Dara mengerjapkan matanya beberapa kali. Dadanya terasa sesak, air terus keluar dari mulut dan rongga hidungnya. Sedangkan wajahnya basah oleh airmata yang bercampur dengan air sungai. Ia mengambil nafas dalam dan panjang. Saat sudah sepenuhnya tersadar, ia mengalihkan pandangan pada orang telah menyelamatkannya."Tuan Xander, Anda–"Xander terpaku pada wajah Dara yang kini ada di pangkuannya. Bulu mata panjang yang membingkai mata indah Dara, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang tampak menggoda. Tiba-tiba saja ia merasakan desiran aneh di dalam dadanya."Tuan," panggil Dara yang merasa canggung ada di dalam posisi seperti itu."Apa kau baik-baik saja?" tanya Xander. Keduanya saling pandang, mulut mereka terkuci setelah mendengarkan pertanyaan Xander. Dara kira pria ini akan ketus seperti biasanya. Sedangkan Xander sendiri merasa aneh kepada dirinyalah sendiri. Untuk apa dia menanyakan keadaan gadis pembuatan masalah ini.Xander mendorong tubuh Dara sedikit kasar, ia merasa cang
Sidja yang malam itu baru saja sampai, tidak menemukan kehadiran Dara dan Diah. Bertanya kepada gadis-gadis yang lain pun hanya jawaban tidak tahu yang ia dengar. Wanita itu memilih untuk menunggu keduanya, berpikir kalau Dara dan Diah belum selesai dengan pekerjaannya di dapur. Sidja yang ingin membersihkan diri, terkejut mendapati Diah yang telah duduk di lantai kasar tempat pemandian. Gadis itu terlihat ketakutan, apalagi posisi Bena yang seperti siap menyerang. Sedangkan Ayu berdiri dengan tenang seraya tangannya disilangkan di depan dada."Apa yang terjadi?" tanya Sidja penasaran.Ketiganya menengok ke arah sumber suara, dan terlonjak kaget saat menyadari kehadiran Sidja. Ayu dengan sigap membantu Diah, seakan gadis itu baru saja terjatuh."Kau tidak apa-apa, Diah?" tanya Ayu. Karena posisinya membelakangi Sidja, ia bisa menyembunyikan wajahnya dan menatap Diah dengan sorot mata yang menyiratkan ancaman."Astaga, Diah, kau tidak apa-apa? hati-hati saat jalan. Sudah tahu tempat i
Ayu kembali ke dapur dengan senyum yang mengembang. Meski gagal untuk mendekati Xander, tetapi ia puas karena sudah berhasil mendapatkan informasi penting. Ini bisa menjadi kesempatan untuknya. Semalam, saat mengetahui Sidja yang kembali ke perkebunan, membuat impiannya gagal.Gadis itu mengira Sidja akan dipindahkan ke kota dan tidak akan kembali, ia sudah berharap akan diangkat oleh kepala koki untuk menggantikan Sidja. Ia juga sudah meracuni pikiran gadis-gadis yang ada di tempat tinggal untuk memihaknya. Selalu ramah dan peduli adalah senjata yang ia gunakan. Benar-benar orang bermuka dua."Kali ini harus berhasil," gumamnya pada diri sendiri."Apanya yang berhasil, Mbak?" tanya Bena yang ada di sampingnya karena tidak sengaja mencuri dengar.Ayu menahan Bena dan memandang gadis itu penuh arti. "Aku punya rencana, kalau berhasil, aku akan menggantikan Sidja dan memberikan posisi bagus untukmu.""Tentu saja mau. Tapi, bukankah mba Sidja telah kembali lagi. Bagaimana bisa, Mbak?""K
"Aku merindukanmu!" ucap Maxwell.Xander memutar bola matanya malas, dan dengan kesal ia melepas pelukan Maxwell. Pria berwajah dingin itu memandang Maxwell dengan tajam."Sungguh, jika kita sedang ada di rumah. Aku akan memberikanmu hukuman karena telah berani memberi perintah untuk membawa barang-barang ini!"Maxwell tersenyum bodoh, ia tidak memperdulikan perkataan tajam Xander. "Ayolah, kau tidak rindu denganku, Kakak?" Xander berdiri tegap seraya memasukkan tangannya ke saku celana di sisi kiri dan kanan. Ia memandangi Maxwell yang notabene adik tirinya dari atas sampai bawah. Pria yang ada di hadapannya ini usianya hanya tertaut empat tahun. Jika Xander berusia dua puluh sembilan, maka Ell—begitu ia memanggilnya, saat ini berusia dua puluh lima.Mereka adalah saudara tiri. Ayah mereka tuan Veergerk Abraham Van Dijck. Menikahi tiga wanita, istri pertamanya bernama Helene—adalah ibu dari Xander, yang telah meninggalkan pria itu saat berusia lima tahun kepada pembantunya—Aminah, y
Xander sore itu menyibukkan diri dengan membakar daun-daun kering di halaman belakang. Ia menatap kobaran api yang menari-nari dengan indah, sesuatu hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Pria itu menghidupkan sebatang cigarettes dan menikmati dalam kesendirian. Sore ini langit tampak cerah, warna birunya sama dengan lautan yang ia kunjungi pagi tadi. Ia membuka kancing seragamnya dan bertelanjang setengah dada. Tubuhnya tinggi menjulang hampir mengenai dahan pohon jambu air yang mulai berbunga. "Tuan Xander, apa saya boleh masuk? Saya membawakan Anda makanan, Tuan."Xander menoleh ke arah pintu saat mendengar ada suara seorang wanita dari arah depan. Ia berpikir sejenak. Tiba-tiba saja, terlintas satu nama di dalam kepalanya—Dara. Pria itu segera menghilangkan bayangan gadis itu, karena suaranya sangat berbeda dengan suara gadis yang ia nilai sebagai sumber masalah."Masuklah, pintu tidak dikunci!" Xander berkata dengan suara yang sedikit
Xander menahan kaki ayu, miliknya kini mulai berekasi dan tegang di dalam celana yang ia pakai."Bagaimana caranya kau melayaniku?" Ayu tersenyum nakal, ia semakin berani, perlahan ia mengubah posisinya dan duduk di pangkuan Xander, lengan kanannya dengan tidak tahu malu mulai menggerayangi dada bidang pria itu, Xander terpejam mendapat perlakuan Ayu. Saat Xander membuka mata, ia melihat tangan kiri ayu sibuk membuka satu persatu kancing kebayanya. Pria itu tersenyum sinis. Detik berikutnya, tubuh Ayu terhempas ke ubin yang keras dan dingin.Mata dan mulut ayu membulat sempuran, ia terkejut atas perlakuan kasar Xander. Sakit di bagian punggungnya, mengalahkan rasa sakit di dadanya. Kini ia bisa melihat pria itu berdiri dengan tubuh yang tinggi menjulang. Rahang Xander mengeras sehingga terdengar suara gemeretak dari gigi yang saling beradu. Mata pria itu memerah, anatara menahan marah dan menahan birahi yang datang tanpa permisi.
Wilhelmus van Nassouweben ik, van Duitsen bloedden vaderland getrouwe.blijf ik tot in den doet Een Prinse van Oranjeben ik, vrij onverveerd,den Koning van Hispanjeheb ikPara prajurit berbaris rapi seraya memberi penghormatan kepada bendera yang tengah berkibar di ujung tiang. Mereka berdiri tegap, seberkas semangat terlihat di wajah-wajah orang-orang bermata terang itu. Mereka semua melantunkan setiap kata dengan penuh penghayatan. Menyanyi dengan rasa yang membuncah di dada. Penuh kebanggaan dan juga kerinduan.Pagi ini di hari Senin pada awal bulan, prajurit-prajurit melakukan apel pagi sebelum memulai tugas dan pekerjaan mereka. Seragam yang mereka kenakan sama rata, yang membedakan adalah tanda kepangkatan. Tidak peduli matahari yang mulai meninggi, mereka tetap berada di posisi itu entah sudah berapa detik, menit, mungkin jam.Xander sesekali melirik ke arah Dara dan Bara yang berdiri di luar pagar. Tidak biasanya k
Pria itu memunggungi pemuda yang bertugas menerima tamu. Ia berdiri seraya memperhatikan nuansa hotel yang ingin ia tinggali selama satu bulan penuh. Suasana saat itu begitu tenang, beberapa tamu asal negara asing terlihat sedang menikmati kopi serta kudapan mereka.Sebuah lampu keristal dengan kemerlap kuning menggantung di tengah-tengah ruangan. Beberapa lukisan besar terpajang di dinding-dinding hotel, beberapa ornamen mahal yang ia tahu berasal dari luar negeri—seolah menambah kesan mewah hotel ini. Pemiliknya pastilah memiliki selera yang tinggi—pikir pria berjas rapi itu.Hati Roanna berdegup kencang saat mendapati seorang pria dengan postur tubuh yang ia kenal. Pegawainya sibuk menghitung lembaran uang yang tamu itu berikan."Jadi, ada yang hendak menyewa sebuah kamar untuk waktu satu bulan?" Suara Roanna membuat kedua pria itu menoleh kepadanya. Wanita itu dan sang tamu sama-sama terkejut atas pertemuan yang sama sekali tidak terduga itu.