Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru adalah hal yang dinanti para siswa Adipura. Mereka akan bertemu dedek-dedek gemes baru puber yang masih berseragam sekolah asal karena masih dalam masa orientasi, lengkap dengan atribut yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah dan pengurus OSIS. Termasuk Karina, teman sejoli Tara itu memaksanya ikut berdesak-desakan di kantin agar bisa melihat dedek gemes jogan, alias jomlo ganteng.
Keduanya beruntung sudah mendapat tempat duduk di tengah ramainya kantin. Tara sangat khusyuk menikmati mie goreng pedas dan segelas es teh manisnya, berbanding terbalik dengan Karina yang justru tak melirik nasi gorengnya sama sekali sejak mang Ujang mengantarnya ke meja mereka. Perempuan berkucir kuda itu sibuk menyapukan pandangan ke seisi kantin. “Arah pukul dua, Tar,” bisiknya.
Sontak saja Tara mengikuti intruksi Karina, yang sialnya di arah pukul dua itu juga ada Raka dan Kaila yang sedang tertawa di tengah ramainya kantin.
“Cakep banget, ya? Tapi kayaknya sih udah punya gandengan. Menurut lo, gimana?” ujar Karina sembari melirik temannya.
Setelah sabtu malam lalu mereka berpisah di pintu pagar rumah Tara dengan ia yang serius mengatakan kalau Raka harus menjaga perasaan pacarnya, lelaki itu tidak lagi mengiriminya pesan singkat sekadar modus salah kirim atau dapat broadcast dari grup keluarga.
Tara masih ingat dengan jelas, saat dua bulan lalu di hari jadi mereka yang ke tujuh bulan, Raka memutuskan hubungan mereka dengan alasan sudah tidak memiliki rasa. Ia tersenyum tipis, padahal sebelumnya mereka tidak memiliki masalah apapun. Atau mungkin hanya dirinya yang merasa hubungan mereka baik-baik saja? Lelaki memang seperti itu, ya, membuat perempuan seolah-olah berada di posisi spesial, lalu mengatakan ‘selesai’ tanpa rasa bersalah.
“Well, gue benci, nih, kalau udah dikacangin begini. Lo merhatiin cowok yang gue maksud, atau merhatiin Raka sama Kaila yang lagi haha-hihi kayak di sinetron India?”
Tara mengentakan sendoknya, membuat suara besi dan mangkuk beradu, mengundang beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. “Brondong lo oke. Gue rasa udah ada gandengan. Dari mukanya aja udah kelihatan bajingan. Cari yang lain aja.”
Karina berusaha keras agar tidak menyemburkan tawanya. Ia mengangkat sebelah alisnya. “See? Lo lagi analisis Raka?”
“Ngaco lo.” Tara menatap Karina dengan malas. “Cowok yang bawa jus jambu ‘kan? Yang lagi jalan ke arah kita?”
“Gue kira lo lagi merhatiin Raka.”
Sekilas. “Gak penting banget.”
“Emang mereka tuh jadian kapan, sih, Tar?” tanya Karina kepo. Ia akhirnya mulai mengabaikan adik kelas berseragam SMP itu dan menikmati nasi gorengnya.
“Tanya aja sama yang bersangkutan,” sahutnya.
“Emang lo gak tahu?”
Kini, Tara menatap temannya dengan heran. Lagi pula...
“Serius lo gak tahu?” tanya-nya lagi sembari memegang lengan Tara.
Lagi pula, “Buat apa juga, sih, gue tahu? Gak penting banget.” Tara balik bertanya. Ia melepas cekalan Karina dan meneguk es teh manisnya dengan santai.
“Justru itu! Kalau ternyata mereka jadian pas Raka masih jadi pacar lo, artinya dia selingkuh, Tar! Selingkuh!”
Tara kembali memerhatikan Raka dan Kaila yang keluar dari kantin dengan mangkuk bakso dan minuman dingin di atas nampan. Kemudian, ia tersenyum tipis. “Itu urusan dia, sih.”
Pengendalian diri yang baik.
Karina menggeram marah. Tara selalu bisa bersikap tenang padahal diam-diam perempuan itu bergelut dengan isi pikirannya. “Seriously, Tar?”
“Itu cuma praduga aja, kan?” Tara menatap Karina dengan dahi berkerut. “Ya udahlah, Na. Toh, kami udah putus.”
“Dia tuh, sok kegantengan tahu, gak?! Dia pikir dia siapa? Selebgram?!”
[]
Kaila menghela napas berat, menatap mading dengan malas setelah mengetahui bahwa ia tidak sekelas dengan Raka, melainkan dengan Tara dan Karina. Ia berjalan lesu ke arah pacarnya yang berdiri menyandarkan tubuhnya di tiang koridor, agak jauh dengan mading di mana Kaila berdiri.
“Gimana, sayang? Kok cemberut gitu?”
“Kita gak sekelas. Aku malah sekelas sama Tara dan Karina. Bisa ditukar aja nggak, sih?" rengeknya.
“Serius? Kok bisa gitu, ya.” Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Raka kalau Kaila berpotensi satu kelas dengan Tara dan Karina di kelas unggulan. Ya, tadi pagi Raka sempat mendengar pembicaraan kedua perempuan itu, mereka menetap di XI IPS 1.
“Gak tahu, deh.” Kaila mengangkat bahu malas.
“Ya udah, ke kelas, yuk. Lagi pula kelas kita cuma terhalang tiga kelas kok.” Raka merangkul bahu Kaila menaiki anak tangga untuk sampai di koridor kelas sebelas.
“Gak mau sekelas sama mereka, Kaaa.”
“Masing-masing aja, Kai. Mereka juga gak mungkin jahatin kamu, kan?”
“Ya... nggak, sih.” Tapi tetap saja kan, rasanya aneh.
Beruntungnya di kelas XI IPS 1 ini Tara sudah mengenal sebagian besar siswanya, lebih mudah untuk bergabung. Terlebih lagi ia kembali satu kelas dengan Karina. Mereka memutuskan untuk duduk di barisan pojok kiri kedua, dekat dengan pintu. Tipikal murid yang cari aman.
Suasana kelas yang belum kondusif karena guru pun sibuk membantu acara masa orientasi di hari pertama, kelas pun jadi gaduh sibuk dengan berbagai macam kegiatan, Tara mengajak Karina untuk keluar sebentar sebelum bel masuk. Namun, di luar kelas ternyata mereka menemukan Raka dan Kaila yang sedang berbincang.
“Aku ke kelas, ya. Nanti istirahat langsung aja ke kantin,” ujar Raka lalu mencubit pipi Kaila.
“Oke, Sayang.” Kaila berusaha tersenyum.
“Jangan cemberut gitu, dong.”
Kaila melebarkan senyumnya hingga matanya menyipit.
“Nah, gitu, dong. Bye!” serunya sembari melangkah ke kelasnya.
Tara yang melihat itu menghentikan langkahnya. Dulu, kalau Raka mencubit pipinya seperti itu ia akan memarahi lelaki itu lalu bilang, “Apa, sih? Cubit aja pipi lo sendiri!”
Kaila tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat menemukan Tara dan Karina berdiri di belakangnya.
“Hai, IPS 1 juga, ya?” sapa Tara seolah tak melihat kejadian tadi.
“Um... iya. Gue masuk duluan, ya,” ucap Kaila yang diberi anggukan kecil oleh Tara.
Karina mengernyit jijik. “Coba aja kalau dia pamer kemesraan di depan lo, gue bakal jadiin dia ayam geprek.”
Tara tertawa mendengarnya. “Kok serem, ya.”
[]
“Gue udah mencium bau-bau gak enak, nih,” ujar Tian pada Jaffar, karena Raka sibuk dengan ponselnya, sementara Nando mengantri di stand bakso.
“Apalagi? Awas aja, ya, gak penting.” Jaffar malas menanggapi Tian, ia sedang lapar saat ini.
Tian menjentikkan jarinya. “Raka lagi dilanda hujan.”
Mendengar namanya disebut, Raka menoleh. “Apaan?”
“Tuh, kan, si anjing mah gak jelas.” Jaffar mengibaskan tangannya di udara.
Raka tak mengacuhkan. “Lagi laper jadi tolol ni anak.”
“Ka, Tara satu kelas sama Kaila, ya?” tanya Nando yang baru saja bergabung dengan ketiganya sembari membawa nampan berisi bakso dan es teh.
Mendengar itu, Jaffar yang langsung meneguk esnya tersedak. “Serius lo, Ka?”
Raka pura-pura tak mendengar, ia sibuk mengaduk mangkok baksonya.
“Ini yang gue maksud! Raka sedang dilanda hujan, hujan kegalauan. Gimana mau modusin Kaila ke kelasnya kalau ternyata ada Tara yang selalu ada," ujar Tian yang ada benarnya.
Emang bangsat mulutnya si Tian, umpat Raka.
“Cuek aja, sih, gue tahu betul kalau Tara gak bakal macem-macem.” Perkataan Jaffar sedikit membuat Raka sedikit lega.
“Tapi temennya!” seru Nando. “Lo tahu sendiri ‘kan, macem-macem sama Tara sama aja minta ditendang pake jurus taekwondo andalan Karina.”
Jaffar menggeleng cepat. “Gak usah dengerin mereka, gak ada hubungannya sama Karina. Lancarkan modus lo!” katanya dengan dukungan penuh.
Sebenarnya Raka juga memikirkan hal itu. Ia merasa tidak enak pada Tara jika sering bertemu Kaila di depan kelas perempuan itu, ia masih menghargai hubungan mereka yang baru beberapa bulan lalu berakhir.
[].
“Ka, Tara kok gak pernah main ke sini lagi?” tanya Kiera iseng. Sehabis menidurkan Arlan, ia dan Raka duduk di depan TV sembari menunggu Bian pulang.“Males. Tara kalau diajak ke sini kebawelannya setara sama mami,” sahutnya yang masih fokus pada ponsel.“Cewek kalau nggak bawel pasti lagi sariawan!”“Teori darimanaaa mamiku sayang? Kaila kalem-kalem aja, tuh.”Kiera mendengkus pelan. “Pacar baru kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak ngobrol. Takut mami sleding kali, ya, ginjalnya.”Raka terbahak. “Nggak gitu juga. Kaila masih malu-malu, Mi. Lagian baru sekali kan Raka ajak dia ke rumah.”Atensi Kiera beralih sepenuhnya dari majalah di tangannya pada anak sulungnya. “Tapi mami beneran mau Tara main lagi, Ka. Udah lama nggak bikin kue bareng.”“Taranya sibuk. Raka lihat dia makin aktif ikut olimpiade gitu, bolak-balik ruang guru. Kayaknya yang sekarang ikutan matematika, deh,” jelasnya.Siang tadi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan Tara dengan bu Nia—guru matematika mereka di ruang
Hari kamis adalah hari yang paling menyebalkan bagi seluruh penghuni kelas XI IPS 1, di mana setelah istirahat kedua ada jadwal matematika dilanjut olahraga pada jam terakhir. Selain panas matahari yang menyengat, gurunya pun sangat tidak santai.Entah Tara harus bersyukur atau tidak, ia izin tidak mengikuti jadwal tes basket hari ini karena perutnya yang mendadak melilit. Ia berjalan menuju UKS sendirian meskipun Karina sudah menawarkan diri untuk mengantarnya. Tara membuka pintu UKS yang tidak tertutup rapat sembari memegang perutnya. Tempat biasa penjaga UKS—mbak Indah duduk kali ini kosong.“Sakit, Tar?” Ini kali pertama Raka menyapanya kembali setelah sepulang mereka dari mall hari itu dan Tara memarahinya. Lelaki itu berbaring di salah satu brangkar.“Iya,” jawabnya sembari duduk di atas brangkar yang bersebelahan dengan Raka.“Maag lo kambuh lagi, ya?”Tara mengangguk. “Lo sendiri ngapain di sini? Bolos?”Raka membuka lemari obat yang ada di sebelahnya, lalu menyerahkan satu ta
Papa : Dek, kata Dio kamu sakit. Udah enakan?Sudah hampir satu bulan sejak ibunya bertanya kepergiannya ke Makassar, sang ayah tidak bertukar kabar dengan Tara.Tara Givanka : Udah, Pa.Papa : Jaga kesehatan, Dek, ibu kan kerja.Tara Givanka : Iya, Pa.Papa : Papa tunggu libur semester nanti.Tara berdecak malas membaca pesan terakhir ayahnya, ia memilih tak membalasnya lagi dan memasukan ponselnya ke dalam tas, lalu menghampiri Eva dan Dio yang sudah menunggunya di meja makan.“Perutnya udah enakan, Dek?” tanya Eva yang menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.“Udah, kok.” Tara duduk di sebelah Dio yang tak mengangkat wajahnya dari piring.“Kira-kira pulang pukul berapa?”“Nggak tahu.” Tara meneguk susu putihnya sedikit, lalu menatap ibunya dengan tanya. “Kenapa?”“Oke, langsung pulang, ya.” Eva menjeda, beralih menatap Dio. “Dio juga libur dulu lesnya.”Dio menoleh. “Kenapa?”“Nanti malam om Arsen mau ngajak dinner sama keluarganya.”Sepasang kakak-beradik itu saling tatap, seolah menga
Raka berjalan melewati kelas XI IPS 1 dengan sedikit melirik ke dalamnya. Harusnya setelah mata pelajaran penjaskes selesai ia menyusul teman-temannya ke kantin karena bel istirahat akan berbunyi lima belas menit lagi, tapi Raka memilih mampir ke kelasnya lebih dulu untuk mengganti sepatunya. Di barisan kedua dekat jendela, Raka dapat melihat Karina sibuk dengan bukunya sendirian di tempatnya.“Woy!” Nando menepuk bahunya dari belakang. “Lihatin siapa, sih, lo? Pacar atau mantan?”“Sialan lo,” Raka menepis tangan Nando yang menggelayut di bahunya. “Kepo banget jadi orang.”Nando tertawa. “Ya elah, sensitif amat lo kayak cewek PMS.”“Sensitif?! Raka hamil?” tanya Tian dari belakang.“Itu positif, tulil.” Jaffar memukul punggung Tian dengan botol kosong di tangannya.“Kok lo ngurat, sih, Jap?!” seru Tian tak terima.“Makanya otak jangan taro di rumah!” seru Nando.“Gue kantongin!” sahut Tian sewot. “Emangnya elo, otak ditaro di roomchat gebetan,” cibirnya.“Kayak yang tahu aja gebetan g
TV menyala menayangkan acara kartun kesukaan Arlan tiap sore meskipun sang empunya sibuk menyusun lego ultraman ditemani Raka yang asyik memainkan ponselnya. Sesekali ia memerhatikan kedua perempuan berbeda generas yang mengisi dapur sejak sore tadi, setealh banyaknya obrolan yang mengalir panjang, sekarang mereka tengah mengobrol mengenai fashion remaja masa kini, sementara tangan keduanya sibuk mencetak adonan kue. “Mami juga masih pengin pakai fashion remaja saat ini, lucu-lucu gitu. Modelnya simpel tapi nggak norak. Jadi ingat masa muda dulu,” celoteh Kiera. Sebelum Tara menimpali, Raka sudah lebih dulu menyeletuk, “Bagus deh, Mi, ingat masa muda. Jadi sadar kan sekarang udah tua.” Sebuah lemparan gunting kecil mengenai Raka, membuat sang empunya mengerjap kaget. “Astagfirullah, kalau kena muka Raka ini bahaya loh, Mi. Bisa dilaporin ke kak Seto ini.” “Gak usah nyahut. Ini urusan cewek!" balas Kiera. Tara yang melihat perdebatan mereka hanya tertawa. Berada di sini memang se
Pukul sembilan pagi tadi akad sudah dilaksanakan dengan lancar. Keluarga dari pihak Arsen masih bercengkrama di gazebo halaman belakang rumah sembari menunggu makan siang siap. Karena dari Eva sendiri hanya mengundang teman dekat dan keluarga inti yang sudah pulang sejak tadi.Tara menguap beberapa kali dan melirik jam di ponselnya. Kapan mereka balik?Berbanding terbalik dengan Kaila yang sangat bersemangat sejak kemarin, bahkan saat fitting kebaya saja Kaila memaksa ingin ikut memilih. Meskipun tidak mengerti, Kaila tetap menyimak obrolan para orang tua.“Bu, aku ke sana dulu ya, mau ikut siapin makan siang,” ucap Tara.“Nggak usah, biar bi Eti aja,” ujar Kaila.Eva yang melihat wajah lesu Tara pun mengangguk, “Nggak pa-pa. Jangan lama-lama. Gak enak sama keluarga besar.”Sebenarnya itu hanya alibi agar ia bisa keluar dari obrolan membosankan itu. Sejak tadi obrolan hanya seputar bisnis keluarga. Tara menghampiri bi Eti yang sibuk memindahkan mangkuk besar berisikan sayur yang masi
Bel pulang telah berbunyi seantero sekolah setengah jam yang lalu. Tara duduk di bangku di sisi lapangan menemani Karina yang hari ini ada jadwal ekskul taekwondo. Perempuan itu bergabung dengan teman-temannya yang lain di tengah lapangan untuk pemanasan, sementara Tara sibuk dengan ponselnya mendownload film untuk menemaninya dua hari ke depan selama weekend.Seperti biasa, Dio selalu ada jadwal bimbingan tiap sore membuat Tara mau tak mau harus menyesuaikan jadwal adiknya yang pulang lebih sore. Dulu, ia akan dengan senang hati pulang lebih dulu dan mengurung diri di kamar, namun, saat ini Tara belum terbiasa berada di ruang yang sama dengan Kaila. Hanya berdua.Dio : Balik duluan gak? Tara Givanka : Gak.Dio : Oke.Tara Givanka : Sip.“Besok jalan, yuk, Tar,” ajak Karina yang mengambil botol minum di sebelah tasnya di dekat Tara.Tara tak menanggapi.“Ayolah, gak tiap minggu kita jalan, ‘kan?”“Pergi ke Gramedia, berjam-jam di sana keliling nyari buku yang udah pasti gak bak
Setelah Sabtu malam dihabiskan dengan berjam-jam di gramedia, dilanjut window shopping, dan mangkir di Richeese sampai pukul sembilan, minggunya Tara habiskan dengan menonton film di laptop seharian penuh. Ia hanya keluar kamar saat makan dan mengambil camilan di dapur. Berusaha minim kontak dengan siapapun untuk menjaga mood-nya sampai besok.Dan akhirnya kembali lagi ke rutinitas semula, siap-siap untuk senin pagi. Ia menyisir rambutnya asal, meraih tasnya lalu segera keluar kamar dan ikut sarapan lantai bawah. Bertepatan dengan Dio yang baru keluar dari kamarnya. Mereka sempat bersitatap sebelum Tara membuang pandang lebih dulu.“Jadi, pacar Kak Raka yang baru itu saudara tiri lo?” ujar Dio tanpa tedeng aling.“For you information, dia juga saudara tiri lo.”Tak mengindahkan tatapan datar kakaknya, Dio menuruni tangga lebih dulu. Di meja makan sudah ada Arsen, Eva dan Kaila yang menunggu.“Pagi, Dio,” sapa Kaila menunjukkan giginya. Yang dibalas dengan senyum tipis oleh empunya.“T
Raka Tasena : Tar :(Tara Givanka : Ya?Raka Tasena : Kangen sama lo.Tara Givanka : Gak usah lebay. Lo baru aja nganter gue pulang tiga hari lalu.Raka Tasena : Hhh.Tara Givanka : Ketawa?Raka Tasena : Menghela napas pasrah.[]Raka Tasena : Tar, Tar, masa tadi ada senior jurusan gue nanya sebenernya gue jomlo apa nggak.Tara Givanka : Hm, trs?Raka Tasena : Gue bilang jomlo, soalnya belom bisa ngajak balikan mantan gue.Tara Givanka : Azraka...Raka Tasena : Gue bener kan?[]Raka Tasena : Tar, i can't sleep :(Tara Givanka : Kenapa?Raka Tasena : Kepikiran sesuatu.Tara Givanka : Hal yang penting?Raka Tasena : Maybe.Raka Tasena : Gue cuma mikir random aja, sih.Tara Givanka : Di Melbourne udah tengah malam, Ka. Besok Lo harus masuk pagi.Raka Tasena : Mau video call.Tara Givanka : Boleh."Tar, i miss Indonesia.""Lagi ada yang nyebelin, ya?""Ya, gitu, deh. Males. Gue juga akhir-akhir ini begadang terus bikin maket. Udah kebiasaan gak tidur kali, ya?""Minum susu coba.""Mau pu
[Sambel Ijo]Raka Tasena : Mau ke nikahan Sesha sama siapa?Septi_an : Sama lo. AH Jaffar : ^2 Raka Tasena : Serius, nyet.Septi_an : Emang mau sama siapa sih lo? Kita nih jomlo, ya! Jelas kita datang kek teletubis berempat!Arnando Kusuma : Gue sama Karina. AH Jaffar : LAH?! SUKSES, BRO??Arnando Kusuma : Y.Septi_an : Oh, selama ini capernya sama Karina. AH Jaffar : LO TAU GAK SIH, NI BOCAH GEMES BGT SAMA KARINA YANG POLOS T_TSepti_an : Gue akui nyali lo oke juga, Ndo. Septi_an : KARINA BROW, PAWANGNYA TARA.Arnando Kusuma : Gue nggak cupu kayak sebelah. Septi_an : Buka jasa free tag @Raka Tasena Raka Tasena : Gue mau ngajak Tara. AH Jaffar : HAHAHAHAHALU.Raka Tasena : Gue ketemu Tara. Septi_an : Afh iyh, fren? Raka Tasena : Gue serius.Arnando Kusuma : WAH.AH Jaffar : Jadi besok gue sama Tian jadi pasangan homo dulu? Septi_an : NAJIS.Septi_an : Frustasi boleh ya ditinggal Sesh
Desember akhir memang selalu disuguhkan hujan yang membuat siapapun yang beraktivitas di luar ruang ingin cepat-cepat pulang. Duduk menghadap jendela ditemani mie rebus lengkap dengan telur di atasnya dan secangkir teh hangat. Itu pun yang ada di pikiran Tara.Baru pukul dua siang, tapi Tara sangat enggan berlama-lama di luar rumah. Ia memasuki kedai roti dengan tergesa untuk menghindari derasnya hujan yang sudah membuat bajunya setengah basah. Suara lonceng berbunyi bertepatan dengan aroma adonan roti, kopi, dan moka menusuk penciumannya.“Selamat siang, selamat datang di Taraka’s Bakery!” seru seorang pelayan di kasir.Tara tersenyum simpul. Di sini hanya ada dua remaja berseragam SMA yang sedang menikmati cake di dekat jendela, dan satu wanita tua yang sedang berdiri di kasir. Ia berjalan ke arah rak donat yang berjajar dengan banyak varian rasa yang menggugah selera, seolah siap untuk dibawa pulang.Tempat ini sangat strategis dari segi mana pun sehingga pengunjungnya akan berdat
Nando duduk selonjoran di sisi lapangan bersama Tian dan Jaffar setelah latihan dibubarkan. Mereka ada pertandingan bulu tangkis dalam waktu dekat, maka di saat yang lainnya sibuk di dalam kelas, mereka justru di lapangan mengasah skill—setelah mendapat surat dispensasi dari guru piket—karena pertandingan sudah di depan mata.Raka baru saja kembali dari kantin dengan membawa beberapa botol air mineral dan camilan di kantung plastik. Ia ikut bergabung dengan teman-temannya menikmati angin sepoi-sepoi di bawah pohon cokelat.Sebulan telah berlalu. Di saat yang lainnya beraktivitas seperti biasanya, Raka justru lebih sering sendirian. Ia tidak lagi diam-diam melirik kelas sebelas IPS satu saat melewatinya, datang ke sana dengan dalih menyapa Kaila padahal ekor mata meilirik satu meja yang biasanya diisi oleh Tara. Terdengar brengsek memang. Namun, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tahu keadaan Tara dulu.Beberapa kali Raka mencoba menghubungi Tara kembali namun hasilnya nihil. Akun Li
Pagi ini mereka sudah di bandara; Arsen, Eva, Kaila, Tara dan Dio. Setelah semalam makan malam bersama untuk terakhir kalinya, mereka menghabiskan malam yang panjang bersama di ruang TV dengan beberapa percakapan ringan. Tara akan merindukan hal itu.Eva menatap anak pertamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak menduga sebelumnya kalau hari ini akan tiba dengan cepat. “Hati-hati ya, Dek. Kalau udah landing langsung kabarin kita.”“Iya, Bu.” Tara mengangguk menahan perasaan sesak.“Jaga diri ya, Tar. Kalau ada sesuatu jangan sungkan hubungi kami,” ucap Arsen seraya megusap kepala anak tirinya.“Makasih, Pa.” Ia beralih menatap Kaila yang sudah menangis. “Kai,”Kaila langsung memeluknya. “Harus sering-sering pulang. Jangan marah kalau nanti gue sering telepon, jangan simpan semuanya sendirian.”Tara balas memeluk. “Nggak akan. Gue pasti selalu ngabarin.”Kemudian, Tara beralih pada adiknya yang lebih banyak diam. Dio tidak bisa ikut ke Makasssar karena besok ada try out untuk kelas s
Pagi ini Tara dan Kaila berangkat sekolah bersama. Mereka melambaikan tangan pada Dio yang menatap keduanya dengan malas. Semalam mereka menyelesaikan lego yang dibeli Dio, dua lawan satu. Jelas saja Dio kalah. Dan hukumannya Dio terpaksa harus berangkat sekolah dengan rambut berantakan yang sudah ditata oleh Kaila.Mereka tertawa melihat wajah masam Dio. “Lo kok bisa kepikiran ke sana, Kai?” tanya Tara.“Selama ini kan gue lihat rambutnya rapih terus, Tar. Good boy banget anaknya. Perlu gue modif biar kelihatan lebih laki,” kekeh Kaila.Tara pikir Dio akan menolak dan marah, namun, lelaki itu tetap menurut meskipun rautnya tidak bisa berbohon kalau ia tidak nyaman dengan itu.Mereka berpapasan dengan Kanaya yang juga akan masuk ke kelas. “Hai, Tar!” sapanya.“Hai, Nay,” balasnya.Kanaya beralih menatap Kaila. “Udah sembuh, Kai?” Kaila mengangguk.“Nanti makan siang bareng kayak biasa, ya?” ajak Kanaya.Tara mengangguk.“Gue b
[Sambel Ijo]AH Jaffar : Gaes.AH Jaffar : Udah berapa hari sepi? Napa sih? Jangan biarin gue bego sendirian dong!AH Jaffar : WOI BANGSAT.AH Jaffar : Yang r doang nikahnya sama mimper! [Read by 3]AH Jaffar : ANJJJJJJJ.AH Jaffar : Parah banget, sih, buset.AH Jaffar : BAIKAN NAPA SIH. KEK BOCAH AJA LO PADA DIEM-DIEMAN GINI.AH Jaffar : Kata Pak Haji, marahan lebih dari 3 hari dosa. Gue tau kalian pada banyak dosa, gak usah nambah lagi deh.AH Jaffar : Gue kangen Wi-Fi di rumah Raka, nih. AH Jaffar : Gasah geer ya lo, Ka. Gue nggak kangen yg punya rumah. Njs taw gak.AH Jaffar : Makan pecel ayam depan gang rumah gue yuk!AH Jaffar : BABI LOE SEMUWAH. [Read by 3]Raka menghela napas kasar, sudah seminggu grup mereka sepi. Hanya Jaffar yang tiap harinya berusaha meramaikan, yang tentu saja tidak digubris sama sekali oleh yang lain.Karena panggilan orang tua ke sekolah hari itu, Kiera pun menghukumnya dengan dalih mencemarkan nama baik keluarga. Padahal, kalau boleh ia jujur, Tian ya
[Sambel Ijo]AH Jaffar : Gaes.AH Jaffar : Udah berapa hari sepi? Napa sih? Jangan biarin gue bego sendirian dong!AH Jaffar : WOI BANGSAT. AH Jaffar : Yang r doang nikahnya sama mimper! [Read by 3]AH Jaffar : ANJJJJJJJ.AH Jaffar : Parah banget, sih, buset.AH Jaffar : BAIKAN NAPA SIH. KEK BOCAH AJA LO PADA DIEM-DIEMAN GINI.AH Jaffar : Kata Pak Haji, marahan lebih dari 3 hari dosa. Gue tau kalian pada banyak dosa, gak usah nambah lagi deh.AH Jaffar : Gue kangen Wi-Fi di rumah Raka, nih. AH Jaffar : Gasah geer ya lo, Ka. Gue nggak kangen yg punya rumah. Njs taw gak.AH Jaffar : Makan pecel ayam depan gang rumah gue yuk!AH Jaffar : BABI LOE SEMUWAH. [Read by 3]Raka menghela napas kasar, sudah seminggu grup mereka sepi. Hanya Jaffar yang tiap harinya berusaha meramaikan, yang tentu saja tidak digubris sama sekali oleh yang lain.Karena panggilan orang tua ke sekolah hari itu, Kiera pun menghukumnya dengan dalih mencemarkan nama
Dio menepati janjinya. Lelaki berseragam SMP itu duduk di halte Adipura sembari bermain ponsel tanpa memedulikan sekitar yang menatapnya heran. Sudah satu jam ia menunggu, katanya, Tara ada urusan dengan guru mengenai kepindahannya jadi akan sedikit terlambat. Dio mencoba bersabar meskipun ‘sedikit’ yang dibilang Tara justru sudah kelewatan.“Di!”Mendengar suara itu Dio sudah siap menyemburkan kekesalahannya. Namun, ia melihat keempat perempuan berseragam Adipura menghampirinya. Diantaranya ada Karina yang tersenyum paling lebar. Perempuan itu lebih dulu menepuk bahunya.“Hei, udah lama ya nggak ketemu. Kak Nana kangen, tahu! Terakhir ke rumah malah nggak ketemu,” seru Karina dengan senyum jahilnya.Dio menghela napas. “Sibuk.”Tara menyikut adiknya. “Ini temen gue, Tisha sama Kanaya.”Kanaya lebih dulu menyapa. “Hai, Di.”Dio hanya mengangguk singkat.“Bener ya kata Karina, Dio anaknya cool,” ujar Tisha.Karina terkekeh. “Jangan direbut, ya, berondong gue, nih.” Tangannya merangkul