Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun.
Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang Leo rencanakan. Itu artinya, dia cukup dekat dengan Leo.Sejujurnya lagi, hatiku terluka melihat kemesraan yang ditunjukkan Leo dan wanita itu. Aku patah hati dan kecewa berat pada tiap adegan yang kulihat dengan mataku sendiri. Aku tahu ini konyol. Tapi aku sungguh tak tahu, mengapa hatiku terluka lagi. Rasanya seperti ada bagian hati yang teriris, menimbulkan rasa perih, hingga membuatku ingin menangis. Tanpa sadar, perasaan sedih itu menjelma bulir bening yang keluar dari sudut mata. Dan aku terisak dalam diam.Entah sudah berapa lama, kuhabiskan waktu untuk menangis sendirian di dalam mobil. Saat itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Orang itu mengetuk kaca mobil, memintaku untuk membukanya. Namun, aku memilih tak bergeming. Aku tetap menunduk dan tak menunjukkan wajahku yang mungkin saja sembab. Aku pura-pura tidur.Beberapa saat kemudian, terdengar orang itu menelepon seseorang.“Halo, Bos? Mbak Sagi ...,” ucap orang itu melaporkan situasi. Ucapannya menggantung seolah ragu dengan apa yang akan disampaikan. Mendengar namaku disebut, aku jadi penasaran. Aku mengangkat wajah untuk sedikit mengintip. Beruntung, orang itu dalam posisi membelakangiku.Jika dilihat, perawakan orang itu tampak seperti Kevin. Aku lalu mengenali jaket kulit hitam yang dipakainya. Benar, itu adalah Kevin. Dia pasti datang karena Bima yang mengutusnya.“Mbak Sagi ada di dalam mobil,” Kevin melanjutkan laporannya. “Lagi nunduk di setir. Kayaknya ketiduran deh. Ini pintunya gak dibuka juga dari tadi,” terusnya. Lalu ia mendengarkan lawan bicaranya.Namun, sebelum Kevin bertindak lebih jauh, aku memutuskan untuk keluar dari mobil saat itu juga.Kubuka pintu mobil tanpa aba-aba, pemberitahuan, kode atau semacamnya. Dengan sengaja, kubuka pintu itu hingga menyentuh punggung Kevin. Kevin pun mengaduh. Ia kaget sekaligus sakit, lalu berbalik ke arahku dan mengabaikan teleponnya dengan Bima.“Mbak Sagi. Jangan ditabrak dong! Sakit tau!” omel Kevin seketika.“Maaf!” ucapku dengan raut wajah datar.“Yang tulus napa minta maafnya ...,” omel Kevin lagi.“Aaah, gak penting!” komentarku. “Kamu ke sini disuruh, kan? Nih, bawa pulang mobilnya ke kantor!” kataku lagi, sembari melemparkan kunci padanya.Dengan sigap, Kevin menangkap kunci tersebut. Ia lalu mengemukakan keheranannya. “Loh? Mbak Sagi mau ke mana?” tanya Kevin lagi.“Aku mau pulang, naik kereta bawah tanah! Bye!” jawabku tegas, sambil lantas pergi meninggalkan Kevin dan mobil Bima.“Kereta bawah tanah? Di Indonesia belum ada kereta macam itu,” komentar Kevin setengah berteriak. “Mbak Sagi! Mbak! Pulang bareng, Mbak!” serunya terus-menerus. Tapi aku tak menoleh dan memilih untuk mengabaikan. Aku terus berjalan hingga suara Kevin tak terdengar lagi.Di perjalanan pulang, aku mampir ke suatu tempat. Aku mampir ke kedai ramen langgananku yang tak jauh dari apartemen. Aku perlu mengisi energi setelah seharian mengikuti Leo dan makan seadanya. Itu tujuan awalku. Tapi sesampainya di sana, nafsu makanku mendadak hilang.Bima. Ya, dia tiba-tiba muncul dan berdiri di depan sana. Matanya mencari tempat kosong yang bisa ia duduki. Spontan, aku menutupi wajahku dengan buku menu. Aku tak mau Bima melihatku, apalagi duduk satu meja. Aku belum siap untuk bertemu bahkan berbincang dengannya.Namun, pelayan datang menyajikan pesananku. Membuatku terpaksa berhenti menyembunyikan wajahku. Keberadaanku pun ketahuan oleh Bima. Bima lantas menghampiri, duduk di depanku, dan memesan sesuatu kepada pelayan itu. “Saya pesan menu yang sama satu,” ucapnya kemudian. Membuatku otomatis berkata dalam hati. “Kenapa harus duduk di sini, sih?”“Akhirnya aku menemukanmu,” ucap Bima begitu pelayan itu pergi. Dia berkata sambil memasang raut wajah senang. Perkataannya seolah menunjukkan kalau ia sedang mencariku.Berbanding terbalik dengan Bima, aku justru tak senang melihatnya datang. “Kenapa kamu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi.“Karena aku lapar,” jawab Bima spontan.Jawaban Bima terdengar jujur, tapi aku tak suka itu. Aku sedang ingin sendirian. Tapi dia muncul dan mengganggu waktu makanku. Aku pun mengabaikannya dan fokus pada makananku saja. Aku tak bicara barang sepatah katapun lagi.Namun, Bima tentu tak tinggal diam. Ia melontarkan pertanyaan untuk mencairkan suasana yang sedingin udara luar. “Gimana perasaan kamu?” tanyanya kemudian.Sontak aku melihatnya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ngomongin apa?” tanyaku sembari menyumpit ramen, lalu meniupnya supaya tidak panas. Aku pura-pura tak paham dengan arah pertanyaan Bima.Bukannya menjawab pertanyaanku, Bima malah mendekatkan wajahnya padaku. Ia mengamati wajahku dari jarak yang lebih dekat. “Mata kamu merah. Abis nangis ya?” tanyanya.Mendapat perlakuan seperti itu, aku tentu jadi tidak nyaman. “Siapa yang nangis? Aku ngantuk,” jawabku asal. Menyangkal tebakan Bima yang terbukti benar. Lalu, aku menyuap makananku.“Kamu bohong,” kata Bima lagi.“Terserah!” responku singkat. Aku tak begitu peduli dengan apa yang Bima bahas. Sampai akhirnya, Bima hanya memandangiku dalam diam. Ia menontonku makan sembari menunggu makanannya datang.Lagi-lagi, aku merasa tak nyaman. Aku merasa risih karena sikap Bima yang seperti itu. Aku pun terpaksa mengatakan sesuatu. “Apa? Kenapa lihat aku kayak gitu?” tanyaku.“Apa kamu mau berhenti?” Bima malah bertanya balik.“Berhenti apa?”“Memata-matai Leo.”Aku terdiam. Aku berpikir sejenak sebelum merespon perkataan Bima. Lalu, pelayan datang mengantar ramen pesanan Bima. Setelah pelayan itu pergi, barulah aku berkata. “Sudah terlanjur masuk kolam, aku harus berenang sekalian,” kataku.“Kalo gitu, yang tadi jangan diulangi. Itu gak profesional,” kata Bima sambil mengaduk ramen yang masih panas. Bima menyinggung soal putus kontak yang kulakukan di hotel tadi.“Aku gak bermaksud gitu,” responku membela diri.“Terus?” tanyanya meminta penjelasan.“Udah kubilang aku ngantuk!” jelasku. Aku bersikukuh pada pernyataanku yang mungkin terasa meragukan bagi Bima. “Aku juga perlu istirahat. Soal Leo bisa dilanjutkan besok,” terusku agak ketus.“Tapi haruskah berhenti di momen yang paling penting?” ucap Bima kala itu. Membuat kesabaranku makin menipis dan ingin marah saat itu juga. Namun, alih-alih meluapkan emosi di tempat orang, aku lebih memilih diam dan mengabaikan pertanyaan itu. Aku menyuap makananku lebih cepat, tidak menghabiskannya, lalu pergi meninggalkan Bima. Aku menyimpan kekesalanku untuk kulampiaskan di tempat lain.(*)“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang