Tanpa mendapatkan jawaban, Djuwira diminta menunggu hingga wanita paruh baya tersebut kembali masuk ke kamar dan meninggalkannya sendiri. Dia harus menanti dengan perasaan kesal. Secarik kertas pembayaran masih berada di tangannya.
Tidak lama kemudian Riena pun keluar lagi dengan gerakan terburu-buru. "Maaf membuatmu menunggu," kata Riena, lalu menutup pintu kamar.Mereka berdiri berhadapan di depan pintu."Terima kasih sudah mengantar pesanannya. Kau temui pemilik acara di dalam dan bersikap baik lah karena dia sedang banyak masalah," lanjut wanita itu lagi dengan jempol kanan yang mengarah ke kamar di belakangnya.Riena bergegas meninggalkan Djuwira yang kebingungan. Intinya malam ini dia benar-benar dihantui oleh kebingungan yang membuatnya seperti orang bodoh. Ia tidak mungkin masuk begitu saja ke dalam kamar itu tanpa mendapatkan nama."Bu!" panggilnya sebelum wanita itu jauh.Riena berhenti melangkah, lalu menghela napas. "Ada apa lagi?" sahutnya berbalik tanya.Djuwira mengejar dan berdiri di sampingnya. "Kalau boleh saya tahu, siapa yang akan saya temui?"Pertanyaan Djuwira mengundang kemarahan Riena."Apa kau tidak dengar yang kukatakan tadi? Temui pemilik acara. Saya hanya pelayan dan tidak bisa bertemu denganmu lama-lama. Saya banyak urusan," jawab Riena mengerutkan alis.Djuwira meminta maaf pada wanita itu kemudian melihatnya berjalan kembali sampai langkahnya menghilang. "Baik lah ... Aku akan menemuinya," desahnya pelan, lalu menatap ke arah kamar tadi.Terpaksa dia menemui si pemilik acara yang sama sekali dia tidak tahu identitasnya. Setidaknya Riena memberitahu nama orang yang akan dia temui supaya Djuwira tidak bingung. Orang tua kah? Wanita? Atau mungkin lelaki.Saat menyusun roti-roti di ballroom tadi, Djuwira mendengar kalau acara yang akan berlangsung adalah acara pertunangan seorang pengusaha besar. Tanpa papan nama ucapan selamat yang biasa terpampang seperti pada umumnya, Ia tidak tahu sama sekali nama sosok yang akan bertunangan itu.Cukup aneh, tapi itu kenyataannya. Pengusaha besar buat acara, tapi tidak ada yang memberinya papan bunga sebagai bentuk ucapan selamat.Dengan tarikan napas gugup, Djuwira mengetuk pintu kamar 699 untuk kedua kalinya dan tidak mendengar respon apa pun."Aduh, bagaimana caranya? Apa aku masuk aja?" Djuwira bingung dan segan sekali untuk menerobos masuk. Sudah setengah jam dia rela mengulur waktu usai menata pesanan di ballroom, tapi masalah sisa pembayaran itu belum juga selesai.Begitu tangannya hendak membuka pintu, pintu pun terbuka lebih dulu dan membuat Djuwira terkejut. Buru-buru dia menarik kedua tangannya lagi sebelum mengetuk di pemilik kamar dan menurunkan tangannya ke depan tubuh. Menunggu orang yang akan dia temui."Permisi!" ucap Djuwira saat melihat tangan si pemilik kamar yang menunjukkan bahwa dia adalah lelaki.Perlahan-lahan sosok yang ada di balik kamar tersebut muncul hingga membuatnya terperangah. "Astaga!" bisiknya sendiri dengan syok.Pria bertubuh kekar, tinggi dan menggunakan kemeja putih yang kancingnya terbuka dua dari atas itu semakin jelas terlihat. Lengan pendek dari kemejanya tampak sesak karena desakan dari otot-otot yang bergerak. Pria itu menekuk satu lengannya ke dinding kemudian menatap Djuwira.Raut wajah maskulin yang memiliki rambut halus di sisi rahang bawah menambah ketampanan pria yang sudah pernah dia temui beberapa saat yang lalu. Ya, dia adalah lelaki yang ponselnya dijatuhkan oleh Djuwira di lobby.Sumpah demi apa pun, Djuwira belum sempat mengamati secara detail setiap lekukan wajahnya karena masalah ponsel. Ternyata dia begitu tampan dan mempesona. Sangat tampan. Belum pernah dia temui lelaki dengan wajah seperti malaikat.Apalagi iris matanya berwarna abu-abu, memberi tanda jelas bahwa dia bukanlah darah Indonesia asli.Di tengah-tengah keterkejutan Djuwira, pria itu pun menatap dengan intens di balik bulu mata lentiknya mengayun seiring kelopak matanya berkedip menatap gadis yang masih terpana ke arahnya. Pria itu menyadari kelancangan kedua netra Djuwira yang menggerayangi wajahnya kemudian sengaja mengeluarkan suara agar wanita di depannya sadar."Ehem!"Tentu saja cara itu ampuh. Djuwira langsung berkedip-kedip dan menyapanya, "Ah, Tuan! S-saya disuruh Bu Rina menemui Tuan." Djuwira mendadak gugup dan bicara tidak lancar. Otaknya seperti lumpuh sesaat.Meski begitu, hatinya menggerutu karena mengingat masalah ponsel miliknya. Dia spontan membelakangi pria itu hanya untuk berkata, "Mati aku! Kenapa harus bertemu dengannya lagi? Bagaimana kalau ponsel dia rusak? Bisa ganti rugi aku. Astaghfirullah!"Deg.Suasana sepi di sana lorong lantai 6 membuat Djuwira bisa mendengar embusan ketukan jemari pria itu ke daun pintu, lalu secepat kilat Djuwira berbalik arah dan tersenyum. Kedua mata yang menyipit menandakan dirinya menarik sudut bibir."Kau dari toko roti Diamond?" tanya lelaki bersuara barrington yang tatapannya lebih condong ke lantai usai melihat Djuwira sebentar sambil memasukkan kedua tangannya ke kantong celana.Dia juga baru ingat kalau penyebab tabrakan di lobby tadi adalah wanita di depannya ini. Membenarkan bahwa dia adalah tukang roti yang membawa troli berisi pesanannya. Sedikit demi sedikit tatapannya menyatu dengan Djuwira."I-iya, Tuan ... Saya ingin meminta sisa pelunasan dari orderan anda," jawabnya terputus-putus di awal. "Kata Bu Riena saya harus menemui pemilik acara dan tidak disangka kalau Tuan adalah orangnya," lanjut gadis itu, lalu tertawa ringan.Pria tersebut membuang napas kasar, lalu memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya ke arah kamar. Pintu yang tadinya terbuka setengah kini sudah melebar. Djuwira seolah disuruh masuk tanpa kalimat perintah.Djuwira melangkah dengan hati-hati dan melewati pria yang menatapnya dingin. Bisa dilihat dari sudut bingkai mata Djuwira ekspresi dingin dan menyebalkan tersebut.Seketika itu pula, Djuwira seolah tertarik pada ingatan di ruang penyimpanan. Sosok pria yang berada di dekatnya ini sangat mirip dengan pria yang ada di majalah!"Eh, benar kah itu dia?" batinnya.Tanpa pikir panjang, Djuwira langsung bertanya padanya, "Tuan, apa benar Anda adalah Keane Matsumoto yang ada di majalah Fobres?"Pria yang masih berada di pintu itu segera menutup pintunya dengan keras diiringi ekspresi wajah tidak senang. Dia tidak menduga kalau dirinya dikenal oleh seorang karyawan toko roti. Tanpa menjawab pertanyaan Djuwira, dia pun langsung berjalan melewati gadis itu kemudian menuju meja bulat berdiameter 1 meter yang ada di kamarnya.Djuwira merapatkan bibirnya lagi dan merasa sudah lancang bicara pada orang asing. Dia melihat pria tersebut mengambil amplop di atas meja, lalu mengangkatnya dengan cara menjepit di antara telunjuk dan jari tengah."Ini sisa pembayarannya, ambil lah!" perintahnya dengan sikap tidak bersahabat. Sedikit pun tidak ada senyuman atau mimik ramah darinya.Djuwira menelan saliva kemudian menanyakan sesuatu terkait kejadian di lobby tadi sambil berjalan ke arahnya, "Apa ponsel milik Tuan masih aman?"Pria itu menghela napas kuat dari hidungnya seolah melepaskan beban. "Rusak," jawabnya.Mata Djuwira langsung terbelalak. "Ya, Allah!" serunya melotot. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Djuwira menutup kedua mata dengan tangannya. Otaknya dipenuhi masalah biaya perbaikan ponsel mahal itu dan melupakan tujuan utamanya untuk menagih uang sisa pembayaran roti.Pria tersebut menaruh kembali amplop putih di tangannya karena terlalu lama menanti, lalu meminta Djuwira segera mengambil uang itu sendiri di meja dan pergi.Namun, Djuwira masih punya hati serta berusaha mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki ponsel yang sudah dirusaknya. "Tuan, saya yang salah. Saya akan memperbaikinya," kata Djuwira."Kau yakin?" tanyanya penuh ragu. Sama seperti Djuwira yang juga ragu bisa membayar biaya perbaikan ponsel mahal tersebut.Dengan anggukan lemah, Djuwira menjawab, "InsyaAllah, Tuan!" jawabnya.Pria itu tersenyum miring, menoleh ke kiri karena mampu membaca kekhawatiran akan jawabannya. Ia menggeleng pelan dan menarik senyumnya kembali.Tiba-tiba pria itu memberikan ponsel dari kantongnya pada Djuwira kemudian langsung dicek oleh gadis itu. "Kalau tidak percaya, kau bisa melihatnya sendiri," ujarnya.Djuwira berusaha menyalakannya, tapi tidak bisa. "Apa harus pakai sidik jari, Tuan?"Pria itu menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya singkat.Djuwira membolak-balik ponsel itu dan tetap tidak bisa menemukan cara menyalakannya. Spontan benda berwarna hitam itu disambar oleh pemiliknya, lalu di buang begitu saja ke meja bulat.Bruk!Suara benturan yang terdengar keras menandakan bahwa ponsel itu kehilangan harga dirinya."Sudah mati total, percuma kau berusaha nyalakan," tandasnya mengejutkan Djuwira sampai ke ubun-ubun."M-mati total?!" Djuwira gemetaran dan terus menelan ludah.Dia pun menunduk, menatap karpet di bawahnya sambil berpikir. "Bukan cuma rusak, tapi mati total. Berarti biayanya lebih banyak atau jangan-jangan aku harus menggantinya dengan yang baru?" tanyanya dalam hati sambil menduga-duga, kedua matanya terbelalak menghitung jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membeli ponsel baru yang sama seperti itu.Ingin rasanya Djuwira melarikan diri saja saat ini. Pikiran tanggung jawab atas kesalahannya harus dikubur dalam-dalam. Dia menyesal sudah bersedia bertanggung jawab.Sambil tersenyum sedih, Djuwira menggeleng dengan dada sesak, lalu mundur dari posisinya saat ini. Dia benar-benar ingin kabur saja. Mengabaikan pandangan dingin dan menakutkan dari pria di depannya yang sudah membaca gerakan melarikan dirinya."Aku harus pergi," bisiknya dalam batin mengingat uang dalam dompet dan rekeningnya sangat terbatas.Namun, baru dua langkah bergerak menjauhi pria tersebut—suara bel berbunyi pun terdengar. Membuat keduanya sama-sama menoleh. Sontak saj
Terhenyak seketika Djuwira mendengar pertanyaan dari Key."Mem-bantu, Tuan?" tanya balik Djuwira, sambil mengerutkan keningnya."Ya, bantu aku menyelesaikan masalah ini," jawab Key dengan ekspresi dinginnya. Bisa-bisanya dia melihat wanita cantik di depannya dengan perasaan canggung."M-masalah apa maksudnya, Tuan?" Djuwira pun terbata-bata menjawabnya."Jadi lah tunanganku malam ini," jawabnya dengan arah pandangan sedikit melenceng ke kanan. Bukan jawaban itu yang seharusnya keluar. Key malah menimpali dengan permintaan bukan penjelasan akan masalahnya. Djuwira dipaksa memahami hal yang tidak dia pahami."Tuan," sahutnya meminta Key melepaskan tubuhnya. Permintaan jadi tunangan bukanlah permintaan yang sepele. Masa depan bisa berubah kalau dia menerimanya.Key mengabulkan permintaan lepas dari Djuwira kemudian menantikan jawaban atas pertanyaan tadi. Pikiran kusut yang melanda membuat Key memilih cara ini."Maaf, Tuan. Aku tidak bisa mengikuti kemauan Tuan. Aku tidak mau menerima t
Bulir air mata jatuh dengan sendirinya akibat mendapatkan kabar buruk di tengah cuaca yang sama buruknya dengan nasib pagi ini. Petir menggelegar tak lagi mengejutkan Djuwira karena kabar pemecatannya mengalahkan ketakutan halilintar.Jemarinya menyeka sudut mata, berusaha menghentikan air mata yang terus jatuh. Namun, semakin ingin berhenti semakin deras pula ia jatuh. Sayangnya, tangisan dalam diam itu terasa sangat menyakitkan. Sakit sekali seperti disayat-sayat.Djuwira tidak mau ayah dan adiknya tahu kalau dia sudah tidak bekerja. Mereka bisa sedih dan ikut frustasi. Biar ia saja yang menanggung sedih serta berusaha mencari jalan keluar atas permasalahannya ini.Sekitar satu jam berlalu. Djuwira keluar kamar setelah memastikan bahwa muka serta matanya bebas dari jejak tangisan. Senyuman ditarik paksa, mengubah ekspresi sedihnya menjadi gembira. Ia membawa tas selempang berbahan denim dari kamarnya, lalu berpamitan."Ayah, aku keluar dulu," katanya.Rinaldi yang sedang sarapan lan
"Fitnah?" Ekspresi Key terlihat tidak senang. Lirikan tajamnya menusuk hingga membuat Djuwira mengerutkan kening.Sekretaris Key pun ikut kelimpungan dengan situasi yang sama sekali tidak dia pahami. Secara bergantian wanita itu melihat bos dan juga tamunya itu."Ya, Tuan memfitnahku dan sudah melayangkan pernyataan bohong pada pemilik toko roti Diamond dan itu semua tidak benar!" jelasnya lagi dengan nada meninggi.Suara Djuwira bisa terdengar hingga ke sisi ruangan para karyawan. Gea langsung mengawasi mereka, memastikan kalau mata-mata penasaran dari ruang karyawan yang mendengar obrolan panas itu tidak membuang waktu kerja mereka hanya demi mencari informasi.Saat dia hendak memberi solusi untuk bicara empat mata dalam ruangan, bosnya justru sudah beranjak pergi sambil mencengkram balik tangan Djuwira dan membawa paksa ke ruangan pribadinya.Djuwira dilepas paksa dari cengkraman Key hingga membuat gadis itu hampir tersungkur. Beruntung Ia menemukan credenza kemudian menahan diri ag
Percakapan serius antara Key dan seseorang yang dimaksud adalah Riena, pelayan kepercayaan keluarga. Dia yang telah memberi laporan palsu pada pemilik toko roti karena marah pada Djuwira yang dianggap tidak mau membantu Key untuk berpura-pura menjadi tunangannya malam itu.Key tampak mendidih hati ketika mengetahui bahwa seorang wanita berstatus 'pelayan' sudah berani melakukan hal di luar persetujuannya. Ia menutup panggilan tersebut dengan satu ancaman."Semoga Bibi ingat pada kejadian masa lalu tentang sekretaris pribadiku yang sudah lancang menyetujui perjanjian bisnis atas namaku. Kupastikan Bibi juga akan menerima hukuman yang sama," tekannya pada wanita yang sudah gemetar mendengar setiap balasan dari Key."Key, saya minta maaf! Saya melakukan itu karena tahu betapa pentingnya pertunanganmu dengan Nona Sayuri demi memperluas bisnis keluarga Matsumoto," sahutnya mengharap ampunan."Bibi tahu hal yang aku benci, bukan? Memaafkan sesuatu yang tidak bisa kumaafkan." Key memutus pan
Key tidak sanggup tetap berada di ruangan bersama Djuwira yang telah membangkitkan trauma masa kecilnya. "Tolong awasi dan tunggu dokter datang, saya mau keluar dulu," katanya.Gea tercekat mendengar perintah bosnya yang di luar nalar. Key meninggalkan dua beban pada sekretarisnya. Pertama, muntah yang berceceran di lantai dan kedua, wanita asing yang pingsan di sofa.Key melangkah tergesa-gesa tanpa menoleh sedikit pun pada Djuwira. Dia ingin mencari udara segar untuk menghilangkan mual yang masih dirasanya hingga sekarang.Sisi atap perusahaan adalah tempat terbaik bagi Key menjernihkan pikiran yang membawanya mengingat momen tak terlupakan. Momen ketika lahirnya seorang adik perempuan bernama Sasha.Flashback."Papa, adiknya laki-laki atau perempuan?" tanya Key kecil pada Matsumoto, ayahnya."Adik kamu perempuan, Key. Dia sangat cantik seperti mamamu," jawab Matsumoto penuh perasaan bahagia.Mereka belum diperbolehkan masuk setelah proses lahiran karena si ibu dan bayinya sedang dib
"Aku sudah sedikit lebih sehat, Tuan. Terima kasih sudah membantuku sadar," jawab Djuwira.Alis kiri Key menanjak sebentar karena memikirkan ucapan dokter di luar ruangan. "Bukan aku yang melakukannya, tapi dokter Vino," sahutnya."Ya, itu maksudku, Tuan. Hanya saja dokternya sudah pergi, jadi aku sampaikan pada Tuan," balas Djuwira bernada lemah.Key mengangguk. "Dokter menyarankan kau istirahat dan makan makanan yang bergizi karena tekanan darahmu sedang menurun," paparnya meneruskan ucapan Vino.Djuwira menganga terkejut saat mengetahui kalau dirinya kurang gizi. "Maaf, Tuan, tapi saya hanya kelelahan saja, bukan kurang gizi," tepisnya membela diri.Key tersenyum tipis kemudian menaikkan kedua alisnya. "Aku tidak peduli dengan itu. Aku hanya menyampaikan pesan dokter saja. Bayangkan kalau kau pingsan di jalanan, pasti akan merepotkan lebih banyak orang lagi," sanggahnya pula.Djuwira malu sekali karena pesan dokter yang sejujurnya ada benarnya itu. Hanya saja Djuwira takut kalau Ke
Djuwira mengatur napas normal karena sejak beberapa waktu lalu dia bahkan hampir lupa bernapas. Lirikan yang menerkamnya dari arah kanan menyadarkan Djuwira kalau dia harus mengucapkan terima kasih pada preman tersebut."Kak, aku mau ngucapin terima kasih karena udah bantu aku lolos dari mereka," katanya.Pria itu melipat kedua tangan dengan sombong. "Gua heran ngeliat Lu. Baru aja kerja di toko roti, sekarang udah dipecat. Apa Lu gak paham caranya bekerja?" sahutnya menghardik."Bukan begitu, Kak. Ada kesalahpahaman aja sama bos. Jadi, aku kena getahnya." Djuwira tersenyum meringis. "Eh, tahu dari mana aku kerja di toko roti, Kak?" tanyanya heran."Lu kira Gua gak keliling kota ini? Gua pernah lah ngeliat Lu keluar pake seragam toko roti Diamond." Preman itu melengos kesal."Oh, gitu. Ya udah, aku permisi, ya!" Djuwira menunduk sebentar saat melewati pria yang sudah menolongnya itu. Namun, saat dia sudah melangkah hampir 10 meter, pria itu mengatakan sesuatu padanya."Mereka itu anak
Beberapa hari kemudian. Ketika Key selesai menjalani rapat penting dengan klien, tiba-tiba Sayuri muncul tanpa janjian. Sayuri bingung saat melihat sosok perempuan yang harusnya menjadi posisi terbawah di perusahaan calon tunangannya malah sekarang terlihat berduaan dengan Key. "Key!" panggil Sayuri. Pria yang hendak naik ke mobilnya itu pun langsung menahan salah satu kakinya demi melihat orang yang sudah memanggilnya. Djuwira ikut menoleh karena berdiri di dekat Key dengan posisi dekat pintu, baru saja membukakan pintu. Key berdeham karena melihat Sayuri semakin menjadi hantu yang mengikuti ke mana pun. Djuwira mundur selangkah dan menyaksikan Sayuri memeluk kekasihnya. "Sayang!" sapanya ramah, bersikap seolah seperti perempuan bangsawan. Melirik Djuwira sesaat dengan alis mengerut. "Kenapa kau bisa di sini?" tanya Key heran, perlahan melepas pelukan itu. "Ah, tadi aku bertemu teman lama. Kalau tahu kau mau ke sini, pasti kita bisa pergi bareng, Key ...." Sayuri mul
Waktu berlalu. Key berakting baik sebagai calon tunangan Sayuri. Perempuan itu semakin sering ke kantor dan merasa bahwa perusahaan tersebut sudah menjadi miliknya. Dia bahkan tidak segan menegur karyawan yang dirasanya tidak sesuai dan bermalas-malasan.Djuwira juga tersambar dengan sindiran juga makian. Sayuri tidak secantik wajah dan namanya. Djuwira hanya bisa bersabar karena mengingat tujuan Key pada Sayuri."Cleaning service kok suka banget keluar masuk ruangan bos! kau genit ke pemilik perusahaan ini, ya?" tuduhnya.Djuwira terkejut saat mendengar bentakannya. Qesya saja emosi melihat Sayuri marah-marah ketika Key sedang menjalani bisnis di luar kantor. Qesya ingin meremas rambut Sayuri, lalu membenturkannya ke meja. "Maaf, Bu. Saya hanya ingin memastikan kalau ruangan Pak Keane tetap bersih." Djuwira menjaga sikapnya walau darahnya mendidih."Awas kalau sampai Kau berniat macam-macam dengan calon tunangan saya. Saya pastikan Kau akan menyesal.""Baik, Bu."Sayuri pergi dengan
Djuwira melihat kerusuhan itu dan segera menerobos kerumunan. "Halo, maaf! permisi!" Tak hanya Djuwira, anak buah keluarga Matsumoto yang lain ikut menertibkan. Key dan Djuwira bergegas menuju mobil dan Key pun segera naik. Djuwira menyusul dan langsung tancap gas. Embusan napas Key di balik wajah tegangnya bisa dilihat oleh Djuwira dari spion. Dia tidak berani menanyakan apa pun saat kondisi seperti ini. "Terima kasih sudah membantuku," katanya. "Oh, iya, Tuan. Sudah tugasku melakukannya. Apa Tuan terluka?" tanya Djuwira. "Tidak, hanya saja aku tidak suka bau mereka. Bau badan salah satu dari mereka tadi menusuk hidungku," sahutnya. Djuwira menahan tawa karena memang dia juga merasakan tadi. "Mereka bekerja keras demi mendapatkan informasi. Panas-panasan menunggu Tuan." "Hum, jadi kau tahu mereka di sana sejak tadi?" Key menginterogasi. "Tidak, Tuan. Kalau aku tahu, sudah aku tutupin Tuan dari dalam pakai jaket, masker dan topi," jawab Djuwira. Key langsung tersenyu
Keesokan harinya di rumah Key. Djuwira sudah bersiap menjemput bos sekaligus pria kesayangan yang semakin brutal menunjukkan rasa cintanya saat tidak ada yang melihat. Key menyambut kehadiran Djuwira dengan romantis. "Pagi, Sayang!" ucapnya mengejutkan Djuwira dan dihadiahi sebuah kecupan lembut tanpa diminta. Djuwira tersipu malu, memegang pipinya yang masih merasakan hangat sentuhan Key. "Tuan ... kenapa udah main serang aja pagi-pagi begini?" Key menatapnya dengan pipi menanjak akibat senyuman manisnya. Dia mengusap rambut Djuwira dan melihat kondisi wanita kesayangannya. "Apa kau mau lebih dari itu?" "Eh, tidak-tidak ... cukup, Tuan!" Djuwira menggeleng cepat. "Makanya jangan pernah tolak sesuatu yang kuberikan." Key mengeluarkan sesuatu dari kantongnya kemudian meminta Djuwira memejamkan mata. "A-Ada apa, Tuan? kenapa Tuan menyuruhku tutup mata?" tanyanya. Key mengusap muka Djuwira agar menuruti kemauannya kemudian meraih tangan gadis itu dan memasangkan sesuatu d
Key menggigit bibirnya saat mengejar Djuwira yang semakin menjauh. Hatinya berdebar keras, tercampur antara kekhawatiran akan keadaan Djuwira dan kemarahannya terhadap Uwais. Dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang Djuwira, tapi juga tentang keputusannya sendiri.Saat akhirnya ia berhasil menyalip Djuwira dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, Key turun dengan cepat dan berlari menghampiri Djuwira yang berjalan dengan langkah cepat."Djuwira!" panggilnya, napasnya terengah-engah.Djuwira berhenti sejenak, tapi tidak menoleh. "Tuan, tolong jangan repot-repot. Aku baik-baik saja."Key mendekatinya dengan hati-hati. "Tolong dengarkan aku, Djuwira. Aku tahu ini semua terlalu cepat, tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku mencintaimu, Djuwira. Harusnya aku tidak menyembunyikan masalah hatiku pada semua orang, tapi aku—"Djuwira akhirnya menoleh, matanya penuh keraguan dan ketidakpercayaan. "Tuan, bisakah kita bicara tentang ini nanti? Aku tidak ingin membuat masalah di
Dengan hati yang berat, Key memasuki mobilnya dan memulai perjalanan ke bar yang biasa didatangi oleh Key dan Uwais. Pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan dan kekecewaan atas keputusan Djuwira. Dia merasa seperti segalanya berantakan di sekitarnya, dan dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Di dalam mobil, Uwais berusaha menciptakan suasana yang lebih ceria. Dia bercerita tentang rencana-rencana mereka untuk malam itu, mencoba mengalihkan perhatian Djuwira dari keheningan yang tegang. Namun, Djuwira hanya menatap keluar jendela dengan ekspresi datar. "Djuwira, ada apa?" tanya Uwais. Ia pun terkejut dan menoleh. "Eh, enggak ada apa-apa, Uwais." "Apa ada masalah?" tanya Uwais lagi masih penasaran. "Gak ada, Kok! aku cuman ngerasa lelah." Uwais menghela napas. "Lelahmu akan hilang nanti saat tiba di sana. Teyamo adalah bar termewah dan juga asyik!" Djuwira tersenyum. "Apa di sana banyak laki-laki kesepian?" Uwais kaget mendengarnya. "Kenapa kau tanya itu?" "Hah
Di rumah usai pulang kerja. Djuwira melihat Maya datang dan membawanya ke kamar untuk berbincang.Dengan perasaan bahagia, Djuwira menceritakan masalah Key yang mencintainya. Namun, reaksi Maya justru berbeda."Buaya!" pekik Maya spontan."Eh, apa maksudmu, Maya?" Djuwira bingung."Dia hanya ingin pasang dua. Kau disembunyikan sementara si Sayuri diakui dunia. Ah, kau ini terlalu polos, Dju!"Djuwira mengerucutkan bibirnya. "Masa Tuan Key cuma mau mempermainkan aku?""Hei, Djuwira! namanya juga laki-laki. Mana ada yang menolak bangkai.""Maksudmu aku bangkai?"Maya cekikikan. "Dia menerima pertunangan dengan Sayuri, terus nanti kau diundang. Kau melihat mereka bertunangan, lalu kau disuruh berpikir kalau semua itu hanya bohongan?"Djuwira menelaah setiap ucapan Maya. "Katanya dia dendam sama Sayuri," sahutnya masih membela keyakinan hati."Dendam? kau tahu siapa Sayuri? anak konglomerat! mempertahankan hubungan dengan Sayuri jauh lebih menguntungkan daripada mempertahankan kau, Dju."
Di tengah-tengah kemesraan, tiba-tiba suara alarm pintu yang dikunci otomatis oleh Key terdengar. Ada yang berusaha membukanya dari luar. Qesya adalah pelakunya yang kaget saat mengetahui pintu dikunci. Dia berniat mengecek kegiatan bosnya bersama si cleaning service.. "Lho, kenapa dikunci? apa Djuwira sedang disidang habis-habisan sampai begitu privasi?" tanyanya sendiri, lalu berdecak heran. Dari ujung koridor, Qesya melihat Sayuri datang dengan jalan gemulainya yang khas. Qesya bisa membaca arah langkahnya ke ruangan Key. "Selamat siang," sapa Sayuri setengah ramah. "Siang, Bu!" sahut Qesya tersenyum palsu. Jujur dia malas sekali melihat saingannya datang. Mana ia merasa curiga pada Djuwira yang sudah terlalu lama di dalam, sekarang malah bertambah lagi beban pikirannya. "Keane, Mana?" tanya perempuan bergaun simpel warna medah muda itu. "Pak Keane di ruangan, tapi sepertinya sedang ada tamu," jawabnya. "Tamu?" Sayuri berdecak tawa kecil. "Buka pintunya," perintahnya
Ketika Key keluar dari ruang peralatan, matanya mengawasi sekitar. Dia berharap tidak ada yang melihat. Ketika dia merasa aman, secepat mungkin langkahnya mengarah ke ruangan sendiri. Tiba-tiba Qesya muncul dari balik lemari. "Pak," panggilnya. Key sedikit gugup, tapi berusaha dia kontrol. "Ada apa, Bu Qesya?" "Ah, saya mencari Bapak dari tadi. Ini ada proposal yang baru masuk, boleh bapak cek dulu," jawab Qesya. "Ya, saya akan mengeceknya di ruangan," sahut Key, membawa berkas tadi menuju ruangan. Qesya bingung melihat tingkah gugup Key, tapi dia berusaha menepis pikiran negatifnya kemudian kembali bekerja. Tidak lama setelah itu, Djuwira pun berniat mengembalikan kunci tadi, tapi Uwais datang membawanya pergi. "Eh, kita mau ke mana, Pak?" tanya Djuwira heran. Banyak mata memandang ke arah mereka. "Makan siang, aku telat istirahat dan akan mengajakmu," jawab Uwais seenak hati. Dia tidak mengikuti aturan jam kerja kantor. Beberapa saat kemudian, di kafe. Djuwira su