuk memperbaikinya."Wanita perwakilan tersebut tampak muram. Sebersit kekhawatiran mulai merajai hatinya. "Rekan-rekan kami juga banyak yang terluka dalam kerusuhan ini. Kami ingin perubahan nyata. Kami ingin perubahan yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga Rossie."Arren memperhatikan tuntutan mereka dengan serius. "Kami mendengarkan kalian, dan kami akan mencoba untuk memahami tuntutan-tuntutan itu dengan baik. Tapi kami juga harus memastikan bahwa Rossie tetap berada dalam kerangka
“Dimana Lora?” Seorang wanita paruh baya tampak gelisah mencari-cari putrinya yang menghilang. Sejak kemarin, ia tidak ditemukan di manapun. Desa Tar, tempat tinggal mereka, juga sedang kacau akibat kerusuhan di kota. Beberapa pemuda dan bapak-bapak berbondong-bondong pergi ke sana, sedangkan para wanita ditugaskan menjaga anak-anak agar aman di rumah mereka. “Kami tidak melihatnya, Nyonya!” seru tetangga yang berada di seberang rumahnya. “Oh tidak! Jangan sampai dia nekad kabur ke kota dan mencari kakaknya! Oh Tuhan! Bencana apa lagi ini! Huhu… hu…” Wanita itu tergugu dalam kepdihan. Belum lama ini, anak lelakinya ditahan di penjara keluarga Rossie atas tuduhan provokasi. Kemarin, suaminya berdemo, dan saat ini, putrinya ikut menghilang. Ia benar-benar tidak tahan lagi. “Aku akan pergi ke kota sekarang!” “Nyonya! Tenanglah! Di sini lebih aman. Kau tidak lihat berita?” “Apa yang bisa kulakukan, Nina? Lihatlah! Anggota keluargaku tidak ada semua!” Ia tetap bersikeras. “Bagaiman
CRAK! "Aww!" Lora menjerit, karena duri mawar menggores lengannya kala ia sedang berjinjit diantara semak-semak. Ternyata, semak-semak yang ia lewati itu adalah kebun mawar, Lora tidak menyadarinya. "Da--rah?" Seketika Lora terhuyung, dan hampir jatuh. Suaranya yang berbenturan dengan peralatan kebersihan milik tukang kebun, membuat kegaduhan yang cukup mengagetkan seorang perawat. "Dik, kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Lora segera mundur meski dalam keadaan berjongkok. "Jangan tangkap aku!" teriaknya masih nyaring, meski dengan wajah pucat yang bahkan kucing yang sedang lewat pun mengetahui jika Lora sedang terpojok. "Kau menyelinap kemari?" tanya perawat itu penasaran. Sebenarnya, ia adalah seorang perawat jaga, dan saat ini, ia sedang berjalan-jalan di sekitar paviliun selatan. Nona muda sedang dioperasi, dan sudah cukup banyak tenaga medis yang menanganinya di dalam sana. Jadi, si perawat jaga hanya bersiaga saja, agar siap sedia jika tenaganya tiba-tiba diperlukan. "
"Kakakku mana? Sesuai janji Anda," tanya Lora setelah bangkit dari ranjangnya. Meski masih keletihan karena kehabisan banyak darah, Lora tetap bersikeras ingin bertemu dengan kakakknya. Arren sudah kembali beristirahat, saat ini, hanya ada Lora dan Nyonya besar yang berada di luar kamar perawatan. "Jaga bicara Anda, Nona. Anda sedang berhadapan dengan Nyonya paling dihormati di wilayah ini...""Sudahlah, Jess. Tidak masalah. Kau sangat gigih rupanya, Nona," ucap sang Nyonya sambil tersenyum lembut kepadanya. "Sa--saya hanya ingin segera bertemu dengan kakak saya," katanya lagi, sambil menundukkan kepala. Lora merasa takut dengan kepala pelayan yang tampak galak kepadanya. Nyonya besar bangkit dari kursinya, kemudian mengulurkan tangannya ke arah Lora. "Ayo, ikut aku..." ucapnya. Lora mendongakkan kepala, seutas senyum segera berkembang di wajahnya. "Baik!"***"Bagaimana?""Sedang aku coba! Eughh..." Terlihat dua orang pria sedang mencoba untuk membuka gembok sel dengan sebuah be
"Cepat!"Langkah kaki para tahanan yang kabur segera melesat bak kilat, melewati lorong-lorong gelap yang mencekam. Siapa yang mengira? Ternyata usaha pelarian mereka benar-benar berhasil. "Yes! Udara bebas, kami datang!" seru Mark dengan girang. Laurens tampak ikut senang, karena berhasil membuka gembok tua yang hampir menjerat mereka selamanya. "Tidak sia-sia, kau biasanya membuka gembok buku harian Lora!" gurau Mark dengan gelak tawa menggelegar. "Sst! Diamlah! Kau ingin tertangkap?""Haha... ups!"Mereka kemudian fokus mencari jalan keluar dengan segera, mencoba menghindari kejaran sipir yang mungkin sudah menyadari pelarian mereka. "Sebelah sini!" seru Mark dengan gegap gempita. Bayangan padang hijau dan harumnya bunga sudah bermekaran di pikirannya. Mark benar-benar ingin segera melangkah pergi dari tempat terkutuk ini.Dalam kegelapan yang melingkupi lorong bawah tanah, langkah kaki mereka bergema dengan nyaring. Mark dan Laurens merasa gembira, adrenalin mereka terus terpom
Ujung belati itu bengkok. Tidak ada yang menyangka bahwa belati tajam bisa berubah bentuk menjadi seperti itu. “Ti–tidak!” pekik si pelayan. Ia sangat kebingungan. Bagaimana perut Arren yang seharusnya ternoda darah malah membengkokkan belati tanpa setitik pun usaha? Dalam momen yang menentukan, belati itu telah mengalami deformasi plastis, seperti tarian metal yang mengubah bentuknya tanpa bisa kembali ke keadaan semula. “A–apa yang terjadi?” Pelayan itu bertanya-tanya dengan tangan yang gemetar. Arren hanya menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Lawannya telah kalak telak tanpa perhitungan. “Aku sudah mengantisipasi hal ini, Lesel,” ujar Arren dengan wajah jumawa. Ya. Lesel. Ternyata, dialah kaki tangan Esme yang begitu ingin menghabisi nyawanya. “Ba–bagaimana kau tahu?” Arren segera menyobek kain tule yang menutupi area perutnya. Ada sebuah aksesori mengkilat di sana. Sebuah sabuk baja. “A–apa?” Pada awalnya, suara gemuruh dan getaran memang dirasakan oleh Lesel. Ia tak
Pelayan berambut pirang mengerucutkan bibirnya, sementara si rambut hitam tetap menatap lurus ke arahnya. “Baiklah!” jawabnya agak kesal, namun memang rencana mereka tidak boleh berantakan. “Aku akan awasi sekitar. Kau harus segera bersiap-siap.” “Oke.” Dua pelayan mencurigakan itu kemudian meneruskan misi rahasia mereka. Tidak banyak yang harus mereka lakukan kecuali mencari target dan melancarkan aksi balas dendam. “Sepertinya, dia ada di balkon barat. Tunggu aba-abaku, kita akan segera melakukan serangan!” “Oke!” *** Suasana jamuan masih meriah dengan alunan musik lembut yang merdu di telinga. Beberapa tamu menikmatinya sambil bersantap, ada juga yang masih mengobrol lama. Arren dan Leon tampak berbahagia sambil menyalami tamu-tamu yang ada di sana. “Sepertinya, aku merasa sesak,” lirih Arren pada Leon. Kehamilan ini membuatnya gampang lelah dan juga merasa panas sepanjang waktu. “Kau mau pergi dari tempat ini?” tanya Leon sambil merangkulkan lengannya ke pinggang sang
Mata Ava berbinar bahagia. Ia mengangguk cepat dan memeluk Arren sebagai balasannya. “Terima kasih, Bibi!” Ava tidak mengira bahwa ulang tahunnya akan dapat dirayakan dengan jamuan spesial, meski jamuan itu tidak dilangsungkan secara khusus untuknya. “Sama-sama, Ava!” Arren melakukan hal yang sama. Ia bahagia dapat menyemangati kawan kecilnya yang sepertinya sedang sendu dan tidak memiliki semangat karena ketidakhadiran ayah dan ibunya. “Kami harus pergi, Ava. Ini untukmu,” ucap Leon sambil menyerahkan kotak berbungkus kado dengan pita ungu di atasnya. “A–apa ini, Pak?” tanya Ava heran sekaligus senang. Ia tidak mengira akan mendapatkan kado dari Pak Leon di hari yang bukan ulang tahunnya. “Anggap saja kado cicilan,” gurau Leon sambil tertawa kecil padanya. “Ahaha! Terima kasih banyak!” seru Ava sambil membuka bungkus kado itu. Isinya boneka beruang dengan warna bulu kecokelatan. “Lucu sekali!” pekik AVa bahagia. Arren dan Leon senang melihatnya. Tak lama kemudian, mereka bena
Setelah beberapa waktu di rumah sakit, Arren akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada tanda-tanda bahaya ataupun kontraindikasi dari pengobatan yang diterimanya. “Terima kasih, Dokter. Saya merasa lebih sehat,” ucap Arren setelah dokter mengunjunginya untuk kali terakhir. “Sama-sama, Nyonya. Saya senang Anda sudah berhasil membaik tanpa kesulitan.”Dokter Freddy dan Dokter Josh melepas Arren pergi dengan hati lega. Akhirnya, kekhawatiran mereka sirna. Arren benar-benar terbebas dari bahaya racun yang mengintai nyawanya. ***Dalam perjalanan pulang, Leon terus saja menatap Arren dengan perasaan tak menentu. Ia sungguh senang dengan kesembuhan istrinya namun ada suatu hal yang membuatnya merasa khawatir. “Kau yakin dengan rencanamu itu? Aku tidak tega padamu, Sayang!” sergah Leon yang tidak ingin mengundang bahaya lagi bagi istrinya. “Tidak ada cara lain. Kita pasti bisa, Sayang!” tegas Arren dengan tekad kuat. Leon menghela napas dalam-dalam. Ia tak bisa mencegah kekeraskepalaan s
“Tuan! Anda salah dengar!” sergah perawat yang menahan lengan Leon agar tak melayangkan tinju ke arah sang dokter. “Apa?!” Leon menoleh ke arah si perawat. Ia sangat lelah dan tidak bisa lagi menolerir kesalahan dari pihak dokter yang membuat anak-anaknya akan terlahir cacat. “Salah dengar, Tuan!”“Ya, benar!”“Anak Anda baik-baik saja, Tuan.”Suara perawat dan dokter bersahut-sahutan. Leon menurunkan tinjunya dan memandang ke arah dokter Freddy yang tampaknya sedang menghela napas lega. “Katakan, Dokter! Apa yang terjadi pada istri dan anak-anakku?!” hardik Leon masih dalam keadaan penuh amarah. Sebelum sang dokter menjawab, suara Arren samar terdengar di balik punggung perawat yang ada di sisi ranjang. “On .…” panggilnya lirih. “Le—on ….” ulangnya, kali ini dengan suara yang lebih keras. “Arren!” Leon menyibak perawat-perawat yang menutupi keberadaan sang istri. “Arren!” Leon menghampiri Arren dengan berlinang air mata. “Kau … sudah sadar?” tanyanya sambil mengecul lembut keni
Leon menggenggam tangan Arren dengan erat saat mereka bergegas menuju rumah sakit. Kecemasan dan kekhawatiran begitu dirasakannya. Entah mengapa, firasat Leon tidak enak. “Pak! Lebih cepat!” perintah Leon ketika melihat Arren semakin meringis kesakitan. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan tubuhnya. Napas Arren tersengal-sengal. “Baik, Tuan!” Sopir segera mempercepat laju mobil dan sebisa mungkin menyeimbangkan kendaraan yang kian kencang. Ia benar-benar khawatir bahwa sang nona muda menderita sakit yang luar biasa. “Arren, bertahanlah,” pinta Leon sambil terus menenangkan Arren dengan pelukan dan genggaman tangannya. “Argh, Leon .…” Arren menggeram seakan menahan sakit yang teramat sangat pada dirinya. Tidak hanya di perut, tapi juga di sekujur tubuhnya. “Kita hampir sampai!” Sopir itu memberi aba-aba. Leon begitu cemas. Ia mengangguk dan bersiap untuk membawa Arren ke IGD begitu mereka sampai di rumah sakit sana. ***Akhirnya, setelah berkendara selama beberapa waktu,
Lora berhasil dievakuasi dan semua orang begitu berbahagia. Namun, ada satu kejanggalan yang nampak padanya. Arren bahkan menyadarinya. “Le–leon ….” panggilnya, ketika Lora mendekat ke arahnya. Bau asing menyeruak dari tubuh Lora. Arren bahkan sangat mual dibuatnya. “Hoek!” Arren muntah. Ia tak kuasa menahan rasa mual yang begitu membuncah. “Sayang!” pekik Leon waspada. Apa yang terjadi pada istrinya? “Le–leon … bau Lora … sangat … tidak enak,” gumamnya ketika berada di pelukan suaminya. Leon langsung menangkap Arren yang hampir terjatuh tadi. Kini, istri tersayangnya itu sudah ada dalam buaian. “Aroma apa?” Leon mencoba menajamkan indera penciuman. Benar. Ia mencium sesuatu asing yang menyengat, seperti aroma timbal. “Lora, mendekat ke arahku!” Leon mencoba menghirup aroma itu lebih dalam. Hati Lora tentu saja menjadi tak karuan. Tetapi, gadis itu sudah menautkan diri pada William. Sekarang, Tuan Leon bukanlah pria yang merajai hatinya. “Tunggu sebentar.” Leon, dengan kekh
Pekikan Larens membuat jantung Nyonya Dolores hampir copot. “Oh, Tuhan!” Wanita paruh baya itu kemudian berlari mengikuti arah kaki Laurens yang sedang bergerak menuju ke area ladang. “Leon! Kita ikuti mereka!’ Seru Arren sambil ikut jejak Nyonya Dolores ke lokasi putrinya yang konon menderita kecelakaan. Leon pun menyusul Arren setelah memastikan rumah Nyonya Dolores tertutup aman. Sesampainya di ladang, alangkah terkejutnya mereka, Lora ada di sebuah lubang yang menganga lebar. Lubang itu, dengan tanah kasar di sekelilingnya, seperti lubang bekas galian. “Aduh!” rintih Lora kesakitan. Beberapa luka tampak di area lutut dan juga lengannya. “Ibu! Tolong aku!” pekiknya sambil berderai air mata. “Ya, Tuhan! Lora! Apa yang terjadi padamu?!” teriak Nyonya Dolores gemetar. “Laurens! Lakukan sesuatu pada adikmu!” perintahnya pada sang putra yang tampaknya juga kebingungan. “Aku hanya berlari, lalu … tiba-tiba aku terperosok ke dalam sini! Huhu!” Lora terus menangis sambil merintih kesa
“Lora!” panggil Arren sambil melambaikan tangan. Lora hanya menganggukkan kepala, tidak membalas lambaian tangan sang nona muda. Laurens merasa tak enak hati. Ia menyikut rusuk Lora dengan sedikit kasar. “Sopanlah, Lora!” hardiknya kepada sang adik. Lora hanya mendengkus dan berbalik arah. Ia kemudian berlari pergi untuk pulang ke rumah, tanpa pamit, tanpa mengatakan sepatah kata. Arren, yang berada cukup jauh dari mereka, tampak bingung. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Ada banyak warga desa yang sedang menanti untuk berbicara dengannya. “Jadi, bagaimana Anda akan memajukan desa kami, Nona Pemimpin?” tanya seorang pria paruh baya yang sepertinya sedang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Arren hanya tersenyum dan menjawab singkat. Ia tidak ingin mengobral janji manis. Arren pasti akan melakukan usaha terbaiknya. “Anda harus sabar menunggu namun giat berusaha. Ketika program desa akhirnya dijalankan, saya berharap, para warga benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.