“Sagi?” ucap Venus saat melihatku muncul di balik pintu yang ia buka, sesaat setelah aku menekan bel.
Bagaimanapun, apa yang Bima sampaikan telah membuatku terganggu. Berita tidak menyenangkan itu sungguh mengejutkan dan telah mengusik kedamaian hidupku.Saat itu, aku mengutarakan niat untuk memperkenalkan Leo pada acara penting keluarga. Tapi bukannya mendapat respon positif, Leo malah memutuskan hubungan dengan alasan mau dijodohkan. Setelah putus, ternyata kami dipertemukan kembali dalam sebuah pertemuan keluarga. Itu adalah acara pertunangan Venus. Dan aku sangat terkejut ketika tahu bahwa calon pasangannya adalah Leo.Aku sudah lama tak mengingatnya. Aku sudah berdamai dengan takdir perpisahan yang berlalu nyaris satu tahun silam. Aku tersenyum. Menunjukkan ekspresiku yang tampak baik-baik saja. Lalu Venus memelukku spontan. Memberi pelukan rindu karena lama tak bertemu.“Ayo masuk!” ajak Venus kemudian. Mempersilakan aku untuk masuk ke rumahnya. “Harusnya kabarin dulu kalo mau ke sini. Lihat, tuh! Rumah Kakak masih berantakan. Belum sempat beres-beres,” terus Venus sembari memungut beberapa helai baju yang berserakan di sofa.Jujur, aku sedikit aneh ketika melihat penampakan rumah Venus dan Leo. Aku tahu betul bagaimana cara hidup dua orang ini. Mereka adalah tipe orang yang sangat menjaga kerapian dan kebersihan tempat tinggal. Tapi kali ini, penampakan dalam rumah mereka sungguh tak enak dipandang. Pakaian, selimut, tas, hingga buku-buku terletak di sembarang tempat. Bahkan piring kotor juga nampak di sana. Persis seperti kapal pecah. Membuat sebuah pertanyaan otomatis terlintas di ruang pikirku. Sejak kapan kakakku jadi seberantakan ini?“Gak apa-apa. Aku cuma mampir, kok. Kebetulan tadi aku habis nganter pesanan furnitur di dekat sini. Jadi sekalian lewat,” kataku mengarang cerita. Padahal, aku datang untuk memastikan sesuatu.“Oh, gitu. Ya udah, tunggu bentar ya! Kakak beresin ini dulu.” Lantas, dengan cepat ia memungut barang-barangnya yang tak beraturan. Melenyapkannya dari ruang tamu dalam sekejap.“Oke. Santai aja, Kak!” kataku.Sambil menunggu Venus membereskan barang-barangnya, aku melihat-lihat beberapa foto yang dipajang di ruang itu. Lalu mataku terhenti pada sebuah foto yang terpampang besar di salah satu dinding. Itu adalah foto pernikahan Venus dan Leo, beserta keluarga besar. Aku lantas memandanginya lekat-lekat. Dan memoriku kembali ke beberapa bulan yang lalu.Saat itu, tepat di hari pernikahan Leo dan Venus, aku melarikan diri usai menemui Venus di kamarnya. Melihat Venus yang nampak cantik dalam balutan gaun pengantinnya, membuat perasaanku campur aduk. Aku sedih, kecewa, dan tidak siap dengan apa yang akan kulihat sebentar lagi. Aku tidak bisa menjadi saksi pernikahan mereka. Aku tidak berani melukai perasaanku lebih dalam lagi. Jadi untuk menghindari semua itu, aku memilih kabur dari rumah dan menghilang selama berhari-hari dengan segala drama yang aku ciptakan setelahnya. Aku menyendiri di suatu tempat, sambil meratapi perpisahanku dengan Leo. Meratapi kenyataan yang tak sesuai keinginan.“Aku kecewa sama kamu!” tiba-tiba suara Venus membuyarkan lamunanku. Ucapannya mengembalikan fokusku pada waktu yang sebenarnya. Waktu saat ini.Aku menoleh. Aku melihat Venus yang kini ikut memandangi foto berukuran besar itu. “Karena aku gak ada di foto pernikahan kalian?” tebakku kemudian.Venus membenarkan lewat anggukan. “Semua orang kecewa sama kamu. Kamu lebih mementingkan pekerjaan di hari spesial kakakmu satu-satunya,” lanjutnya bercerita.Aku lalu menghela napas mendengar pernyataan itu.“Sebenarnya, akulah yang paling kecewa di hari itu,” ucapku yang merasa disalahkan.“Bukan kamu, tapi aku. Itu baru benar,” ralat Venus pada apa yang kuucapkan.“Enggak!” sangkalku tegas. “Aku orangnya. Aku yang paling terluka di waktu itu,” kataku yang serasa diberi celah untuk mengungkapkan isi hati yang terpendam lama.Dengan raut wajah heran, Venus pun mempertanyakan. “Terluka? Maksud kamu?”Sebelum menjawab pertanyaan Venus, aku mengambil posisi nyaman untuk duduk bercerita. Aku duduk di sofa, lalu mengungkapkan fakta yang terjadi di hari pernikahan itu.“Sebenarnya hari itu, aku enggak pergi menemui investor. Hari itu ... aku dapat kabar buruk kalau orang yang kusayangi akan menikahi gadis lain. Jadi aku terpaksa pergi,” ungkapku.“Kamu ... punya pacar?” ucap Venus yang seolah tak percaya dengan pengakuanku.Aku mengangguk.“Kenapa gak pernah bilang?”“Kami backstreet karena Ibu gak setuju,” kataku. “Tapi setelahnya, ia malah mengkhianatiku. Meninggalkanku untuk perempuan baru.”“Jadi, kamu pergi ke sana untuk menggagalkan pernikahannya?”“Menurut Kakak begitu?”Venus tak menjawab. Ia hanya menatapku, menunggu kelanjutan cerita dariku. Lalu aku melanjutkan cerita itu.“Aku gak punya keberanian untuk menggagalkan pernikahan mereka. Sebelum hari penting itu tiba, aku sudah pernah memohon padanya. Tapi dia gak mau kembali dan bersikeras untuk tetap menikahi perempuan itu.”“Kenapa begitu? Apa mungkin, karena calonnya hamil di luar nikah?” Venus menerka-nerka. Lalu dengan spontan, aku menanyakan hal yang sama. “Apa Kakak hamil sebelum menikah?”“Apa?” Venus terkejut dengan pertanyaan itu. “Kenapa tanya begitu?” Ia tentu bingung dan heran karena mendapat pertanyaan semacam itu.“Maksudku, dia bukan orang seperti itu. Dia baik dan sangat perhatian. Tapi kelemahannya, dia terlalu penurut. Dia tidak bisa menolak permintaan keluarganya. Itu bagian yang gak aku suka dari dirinya,” jelasku.“Jadi, ke mana kamu pergi waktu itu?”“Aku pergi untuk menenangkan diri. Aku ke suatu tempat, di mana gak ada seorang pun yang bisa menemukan aku. Tapi sialnya, Bima malah menemukanku dan membujukku untuk pulang.”“Bima memang paling tahu tentang kamu,” komentar Venus yang entah bermaksud apa. “Terus, tentang penculikan itu?” tanyanya kemudian. Ia mempertanyakan kebohonganku yang lainnya.“Aku maksa Bima buat ngarang cerita. Lalu aku sembunyi di apartemennya. Aku perlu waktu untuk sendirian,” terangku lagi. “Aku ... tidak bisa pura-pura bahagia dengan ikut merayakan momen pernikahanmu. Aku gak bisa terlihat baik-baik saja di tengah kebahagiaan keluarga besar. Jadi, aku minta maaf untuk itu. Aku sungguh minta maaf karena telah menciptakan drama kekanakan yang membuat semua orang khawatir, sekaligus kecewa. Maafin aku!” ucapku seraya tertunduk. Menyadari kesalahan bahwa di hari itu aku telah menimbulkan kekacauan.Venus tak lagi merespon. Ia mungkin berpikir banyak hal tentang diriku. Dalam pikirannya, mungkin Venus menilaiku ini dan itu. Atau mungkin, ia memang kehabisan kata untuk menanggapi fakta yang kuceritakan.“Jadi Kakak, aku mohon berbahagialah dengan pernikahanmu! Jangan biarkan pengorbanan-pengorbanan yang tidak kamu ketahui menjadi sia-sia begitu saja. Berbahagialah dengan pasanganmu!” kataku.Mendengar itu, Venus tentu tidak mengerti dengan apa yang kumaksudkan. “Maksud kamu apa? Kok ngomongnya gitu?”“Maksud aku, di luar sana ada banyak orang yang tidak seberuntung Kakak. Ada orang-orang yang terhalang restu, bahkan mengalami pengkhianatan. Pernikahan Kakak yang berjalan mulus sejak awal, tidak semua orang bisa mendapatkannya.”“Kamu bicara seolah pernikahanku sedang tidak baik-baik saja,” responnya datar.“Bukankah memang begitu?”(*)“Ke mana aja kamu? Aku khawatir karena kamu gak pulang-pulang.”Tak ada yang lebih mengejutkan, ketika seseorang yang ada dalam pikiran tiba-tiba muncul di depan mata. Seperti malam ini, saat aku hendak membuka pintu apartemen, tiba-tiba seseorang membukakan pintu dari dalam. Begitu pintu terbuka, mataku terpana karena yang muncul di depanku adalah Leo. Sontak aku terpaku dan tanpa bisa menolak, Leo tiba-tiba memelukku.Sebentar. Sampai di sini, sepertinya ada sesuatu yang keliru. Aku melihat Leo membukakan pintu. Dia bahkan memelukku sekarang. Tapi, mengapa suaranya berbeda? Itu lebih terdengar seperti suara Bima. Menyadari bahwa itu adalah Bima, aku langsung meninju perutnya hingga ia tersungkur.Bima mengaduh. Ia lalu protes karena aku tiba-tiba memukulnya. “Kenapa aku ditinju?”“Aku kesal sama kamu!” jawabku yang lantas menutup pintu. Lalu aku melewatinya menuju sofa.“Ya tapi gak harus mukul perut juga. Kalo gini namanya KDRT,” komentarnya seketika.“Ini bukan KDRT. Ini bentuk p
Sudah lebih dari tiga puluh menit aku standby di dekat rumah Venus dan Leo. Aku menunggu Leo keluar dari rumahnya. Setelah hampir satu jam, barulah orang yang ditunggu-tunggu keluar dengan menggunakan mobilnya. Dengan sigap, aku membuntuti mobil Leo ke mana pun ia melaju. Aku tak boleh kehilangan jejak. Aku harus tahu ke mana saja dia pergi hari ini. Setelah empat puluh lima menit di jalanan, mobil Leo memasuki sebuah kampus. Lalu mobilnya berhenti di area parkir khusus dosen. Sementara itu, aku memantaunya dari jarak tertentu. Begitu Leo turun dan meninggalkan parkiran, aku langsung memburu mobilnya untuk memasang alat pelacak. Kulihat, situasi di tempat parkir terbilang sepi. Kupastikan dengan hati-hati bahwa tak ada seorangpun yang lewat di dekat mobil yang kuincar. Setelah yakin, barulah aku beraksi. Aku menempelkan alat pelacak itu di bagian bawah mobil. “Jangan lupa foto plat nomor, mobil, dan tempat parkirnya juga!” perintah Bima di balik earphone yang tersemat di kupingku.
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang