“Ke mana aja kamu? Aku khawatir karena kamu gak pulang-pulang.”
Tak ada yang lebih mengejutkan, ketika seseorang yang ada dalam pikiran tiba-tiba muncul di depan mata. Seperti malam ini, saat aku hendak membuka pintu apartemen, tiba-tiba seseorang membukakan pintu dari dalam. Begitu pintu terbuka, mataku terpana karena yang muncul di depanku adalah Leo. Sontak aku terpaku dan tanpa bisa menolak, Leo tiba-tiba memelukku.Sebentar. Sampai di sini, sepertinya ada sesuatu yang keliru. Aku melihat Leo membukakan pintu. Dia bahkan memelukku sekarang. Tapi, mengapa suaranya berbeda? Itu lebih terdengar seperti suara Bima. Menyadari bahwa itu adalah Bima, aku langsung meninju perutnya hingga ia tersungkur.Bima mengaduh. Ia lalu protes karena aku tiba-tiba memukulnya. “Kenapa aku ditinju?”“Aku kesal sama kamu!” jawabku yang lantas menutup pintu. Lalu aku melewatinya menuju sofa.“Ya tapi gak harus mukul perut juga. Kalo gini namanya KDRT,” komentarnya seketika.“Ini bukan KDRT. Ini bentuk peringatan supaya kamu gak mengabaikan isi kontrak yang sudah disepakati. Poin nomor 5. Dilarang kontak fisik berlebihan kecuali untuk keperluan pura-pura,” jelasku. Mengingatkan Bima tentang kontrak pernikahan yang baru diperbaharui.Benar. Bima adalah sahabat sekaligus partner bisnis yang kini berstatus sebagai suami pura-pura juga. Kami sepakat menikah sebagai upaya penolakan terhadap sesuatu yang disebut perjodohan. Menurut kami, daripada menikahi orang baru yang belum dikenal, lebih baik pura-pura menjalin hubungan dengan seseorang yang sudah kita kenal. Begitulah aku dan Bima bekerjasama dalam pernikahan kontrak ini.“Ishh ...,” Bima mendesis kesal. “Iya aku paham. Tapi kali ini tuh situasinya beda,” lanjutnya memberi alasan.“Beda bagian mananya?”“Itu ...,” Bima terlihat bingung untuk menjelaskan. Ia tampak kesulitan untuk mencari alasan. “Ya udah, gak usah dibahas!” ucapnya kemudian.“Ya udah,” balasku spontan.Aku lalu menyalakan TV, memilih tontonan yang paling menarik perhatian. Sementara itu, kulihat Bima menuju area dapur. Ia mengambil air, lalu memasak sesuatu. Sepertinya mie instan. Karena setelah itu, ia mengambil telur dan sayuran dari dalam kulkas.“Lagian, jam segini baru pulang. Abis dari mana sih? Pake matiin HP lagi,” lanjut Bima sembari mengambil wadah.“Dari rumah Kak Venus,” jawabku singkat.“Rumah Venus? Ngapain?” nampaknya Bima mulai penasaran.“Aku habis ... mengakui sesuatu.”“Mengakui sesuatu. Maksudnya?”Aku tak menjawab.“Kamu ... gak bilang tentang bisnis rahasia kita kan?” tebak Bima hati-hati.“Tenang aja. Aku gak seceroboh itu.”“Terus?”“Ini tentang yang terjadi di hari pernikahan mereka.”“Kamu bilang ke Venus kalau Leo adalah mantanmu?” tebak Bima lagi.“Tidak secara langsung. Aku menceritakan kejadian sebenarnya, tapi gak bilang kalau laki-laki itu adalah Leo,” jelasku.“Terus?”“Ya dia kaget lah. Dia sama sekali gak nyangka dengan apa yang terjadi di hari itu. Terus, endingnya aku suruh Kak Venus buat jaga hubungan pernikahannya.”“Kamu bilang gitu?” Respon Bima seakan tak percaya atas apa yang kulakukan.Aku pun mengangguk pasti. Tetapi Bima tak merespon lagi. Ia fokus mempersiapkan bahan makanan yang akan dimasaknya.“Kenapa diam? Kamu kecewa?” tanyaku kemudian.“Aku hanya penasaran. Gimana dengan Leo?”“Leo? Leo ...,” kalimatku menggantung. Lalu aku teringat pada momen di depan pintu, saat aku hendak pulang dari rumah Venus. Ya, momen di mana sebuah pertemuan tak terduga itu terjadi. Momen pertemuan kembali setelah berbulan-bulan tanpa kabar.“Kamu ketemu Leo?” tanya Bima lagi karena aku tak juga meneruskan kalimatku.“Hanya sebentar sebelum aku pulang,” jawabku.“Oh, baguslah kalau begitu,” katanya.Dalam hati aku menggerutu. “Dasar cowok aneh. Dia bilang bagus, tapi di sisi lain dia mau membuatku melihat Leo lebih sering lagi.”“Jadi, setelah melakukan pengamatan langsung, apa yang mau kamu lakukan sekarang?” tanya Bima kemudian. Aku paham ke mana arah pembicaraannya kali ini.Namun, bukannya menjawab seperti yang dia harapkan, aku malah tertarik untuk memberikan jawaban lain. “Aku mau mandi!” pungkasku mengakhiri topik percakapan itu. Aku lalu bergerak menuju kamar mandi.“Gak usah mandi, udah malem! Kalo sakit, nanti aku yang repot!” seru Bima memperingatkanku. “Tenang aja! Kalo sakit, aku gak akan nyusahin kamu!” sahutku dari balik pintu kamar mandi.Selang beberapa detik, aku keluar lagi untuk menanyakan sesuatu. Bima yang baru saja memasukkan mie instan ke dalam air mendidih, otomatis kaget karena aku tiba-tiba muncul di belakangnya. Spontan, dia pun bertanya. “Apa lagi?”“Kayaknya, tadi aku lihat mobil kamu di sekitaran rumah Venus. Kamu ke sana?” tanyaku memastikan. Tapi Bima malah sewot menjawab pertanyaanku. “Ngapain aku ke sana? Kayak gak ada kerjaan aja!” katanya. Lalu berbalik badan membelakangiku.Melihatnya begitu, aku pun kembali ke kamar mandi. Aku heran. Aku kan cuma bertanya. Kenapa dia jadi sensi?Selesai mandi, aku menghampiri Bima yang sedang makan mie di depan TV. Kulihat, di meja ada semangkuk mie nganggur yang belum tersentuh sama sekali. Melihat itu, aku pun bertanya. “Itu buat aku ya?”“Kamu mau?” tanya Bima kemudian.Aku mengangguk penuh antusias.Lantas, Bima membagi dua mie di mangkuk itu dan memberikannya padaku. Jujur, aku agak kecewa. Kupikir, dia membuatkannya untukku. Ternyata dia hanya masak untuk dirinya sendiri. Meski begitu, aku tetap menerima setengah mangkuk mie itu karena aromanya yang menggunggah selera.Sembari makan, Bima kembali mengulas tentang kasus spesial itu.“Tentang kasus Venus, kamu gak mau berubah pikiran?” tanyanya padaku.“Mmm ... gimana ya?”“Yakin, gak mau bantu kakak kamu?”“Kenapa aku harus melakukannya?”“Kamu gak penasaran gitu sama Leo?” tanyanya lagi yang membuat aku terdiam.Kalau ditanya penasaran, jujur saja aku memang penasaran. Rasa ingin tahuku sudah meronta-ronta sejak melihat kondisi Venus secara langsung. Venus terlihat tidak baik. Badannya lebih kurus dari sebelumnya. Matanya juga terlihat sayu seperti memendam banyak kesedihan. Sikap Venus yang tidak mau jujur padaku, juga membuatku bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Rumahnya yang berantakan tak terurus, membuatku ingin tahu ada apa di balik itu semua. Namun, haruskah aku menangani kasus itu? Untuk siapa? Untuk Venus? Atau untuk diriku sendiri? Atau ... untuk Bima?“Kamu tahu kan, Leo menikahi Venus bukan karena cinta?” ucap Bima lagi.“Iya, aku tahu. Tapi ini udah hampir satu tahun. Masa iya selama mereka menikah, gak timbul rasa cinta sama sekali?”“Why not? Cinta itu gak bisa dipaksakan, Sagi. Dan bukan gak mungkin, dia menemukan cinta lain di luar rumah.”“Jadi?” ucapku meminta kesimpulan.“Jadi saranku, kalau kamu penasaran dengan apa yang terjadi sama Leo, bantu aku untuk menyelidiki kasus tersebut. Kita buktikan bareng-bareng apakah dugaan Venus benar atau tidak,” jelas Bima dengan begitu yakin.“Lagipula, ada banyak kejanggalan dalam pernikahan mereka,” terus Bima.“Sudah sangat jelas Leo begitu menyukaimu, tapi dia malah memilih wanita yang belum dikenalnya dengan baik. Dia bahkan bersikeras untuk menikahinya saat kamu memohon untuk membatalkan perjodohan mereka. Bukankah itu agak aneh?” terusnya lagi.“Jangan diteruskan! Itu bagian paling menyakitkan di hidupku,” responku.“Maaf, Sagi! Aku hanya mengatakannya. Aku cuma mau kamu melihat Leo dari sudut pandang yang lain. Anggaplah kamu gak kenal Leo sama sekali. Dan lakukan tugasmu sebagaimana mestinya.”Aku lalu mempertimbangkan perkataan Bima. Sampai, aku pun tiba pada sebuah keputusan.“Kalau gitu ... oke, aku akan selidiki kasus itu,” kataku kemudian. Membuat Bima setengah percaya dengan apa yang kuucapkan. “Beneran?” tanya Bima memastikan.Sebagai jawaban, aku pun mengangguk pasti.“Nah, gitu dong! Itu baru Sagi!” pujinya spontan. Lantas, Bima memberikan telur gulung yang tersisa di piring padaku, sebagai tanda bahwa ia sangat berterimakasih atas keputusanku yang berubah. “Nih, buat kamu!” katanya sambil senyam-senyum kegirangan.Dengan senang hati, aku pun menerima makanan favoritku itu.“Tapi, kita harus memulainya dari mana?” (*)Sudah lebih dari tiga puluh menit aku standby di dekat rumah Venus dan Leo. Aku menunggu Leo keluar dari rumahnya. Setelah hampir satu jam, barulah orang yang ditunggu-tunggu keluar dengan menggunakan mobilnya. Dengan sigap, aku membuntuti mobil Leo ke mana pun ia melaju. Aku tak boleh kehilangan jejak. Aku harus tahu ke mana saja dia pergi hari ini. Setelah empat puluh lima menit di jalanan, mobil Leo memasuki sebuah kampus. Lalu mobilnya berhenti di area parkir khusus dosen. Sementara itu, aku memantaunya dari jarak tertentu. Begitu Leo turun dan meninggalkan parkiran, aku langsung memburu mobilnya untuk memasang alat pelacak. Kulihat, situasi di tempat parkir terbilang sepi. Kupastikan dengan hati-hati bahwa tak ada seorangpun yang lewat di dekat mobil yang kuincar. Setelah yakin, barulah aku beraksi. Aku menempelkan alat pelacak itu di bagian bawah mobil. “Jangan lupa foto plat nomor, mobil, dan tempat parkirnya juga!” perintah Bima di balik earphone yang tersemat di kupingku.
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
Keesokan harinya, aku menemui Leo lagi. Dengan berbekal data yang diretas Bima dari komputer Leo waktu itu, aku jadi tahu jadwal mengajar Leo, sehingga bisa memperkirakan kapan saja Leo keluar masuk kampus. Dan kali ini, aku menunggu Leo tepat di depan mobilnya. “Sagi? Kamu lagi apa?” Leo bertanya karena melihatku ada di depan mobilnya. Aku tersenyum. “Aku sengaja nunggu kamu. Bisa tolong anterin aku pulang?” Leo tak langsung menjawab. Ia menatapku penuh dengan kecurigaan. Lalu aku segera memberi alasan sebelum Leo mengajukan pertanyaan berikutnya. “Aku habis ketemu Pak Bambang. Aku gak bawa mobil. Jadi, boleh kan aku menumpang?” kataku. Leo kemudian melihat jam di tangannya. Ia seperti sedang mencari alasan untuk menolakku masuk ke mobilnya. “Maaf Sagi, aku sedang buru-buru. Aku harus segera sampai di suatu tempat. Jadi aku gak bisa antar kamu pulang. Aku pergi duluan, ya!” ucap Leo sambil lantas menepuk bahuku, lalu buru-buru pergi dari hadapanku. Membuatku merasa tak percaya b
Leo menatapku dengan serius. “Belum mendapatkanku?” ulangnya dengan pertanyaan. Sorot mata Leo mengharapkan penjelasan meskipun kelihatannya ia dapat menebak kalau perkataanku sangatlah jujur. “Iya, aku belum mendapatkanmu,” ulangku sekali lagi. Aku menyudahi makan siangku. Aku meletakkan sendok dan garpu dengan posisi telungkup di atas piring. Tanpa diminta, Leo juga mengikuti aksiku. Ia meletakkan alat makan, meneguk air minum, lalu siap mendengarkan. “Leo, aku mau kita bersama lagi!” ungkapku terus terang. Membuat Leo terlihat bingung harus merespon apa. “Sagi, aku ini kakak iparmu!” Pada akhirnya Leo memilih mengingatkan. “Aku tau, sampai detik ini, kamu masih jadi kakak iparku. Tapi aku juga tau, kalau kamu masih menyukaiku. Iya kan?” Leo terdiam. Sepertinya ia mengakui kalau tebakanku tentang hal itu merupakan kebenaran. Aku lalu bicara lagi, tapi kali ini sembari menggenggam tangan Leo. “Leo, tolong dengarkan aku! Aku minta tolong, berhentilah bersikap jahat pada diri
“Bisakah kita bertemu?” Aku mengirim pesan singkat ke kontak Leo. Sambil menggambar desain furnitur permintaan pelanggan khusus, aku harap-harap cemas menunggu balasan pesan dari orang itu. Sesekali, aku melihat ponsel. Tapi pesan itu belum mendapat balasan. Bahkan, Leo belum membacanya sama sekali. Aku lalu fokus lagi pada buku sketsaku. Menggambar satu set furnitur untuk kamar tidur pasangan muda. Tak lama kemudian, ponselku tiba-tiba berdering. Satu notifikasi masuk ke ponselku. Dengan cepat aku memeriksanya. Begitu dilihat, ternyata itu bukan dari Leo. Itu adalah temanku yang meminta tolong sesuatu. Temanku bernama Reina. Dia adalah pelanggan yang memesan furnitur untuk rumah barunya, yang saat ini desainnya sedang aku buat. Reina meminta aku untuk datang ke tempat kerjanya jika sedang tidak sibuk. Katanya, ada calon pelanggan baru yang ingin konsultasi terkait smart furniture denganku. Berhubung tempat kerja Reina adalah kampus yang sama dengan tempat Leo bekerja, aku pun lang
“Aku udah bilang kan, kalau Leo gak mungkin selingkuh?” Aku menghampiri Bima sambil membawakan sarapan karena dia tidak pulang semalaman. Semalam, Bima lebih memilih begadang untuk menemukan bukti kejahatan Leo yang akan dilakukannya terhadap Venus. Ia sibuk mencari tahu motif Leo menikahi Venus, serta tentang rencana perceraian yang tak sengaja kami dengar. Bima begitu yakin, dirinya akan menemukan sesuatu dari data-data di komputer Leo yang berhasil diretasnya. “Kamu pagi-pagi ke sini hanya untuk ngebahas itu?” responnya sembari membuka kemasan roti kukus yang kubeli di tempat langganan Bima. Ia lalu menggigit sebagian sisinya. “Tentu saja enggak,” jawabku. Aku tentu saja tidak datang sepagi itu hanya untuk membanggakan diri kalau prasangkaku tentang Leo terbukti benar. Meski aku sempat terbawa situasi hingga mengira Leo benar selingkuh, tapi faktanya dugaan merekalah yang salah. Tuduhan Venus tidak terbukti, dan Bima sendiri yang membuktikan itu bukanlah kasus perselingkuhan. J
“Kamu kirim foto-foto itu ke Venus juga?” Aku meminta konfirmasi kepada Bima setibanya di studio kayu. Saat itu, Bima tengah sibuk memeriksa lampu hias berbahan kayu palet yang akan segera dikirim kepada pelanggan. “Tentu saja. Venus kan klien kita. Aku harus ngasih laporan sama dia,” jawab Bima sambil lantas menyortir beberapa lampu untuk disimpan terpisah. Jawaban Bima memang benar. Hanya saja, ini tidak seperti biasanya. Ini tidak seperti kasus yang lainnya. Bima cenderung memperlakukan kasus ini secara subjektif. “Penyelidikan kita belum selesai. Foto-foto itu aja gak cukup membuktikan kalo mereka benar-benar selingkuh,” kataku. “Memang belum.” “Terus kenapa udah bikin laporan?” “Karena aku mau,” jawab Bima sekenanya. Ia lantas menarik tanganku hingga menuju ruangannya. Sesampainya di ruangan Bima, aku diberi amplop coklat berisi kamera tersembunyi, alat penyadap suara dan kartu akses masuk kantor Leo. Bima memintaku untuk menyusup ke ruang kerja Leo, dengan tujuan menemuk
Jangan teriak! Oke?!” Ucapan Bima membuatku terpaksa mengangguk. Setelah memastikan aku tak akan teriak, Bima lalu melepaskan tangannya dari mulutku. Seketika aku langsung bangun dan menghajarnya dengan bantal. “Kamu ngapain di sini? Kenapa tidur di sebelahku? Modus ya?” serbuku dengan pertanyaan. “Modus? Gak gitu ceritanya kali ...,” sangkal Bima yang tak terima dituduh modus. “Kalo bukan, terus ngapain pindah ke bawah? Itu kasur masih luas,” kataku lagi. “Itu ...,” jawaban Bima menggantung. Ia kemudian tampak mengingat. Lalu, ia pun menceritakan. Menurut penjelasan Bima, yang terjadi semalam adalah ia kehilangan selimutnya. Menurut pengakuannya, selimut itu terjatuh lantaran aku tarik dalam keadaan tidur. Katanya, mungkin aku mengira kalau itu adalah selimutku. Ketika Bima hendak meraih selimut itu dari atas kasur, saat itulah dirinya malah terguling ke bawah. Namun, saat Bima berhasil merebut selimut itu dari tubuhku, aku malah menarik tangannya dan menganggap itu sebagai gul
“Kalian lagi berantem ya?” Ucapan Venus yang satu itu membuatku agak was-was. Aku khawatir barangkali Venus menyaksikan apa yang terjadi antara aku dan Bima barusan. “Kamu kenapa nangis? Berantem sama Bima?” tebak Venus lagi. Mendapat pertanyaan seperti itu, aku tentu jadi curiga. Mungkinkah Venus benar-benar melihat kejadian tadi? Untuk memastikan kecurigaanku, aku pun bertanya padanya. “Sudah berapa lama Kakak ada di sini?” tanyaku penuh selidik. “Kakak lihat apa aja?” tambahku. Lalu dengan spontan Venus menjawab pertanyaanku. “Kakak baru turun dari taksi. Tadinya mau langsung ke apartemen kamu. Tapi karena lihat kamu bengong, terus nangis di pinggir jalan, makanya turun di sini,” jelas Venus. “Kenapa? Ada masalah?” tanyanya lagi. Sekarang, aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Aku harus menemukan alasan untuk menunda kedatangan Venus ke tempatku. “Aku sama Bima gak kenapa-kenapa. Kami baik-baik aja. Aku nangis bukan karena itu kok,” jelasku mengarang cerita. “Oh, syu
“Dasar cowok gak peka! Nyebelin! Iiihhh!” gerutuku sembari melangkah cepat meninggalkan kedai itu. Sesekali, aku menjejak tanah untuk melampiaskan kekesalanku. Bima sungguh menyebalkan. Ia terus-terusan membahas tentang Leo, bahkan menyinggung soal kinerjaku yang tidak memuaskannya. Aku tahu, apa yang kulakukan terakhir itu memang salah. Seharusnya aku lanjut mengikuti Leo. Tapi aku malah berhenti karena tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku juga cukup tahu, bahwa itu adalah momen yang paling penting untuk membuktikan apakah Leo benar selingkuh atau tidak. Tapi, pikiranku terlanjur kacau duluan. Logikaku terlalu cepat menyimpulkan bahwa wanita itu memang selingkuhan Leo. Mengingat kedekatan yang mereka tunjukkan, serta durasi waktu yang mereka habiskan selama di dalam hotel. Jadi aku terpaksa berhenti dan berkutat dengan pemikiranku sendiri. Tidak bisakah Bima memahamiku pada bagian ini? Tidak bisakah dia sedikit berempati? Tanpa bisa menahan diri, aku lantas menendang tia
Setelah mobil Leo meninggalkan hotel, aku kembali masuk ke dalam mobil. Aku tidak baik-baik saja sekarang. Pikiranku terus berkecamuk dengan segala kemungkinan yang kuciptakan sendiri. Asumsiku terlalu liar. Pikiran negatif tentang Leo menguasai ruang pikirku hingga mengabaikan Bima yang terus bicara di balik earphone. Bima protes karena aku tiba-tiba mematikan kamera dan tak merespon ucapannya lagi. Karena dirasa mengganggu, aku pun memutus kontak secara sepihak. Ocehan Bima terlalu berisik untuk kudengarkan. Aku sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Jujur saja, selama mengenal Leo, aku tidak pernah melihat wanita itu. Baik dalam foto maupun di dunia nyata. Begitu juga dengan lelaki yang ditemui Leo di cafe tadi. Aku sama sekali tak pernah melihatnya. Jika orang itu adalah teman baik Leo, maka seharusnya aku dan Bima sudah mengenalnya. Tapi faktanya, kami baru pertama kali melihatnya sekarang ini. Sedang dari obrolan yang mereka bicarakan, orang itu sepertinya tahu betul apa yang