“Kalian lagi berantem ya?”
Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan.“Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi.Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya.“Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku.Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku.“Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi.Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku.“Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita.“Oh, syukurlah kalo gitu. Terus, kenapa?”“Masalahnya adalah ... aku lapar sekarang. Temenin aku makan dulu sebelum pulang. Oke, Kak?” ucapku beralasan. Padahal aku baru selesai makan.“Oh, gitu. Aku kira apa,” kata Venus sambil tersenyum lega.Kami pun mencari tempat makan terdekat. Lalu pilihanku berhenti pada sebuah tenda pedagang kaki lima yang menjual nasi goreng dengan pengunjung cukup penuh. Aku sengaja memilih tempat itu untuk mengulur waktu. Sementara itu, aku langsung menghubungi Bima lewat pesan instan. Aku harap, Bima bisa diajak kerjasama untuk malam ini. Karena tak ada pilihan lain, selain harus berakting.Bim, kamu di mana? Udah nyampe apartemen belum?Aku mengirim pesan pertama kepada Bima. Tapi dia tak membalasku. Bahkan, dibaca saja tidak.Bim, jawab dong! Aku nanya serius nih! Kamu udah nyampe apa belum?Aku lalu mengirim pesan kedua. Tapi itu juga tidak dibalasnya. Pesan ketiga pun aku kirimkan.Kak Venus mau nginap di tempat kita. Kalo udah nyampe, tolong kondisikan rumah! Aku lagi mengulur waktu.Tak perlu menunggu lama, balasan pesan itu masuk ke ponselku.Kamu lagi sama Venus? Kok bisa? Balas Bima yang penasaran.Itu gak penting. Yang penting sekarang, beresin dulu tempat tinggal kita. Cepetan ya! Balasku memberi perintah.Tapi Bima masih penasaran. Sehingga ia mengirim pesan lagi ke ponselku.Kamu gak lagi becanda, kan?Lalu dengan cepat, aku membalas pesan itu. Ngapain aku becanda? Aku udah pusing soal Leo. Ngapain harus becanda soal Venus? Udah buruan! Pokoknya, jangan sampai terlihat mencurigakan! Pesanku.***“Ayo, Kak! Masuk! Anggap aja rumah sendiri.”Aku mempersilakan Venus untuk masuk begitu sampai di apartemen. Jujur, ini bukan pertama kalinya Venus datang ke tempatku. Sebelumnya dia pernah ke sini bersama Leo saat aku dan Bima baru menikah. Tapi, ini adalah pertama kalinya dia menginap di sini.Begitu aku menutup pintu, tahu-tahu Bima datang menyambutku dengan akting manisnya yang ternyata sudah dimulai. “Sayang, kok pulangnya malam banget?” sambutnya seraya menghampiri.Mendengar kalimat itu, tubuhku otomatis membeku. Aku mendadak bingung harus merespon apa. Bukan apa-apa, aku hanya tidak menduga bahwa akting Bima akan seberlebihan itu. Pakai acara panggil sayang pula. Apakah dia sedang berusaha membuat Venus cemburu?“Eh, ada Kak Venus. Halo Kak, gimana kabarnya? Sehat?” sambut Bima kemudian kepada Venus. Ia pura-pura baru menyadari keberadaan Venus di tempat kami.“Aku baik. Maaf loh, aku datang malam-malam dan gak bawa apa-apa,” kata Venus sambil malu-malu.“Gak apa-apa, Kak. Santai. Kak Venus datang ke sini aja kita udah seneng,” kata Bima sembari melirik kepadaku. Aku yang diliriknya, tentu menunjukkan rasa tak sukaku.“Ayo Kak, kita ngobrol sambil duduk!” ajak Bima kemudian. Mereka pun menuju sofa.Sementara Venus dan Bima mengobrol, aku lebih memilih untuk bersih-bersih diri, lalu menyiapkan keperluan tidur untuk kakakku. Lagi pula, aku malas berperan sebagai obat nyamuk di antara mereka berdua. Biarkan saja mereka bernostalgia membicarakan hal-hal sesukanya. Lagi pula, Venus sedang butuh dihibur. Sedangkan Bima, ah sudahlah, aku tak peduli dia sedang memodusi Venus atau tidak.Sesampainya di kamar, aku menyadari bahwa kamarku telah berubah. Seketika aku menyadari kalau kamar tersebut sudah dipersiapkan Bima untuk Venus menginap. Itu artinya, malam ini aku harus tidur di kamar Bima.Aku lalu menuju lemari. Aku hendak mengambil baju ganti untuk Venus. Namun, ternyata lemarinya terkunci, dan kunci tersebut tak ada di kamarku. Seketika aku paham bahwa kuncinya pasti disembunyikan Bima. Aku lalu bergegas menuju kamar Bima.Sesampainya di kamar Bima, aku terkejut karena barang-barangku diletakkan sembarang. Buku-buku kesayangan dan peralatan make-up bercampur menjadi satu. Tumpang tindih di atas kasur. Melihat itu, aku sungguh ingin teriak memanggil Bima untuk memarahinya. Namun, amarah itu terpaksa kuredam karena ingat sedang ada Venus. Aku pun bergegas mencari kunci lemariku yang sudah pasti ada di tumpukan itu juga. Setelah kutemukan, aku kembali ke kamarku untuk menyiapkan pakaian ganti.“Kak, udah jam dua belas lewat nih. Tidur, yuk!” ajakku kepada Venus usai menyiapkan keperluan tidur. Venus yang tengah berbincang, lantas menyahutku dari tempat duduknya. “Oh, oke. Kalau gitu, aku ikut ke kamar mandi dulu,” katanya seraya bangkit dari sofa.Seketika, terlihat wajah Bima berubah tak senang. Bima sedang asyik berbincang dengan Venus. Ia bahkan tertawa tak jelas entah membahas apa. Tapi aku merusak semuanya. Aku menghentikan momen bahagia Bima.Sementara Venus di kamar mandi, aku lantas menyerang Bima. Aku memukul lengan Bima sambil mengomel. “Itu barangku kenapa ditaruh sembarangan?” ucapku pelan sambil menahan kesal. “Kalau rusak gimana? Kalau ada yang hilang gimana?” terusku sambil memukul lagi.“Sembarangan gimana? Semuanya aku taruh di kasur,” kata Bima sambil menghentikan pukulanku. Sekarang, sebelah tanganku ada dalam cengkeramannya.“Ya tapi jangan dicampur juga nyimpennya!” protesku. “Pokoknya, aku gak mau tau ya! Kamu ... beresin barang aku!”Mendengar itu, Bima tentu protes. “Enak aja! Ya gak mau lah. Barang, barang kamu. Kenapa harus aku yang beresin? Udah bagus barangnya aku pindahin!” kata Bima.“Siapa suruh dipindahin? Aku kan gak minta.”“Kan kamu yang suruh kondisikan rumah?”“Ya tapi gak harus sampe mindahin barang-barang yang itu juga kan?” ucapku gemas.“Asal kamu tau ya, kamar kamu itu ...,” ucapan Bima tak selesai. Ia tiba-tiba mengubah dialognya menjadi tidak nyambung. “Iya, Sayang! Aku minta maaf. Tangan kamu pegel? Iya, nanti aku pijat,” ucapnya sambil mengelus tanganku yang tadinya dicengkeram. Membuatku heran dan berpikir pasti ada sesuatu. Ternyata benar. Karena setelah itu, Bima beralih bicara kepada Venus.“Sudah selesai, Kak? Kamarnya sebelah sana, ya!” kata Bima sambil menunjuk ke arah kamarku.Aku tentu menoleh, ikut melihat kepada Venus.“Oh iya. Makasih!” balas Venus.“Selamat istirahat ya, Kak!” ucap Bima lagi kepada Venus. “Yuk, Sayang, kita ke kamar!” lanjutnya kepadaku, sembari merangkul, berjalan menuju kamar. Mendadak romantis untuk akting yang manis.Namun, begitu pintu kamar Bima dibuka, aku cepat-cepat melepaskan diri dari rangkulannya. “Malam ini aku mau tidur sama Kak Venus!” kataku kemudian. Aku lantas menarik tangan Venus menuju kamar. “Yuk, Kak!” ajakku.Tepat saat aku hendak menutup pintu kamar, Bima tiba-tiba merajuk. “Sayang, masa kamu mau tidur sama Kak Venus?” tanyanya sambil menahan pintu.“Mumpung Kak Venus menginap. Aku udah lama gak tidur bareng. Boleh, ya? Please!” jawabku sambil memelas.“Kalau kamu tidur bareng Kak Venus, nanti aku yang gak bisa tidur,” bujuk Bima manja. “Kamu kan tau, aku susah tidur kalo tanpa kamu,” terusnya gombal. Ada saja akalnya Bima supaya aku tidak lepas dari tugas membereskan barang. Bima sungguh keterlaluan.Mendengar itu, aku cuma menghela napas. Aku pasrah kalau saat itu diriku akan kalah. Ditambah lagi, Venus menimpali bujukan Bima dan seakan mendukungnya. “Udah, sana! Lain kali kita bisa tidur bareng,” katanya.Kalau sudah begitu, maka tak ada pilihan lain bagiku selain harus mengalah sekaligus menurut. Aku terpaksa tidur sekamar dengan Bima. Tentunya, setelah membereskan barang-barangku terlebih dahulu.Keesokan harinya, dering ponsel Bima membangunkanku pada jam yang masih terlalu pagi. Begitu membuka mata, aku dibuat terkejut karena Bima tiba-tiba sudah berbaring di sampingku. Sontak, aku pun teriak. Namun, teriakanku berhenti karena tangan Bima membekap mulutku.“Ada Venus di sini, pikir dulu sebelum berteriak!” ucap Bima mengingatkan.(*)Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
“Kerja bagus!” Aku memberikan laporan serta berbagai bukti yang berhasil kukumpulkan sesuai permintaan klien. Termasuk soal data di flashdisk itu. Aku menyerahkan semuanya kepada Bima.“Ini gak mudah. Tapi cukup menarik karena menegangkan. Lain kali, beri aku tugas yang lebih menantang,” kataku.Bima pun tersenyum. “Tunggu saja! Tugas tersebut akan segera datang,” katanya. “Duduklah!” pintanya sekali lagi.Lantas, aku pun duduk di sofa. Disusul Bima yang membawa laptop untuk menunjukkan sesuatu.“Cepat, cepat! Aku sibuk sekarang!” ucapku tidak sabar. Aku ingin mempercepat pertemuan kali itu. Tapi Bima malah meminta lain. “Lupakan sejenak tentang studio kayu! Aku punya kasus spesial yang harus dibahas,” katanya membuatku otomatis mengerutkan kening. “Kasus spesial? Sekarang?” tanyaku.“Iya, sekarang. Ini penting!” kata Bima lagi. Ia meyakinkan bahwa apa yang akan disampaikannya sungguhan penting.Sedikit menimbang, aku pun akhirnya merelakan sebagian waktuku untuk mendengarkan penje
“Sagi?” ucap Venus saat melihatku muncul di balik pintu yang ia buka, sesaat setelah aku menekan bel.Bagaimanapun, apa yang Bima sampaikan telah membuatku terganggu. Berita tidak menyenangkan itu sungguh mengejutkan dan telah mengusik kedamaian hidupku.Saat itu, aku mengutarakan niat untuk memperkenalkan Leo pada acara penting keluarga. Tapi bukannya mendapat respon positif, Leo malah memutuskan hubungan dengan alasan mau dijodohkan. Setelah putus, ternyata kami dipertemukan kembali dalam sebuah pertemuan keluarga. Itu adalah acara pertunangan Venus. Dan aku sangat terkejut ketika tahu bahwa calon pasangannya adalah Leo.Aku sudah lama tak mengingatnya. Aku sudah berdamai dengan takdir perpisahan yang berlalu nyaris satu tahun silam. Aku tersenyum. Menunjukkan ekspresiku yang tampak baik-baik saja. Lalu Venus memelukku spontan. Memberi pelukan rindu karena lama tak bertemu.“Ayo masuk!” ajak Venus kemudian. Mempersilakan aku untuk masuk ke rumahnya. “Harusnya kabarin dulu kalo mau k
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang