Setelah selesai makan malam Andreas beserta anak dan istri duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
Adrian tengah mengerjakan tugas dari sekolahnya. Ia sama sekali tidak meminta bantuan sang Mama dalam mengisi tugas sekolah tersebut. Bersekolah di sekolah bertaraf internasional, dengan rata-rata siswanya memliki IQ yang tinggi termasuk Adrian. Membuatnya menangkap pelajaran dengan begitu baik.
Meski begitu, Adrian terkadang masih juga membutuhkan guru les. Yang di datangkan kerumahnya. Dengan pertemuan tiga kali dalam seminggu. Dia sama sekali tidak mengeluh atas aktifitas yang hanya di hadapkan dengan buku.
Ia memiliki cita-cita seperti sang Papa, menjadi pengusaha yang sukses. Dan membuat Andreas dan Amelia bangga akan keinginan sang anak. Mereka mendukung penuh keinginan Adrian.
Setelah panjang lebar Andreas menjelaskan pada Amelia soal Alberto menyambangi kantornya, membuat wanita itu mengerutkan alis. Raut wajahnya merasa ketakutan mendengar ucapan Alberto, ia merasa ada maksud dari perkataannya itu. Apa lagi, Amelia juga tahu, siapa Alberto.
"Mas, kenapa aku merasa ada maksud tertentu dari ucapan Alberto. Aku takut mas, Alberto bertindak di luar akal sehatnya," rintih Amelia. Memegangi lengan sang suami.
Andreas mengusap lembut punggung tangan Amelia."Kau tenang saja, dia tidak akan begitu padaku. Aku dan dia sudah berteman lama."
"Tapi, Mas--"
"Sudah, jangan berpikir yang aneh. Aku akan menjaga kamu dan anak kita. Kau tenang saja, hem ...!" titah Andreas. Mencoba menenangkan sang istri.
Amelia mengangguk pelan. Tatapan mereka beralih pada Adrian, masih fokus dengan tugasnya. Ada rasa khawatir menelusup di hati Amelia. Ia begitu tidak tenang. Bagaimana Alberto tidak main-main dengan ucapannya?
"Mama, Daddy," seru Adrian. Memanggil kedua orang tuanya yang termenung dalam pikiran masing-masing.
Mereka tersadar dari lamunan itu. Amelia mengulas senyum di raut wajah. Ia mencoba membuang pikiran buruknya pada Alberto. Ia menghampiri Adrian yang menulis di atas meja.
"Sudah siap tugasnya sayang?" tanya Amelia. Mengusap lembut puncak kepala sang anak.
"Sudah, Ma!" sahut Adrian.
"Kalau begitu, tidurlah. Tidak baik, tidur terlalu larut malam sayang. Kau masih kecil." Kata Amelia. Tangannya membantu mengemasi buku dan pulpen yang bertebaran di atas meja.
Adrian mengangguk pelan. Menuruti apa yang di katakan oleh Mama Amel. Ia beranjak dari ruangan itu. Mengayunkan langkahnya menuju kamar.
Malam semakin larut. Amelia dan Andreas memilih untuk tidur segera. Besok Andreas harus berangkat pagi ke kantor. Ada meeting penting yang harus ia hadiri.
Amelia keluar dari kamar Adrian. Melihat terlebih dulu sang anak. Bocah itu benar-benar sudah tidur begitu pulas. Dengan bantal panjang di dekap erat olehnya.
"Sudah tidur, Dia?" tanya Andreas. Menanyakan sang anak.
Amel mengangguk seraya tersenyum."Ayo, kita ke kamar!"
Andreas berdehem. Ia beranjak dari kursi mengikuti sang istri menuju kamar. Lampu dengan cahaya redup, mata yang sedari telah digayuti rasa kantuk, membuat sepasang suami istri itu tidak memerlukan waktu lama untuk terlelap.
***Esok paginya, Adrian telah berada di meja makan. Matanya mengamati seluruh ruangan itu. Seperti sesuatu yang tidak ia temui.
"Ma, Daddy mana?" tanya Adrian. Menoleh kebelakang, melihat sang Mama tengah membawakan segelas susu untuknya.
"Hari ini Daddy ada meeting penting sayang. Pagi sekali Daddy sudah berangkat," sahut Mama Amel.
Adrian hanya termanggut-manggut mendengar ucapan sang Mama. Entah mengapa, hati kecilnya merasakan hal yang teramat sedih. Ini bukan hal yang pertama bagi Adrian, ketika sang Daddy tidak ikut sarapan. Tapi, rasanya ia menahan sedih, seperti isak tangis yang tertahan.
"Sayang, jangan sedih gitu dong. Nanti, Daddy akan ajak kita jalan-jalan. Setelah pulang dari kantor." Bujuk Mama Amel. Mengusap lembut puncak kepala Adrian.
Adrian mencoba tersenyum. Senyuman yang ia paksakan dari bibirnya. Melebur rasa cemas yang ada dalam hatinya. Tatapannya kali ini, seolah tidak mau berpaling pada wajah sang Mama. Adrian juga merasa, hari ini tidak begitu semangat untuk pergi ke sekolah.
"Ayo, kita sarapan dulu." Ucap Mama Amel.
Setelah selesai sarapan, Amel telah bersiap-siap untuk mengantarkan Adrian kesekolah. Mereka pun melangkah keluar dari rumah. Namun, tiba-tiba segerombolan lelaki berbaju hitam dan memakai penutup wajah-topeng, menyelonong masuk kerumah. Membuat Amel dan Adrian menghentikan langkahnya. Tentu saja, mereka membuat Adrian memeluk erat sang Mama dari rasa takut melihat orang-orang yang tak di kenal.
Amel yang melihat itu merasa ketakutan. Ia mendekap erat Adrian di dekatnya.
"Siapa kalian?! Beraninya kalian masuk kerumah kami tanpa permisi." Seru Amel. Matanya bergantian menatap satu persatu lelaki bertopeng itu.
Segerombolan lelaki itu tertawa lebar. Gelak tawa mereka memenuhi ruangan. Membuat Amel dan Adrian bergidik ngeri. Ibu dan anak itu tubuhnya mulai merasa gemetar dari rasa takut membubuh. Adrian menutup matanya dan membenamkan wajah pada tubuh sang Mama.
Mereka menganggap ketakutan Amel dan Adrian sebuah lelucon. Dan bagi mereka itu sangat menyenangkan.
Salah satu dari mereka mengangkat tangan ke atas. Membentuk sebuah perintah dari gerakan jari itu. Setengah dari mereka bergerak menghancurkan isi rumah.
Amel yang melihat prilaku manusia terkutuk mengobrak-abrik rumahnya, ia merogoh tas untuk mengambil ponsel. Amel segera menekan nomer Andreas. Meminta lelaki itu untuk segera pulang, menolong dia dan sang anak. Sayang, telepon pun tidak tersambung.
Dalam tangan yang gemetar, dan keringat yang mulai keluar dari pori-pori kulit, Amel mencoba menekan nomer Andreas kembali dan berulang kali ia melakukan itu. Semua percuma. Nomer Andreas tetap tidak bisa di hubungi.
"Percuma Anda menghubungi suamimu Nyonya Andreas. Dia tidak akan pulang untuk selamanya," ucap lelaki yang melangkah mendekati Amel, bernama Vigo. Ia tersenyum menyeringai pada Amel.
Amel yang tidak mau di dekati oleh lelaki itu, ia melangkah mundur. Amel terjingkrak, ketika benda berkaca berjatuhan ke lantai, dari perbuatan mereka yang menghancurkan seisi rumah.
"Apa yang telah kalian perbuat pada suamiku?! Siapa kalian?" hardik Amel. Nafasnya memburu amarah, saat pikiran buruk terlintas pada suaminya. Air mata mulai menganak sungai dari balik kelopak mata. Tangannya, tidak melepaskan dekapan pada Adrian.
Bocah kecil itu sama sekali tidak membuka matanya. Ia semakin memeluk erat pinggang Amel. Dalam tubuh yang begitu gemetar, ia hanya berharap sang Daddy datang menyelamatkan dia dan Mamanya.
'Dad, tolong aku sama Mama. Ada orang jahat di sini, Daddy. Daddy, tolong kami ... tolong kami Daddy! Daddy di mana? Cepat pulang.' rintih hati Adrian. Perlahan cairan bening mengalir di pipi mulusnya.
Vigo menyunggingkan senyuman dibalik topeng yang menutupi wajahnya."Dia sudah mati! Kau ingin melihat mayatnya?"
"Tidak! Itu tidak mungkin. Kau pasti bohong! Sebentar lagi dia akan datang dan mengusir kalian dari sini!" bentak Amel. Tidak terima atas ucapan Vigo.
Gelak tawa Vigo kembali berderai. Membuat telinga Amel dan Adrian sangat kesakitan mendengarnya.
Mata Amel menelusuri keluar rumahnya. Ia berharap penjaga rumah Pak Axton menyelamatkannya dari segerombolan lelaki itu.
"Tidak ada orang yang akan menolong mu. Suami mu dan lelaki tua itu telah menjadi mayat!"
"Manusia biadab!" geram Amel, penuh penekanan.
'Mas, kamu di mana? Tolong kami, Mas,' Batin Amel. Mata yang ia pejamkan sejenak, menitikkan cairan bening yang tumpah dari kelopak matanya. Ia tidak tahu lagi, apa yang harus ia perbuat. Agar bisa lolos dari segerombolan lelaki di dalam sana.
Vigo tidak menggubris ucapan Amel. Ia terus mendekati wanita itu. Menatap sinis padanya. Wajah cantik Amel, dan bodynya yang aduhai di mata Vigo, membuat dia ingin menerkam segera wanita itu.
"Jangan mendekat! Atau aku akan berteriak!" ancam Amel.
Bukan merasa takut, Vigo beserta temannya itu malah tertawa. Ancaman yang membuat dia bergelitik geli.
"Oh, ya, silahkan Nyonya Andreas yang terhormat. Siapa yang akan menolong mu, ha?" Vigo berkacak pinggang. Tangannya bergerak hendak memegang dagu Amel. Namun, di tepis oleh wanita itu.
"Jauhkan tangan kotor mu itu," pungkas Amel.
"Jangan sok jual mahal Nyonya Andreas. Kau tenang saja, aku akan membeli tubuhmu ini." Ucap Vigo begitu enteng. Tanpa rasa bersalah.
Plakkk ...
Suara tamparan itu menggema.
Bersambung...
Satu tamparan dari Amel mendarat di pipi lelaki itu. Meninggalkan bekas kemerahan.Vigo memegangi pipinya di sertai rahang yang mengeras. Mata yang penuh kebencian untuk pertama kalinya, ia menerima sebuah tamparan dari seorang wanita. Dan itu tidak bisa ia terima.Plakkk ..."Aaarrrggghh ..." Tamparan yang tidak kalah kuat dari tangan seorang lelaki di hadapan Amel, mendarat ke pipinya. Membuat Amel meringis kesakitan. Ia memegangi pipinya dari rasa sakit dan panas dari tangan seorang lelaki.Selama ia hidup dan berumah tangga, tidak pernah seorang pun melayangkan tangannya pada Amel. Walaupun ia berasal dari Yayasan yatim piatu. Sebab, orang tuanya meninggal saat kecelakaan. Dan dia di ajak oleh pemilik yayasan untuk tinggal di sana.Apa lagi suami yang ia memiliki tidak pernah meninggikan suaranya, membentak, atau menghardiknya. Andreas begitu menyayanginya. Memperlakukan Amel penuh kasih sayang.Adrian yang mendengar rintihan
Adrian yang dibopong oleh anak buah Vigo, lalu hendak di masukan ke mobil. Adrian mengalungkan tangannya pada leher lelaki bertubuh besar itu. Ia bergerak cepat menggigit lehernya."Aaarrrgghh ..." Erangan kesakitan itu mengudara. Anak buah Vigo melepaskan Adrian seketika. Rasa sakit dari gigitan Adrian, membuat dia tidak mampu menahan bocah itu untuk tetap dibopong olehnya.Tentu saja, itu tujuan Adrian. Sehingga ia bisa lepas dari lelaki itu. Adrian tidak ingin di bawa oleh Vigo. Dua nama yang tersemat di pikirannya. Vigo dan Alberto, membuat Adrian ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya pada orang tuanya. Ia harus bisa kabur dari sana.Kaki jenjang kecil Adrian berlari cepat. Tanpa tahu tujuan dan arah, yang terpenting saat ini baginya bisa terlepas dulu dari lelaki bertubuh kekar itu. Menelusuri hutan yang terdapat di belakang rumahnya. Ia terpaksa mengambil jalan itu. Agar tidak memudahkan Vigo mengejarnya dengan mobil.
17 tahun kemudian, Irlandia."Huufff ..." Seorang wanita paruh baya bernama Nyonya Abella Nielson. menghembuskan napas berat setelah mengangkat setumpuk buku yang di kemas dari kamar Armand. Kamar yang telah lama tidak terpakai, semenjak Armand lulus dari sekolah menengah atas, dan berkuliah di New York, kota terpadat di Amerika. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia kembali ke Irlandia. Lelaki itu kini memilih tinggal di apartemen.Nyonya Abella membawa kardus yang berisi buku ke gudang berada di bagian belakang rumah. Meletakan kardus itu pada setumpuk buku bekas yang telah diikat di atas lemari. Letak tempatnya yang tinggi, membuat Nyonya Abella sedikit berjinjit. Setelah Nyonya Abella merasa aman meletakkan kardus yang ia bawa itu, lalu ia beranjak dari sana. Baru saja hendak melangkah kardus--"Bruuuggg ...""Aaakkhh ..." Kardus itu terjatuh, dan hampir menimpa Nyonya Abella."Armand," seru Nyonya Abella. Tangan
Pagi hari, matahari mulai merangkak naik berdiri pada paraduannya. Sinar yang terpancar menyapa bumi pertiwi dengan sedekap hangat yang di rasa, cahayanya menembus gorden putih yang menjuntai di kamar Armand.Lelaki itu telah bersiap dengan kemeja biru muda yang perlahan dikaitkan satu persatu buah bajunya. Serta dasi bermotif batik, telah melingkar dileher Armand. Tersemat rapi. Begitu juga celana bahan berwarna hitam legam telah menutupi kaki jenjangnya dengan ikat pinggang berwarna sama hitam. Ditambah balutan jas, menambah setelan kantornya hari ini.Armand mematri dirinya di depan cermin yang memperlihatkan tubuh kekar atletisnya. Bak seorang model dengan paras tampan yang di anugerahkan padanya. Sempurna, menjadi kata yang pantas untuknya.Setelah Armand merasa pantas dengan pakaiannya, ia pun pergi keluar dari kamar. Langkah lebar dari kaki jenjang Armand menuruni tangga satu persatu. Saat tiba di tangga terakhir, Armand melirik jam mewah limited Ed
Swedia, Gavle, 8 oktober 1998.Derap langkah kaki seorang wanita memakai high heels berbenturan dilantai marmer. Wanita berusia 30 tahun, bernama Amelia Celline. Bermanik mata biru, kulit putih, rambut pirang dan wajah memiliki tulang pipi menonjol, masih sangat cantik. Seperti tergesa menuju sebuah kamar.Adrian Aaron, anak lelaki berusia tujuh tahun, tengah menimba ilmu di sekolah dasar salah satu yang ada di Gavle. Adrian memiliki iris mata biru, rambut pendek pirang, hidung berbatang, serta bibir atas tipis-mungil.Tok ...! Tok...!"Adrian ... Adrian, bangun sayang, sudah siang!" teriak Mama Amelia. Sambil terus mengetuk pintu."Iya, Ma!" seru Adrian di dalam kamar. Kakinya melangkah lebar setelah meraih tas di meja belajarnya, menuju pintu.Ceklek...Menampakan Adrian di balik pintu yang terbuka itu."Mama kira kamu masih tidur