Berharap perkataannya dapat menyadarkan Raka, ternyata Tara salah besar. Justru karena hal itu, Tara terseret ke sebuah mall dengan Raka. Emosinya sudah sampai ubun-ubun saat lelaki itu dengan seringai jahilnya menatap Tara. “Kata siapa gue suka rela ngasih lo donat? Temenin gue beli hadiah.”
Tara menolak. “Minta temenin aja sama pacar lo!”
Dan ketika Raka menjawab, “Kan kadonya buat pacar gue. Lo bantu cariin.”
Ia berusaha meredam amarahnya. Si bodoh ini benar-benar keterlaluan! Apa tidak bisa sedikit saja memikirkan perasaannya? Mereka bahkan baru putus beberapa bulan lalu.
Tapi apa boleh buat, ia tidak mau merasa memeras Raka, setelah izin pada Dio dan menyerahkan kotak donat itu pada adiknya, Tara akhirnya mengekori ke mana pun langkah Raka pergi. Terhitung sudah sudah satu jam lebih, beberapa toko telah mereka sambangi, namun tak ada satu pun barang yang menarik perhatian lelaki itu. Atau, memang Raka tidak berniat membeli hadiah yang dia maksud.
Langkah panjang lelaki itu meninggalkan Tara di depan, terhalang tiga orang. Tara menarik napas panjang sebelum kembali menyusul Raka setelah mengisi kesabarannya lebih banyak. Kali ini lelaki itu masuk ke toko aksesoris wanita, seperti yang sudah-sudah, Raka melihat rak-rak yang memajang perintilan aksesoris rambut seperti bandana, ikat rambut dengan berbagai model, hingga jepit rambut. Tara mengamatinya dengan diam, dapat ia tebak Raka berpindah ke rak lainnya, berbicara sebentar pada penjaga toko lalu keluar.
Raka kembali berjalan tanpa menoleh pada Tara.
“Lo mau beli apa, sih, sebenarnya?” Tara menghentikan langkahnya. Kakinya mulai terasa pegal.
““Nyari yang nggak ada.”
“Udah sinting kali, ya,” gumam Tara.
“Tadi pagi lo udah sarapan belum?” Alih-alih menjawab, Raka menariknya memasuki toko donat yang sama dengan yang dibawanya tadi. “Belum, ya? Lo kan gak biasa makan nasi pagi-pagi, nih, ambil,” katanya menyerahkan nampan kosong pada Tara.
Mendapati perlakuan seperti itu, membuat Tara merasa deja vu. “Lo baru aja beliin gue donat, bahkan mungkin belum Dio makan. Gak usahlah,” katanya.
Raka menaikan sebelah alisnya. “Kata siapa gue mau beliin? Lo bayar sendirilah.”
Kurang ajar.
Tanpa menunggu lama, Tara memilih donat kesukaannya, lalu berjalan menuju kasir. Tak lama, setelah itu ia duduk di hadapan Raka yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya. Mungkin sedang berbalas pesan dengan Kaila. Tara tidak ambil pusing, ia sibuk melahap donatnya.
By the way, daripada menanyakan sarapan, harusnya lelaki itu bertanya apakah ia sudah makan malam atau belum, atau, setidaknya makan siang karena kini hari sudah berubah malam. Rupanya Raka perlu belajar lagi mengenai pembagian waktu siang dan malam.
Raka menopang dagu dengan kedua tangannya. “Kalau makan pelan-pelan, kan gak lucu kalau gue bawa lo balik dalam keadaan mati keselek donat.”
“Lucu lo.”
“Makasih.”
“Sama-sama.”
Hening sejenak, sampai Raka mendapati panggilaan telepon dari Jaffar.
“WOY, SUMPIT HOKBEN.”
“Apa-apaan lo?” tanya Raka.
“Kita belum bikin power point buat demo ekskul! Ketuanya gimana, sih, ini?”
“Sorry, bukan gue.”
“Kan elo calonnya. Pura-pura bego lagi.”
“Emang iya?”
“Cek gruplah, Ka. Makin hari makin gak jelas tujuan hidup lo.”
“Jangan dengki gitu. Hidup gue udah sempurna.”
Jaffar berdecih. Malas menanggapi, akhirnya Raka mematikan sambungan telepon. Ia mengamati Tara, kemudian melahap donat yang dipegang perempuan yang kini menatapnya sinis.
“Kira-kira Kaila suka hadiah, apaan, ya, Tar?” tanyanya dengan mulut penuh.
“Gak tahu.”
Raka berdecak. “Gak ada tahu-tahunya lo.”
“Tanya aja sama orangnya langsung.”
“Gak surprise dong, namanya.”
“Gue gak peduli.”
“Gak ada gunanya ngajak lo juga, ya. Balik aja, deh,” ucap Raka gemas sendiri mendengar jawaban itu. Ia menyentil dahi Tara, kemudian beranjak meninggalkannya yang masih duduk d tempatnya.
“Sakit! Pasti merah, nih.” Tara mengusap dahinya. “Ada ya, orang kayak lo, bedebah!”
Raka kembali menatapnya yang belum beranjak, melotot saat bedebah yang dimaksud Tara adalah dirinya.
“Apa? Mau protes? Sini maju!” Tara balas menantang. “Muka lo emang cocok dikata-katain!”
[]
“Dari mana, Dek?” tanya Eva saat ia baru saja memasuki rumah. Penampilan ibunya masih sama seperti tadi sore.
“Nganter Raka beli hadiah,” jawabnya dengan tatapan terarah pada meja yang sudah berantakan. Ada kotak Richeese yang sudah kosong, juga donat yang sisa setengah.
“Hadiah? Buat siapa?”
Tara tak menyahut, ia menyimpan sling bag-nya di atas buffet TV, bersiap ke kamar.
“Dek, mau ke mana? Ibu kan lagi nanya.”
“Buat siapa lagi kalau bukan pacarnya? Udah, ah, Tara mau istirahat.” Ia sungguh malas membahas Raka, terlebih dengan ibunya.
“Terus kenapa Raka gak disuruh mampir?”
“Buat apa?” Tara menatap malas ibunya yang mulai menyebalkan.
“Ngobrol sama ibu lah.”
“Gak penting.”
“Kamu jealous, Dek?” Eva memicingkan matanya. “Kamu gak dibeliin apa gitu sama Raka? Masa cuma nganter beli hadiah aja? Biasanya kan dia suka bawain sesuatu. Donat selusinlah minimal.”
Gila! Itu kan lain cerita, Bu! Ingin sekali Tara berkata begitu. “Kenapa ibu kayak cewek gagal move on gini?”
Eva tergelak.
“Raka itu bukan siapa-siapa kita. Gak penting bahas dia.”
“Menjalin silaturahim itu penting, lho, Dek.”
Tara mulai jengah. “Bu?”
“Iya, iya. Kamu kok jadi emosi gitu.”
Bagaimana ia tidak emosi kalau ibunya terus menanyakan Raka? Sebelum Tara memasuki kamarnya, ia kembali melirik meja. “Oh, iya, donat itu dibeliin Raka sebelum kita pergi tadi.”
[].
Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru adalah hal yang dinanti para siswa Adipura. Mereka akan bertemu dedek-dedek gemes baru puber yang masih berseragam sekolah asal karena masih dalam masa orientasi, lengkap dengan atribut yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah dan pengurus OSIS. Termasuk Karina, teman sejoli Tara itu memaksanya ikut berdesak-desakan di kantin agar bisa melihat dedek gemes jogan, alias jomlo ganteng.Keduanya beruntung sudah mendapat tempat duduk di tengah ramainya kantin. Tara sangat khusyuk menikmati mie goreng pedas dan segelas es teh manisnya, berbanding terbalik dengan Karina yang justru tak melirik nasi gorengnya sama sekali sejak mang Ujang mengantarnya ke meja mereka. Perempuan berkucir kuda itu sibuk menyapukan pandangan ke seisi kantin. “Arah pukul dua, Tar,” bisiknya.Sontak saja Tara mengikuti intruksi Karina, yang sialnya di arah pukul dua itu juga ada Raka dan Kaila yang sedang tertawa di tengah ramainya kantin.“Cakep banget, ya? Tapi kayaknya
“Ka, Tara kok gak pernah main ke sini lagi?” tanya Kiera iseng. Sehabis menidurkan Arlan, ia dan Raka duduk di depan TV sembari menunggu Bian pulang.“Males. Tara kalau diajak ke sini kebawelannya setara sama mami,” sahutnya yang masih fokus pada ponsel.“Cewek kalau nggak bawel pasti lagi sariawan!”“Teori darimanaaa mamiku sayang? Kaila kalem-kalem aja, tuh.”Kiera mendengkus pelan. “Pacar baru kamu nggak asyik. Nggak bisa diajak ngobrol. Takut mami sleding kali, ya, ginjalnya.”Raka terbahak. “Nggak gitu juga. Kaila masih malu-malu, Mi. Lagian baru sekali kan Raka ajak dia ke rumah.”Atensi Kiera beralih sepenuhnya dari majalah di tangannya pada anak sulungnya. “Tapi mami beneran mau Tara main lagi, Ka. Udah lama nggak bikin kue bareng.”“Taranya sibuk. Raka lihat dia makin aktif ikut olimpiade gitu, bolak-balik ruang guru. Kayaknya yang sekarang ikutan matematika, deh,” jelasnya.Siang tadi, ia tidak sengaja mendengar pembicaraan Tara dengan bu Nia—guru matematika mereka di ruang
Hari kamis adalah hari yang paling menyebalkan bagi seluruh penghuni kelas XI IPS 1, di mana setelah istirahat kedua ada jadwal matematika dilanjut olahraga pada jam terakhir. Selain panas matahari yang menyengat, gurunya pun sangat tidak santai.Entah Tara harus bersyukur atau tidak, ia izin tidak mengikuti jadwal tes basket hari ini karena perutnya yang mendadak melilit. Ia berjalan menuju UKS sendirian meskipun Karina sudah menawarkan diri untuk mengantarnya. Tara membuka pintu UKS yang tidak tertutup rapat sembari memegang perutnya. Tempat biasa penjaga UKS—mbak Indah duduk kali ini kosong.“Sakit, Tar?” Ini kali pertama Raka menyapanya kembali setelah sepulang mereka dari mall hari itu dan Tara memarahinya. Lelaki itu berbaring di salah satu brangkar.“Iya,” jawabnya sembari duduk di atas brangkar yang bersebelahan dengan Raka.“Maag lo kambuh lagi, ya?”Tara mengangguk. “Lo sendiri ngapain di sini? Bolos?”Raka membuka lemari obat yang ada di sebelahnya, lalu menyerahkan satu ta
Papa : Dek, kata Dio kamu sakit. Udah enakan?Sudah hampir satu bulan sejak ibunya bertanya kepergiannya ke Makassar, sang ayah tidak bertukar kabar dengan Tara.Tara Givanka : Udah, Pa.Papa : Jaga kesehatan, Dek, ibu kan kerja.Tara Givanka : Iya, Pa.Papa : Papa tunggu libur semester nanti.Tara berdecak malas membaca pesan terakhir ayahnya, ia memilih tak membalasnya lagi dan memasukan ponselnya ke dalam tas, lalu menghampiri Eva dan Dio yang sudah menunggunya di meja makan.“Perutnya udah enakan, Dek?” tanya Eva yang menyuapkan nasi goreng ke mulutnya.“Udah, kok.” Tara duduk di sebelah Dio yang tak mengangkat wajahnya dari piring.“Kira-kira pulang pukul berapa?”“Nggak tahu.” Tara meneguk susu putihnya sedikit, lalu menatap ibunya dengan tanya. “Kenapa?”“Oke, langsung pulang, ya.” Eva menjeda, beralih menatap Dio. “Dio juga libur dulu lesnya.”Dio menoleh. “Kenapa?”“Nanti malam om Arsen mau ngajak dinner sama keluarganya.”Sepasang kakak-beradik itu saling tatap, seolah menga
Raka berjalan melewati kelas XI IPS 1 dengan sedikit melirik ke dalamnya. Harusnya setelah mata pelajaran penjaskes selesai ia menyusul teman-temannya ke kantin karena bel istirahat akan berbunyi lima belas menit lagi, tapi Raka memilih mampir ke kelasnya lebih dulu untuk mengganti sepatunya. Di barisan kedua dekat jendela, Raka dapat melihat Karina sibuk dengan bukunya sendirian di tempatnya.“Woy!” Nando menepuk bahunya dari belakang. “Lihatin siapa, sih, lo? Pacar atau mantan?”“Sialan lo,” Raka menepis tangan Nando yang menggelayut di bahunya. “Kepo banget jadi orang.”Nando tertawa. “Ya elah, sensitif amat lo kayak cewek PMS.”“Sensitif?! Raka hamil?” tanya Tian dari belakang.“Itu positif, tulil.” Jaffar memukul punggung Tian dengan botol kosong di tangannya.“Kok lo ngurat, sih, Jap?!” seru Tian tak terima.“Makanya otak jangan taro di rumah!” seru Nando.“Gue kantongin!” sahut Tian sewot. “Emangnya elo, otak ditaro di roomchat gebetan,” cibirnya.“Kayak yang tahu aja gebetan g
TV menyala menayangkan acara kartun kesukaan Arlan tiap sore meskipun sang empunya sibuk menyusun lego ultraman ditemani Raka yang asyik memainkan ponselnya. Sesekali ia memerhatikan kedua perempuan berbeda generas yang mengisi dapur sejak sore tadi, setealh banyaknya obrolan yang mengalir panjang, sekarang mereka tengah mengobrol mengenai fashion remaja masa kini, sementara tangan keduanya sibuk mencetak adonan kue. “Mami juga masih pengin pakai fashion remaja saat ini, lucu-lucu gitu. Modelnya simpel tapi nggak norak. Jadi ingat masa muda dulu,” celoteh Kiera. Sebelum Tara menimpali, Raka sudah lebih dulu menyeletuk, “Bagus deh, Mi, ingat masa muda. Jadi sadar kan sekarang udah tua.” Sebuah lemparan gunting kecil mengenai Raka, membuat sang empunya mengerjap kaget. “Astagfirullah, kalau kena muka Raka ini bahaya loh, Mi. Bisa dilaporin ke kak Seto ini.” “Gak usah nyahut. Ini urusan cewek!" balas Kiera. Tara yang melihat perdebatan mereka hanya tertawa. Berada di sini memang se
Pukul sembilan pagi tadi akad sudah dilaksanakan dengan lancar. Keluarga dari pihak Arsen masih bercengkrama di gazebo halaman belakang rumah sembari menunggu makan siang siap. Karena dari Eva sendiri hanya mengundang teman dekat dan keluarga inti yang sudah pulang sejak tadi.Tara menguap beberapa kali dan melirik jam di ponselnya. Kapan mereka balik?Berbanding terbalik dengan Kaila yang sangat bersemangat sejak kemarin, bahkan saat fitting kebaya saja Kaila memaksa ingin ikut memilih. Meskipun tidak mengerti, Kaila tetap menyimak obrolan para orang tua.“Bu, aku ke sana dulu ya, mau ikut siapin makan siang,” ucap Tara.“Nggak usah, biar bi Eti aja,” ujar Kaila.Eva yang melihat wajah lesu Tara pun mengangguk, “Nggak pa-pa. Jangan lama-lama. Gak enak sama keluarga besar.”Sebenarnya itu hanya alibi agar ia bisa keluar dari obrolan membosankan itu. Sejak tadi obrolan hanya seputar bisnis keluarga. Tara menghampiri bi Eti yang sibuk memindahkan mangkuk besar berisikan sayur yang masi
Bel pulang telah berbunyi seantero sekolah setengah jam yang lalu. Tara duduk di bangku di sisi lapangan menemani Karina yang hari ini ada jadwal ekskul taekwondo. Perempuan itu bergabung dengan teman-temannya yang lain di tengah lapangan untuk pemanasan, sementara Tara sibuk dengan ponselnya mendownload film untuk menemaninya dua hari ke depan selama weekend.Seperti biasa, Dio selalu ada jadwal bimbingan tiap sore membuat Tara mau tak mau harus menyesuaikan jadwal adiknya yang pulang lebih sore. Dulu, ia akan dengan senang hati pulang lebih dulu dan mengurung diri di kamar, namun, saat ini Tara belum terbiasa berada di ruang yang sama dengan Kaila. Hanya berdua.Dio : Balik duluan gak? Tara Givanka : Gak.Dio : Oke.Tara Givanka : Sip.“Besok jalan, yuk, Tar,” ajak Karina yang mengambil botol minum di sebelah tasnya di dekat Tara.Tara tak menanggapi.“Ayolah, gak tiap minggu kita jalan, ‘kan?”“Pergi ke Gramedia, berjam-jam di sana keliling nyari buku yang udah pasti gak bak
Raka Tasena : Tar :(Tara Givanka : Ya?Raka Tasena : Kangen sama lo.Tara Givanka : Gak usah lebay. Lo baru aja nganter gue pulang tiga hari lalu.Raka Tasena : Hhh.Tara Givanka : Ketawa?Raka Tasena : Menghela napas pasrah.[]Raka Tasena : Tar, Tar, masa tadi ada senior jurusan gue nanya sebenernya gue jomlo apa nggak.Tara Givanka : Hm, trs?Raka Tasena : Gue bilang jomlo, soalnya belom bisa ngajak balikan mantan gue.Tara Givanka : Azraka...Raka Tasena : Gue bener kan?[]Raka Tasena : Tar, i can't sleep :(Tara Givanka : Kenapa?Raka Tasena : Kepikiran sesuatu.Tara Givanka : Hal yang penting?Raka Tasena : Maybe.Raka Tasena : Gue cuma mikir random aja, sih.Tara Givanka : Di Melbourne udah tengah malam, Ka. Besok Lo harus masuk pagi.Raka Tasena : Mau video call.Tara Givanka : Boleh."Tar, i miss Indonesia.""Lagi ada yang nyebelin, ya?""Ya, gitu, deh. Males. Gue juga akhir-akhir ini begadang terus bikin maket. Udah kebiasaan gak tidur kali, ya?""Minum susu coba.""Mau pu
[Sambel Ijo]Raka Tasena : Mau ke nikahan Sesha sama siapa?Septi_an : Sama lo. AH Jaffar : ^2 Raka Tasena : Serius, nyet.Septi_an : Emang mau sama siapa sih lo? Kita nih jomlo, ya! Jelas kita datang kek teletubis berempat!Arnando Kusuma : Gue sama Karina. AH Jaffar : LAH?! SUKSES, BRO??Arnando Kusuma : Y.Septi_an : Oh, selama ini capernya sama Karina. AH Jaffar : LO TAU GAK SIH, NI BOCAH GEMES BGT SAMA KARINA YANG POLOS T_TSepti_an : Gue akui nyali lo oke juga, Ndo. Septi_an : KARINA BROW, PAWANGNYA TARA.Arnando Kusuma : Gue nggak cupu kayak sebelah. Septi_an : Buka jasa free tag @Raka Tasena Raka Tasena : Gue mau ngajak Tara. AH Jaffar : HAHAHAHAHALU.Raka Tasena : Gue ketemu Tara. Septi_an : Afh iyh, fren? Raka Tasena : Gue serius.Arnando Kusuma : WAH.AH Jaffar : Jadi besok gue sama Tian jadi pasangan homo dulu? Septi_an : NAJIS.Septi_an : Frustasi boleh ya ditinggal Sesh
Desember akhir memang selalu disuguhkan hujan yang membuat siapapun yang beraktivitas di luar ruang ingin cepat-cepat pulang. Duduk menghadap jendela ditemani mie rebus lengkap dengan telur di atasnya dan secangkir teh hangat. Itu pun yang ada di pikiran Tara.Baru pukul dua siang, tapi Tara sangat enggan berlama-lama di luar rumah. Ia memasuki kedai roti dengan tergesa untuk menghindari derasnya hujan yang sudah membuat bajunya setengah basah. Suara lonceng berbunyi bertepatan dengan aroma adonan roti, kopi, dan moka menusuk penciumannya.“Selamat siang, selamat datang di Taraka’s Bakery!” seru seorang pelayan di kasir.Tara tersenyum simpul. Di sini hanya ada dua remaja berseragam SMA yang sedang menikmati cake di dekat jendela, dan satu wanita tua yang sedang berdiri di kasir. Ia berjalan ke arah rak donat yang berjajar dengan banyak varian rasa yang menggugah selera, seolah siap untuk dibawa pulang.Tempat ini sangat strategis dari segi mana pun sehingga pengunjungnya akan berdat
Nando duduk selonjoran di sisi lapangan bersama Tian dan Jaffar setelah latihan dibubarkan. Mereka ada pertandingan bulu tangkis dalam waktu dekat, maka di saat yang lainnya sibuk di dalam kelas, mereka justru di lapangan mengasah skill—setelah mendapat surat dispensasi dari guru piket—karena pertandingan sudah di depan mata.Raka baru saja kembali dari kantin dengan membawa beberapa botol air mineral dan camilan di kantung plastik. Ia ikut bergabung dengan teman-temannya menikmati angin sepoi-sepoi di bawah pohon cokelat.Sebulan telah berlalu. Di saat yang lainnya beraktivitas seperti biasanya, Raka justru lebih sering sendirian. Ia tidak lagi diam-diam melirik kelas sebelas IPS satu saat melewatinya, datang ke sana dengan dalih menyapa Kaila padahal ekor mata meilirik satu meja yang biasanya diisi oleh Tara. Terdengar brengsek memang. Namun, hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tahu keadaan Tara dulu.Beberapa kali Raka mencoba menghubungi Tara kembali namun hasilnya nihil. Akun Li
Pagi ini mereka sudah di bandara; Arsen, Eva, Kaila, Tara dan Dio. Setelah semalam makan malam bersama untuk terakhir kalinya, mereka menghabiskan malam yang panjang bersama di ruang TV dengan beberapa percakapan ringan. Tara akan merindukan hal itu.Eva menatap anak pertamanya dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak menduga sebelumnya kalau hari ini akan tiba dengan cepat. “Hati-hati ya, Dek. Kalau udah landing langsung kabarin kita.”“Iya, Bu.” Tara mengangguk menahan perasaan sesak.“Jaga diri ya, Tar. Kalau ada sesuatu jangan sungkan hubungi kami,” ucap Arsen seraya megusap kepala anak tirinya.“Makasih, Pa.” Ia beralih menatap Kaila yang sudah menangis. “Kai,”Kaila langsung memeluknya. “Harus sering-sering pulang. Jangan marah kalau nanti gue sering telepon, jangan simpan semuanya sendirian.”Tara balas memeluk. “Nggak akan. Gue pasti selalu ngabarin.”Kemudian, Tara beralih pada adiknya yang lebih banyak diam. Dio tidak bisa ikut ke Makasssar karena besok ada try out untuk kelas s
Pagi ini Tara dan Kaila berangkat sekolah bersama. Mereka melambaikan tangan pada Dio yang menatap keduanya dengan malas. Semalam mereka menyelesaikan lego yang dibeli Dio, dua lawan satu. Jelas saja Dio kalah. Dan hukumannya Dio terpaksa harus berangkat sekolah dengan rambut berantakan yang sudah ditata oleh Kaila.Mereka tertawa melihat wajah masam Dio. “Lo kok bisa kepikiran ke sana, Kai?” tanya Tara.“Selama ini kan gue lihat rambutnya rapih terus, Tar. Good boy banget anaknya. Perlu gue modif biar kelihatan lebih laki,” kekeh Kaila.Tara pikir Dio akan menolak dan marah, namun, lelaki itu tetap menurut meskipun rautnya tidak bisa berbohon kalau ia tidak nyaman dengan itu.Mereka berpapasan dengan Kanaya yang juga akan masuk ke kelas. “Hai, Tar!” sapanya.“Hai, Nay,” balasnya.Kanaya beralih menatap Kaila. “Udah sembuh, Kai?” Kaila mengangguk.“Nanti makan siang bareng kayak biasa, ya?” ajak Kanaya.Tara mengangguk.“Gue b
[Sambel Ijo]AH Jaffar : Gaes.AH Jaffar : Udah berapa hari sepi? Napa sih? Jangan biarin gue bego sendirian dong!AH Jaffar : WOI BANGSAT.AH Jaffar : Yang r doang nikahnya sama mimper! [Read by 3]AH Jaffar : ANJJJJJJJ.AH Jaffar : Parah banget, sih, buset.AH Jaffar : BAIKAN NAPA SIH. KEK BOCAH AJA LO PADA DIEM-DIEMAN GINI.AH Jaffar : Kata Pak Haji, marahan lebih dari 3 hari dosa. Gue tau kalian pada banyak dosa, gak usah nambah lagi deh.AH Jaffar : Gue kangen Wi-Fi di rumah Raka, nih. AH Jaffar : Gasah geer ya lo, Ka. Gue nggak kangen yg punya rumah. Njs taw gak.AH Jaffar : Makan pecel ayam depan gang rumah gue yuk!AH Jaffar : BABI LOE SEMUWAH. [Read by 3]Raka menghela napas kasar, sudah seminggu grup mereka sepi. Hanya Jaffar yang tiap harinya berusaha meramaikan, yang tentu saja tidak digubris sama sekali oleh yang lain.Karena panggilan orang tua ke sekolah hari itu, Kiera pun menghukumnya dengan dalih mencemarkan nama baik keluarga. Padahal, kalau boleh ia jujur, Tian ya
[Sambel Ijo]AH Jaffar : Gaes.AH Jaffar : Udah berapa hari sepi? Napa sih? Jangan biarin gue bego sendirian dong!AH Jaffar : WOI BANGSAT. AH Jaffar : Yang r doang nikahnya sama mimper! [Read by 3]AH Jaffar : ANJJJJJJJ.AH Jaffar : Parah banget, sih, buset.AH Jaffar : BAIKAN NAPA SIH. KEK BOCAH AJA LO PADA DIEM-DIEMAN GINI.AH Jaffar : Kata Pak Haji, marahan lebih dari 3 hari dosa. Gue tau kalian pada banyak dosa, gak usah nambah lagi deh.AH Jaffar : Gue kangen Wi-Fi di rumah Raka, nih. AH Jaffar : Gasah geer ya lo, Ka. Gue nggak kangen yg punya rumah. Njs taw gak.AH Jaffar : Makan pecel ayam depan gang rumah gue yuk!AH Jaffar : BABI LOE SEMUWAH. [Read by 3]Raka menghela napas kasar, sudah seminggu grup mereka sepi. Hanya Jaffar yang tiap harinya berusaha meramaikan, yang tentu saja tidak digubris sama sekali oleh yang lain.Karena panggilan orang tua ke sekolah hari itu, Kiera pun menghukumnya dengan dalih mencemarkan nama
Dio menepati janjinya. Lelaki berseragam SMP itu duduk di halte Adipura sembari bermain ponsel tanpa memedulikan sekitar yang menatapnya heran. Sudah satu jam ia menunggu, katanya, Tara ada urusan dengan guru mengenai kepindahannya jadi akan sedikit terlambat. Dio mencoba bersabar meskipun ‘sedikit’ yang dibilang Tara justru sudah kelewatan.“Di!”Mendengar suara itu Dio sudah siap menyemburkan kekesalahannya. Namun, ia melihat keempat perempuan berseragam Adipura menghampirinya. Diantaranya ada Karina yang tersenyum paling lebar. Perempuan itu lebih dulu menepuk bahunya.“Hei, udah lama ya nggak ketemu. Kak Nana kangen, tahu! Terakhir ke rumah malah nggak ketemu,” seru Karina dengan senyum jahilnya.Dio menghela napas. “Sibuk.”Tara menyikut adiknya. “Ini temen gue, Tisha sama Kanaya.”Kanaya lebih dulu menyapa. “Hai, Di.”Dio hanya mengangguk singkat.“Bener ya kata Karina, Dio anaknya cool,” ujar Tisha.Karina terkekeh. “Jangan direbut, ya, berondong gue, nih.” Tangannya merangkul