Keina menelungkupkan wajahnya di atas lutut saat menyadari bahwa hari sudah menjelang siang. Meski masih ada kesedihan yang menggantung di wajahnya, Keina mencoba bangkit di sela-sela kerapuhannya. Sedikit demi sedikit Keina mulai menyuapkan makanan yang diberikan oleh ibunya saat ini. Ia tidak mau ibunya kembali memanggil Alden dan membuat perasaannya menjadi semakin rumit.Sudah dua hari ini Alden tidak datang. Entah karena perkataan Keina tempo lalu atau karena ia sendiri sudah bosan membujuk Keina. Keina tidak tahu dan Keina tidak ingin mencari tahu.Sudahlah, lagipula mereka akan bercerai. Itu sudah merupakan keputusan terakhirnya. Meski nanti ia akan merindukan sosok Alden di kehidupannya, tapi Keina tidak akan menyesal. Ia sudah melakukan hal yang tepat dengan melepaskan Alden. Mereka hanya akan saling melukai jika masih terus bersama.Namun, saat Alden bahkan tidak datang hari ini, bagian di dalam sudut hatinya merasakan kehampaan. Padahal baru dua hari ini Alden tidak datang,
Alden harus merelakannya. Meski dia sudah memberikan izin kepada Adrian untuk mendekati Keina, namun hatinya tetap tidak bisa berbohong.Melihat Keina yang menangis di pelukan Adrian saat ini membuat Alden merasa sesak di dalam dadanya semakin meningkat. Awalnya Alden hanya ingin melihat keadaan Keina ketika sudah dua hari lepas mereka tidak bertemu, namun bayangan Keina yang memasuki mobil Adrian tepat sebelum ia masuk membuat Alden mengurungkan niat. Seharusnya Alden tidak mengikuti mereka hingga harus berakhir disini menelan pahit perasaannya sendiri.Alden menghela nafasnya berat lalu menyalakan mesin mobilnya. Keina sudah memiliki pelindungnya sendiri, untuk apa ia cemas? Adrian adalah pria yang tepat untuk berada di samping Keina. Meski hatinya teramat kacau, Alden menginjak pedal gas lalu mobilnya beranjak dari sana.Bukankah titik tertinggi dalam mencintai itu adalah merelakan seseorang yang kita cintai bersama dengan orang lain?****Audrey mengetuk pintu rumah Keina di hadapa
Alden tidak dapat mengendalikan pikirannya. Perasannya begitu kacau dengan seluruh rencana perceraian yang Keina inginkan. Ada yang menghantam sudut hatinya saat teringat bayangan Adrian dan juga Keina di pemakaman tadi. Ia merasa tidak senang dengan pemandangan itu, tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak berdaya dengan seluruh keadaan ini.Maka dari itu, alih-alih kembali menjalankan mobilnya ke arah rumah utama Keluarga Syarakar, Alden malah membelokkan kendaraan itu ke arah suatu bar.Alden segera duduk di sana, ia menghela nafasnya dengan berat lalu duduk disana. Alden segera mengangkat tangan, meminta salah satu penjaja minuman disana menghampirinya."Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Berikan minuman dengan kadar alkohol paling tinggi?""Anda yakin, Pak?" Tanya pramusaji itu dengan ragu."Berikan saja, aku butuh sesuatu yang bisa membuat pikiranku beku."Pramusaji itu mengangguk lalu kembali membawakan pesanan yang Alden inginkan. Dengan cepat, Alden menuang minuman itu ke dalam
Apa yang sudah ia dengarkan barusanTangan Keina gemetar setelah mematikan panggilannya kepada Alden saat ini. Apa itu... Apa itu suara Shiren? Apa Alden dan Shiren sedang bercinta?Padahal tadinya Keina ingin bertemu dengan Alden dan membicarakan tentang rencana perceraian mereka. Ia mencoba memikirkan kembali dan merubah pikirannya, namun apa yang ia dengarkan ini membuat nafasnya kembali terasa sesak? Alden malah menemui Shiren Athalia di saat pernikahan mereka berada di ujung tanduk."Hah... Hah..."Keina mencoba menarik nafas, mencari oksigen yang terasa sangat menipis. Ada apa dengannya? Kenapa dadanya terasa sangat sesak?Langkah Keina terhuyung, merasakan kepalanya yang terasa berputar-putar, nafasnya terasa sangat sesak mengingat suara-suara menjijikkan itu. Dua kali, dua kali Alden Syarakar melukainya sedalam ini. Mendengar bahwa Shiren dan Alden sedang bercinta sekarang membuat Keina kehilangan caranya bernafas.Praang!Langkah Keina yang terhuyung membuat pot bunga yang be
Alden terhenyak mendengar ucapan Tiana di hadapannya."Keina sedang mengurus perceraian kami?""Ya, jadi sekarang pergilah."Tubuh Alden seketika melemas, ia telah terlambat. Alden segera menggeleng kuat, tidak mungkin masih ada waktu. Mungkin saja proses pengurusan perceraian itu masih bisa ditunda.Alden segera bergegas masuk ke dalam mobilnya, ia menginjak pedal gas lalu menjalankan mobilnya dengan cepat ke arah pengadilan negeri.Saat melihat sosok Keina yang tengah berjalan di area luar pengadilan, Alden segera berlari ke arahnya lalu menarik tangannya."Alden?" ucap Keina dengan nada terkejut. Tidak menyangka jika Alden bisa ada di sini.Handika yang berada di samping Keina segera mendorong tubuh Alden, "Menjauh dari Keina,"Handika segera memegang bahu Keina, memberikan sikap protektif padanya, "Untuk apa kamu menemui Keina lagi?""Biarkan Alden bicara dengan Keina, Pa,""Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.""Tolong Pa, hanya sebentar."Melihat Alden yang bersikeras, Keina
"Alden..." Lirih Keina, mulai merasa tidak nyaman dengan pelukan mendadak yang Alden lancarkan. Sebenarnya bukan karena ia merasa keberatan dengan pelukan ini, namun perasaannya akan kembali bimbang jika mendapat sentuhan seperti ini dari Alden."Hanya sebentar saja... Aku mohon Keina,"Keina akhirnya menyerah, genggaman tangannya yang menahan tangan Alden seketika melonggar. Ia terdiam membiarkan pelukan Alden di sekitar tubuhnya.Alden memejamkan matanya sejenak, mencoba merasai aroma Keina yang akan selalu ia rindukan. Air matanya seketika menetes saat menyadari bahwa ia tidak bisa merasakan pelukan hangat ini kembali. Sesak yang Alden rasakan seketika kembali. Kenapa? Kenapa disaat ia begitu mencintai Keina, disaat itu pula ia harus rela melepaskannya?"Apa kau tidak bisa memikirkan keputusanmu sekali lagi?"Tidak ada jawaban. Keina hanya terdiam membisu dalam diamnya. Alden menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan kasar, "Jangan pergi, Keina. Tolong jangan pergi dari sisiku
"Lepaskan aku, Alden!" Keina mencoba berontak, namun bukannya mendengar perkataannya, Alden malah semakin mengetatkan pelukannya."Saya akan sangat merindukan aroma kamu, Keina. Semoga kamu bahagia,"Mendengar ucapan Alden yang begitu tulus, Keina akhirnya menyerah. Seluruh pertahanan yang ia bangun demi terlihat tegar di mata Alden runtuh seketika. Air mata Keina mulai menetes melalui pipinya. Siapa yang menyangka takdir mereka akan berakhir menjadi seperti ini?"Semoga kau juga bahagia," ujar Keina dengan tulus.Meski pernikahan mereka berakhir dengan tidak baik, Keina masih mengharapkan hal yang baik datang kepada Alden. Tidak ada dendam yang ia rasakan. Hanya perih yang ia rasakan karena harus menerima perpisahan ini. Perpisahan yang harus ia lakukan demi kesehatan batinnya sendiri.Keina mulai merasa kehilangan saat Alden mengurai pelukan mereka. Alden mengulas senyumnya dengan getir. Tidak lama kemudian, Adrian terlihat hendak menghampiri mereka berdua dengan wajah panik.Alden
Shiren mengerjapkan matanya saat terjaga dari pingsannya. Ia terhenyak saat mendapati dirinya diikat di suatu kursi. Hanya ditemani cahaya temaram dari suatu lampu, Shiren mengerjap. Dimana ia sebenarnya? Kenapa tempatnya sangat gelap seperti ini?"Sudah bangun?""Alden!" Teriak Shiren histeris, ia menggerak-gerakkan tubuhnya, mencoba melonggarkan ikatan yang melilit tubuhnya, "Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!""Kenapa? Aku hanya sedang melakukan apa yang kau lakukan padaku dulu Shiren. Kau tahu apa yang sudah kau lakukan? Kau membunuh calon anakku." desis Alden sinis.Mata Shiren seketika melebar mendengar ucapan Alden, ia mulai bergidik ngeri, sepertinya Alden benar-benar marah karena tindakannya waktu itu."Aku melakukan itu karena aku mencintaimu, Alden! Kenapa kau tidak mengerti?""Cinta?" Alden terkekeh kecil, merasa bahwa jawaban dari Shiren adalah hal terkontrol yang ia dengar, "Kau hanya ingin hartaku, bukan? Kau hanya ingin menjeratku untuk memenuhi semua sikap serakahmu