Ayo kirimkan gem untuk cerita ini. Tinggalkan ulasan bintang 5 ya biar semangat nulisnya. Terima kasih, telah membaca☺
Kapal Leon yang bernama "Serenade," melaju dengan anggun di atas perairan biru.Diterjang angin laut yang sepoi-sepoi, kapal itu tampak tenang melintasi samudra yang bergelombang. Kapal Serenade telah menjadi rumah utama Leon untuk saat ini, sambil terus melacak jejak sang istri. Tanpa kehadiran Arren, hidup Leon menjadi hampa.Leonard Connor yang terbiasa memerintah dan berbuat sesukanya, kini luluh takluk dalam kehangatan Arren yang tidak lagi ada di sisinya.Leon menjadi hilang arah dan hanya memiliki satu tujuan hidup: menemukan kembali istrinya.Leon telah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk melacak jejak sang istri, dengan harapan dapat bertemu kembali dan melanjutkan hidup bersama untuk selamanya.***Di saat sedang merenungi hilangnya sang istri, Leon dikejutkan oleh nahkoda kapal yang tiba-tiba datang ke kabin kamarnya."Tuan! Ada kapal yang hampir tenggelam! Akankah kita menolong mereka?" teriak Nahkoda dengan nada yang penuh kecemasan. Sebuah kapal hancur yang teromb
Pusat kota Rossie saat ini berubah menjadi arena kerusuhan yang mencekam.Ribuan warga berkumpul di berbagai wilayah untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Kemarahan mereka semakin menjadi, ketika banyak rekan pendemo telah ditangkap polisi.Menurut rumor yang beredar, mereka bahkan disiksa di kantor-kantor kepolisian yang menangkap para demonstran."Bebaskan rekan kami!""Jangan kriminalisasi para demonstran!"Pekikan solidaritas terdengar, bersahut-sahutan dengan penututan turunnya Abigail Rossie dari kursi kepemimpinan. Suasana begitu tegang dan mencekam.Langit mendung yang tiba-tiba memunculkan guntur, seakan turut mendukung amarah para demonstran. Kucuran hujan tidak bisa menghalangi semangat para pengunjuk rasa. Mereka tetap berbaris dengan rapat, menghindari penyusupan para aparat. "Maju!" teriak salah seorang demonstran yang memerintahkan rekan-rekannya untuk merangsek ke dalam pagar berduri yang mengelilingi balai regional.Meski hujan, mereka tidak menyurutkan niat. Den
Setelah kerusuhan di pusat kota Rossie, situasi di wilayah tersebut semakin memanas. Aksi damai yang semula dilakukan oleh ribuan warga, kini berubah menjadi badai kekerasan yang melanda kota.Respon aparat terhadap kerusuhan ini tidak dapat disebutkan sebagai upaya penenangan. Sebaliknya, mereka mengirim sejumlah besar polisi anti-huru-hara dengan peralatan yang canggih untuk menekan keras para demonstran. Huru-hara terjadi di jalanan kota, serta kantor-kantor pemerintah, yang tersebar di seluruh wilayah Rossie. Polisi dan para demonstran terlibat dalam bentrokan brutal.Protes yang awalnya dimulai dengan tuntutan ketidaksetujuan terhadap Abigail Rossie berubah menjadi aksi destruktif yang merusak banyak aset publik dan bisnis. Toko-toko di pusat kota dirampok dan dibakar, pusat perbelanjaan yang sebelumnya ramai, kini menjadi reruntuhan hitam yang terbakar. Bangunan-bangunan pemerintah tidak dapat beroperasi akibat serangan para demonstran.Para warga yang sebelumnya bergabung seba
Di rumah sakit pusat kota, suasana kericuhan masih kental terasa. Tim medis terus sibuk berlalu-lalang, menerima pasien yang bolak-balik datang. Para korban ricuh, baik dari kalangan pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, menderita luka-luka serius yang membutuhkan pertolongan segera. Ruangan gawat darurat dipenuhi dengan pasien yang kesakitan karena luka tembak atau luka bakar akibat bentrokan dengan aparat keamanan. Dokter dan perawat berusaha semampu mereka untuk memberikan pertolongan pertama, meskipun tekanan yang mereka hadapi cukup besar. "Kami butuh lebih banyak obat penghilang rasa sakit!" teriak salah satu perawat kepada rekan-rekannya. Korban-korban tidak hanya datang dari warga sipil yang terluka, namun, pihak aparat juga banyak yang mengalami pendarahan akibat ledakan serta pukulan dari pendemo yang melakukan kekerasan. Mereka juga membutuhkan perawatan medis dengan cekatan. Beberapa di antara aparat itu bahkan menderita patah tulang dan luka memar akibat serangan be
Sementara itu, di tengah kerusuhan yang melanda pusat kota Rossie, Arren dan Nyonya Besar memulai perjalanan mereka menuju ke sana. Perjalanan ini cukup melelahkan dan berbahaya karena harus melalui jalan raya yang sebagian besar telah dikuasai oleh para demonstran yang marah. Ruas jalan kini penuh dengan berbagai kendaraan yang dibakar, serta puing-puing yang berserakan akibat bentrokan sebelumnya.Nyonya besar dan Arren berada dalam mobil yang dilengkapi dengan pelindung khusus dan pengawalan ketat. Arren duduk di samping sopir sementara Nyonya Besar Rossie duduk di kursi belakang. Kedua macan Rossie ini tampak serius dan tegang, mereka berdoa bahwa, apa yang mereka rencanakan akan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Hujan deras turun dari langit yang keabu-abuan, menambah suasana gelap dan suram di sekitar lokasi demontrasi. Gemuruh petasan dan jeritan para demonstran memenuhi udara, menyebabkan kecemasan yang melanda hati mereka. Meskipun hujan turun dengan deras, nyala api
Wanita perwakilan demonstran mengangguk sebagai tanda persetujuan atas pembicaraan yang lebih dalam. Arren merasa lega bahwa mereka bisa mencoba untuk mencapai kesepakatan tanpa kekerasan. Namun, masalah belum berakhir, dan mereka masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."Terima kasih atas kesempatan ini," kata Nyonya Besar Rossie dengan sopan. "Kami sangat ingin mendengarkan tuntutan dan aspirasi kalian. Rossie adalah rumah kita bersama, dan kita semua harus berusaha untuk memperbaikinya."Wanita perwakilan tersebut tampak muram. Sebersit kekhawatiran mulai merajai hatinya. "Rekan-rekan kami juga banyak yang terluka dalam kerusuhan ini. Kami ingin perubahan nyata. Kami ingin perubahan yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi semua warga Rossie."Arren memperhatikan tuntutan mereka dengan serius. "Kami mendengarkan kalian, dan kami akan mencoba untuk memahami tuntutan-tuntutan itu dengan baik. Tapi kami juga harus memastikan bahwa Rossie tetap berada dalam kerangka
“Dimana Lora?” Seorang wanita paruh baya tampak gelisah mencari-cari putrinya yang menghilang. Sejak kemarin, ia tidak ditemukan di manapun. Desa Tar, tempat tinggal mereka, juga sedang kacau akibat kerusuhan di kota. Beberapa pemuda dan bapak-bapak berbondong-bondong pergi ke sana, sedangkan para wanita ditugaskan menjaga anak-anak agar aman di rumah mereka. “Kami tidak melihatnya, Nyonya!” seru tetangga yang berada di seberang rumahnya. “Oh tidak! Jangan sampai dia nekad kabur ke kota dan mencari kakaknya! Oh Tuhan! Bencana apa lagi ini! Huhu… hu…” Wanita itu tergugu dalam kepdihan. Belum lama ini, anak lelakinya ditahan di penjara keluarga Rossie atas tuduhan provokasi. Kemarin, suaminya berdemo, dan saat ini, putrinya ikut menghilang. Ia benar-benar tidak tahan lagi. “Aku akan pergi ke kota sekarang!” “Nyonya! Tenanglah! Di sini lebih aman. Kau tidak lihat berita?” “Apa yang bisa kulakukan, Nina? Lihatlah! Anggota keluargaku tidak ada semua!” Ia tetap bersikeras. “Bagaiman
CRAK! "Aww!" Lora menjerit, karena duri mawar menggores lengannya kala ia sedang berjinjit diantara semak-semak. Ternyata, semak-semak yang ia lewati itu adalah kebun mawar, Lora tidak menyadarinya. "Da--rah?" Seketika Lora terhuyung, dan hampir jatuh. Suaranya yang berbenturan dengan peralatan kebersihan milik tukang kebun, membuat kegaduhan yang cukup mengagetkan seorang perawat. "Dik, kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Lora segera mundur meski dalam keadaan berjongkok. "Jangan tangkap aku!" teriaknya masih nyaring, meski dengan wajah pucat yang bahkan kucing yang sedang lewat pun mengetahui jika Lora sedang terpojok. "Kau menyelinap kemari?" tanya perawat itu penasaran. Sebenarnya, ia adalah seorang perawat jaga, dan saat ini, ia sedang berjalan-jalan di sekitar paviliun selatan. Nona muda sedang dioperasi, dan sudah cukup banyak tenaga medis yang menanganinya di dalam sana. Jadi, si perawat jaga hanya bersiaga saja, agar siap sedia jika tenaganya tiba-tiba diperlukan. "