Satu tamparan dari Amel mendarat di pipi lelaki itu. Meninggalkan bekas kemerahan.
Vigo memegangi pipinya di sertai rahang yang mengeras. Mata yang penuh kebencian untuk pertama kalinya, ia menerima sebuah tamparan dari seorang wanita. Dan itu tidak bisa ia terima.
Plakkk ...
"Aaarrrggghh ..." Tamparan yang tidak kalah kuat dari tangan seorang lelaki di hadapan Amel, mendarat ke pipinya. Membuat Amel meringis kesakitan. Ia memegangi pipinya dari rasa sakit dan panas dari tangan seorang lelaki.
Selama ia hidup dan berumah tangga, tidak pernah seorang pun melayangkan tangannya pada Amel. Walaupun ia berasal dari Yayasan yatim piatu. Sebab, orang tuanya meninggal saat kecelakaan. Dan dia di ajak oleh pemilik yayasan untuk tinggal di sana.
Apa lagi suami yang ia memiliki tidak pernah meninggikan suaranya, membentak, atau menghardiknya. Andreas begitu menyayanginya. Memperlakukan Amel penuh kasih sayang.
Adrian yang mendengar rintihan sang Mama, membuat ia membuka matanya. Melepaskan pelukan erat yang sedari tadi tidak ia longgarkan dari Amel. Adrian memandangi Amel sesaat. Kemudian menatap Vigo-lelaki dewasa di hadapannya itu. Adrian memasang badan. Matanya yang kecil melihat tajam pada Vigo.
"Jangan sakiti Mama ku! Atau kau yang akan berurusan dengan ku. Daddy ku akan menangkap mu dan membawamu masuk ke penjara," Teriak Adrian. Ia begitu berani membentak Vigo. Tubuhnya yang mungil, membusung dada pada Vigo. Tangannya mengepal kuat di bawah sana. Darah yang bergejolak di dalam tubuhnya melihat sang Mama menerima perlakuan kasar dari Vigo, membuat Adrian tidak terima akan hal itu.
'Aku harus lindungi Mama. Karena aku anak jagoan Daddy dan Mama. Aku tidak boleh lemah. Aku tidak boleh takut. Aku harus membuat Daddy bangga denganku. Kalau aku berhasil menjaga Mama, Daddy pasti senang memiliki anak seperti ku.' Batin Adrian.
Amel terkesiap mendengar ucapan Adrian. Anaknya yang tidak banyak bicara itu, hari ini begitu beraninya meninggikan suara pada lelaki di hadapannya tersebut. Ia kembali menarik Adrian dalam dekapannya. Mencoba membenamkan wajahnya pada pelukan itu. Tapi, Adrian yang terlanjur menangkap suasana tak mengenakan itu, memilih untuk tidak memalingkan wajahnya lagi.
Vigo terkekeh mendengar penuturan dari Adrian yang begitu menggemaskan baginya. Ia sama sekali tidak takut di ancam oleh bocah kecil di hadapannya itu.
"Hai, bocah kecil! Kau pikir aku takut dengan ucapanmu? Apa kau pikir, Daddy mu akan datang, terus menyelamatkanmu, iya?" ucap Vigo. Lalu membungkukkan tubuhnya pada Adrian."Daddy mu telah mati! dan dia tidak akan hidup lagi."
Adrian membelalakan matanya. Mata dengan iris kebiruan itu, berkaca-kaca. Cairan bening di matanya mulai menganak sungai. Tanpa isakan, pipi Adrian di basahi oleh air mata yang tidak terbendung oleh kelopak matanya.
"Diam kau, manusia kotor!" bentak Adrian. Ia lepas dari pelukan sang Mama.
"Adrian, Cukup sayang. Papa pasti masih hidup, nak. Jangan dengarkan perkataannya," titah Amel. Menenangkan sang Anak. Ia takut, akan berdampak pada mental dan fisik Adrian.
Vigo yang hendak melayangkan tangannya pada Adrian, di tepis oleh Amel cepat.
"Kau boleh menyakiti ku. Tapi, jangan pada anak ku." Bentak Amel. Menggeretkan giginya.
Vigo yang telah tersulut emosi. Menyuruh dua anak buahnya memisahkan Adrian dan Amel. Menjauhkan anak dari Ibunya.
"Jangan, jangan sakiti dia. Aku mohon, tolong lepaskan anak ku!" teriak Amel. Ia meronta-ronta dari tangan yang di cekal oleh Vigo.
Adrian tidak kalah meronta dari seorang lelaki berbadan kekar memeganginya." Lepaskan aku, lepaskan!" tubuh mungilnya mencoba memberi perlawanan.
'Aku harus menyelamatkan Mama.' Batin Adrian.
Vigo berjalan ke arah Amel. Anak buah yang memegangi Amel di ambil alih oleh Vigo. Ia menarik rambut Amel. Membuat wanita itu meringis kesakitan.
"Aaarrggghh ... Sakit!" Pekik Amelia.
Mata Adrian memanas, melihat perlakuan kasar Vigo pada mamanya."Jangan sakiti Mama ku. Kau dengar itu, jangan sakiti mama ku." Teriak Adrian.
"Dasar manusia bajingan, terkutuk. Kau bahkan tidak pantas untuk hidup," celetuk Amel. Nafasnya mulai tersenggal-senggal.
"Apa kau bilang, aku bajingan, iya, ha ...?" Vigo menampar Amel kembali.
Plakkk...
Seiring suara tamparan itu menggema, gelak tawa dari segerombolan lelaki itu ikut berderai.
Adrian yang melihat itu, tidak bisa membuat dia tinggal diam. Adrian melihat sebuah vas bunga di lantai. Ia menginjak kaki anak buah Vigo yang memeganginya. Lalu menggigit tangannya.
Kaki mungil Adrian berlari cepat kearah Vigo yang memegangi rambut Amel. Ia mengambil vas bunga yang tergeletak di lantai, lalu melemparnya pada Vigo. Vas bunga itu berhasil mengenai kepala lelaki itu.
"Aaaakkhhh ..." Vigo meringis kesakitan. Tarikan kuat pada rambut Amel terlepas.
Amel melihat ada celah untuk lari dari Vigo, ia menarik tangan Adrian. Ia segera menjauh dari sana. Namun sayang, tangan kekar Vigo menahan Amel. Dan anak buah Vigo juga menarik paksa Adrian, memisahkannya dari sang Mama.
Vigo yang gelap mata atas tindakan Adrian, membuat dia tidak biasa mengampuni anak itu. Ia mengambil alih Adrian. Setelah Amel di pegang oleh anak buah Vigo.
Vigo menarik ikat pinggang yang melingkar di celana yang ia pakai. Lalu melayangkan pada tubuh Adrian.
"Aaakkhh ..." Pekik Adrian. Air matanya bercucuran menahan sakit dari cambukan.
"Matilah kau, mati! Mati bersama Daddymu!" seruVigo. Tangannya tidak henti memberi cambukan di tubuh Adrian.
"Adrian ... jangan lakukan itu. Jangan sakiti anak ku, aku mohon!" Teriak Amel. Ia kembali meronta-ronta."Cukup, Lepaskan anakku!"
Vigo tak menghiraukan ucapan Amel. Amarahnya sudah membuncah. Dan dia tidak sama sekali memandang Adrian sebagai anak-anak. Iya benar, dia manusia terkutuk.
Sudut mata Vigo menangkap bayangan sebuah senapan api. Yang ada di kantong celana anak buah tidak jauh berdiri darinya. Ia merogoh cepat pistol itu. Vigo menarik pletuknya, lalu mengarahkan pada Adrian.
Amel menggeleng-gelengkan kepalanya."Tidak, jangan bunuh anakku! Lepaskan dia! Dia tidak bersalah. Lepaskan dia, aku mohon. Jangan lakukan itu."
Air mata yang terus mengalir bercampur baur dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Dan tenaga yang sudah mulai melemah. Amel terus berteriak untuk menghentikan tindakan Vigo.
"Dorrr ... dorr..."
Dua peluru dari senapan berapi itu berhasil lolos dari sarangnya. Mengenai tubuh seseorang yang berada di depan Vigo.
Adrian yang menutup mata. Tubuhnya yang meringkuk di lantai, tapi ia merasa ada yang berat di atas tubuhnya.
Perlahan, Adrian membuka mata. Pandangannya buram. Ia mencoba mengerjapkan matanya. Manik mata Adrian, perlahan melihat jelas wajah yang berada di atas tubuhnya.
"Mama," ucap Adrian pelan, namun lirih. Adrian menarik tubuhnya dari sang Mama yang tergelatak bersimbah darah. Setelah berhasil menyingkirkan tubuh Amel, Adrian memeluk kepala sang Mama pada dekapannya.
Amel berhasil melepaskan diri dari anak buah Vigo. Saat kakinya yang memakai High Heels, menghantam kuat kaki lelaki itu.
"Mama!!" Pekik Adrian. Saat darah segar mengalir tepat di dada Amelia. Bibir Adrian ternganga, matanya membulat. Dadanya sesak akan nafas yang ia rasa seketika kosong. Bahkan ia merasakan sakit dari hati yang bergetar luka atas perbuatan manusia kejam terhadap orang tuanya. Tubuh Adrian melemah."Ma ... jangan tinggalkan Rian, Ma. Mama, bangun ... bangun, Ma. Rian mohon, bangun Ma!!"
Isak tangis Adrian pecah. Memenuhi ruangan itu. Melihat sang Mama tergeletak tidak bernyawa. Dua peluru menembus dada sang Mama.
Adrian menatap lekat wajah malaikat tak bersayapnya. Yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan penuh kasih sayang. Tangan mungilnya mengusap wajah Amel yang berkeringat dan pipi yang masih membekas air mata ikut ter-usap oleh tangannya.
"Jangan tinggalkan rian, Ma ..." Tangisan Adrian berderai. Ia memeluk erat sang Mama. Menempelkan wajah Mama Amel pada dada kecilnya. Berharap, detak jantungnya di dengar oleh sang Mama yang menutup mata dan tubuh terkulai tidak berdaya.
Namun, semua itu sia-sia. Mama Amel tetap tidak membuka matanya. Ia tidak dapat mendengar lagi ucapan Adrian. Tidak lagi menghiraukan isak tangisnya. Wanita itu benar-benar tidak lagi bernapas.
Bayangan Vigo dari sudut mata Adrian, membuat dia menolehkan tatapan pada lelaki itu. Tatapan tajam penuh dendam tersimpan dalam iris kebiruan itu.
Adrian meletakan kepala Mama Amel di lantai. Ia bangkit dari duduknya. Menyeka air mata yang hendak jatuh. Lalu, melangkah pada Vigo yang masih bergeming.
"Kau hanya segelintir manusia yang tidak punya hati. Kau telah membunuh kedua orang tua ku. Suatu saat nanti, jika ada seorang anak memanggilmu dengan sebutan ayah, maka panggilan itu sama sekali tidak pantas untukmu." Hardik Adrian. Bahunya naik-turun dari dada yang kembang-kempis atas nafas yang ia hirup dan buang dengan kasar. Jari telunjuk mungilnya mengarah pada Vigo. Seakan Ikut mempertegas ucapannya."Karena kau telah membunuh seorang Ayah dari anaknya. Dan Mama ku. Kau pembunuh ... pembunuh!!"
Bak tertampar oleh ucapan Adrian, Vigo hanya terdiam mendengar amarah anak kecil itu. Di usianya masih tujuh tahun, ucapannya bak orang dewasa.
Vigo menatap wajah Adrian. Wajah yang masih suci akan dosa. Wajah yang sama sekali tidak bersalah. Wajah yang seharusnya masih merasakan penuh kasih sayang orang tuanya. Kini, ia hidup sendirian di dunia yang kejam ini.
Bukan tanpa Alasan Vigo terdiam. Sang istri yang berada jauh darinya, tengah hamil tua. Dan ia membutuhkan banyak uang untuk operasi melahirkan. Dan istrinya tidak mengetahui pekerjaannya di kota Gavle, Swedia tersebut. Ucapan "tidak pantas di sebut seorang ayah" terngiang tajam di telinga Vigo.
Tangan Vigo menepis jari telunjuk Adrian."Kau hanya bocah kecil yang tidak tau apa-apa. Dan jangan pernah sok mengajariku. Jika kau mau, aku bisa membunuhmu dan membuatmu menyusul orang tuamu juga.
Membuat Adrian nyalinya menciut. Tenaganya tidak akan cukup melawan semua lelaki berbadan kekar itu.
Saat Vigo hendak meninggalkan tempat itu beserta anak buahnya. Sebuah telepon masuk ke ponsel miliknya. Membuat dia merogoh jaket berwarna hitam kulit tersebut.
Mematri sejenak nomer itu, sedetik kemudian ia menggeserkan tombol hijau.
"Hallo, Bos" ucap Vigo datar. Menempelkan benda pipih itu di telinganya. Ia terdiam sesaat mendengar lawan bicaranya memberi perintah.
"Baik, Tuan Alberto. Saya segera melaksanakan perintah Anda." Ujarnya kemudian.
Sambungan telepon di matikan. Ia kembali menemui bola mata Adrian yang masih bergejolak rasa benci, amarah. Semua telah bercampur.
"Bawa dia!" perintah Vigo pada anak buahnya. Salah satu dari mereka membopong tubuh Adrian.
"Lepaskan, lepaskan saya ... Jangan bawa saya." Adrian meronta-ronta di bahu lelaki berbadan kekar tersebut. Ia tidak ingin meninggalkan jenazah sang Mama.
"Diam, atau aku lempar kau ke kandang buaya." Geretak Vigo. Merasa geram akan suara yang memekakkan itu.
Adrian bergidik ngeri mendengar kandang buaya. Biar bagaimana pun dia anak kecil yang merasa takut akan ancaman yang ia rasa itu membahayakan baginya. Adrian terdiam, tapi tidak pada mata yang masih mengalir cairan bening itu.
Bersambung...
Adrian yang dibopong oleh anak buah Vigo, lalu hendak di masukan ke mobil. Adrian mengalungkan tangannya pada leher lelaki bertubuh besar itu. Ia bergerak cepat menggigit lehernya."Aaarrrgghh ..." Erangan kesakitan itu mengudara. Anak buah Vigo melepaskan Adrian seketika. Rasa sakit dari gigitan Adrian, membuat dia tidak mampu menahan bocah itu untuk tetap dibopong olehnya.Tentu saja, itu tujuan Adrian. Sehingga ia bisa lepas dari lelaki itu. Adrian tidak ingin di bawa oleh Vigo. Dua nama yang tersemat di pikirannya. Vigo dan Alberto, membuat Adrian ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya pada orang tuanya. Ia harus bisa kabur dari sana.Kaki jenjang kecil Adrian berlari cepat. Tanpa tahu tujuan dan arah, yang terpenting saat ini baginya bisa terlepas dulu dari lelaki bertubuh kekar itu. Menelusuri hutan yang terdapat di belakang rumahnya. Ia terpaksa mengambil jalan itu. Agar tidak memudahkan Vigo mengejarnya dengan mobil.
17 tahun kemudian, Irlandia."Huufff ..." Seorang wanita paruh baya bernama Nyonya Abella Nielson. menghembuskan napas berat setelah mengangkat setumpuk buku yang di kemas dari kamar Armand. Kamar yang telah lama tidak terpakai, semenjak Armand lulus dari sekolah menengah atas, dan berkuliah di New York, kota terpadat di Amerika. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kembali ke Irlandia. Lelaki itu kini memilih tinggal di apartemen.Nyonya Abella membawa kardus yang berisi buku ke gudang berada di bagian belakang rumah. Meletakan kardus itu pada setumpuk buku bekas yang telah diikat di atas lemari. Letak tempatnya yang tinggi, membuat Nyonya Abella sedikit berjinjit. Setelah Nyonya Abella merasa aman meletakkan kardus yang ia bawa itu, lalu ia beranjak dari sana. Baru saja hendak melangkah kardus--"Bruuuggg ...""Aaakkhh ..." Kardus itu terjatuh, dan hampir menimpa Nyonya Abella."Armand," seru Nyonya Abella. Tangan
Pagi hari, matahari mulai merangkak naik berdiri pada paraduannya. Sinar yang terpancar menyapa bumi pertiwi dengan sedekap hangat yang di rasa, cahayanya menembus gorden putih yang menjuntai di kamar Armand.Lelaki itu telah bersiap dengan kemeja biru muda yang perlahan dikaitkan satu persatu buah bajunya. Serta dasi bermotif batik, telah melingkar dileher Armand. Tersemat rapi. Begitu juga celana bahan berwarna hitam legam telah menutupi kaki jenjangnya dengan ikat pinggang berwarna sama hitam. Ditambah balutan jas, menambah setelan kantornya hari ini.Armand mematri dirinya di depan cermin yang memperlihatkan tubuh kekar atletisnya. Bak seorang model dengan paras tampan yang di anugerahkan padanya. Sempurna, menjadi kata yang pantas untuknya.Setelah Armand merasa pantas dengan pakaiannya, ia pun pergi keluar dari kamar. Langkah lebar dari kaki jenjang Armand menuruni tangga satu persatu. Saat tiba di tangga terakhir, Armand melirik jam mewah limited Ed
Swedia, Gavle, 8 oktober 1998.Derap langkah kaki seorang wanita memakai high heels berbenturan dilantai marmer. Wanita berusia 30 tahun, bernama Amelia Celline. Bermanik mata biru, kulit putih, rambut pirang dan wajah memiliki tulang pipi menonjol, masih sangat cantik. Seperti tergesa menuju sebuah kamar.Adrian Aaron, anak lelaki berusia tujuh tahun, tengah menimba ilmu di sekolah dasar salah satu yang ada di Gavle. Adrian memiliki iris mata biru, rambut pendek pirang, hidung berbatang, serta bibir atas tipis-mungil.Tok ...! Tok...!"Adrian ... Adrian, bangun sayang, sudah siang!" teriak Mama Amelia. Sambil terus mengetuk pintu."Iya, Ma!" seru Adrian di dalam kamar. Kakinya melangkah lebar setelah meraih tas di meja belajarnya, menuju pintu.Ceklek...Menampakan Adrian di balik pintu yang terbuka itu."Mama kira kamu masih tidur
Setelah selesai makan malam Andreas beserta anak dan istri duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.Adrian tengah mengerjakan tugas dari sekolahnya. Ia sama sekali tidak meminta bantuan sang Mama dalam mengisi tugas sekolah tersebut. Bersekolah di sekolah bertaraf internasional, dengan rata-rata siswanya memliki IQ yang tinggi termasuk Adrian. Membuatnya menangkap pelajaran dengan begitu baik.Meski begitu, Adrian terkadang masih juga membutuhkan guru les. Yang di datangkan kerumahnya. Dengan pertemuan tiga kali dalam seminggu. Dia sama sekali tidak mengeluh atas aktifitas yang hanya di hadapkan dengan buku.Ia memiliki cita-cita seperti sang Papa, menjadi pengusaha yang sukses. Dan membuat Andreas dan Amelia bangga akan keinginan sang anak. Mereka mendukung penuh keinginan Adrian.Setelah panjang lebar Andreas menjelaskan pada Amelia soal Alberto menyambangi kantornya, membuat wanita itu mengerutkan alis. Raut wajahnya merasa ketak