Sudah lebih dari tiga puluh menit aku standby di dekat rumah Venus dan Leo. Aku menunggu Leo keluar dari rumahnya. Setelah hampir satu jam, barulah orang yang ditunggu-tunggu keluar dengan menggunakan mobilnya. Dengan sigap, aku membuntuti mobil Leo ke mana pun ia melaju. Aku tak boleh kehilangan jejak. Aku harus tahu ke mana saja dia pergi hari ini.
Setelah empat puluh lima menit di jalanan, mobil Leo memasuki sebuah kampus. Lalu mobilnya berhenti di area parkir khusus dosen. Sementara itu, aku memantaunya dari jarak tertentu. Begitu Leo turun dan meninggalkan parkiran, aku langsung memburu mobilnya untuk memasang alat pelacak.Kulihat, situasi di tempat parkir terbilang sepi. Kupastikan dengan hati-hati bahwa tak ada seorangpun yang lewat di dekat mobil yang kuincar. Setelah yakin, barulah aku beraksi. Aku menempelkan alat pelacak itu di bagian bawah mobil.“Jangan lupa foto plat nomor, mobil, dan tempat parkirnya juga!” perintah Bima di balik earphone yang tersemat di kupingku.Tanpa mengatakan apa-apa, aku langsung memotret tiga hal itu dengan kacamata pengintaiku. Setelah beres, aku kembali menunggu di dalam mobil.Beberapa jam kemudian, Leo kembali ke tempat parkir. Kulihat, ia berjalan sambil bicara di telepon. Pembicaraannya terkesan sangat serius. Tapi sayangnya, aku hanya bisa menangkap percakapan terakhir yang dilontarkan oleh Leo. “Iya, aku segera ke sana. Aku langsung jalan sekarang,” ucapnya. Setelah menutup telepon, Leo masuk ke mobil dan segera meninggalkan kampus itu. Dengan cepat, aku pun mengikutinya.Tak terlalu jauh dari kampus itu, mobil Leo memasuki sebuah cafe. Di sana, kulihat Leo disapa oleh seorang lelaki yang juga baru turun dari mobilnya yang kebetulan parkir sebelahan. Tak mau kehilangan momen, aku pun langsung memotretnya dari dalam mobil.“Siapa orang itu?” ucapku setelahnya.“Foto wajahnya! Jangan hanya tampak samping,” omel Bima setelah menerima foto-foto dariku.“Aku harus nunggu dia noleh sama aku dulu, baru bisa kufoto,” kataku. “Mereka masuk ke cafe itu,” terusku memberitahu.“Aku tahu. Aku juga melihatnya,” kata Bima.Tentu saja, apa yang kulihat lewat kacamata ini, pastinya bisa dilihat oleh Bima juga.“Apa aku harus ke dalam juga?”“Tentu. Pastiin denger percakapan mereka.”“Oke. Aku siap-siap dulu.” Aku pun lekas berganti penampilan.Kuganti pakaian yang kukenakan saat itu dengan motif yang bukan aku banget, yaitu motif bunga-bunga. Kupakai rambut palsu berwarna coklat terang, kuganti kacamata pengintai dengan model yang lebih culun, lalu kubawa ransel berisi buku bak anak kuliahan. Tak lupa, aku mengenakan topi untuk mengurangi pandangan orang terhadap wajahku. Setelah penyamaran siap, aku turun dari mobil dan melenggang masuk ke cafe itu.Setibanya di dalam, mataku yang jeli berhasil menemukan keberadaan Leo. Dia duduk di dekat jendela yang menghadap jalan. Untuk melancarkan aksi berikutnya, aku lantas memesan sesuatu di meja pemesanan, lalu mengambil tempat duduk persis di belakang kursi Leo. Tanpa buang waktu, aku mengeluarkan buku dari ransel untuk berakting sebagai kutu buku. Padahal aktivitasku yang sebenarnya adalah merekam percakapan mereka diam-diam.“Ini dokumen yang kamu minta. Dan ini surat gugatan cerainya,” kata seorang lelaki yang duduk bersama Leo.Gugatan cerai? Leo mau menceraikan Venus? Apa dia sungguh selingkuh? Pikiran-pikiran seperti itu terus bermunculan ketika aku mendengarnya.“Bagus. Terimakasih sudah bekerja keras!” balas Leo.Lalu aku mendengar sebuah amplop dibuka. Sepertinya, Leo sedang memeriksa dokumen yang diterimanya.“Kontrak kerjasama, bukti kepemilikan saham, surat pemindahan kekuasaan. Ini cukup untuk saat ini. Aku akan transfer sisanya ke rekeningmu,” kata Leo lagi.“Oke. Hubungi aku jika ada sesuatu yang dibutuhkan lagi,” balas orang itu. “Tapi, gimana sama rumah tangga kamu? Kamu betulan akan menceraikan Venus?” terusnya dengan pertanyaan.“Aku tidak menikahinya untuk membangun masa depan bersama. Aku menerima perjodohan itu untuk tujuan yang lebih besar,” jawab Leo.“Kurang ajar! Keterlaluan banget si Leo ini!” tiba-tiba Bima berkomentar di balik earphone. Emosinya tersulut ketika Leo mengucapkan kalimat itu. Aku sampai tersentak karena suaranya begitu keras. Begitu emosional.Sebenarnya, tak hanya Bima yang terkejut dengan pernyataan Leo barusan. Aku juga tak kalah terkejutnya. Aku sungguh tidak menyangka bahwa seorang Leo bisa berbuat demikian. Pernyataannya berhasil membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Leo rencanakan. Apa yang dia maksud dengan tujuan besar?Tak lama kemudian, pesananku datang. Lalu aku pura-pura menikmati makanan dan minuman yang kupesan. Tapi kupingku, masih aktif menyimak pembicaraan mereka.“Aku ngerti. Sebagai teman, aku cuma bisa mendukung. Aku harap, kamu gak akan menyesalinya suatu saat nanti.”“Gak akan. Aku gak akan pernah menyesali setiap keputusan yang kubuat,” kata Leo. Nada bicaranya terdengar begitu yakin, tapi juga terkesan mengandung dendam.“Ya udah, kalo gitu aku pergi sekarang. Penerbanganku satu jam lagi,” pamit temannya.“Aku juga. Aku harus pergi ke tempat lain,” kata Leo. Mereka pun akhirnya meninggalkan cafe itu.Sementara itu, aku termenung melihat punggung Leo yang kian menjauh dan menghilang di balik pintu cafe. Aku masih tak percaya dengan kata-kata yang Leo ucapkan. Bagaimana bisa seorang Leo tega melakukan hal itu kepada Venus?Aku masih ingat betul apa yang dikatakan Leo padaku malam itu. Malam di mana aku menerima undangan pernikahan yang ditunjukkan Bima. Malam di mana aku menemuinya untuk memohon supaya tidak melangsungkan pernikahan.Saat itu, untuk pertama kalinya aku berlutut di hadapan Leo. Aku memohon sambil menangis. Aku meminta Leo untuk membatalkan rencana pernikahannya dengan Venus. Tapi kali itu Leo tak bergeming. Dia tak merangkulku atau sekadar membuatku berhenti berlutut. Bahkan, dia mengatakan sesuatu dengan begitu yakin.“Mungkin sekarang aku memang belum mencintai Venus. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan mencintainya. Venus cantik, modis, dan juga pintar. Dia juga baik. Gak akan sulit bagi laki-laki mana pun buat jatuh cinta sama dia,” kata Leo saat itu. Ia sungguh bersikeras untuk menikahi Venus. Sampai akhirnya Bima datang untuk menjemputku pulang. Bima menghajar Leo karena ucapannya yang keterlaluan padaku.Jadi, dari apa yang dikatakannya malam itu, dengan pernyataan yang diungkapkannya barusan, itu sangatlah tidak sinkron. Aku baru tahu, kalau malam itu, ternyata Leo hanya berakting saja. Aku juga baru tahu, kalau Leo seambisius itu. Dia sampai berani mempermainkan hati dan perasaan orang lain demi ambisinya itu.“Hey, Sagi! Ngapain masih di situ? Ayo jalan lagi!” omelan Bima terdengar lagi di earphone. Membuatku tersadar dari pikiran tentang Leo.“Iya, bawel! Aku pergi sekarang,” kataku yang langsung membereskan barang bawaanku.***Mobil Leo sudah tak ada di parkiran. Tapi aku tak kehilangan jejaknya karena sudah memasang alat pelacak di mobil Leo. Aku tinggal tanya saja kepada Bima untuk tahu posisi mobil Leo saat ini.“Ke mana Leo pergi?” tanyaku.“Arah jam tiga dari cafe,” jawab Leo.Aku lantas bergegas untuk mengejarnya.“Seberapa jauh posisinya dariku?” tanyaku sambil mengemudi.“Hanya 10 km.”“Oke. Aku akan tambah kecepatan.”Aku pun menginjak gas supaya cepat menemukan mobil Leo.Mobil Leo sudah nampak di ujung mataku. Setelah melewati persimpangan, mobil itu berbelok ke sebuah hotel. Aku pun mengikutinya. Beruntung, aku sempat memfotonya saat memasuki area itu.“Kali ini kamu gak usah masuk,” perintah Bima begitu aku beres parkir.Mendengar itu, aku tentu protes. “Kenapa gak boleh?”“Kamu tunggu di mobil saja!”“Apa? Ya gak bisa, dong! Aku harus tau dia ketemu siapa.”“Tunggu aja! Aku yakin Leo hanya sebentar,” paksa Bima.Namun, nampaknya Bima keliru. Leo tak juga keluar dari hotel itu. Bahkan, sampai langit gelap pun, Leo tak kunjung keluar. Aku jadi penasaran, apa yang Leo lakukan di dalam hotel? Ada banyak ruangan di sana. Tapi aku tak bisa memastikan Leo ada di ruangan seperti apa. Aku juga tak bisa memastikan dia bertemu orang seperti apa.Karena rasa penasaranku sudah mencapai puncaknya, aku pun memutuskan untuk mencari tahu ke dalam. Setidaknya aku harus bertanya kepada resepsionis, apakah ada reservasi atas nama Leo atau tidak. Namun, belum sampai di lobby hotel, aku melihat Leo keluar bersama seorang wanita yang menggandeng tangannya. Refleks, aku langsung sembunyi di balik mobil orang. Mataku mengikuti pergerakan Leo dan wanita itu hingga menuju mobilnya.Apa yang kulihat, membuat kakiku mendadak lemas. Kini aku mulai berpikir macam-macam tentang Leo. Aku bahkan memikirkan kemungkinan apa yang dilakukan Leo bersama wanita itu selama di dalam hotel. Aku sampai lupa untuk memotret momen itu sebagai bukti aktivitas Leo.Siapa sebenarnya wanita itu? Kenapa Leo tampak sangat akrab dengannya? Apakah wanita itu yang dicurigai oleh Venus? Mungkinkah Leo benar-benar selingkuh?(*)Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang