Keributan di dalam sel pun tidak dapat terelakan. Serli yang tidak terima ditegur malah menyerang orang tersebut, dia tidak tahu saja siapa yang sedang dilawannya saat ini.Plak!Brug!Mereka berdua saling serang satu sama lain.“Hajar terus,” sorak beberapa napi lainnya.Membuat Mela sang ketua geng di dalam penjara tersebut semakin gencar menghajar Serli. Begitu juga Serli walau wajahnya sudah penuh dengan cakaran,rambutnya sudah acak-acakan tidak jelas tetap saja dia tidak berhenti untuk berusaha menyerang balik lawannya.Keributan yang terjadi pun terdengar oleh polisi yang berjaga.“Berhenti!” teriak polisi tersebut sambil memukul jeruji besi menggunakan tongkat yang dibawanya.Seketika perkelahian itu berhenti.“Apa yang kalian lakukan hah!” “Berhenti berbuat onar,” tegurnya.“Dia duluan yang menyerang,” tunjuk kepala geng tersebut. Membuat Serli mendelikkan mata jengah.“Bohong! Dia duluan,” sentak Serli tidak terima.Brak!Polisi itu kembali memukulkan tongkatnya pada jeruji
“Saudara Serli atas semua perbuatan anda yang melanggar beberapa pasal. Dengan ini saya putuskan hukuman lima belas tahun penjara,” ucap Hakim membacakan putusan tangannya bergerak mengetuk palu sebanyak tiga kali.Suara ketukan palu hakim di ruang sidang membuat Serli menangis histeris gadis itu tidak terima dengan hukuman yang dijatuhkan padanya.“Tidak. Aku tidak ingin masuk penjara lagi!” jeritnya.“Kalian akan menyesal telah membuatku seperti ini.” Serli menunjuk Mahendra dan juga Bas.Mahen hanya tersenyum penuh kemenangan tak menanggapi ocehan Serli.Wanita itu terus meronta minta ketika para petugas akan membawanya kembali ke dalam sel. “Lepaskan!”“Aaa…!”Tanpa memperdulikan pemberontakan yang Serli lakukan para petugas polisi terus memaksa Serli untuk tetap berjalan. Pengacara yang diutus orang tua Serli tidak mampu berbuat apa-apa. Dari pihak penuntut memiliki begitu banyak bukti kejahatan yang pernah Serli lakukan termasuk yang terakhir kali. Semua pembelaan yang dilaku
“Aku bahagia sayang sekarang kamu sudah menjadi milikku seutuhnya.” Mahen mengecup kening Arleta dengan sangat mesra.Hari ini baru saja Mahen melangsungkan pernikahannya dengan Arleta. Acara yang dilangsungkan tidaklah diadakan dengan meriah. Hanya dihadiri orang-orang terdekat.Apakah Mahen malu?Tentu saja tidak.Semua itu atas permintaan Arleta, istrinya itu malu merasa tidak pantas katanya bersanding dengan seorang Mahendra pengusaha muda yang sukses. Sedangkan Arleta? Hanya anak yatim piatu, gadis kampung yang beruntung.Arleta membalas ucapan suaminya dengan tersenyum.”Aku lebih bahagia memiliki suami seperti kamu sayang. Sudah tampan kaya pula,” sahutnya sambil terkekeh.Yang dikatakan Arleta memang betul adanya. Bahkan mungkin hari ini adalah hari patah hati masal bagi para wanita yang mengidolakan seorang Mahendra.Walau pernikahan mereka hanya diadakan sederhana tanpa pesta. Namun berita itu langsung memenuhi seantero raya, beritanya trending topik hari ini.“Presdir Ma
EMm…Tubuh Arleta menggeliat, perlahan matanya terbuka. Kruk..Arleta memegangi perutnya yang terasa sangat lapar, dia menoleh suaminya melihat suaminya yang masih tertidur. Senyum Arleta mengembang mengingat permainan mereka semalam. Sungguh luar biasa!Perlahan Arleta turun dari tempat tidur dengan melilitkan selimut menutupi tubuh polosnya lalu berjalan menuju kamar mandi. “Astaga. Ini lebih banyak dari biasanya,” gunam Arleta ketika sedang bercermin.Dimana hampir seluruh tubuhnya penuh dengan tanda merah hasil karya suami tercinta. Krukk…Perutnya kembali berbunyi membuat Arleta bergegas membersihkan diri. Dua puluh menit berlalu Arleta baru menyelesaikan mandinya, dia keluar dengan hanya menggunakan handuk.“Udah bangun sayang,”sapa Arleta ketika melihat Mahen sedang duduk bersandar pada kepala ranjang. Mahen mengangguk,”Iya sayang.”Arleta hanya menganggukan kepala sebagai jawaban, kemudian berjalan menuju lemari untuk mengambil berganti pakaian.Grep.“Wangi,”ucap Mahen t
Setelah mengantarkan Mahen, Bas langsung kembali pulang ke apartemen pribadinya. Pria itu tidak ingin menjadi nyamuk lama-lama diantara pengantin baru yang super bucin itu.Bas mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Jam masih menunjukan pukul tujuh.Bas pikir tidak ada salahnya dia mampir ke cafe sebentar. Sekedar untuk mengusir penat.Bas pun membelokan mobilnya ke halaman cafe yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Bukan apa Bas hanya malas jika terlalu banyak orang di sekelilingnya yang akan menjadikan suasana menjadi riuh dan yang pasti hal itu sangat mengganggu ketenangan. Setelah mobilnya terparkir sempurna Bas turun lalu berjalan memasuki cafe tersebut. Kebetulan Bas mendapatkan tempat duduk yang ada di ujung dimana dia bisa menyaksikan pemandangan taman buatan di cafe tersebut.Cafe yang didatangi Bas saat ini memiliki konsep indoor. Namun jika mereka yang tidak suka bisa memilih menikmati hidangan di dalam ruangan.“Permisi tuan, mau pesan apa?”tanya seorang pelay
Plak“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”Mendapat tepukan sekaligus mendengar suara yang sangat familiar di telinganya pria itu berbalik.“Loh! Tuan sedang apa disini? Bas malah balik bertanya.Mahen hanya menaikan bahunya lalu berjalan menyusul Arleta.‘Astaga! Kenapa pula tuan di sini.’ batin Bas.Bisa gagal rencannya untuk mencari tahu gadis itu. Mahen duduk tidak jauh dari tempat Bas berada mereka hanya terhalang satu meja saja.“Sayang. Kenapa kita tidak bareng Bas saja?” tanya Arleta sedikit melirik Bas.“Sttt. Jangan berisik sayang. Kita lihat saja dia mau ketemuan dengan siapa, kalau kita disana,”sahut Mahen dengan berbisik.Haha..Puas sekali Mahen melihat ekspresi Bas yang terlihat Bete.Tidak lama seorang pelayan datang menghamipiri meja Mahen. Bas terlihat mengembangkan senyuman ketika melihat gadis yang selama ini di tunggu akhirnya muncul juga. ‘Ah. Kenapa pula harus ada tuan dan nona. Jika tidak aku sudah menghampirinya.’ garutu Bas dalam hati.Pria itu berpik
Sebelum masuk kedalam ruangan meneger Vina mengehela nafas dalam. Dirinya pasrah jika ini adalah hari terahrinya bekerja.‘Semua gara-gara pria aneh itu.’keluh Vina.Setelah dirasa cukup tenang, Vina memberanikan diri menegtuk pintu.Tok….Tok…“Masuk.” Perlahan Vina menekan handle pintu kemudiaan melangkahkan kakinya masuk. Vina melangkah dengan gontai jantungnya berdebar dengan kencang. “Silahkan duduk,” titah pak meneger.Vana mengangguk, lalu duduk dengan canggung. Gadis itu terus menunduk tidak berani mengangkat wajahnya dengan perasaan cemas Vina meremas jari jemarinya sendiri di bawah meja.“Kamu sudah tahu kenapa saya panggil kesini?” tanya pak meneger dengan suara khasnya yaitu terdengar menankutkan bagi Vina.Vina mengangguk,” Iya pak.” sahutnya.Walau kejadian tadi bukan sepenuhnya salah dia, tapi Vina tetap harus bertanggung jawab karena memang itu semua sudah tertera dalam kontrak. Mau tak mau Vina harus mengakui.Pak meneger terlihat mengangguk-anggukan kepala.” Baikl
“Berhenti disini saja tuan,” pinta Vina menunjuk sisi jalan.“Yakin?” tanya Bas memastikan.Vina mengangguk,”Iya. Lagi pula rumah saya masuk gang kecil jadi mobil gak bisa masuk,”jelasnya.Bas mengangguk pasrah,”Baiklah.”Bas menepikan mobilnya.“Terima kasih sudah mengantarkan saya tuan,”ucap Vina sebelum turun.“Sama-sama.”“Em..ngomong-ngomong memang rumah kamu dimana?”“Di dalam sana,” Vina menunjuk ke arah gang yang tidak jauh dari mobil saat ini.“Ah. Baiklah,” sahut Bas pasrah.Vina pun keluar, lalu melangkahkan kaki berjalan menuju gang arah rumahnya.Baru berapa langkah Vina kembali berhenti setelah mendengar teriakan Bas.“Ada apa lagi tuan?” tanyanya dengan nada pelan namun penuh penekanan.Bas sedikit berlari menghampiri Vina.“Setelah saya pikir-pikir. Saya akan antar kamu sampai rumah, tidak elok juga kan seorang gadis pulang sendiri mana hari sudah mulai gelap,”jawab Bas.“Itu tidak perlu. Saya sudah biasa sendiri,”tolak Vina. Bukan Bas namanya jika tidak memaksa. Akhi
Mahesa berdiri di pinggir jurang, memandang ke kejauhan, ke arah dunia yang terbentang luas. Dunia yang telah dia selamatkan, namun kini terasa jauh berbeda, seolah-olah seberkas cahaya dan bayangan bercampur dalam dirinya. Kekuatan Pohon Kehidupan yang telah mengalir di tubuhnya selama ini berpadu dengan kekuatan Bayangan Abadi, warisan dari leluhur yang terpendam jauh di dalam dirinya. Dia merasakan dua sisi yang bertarung dalam dirinya, cahaya yang membawa kehidupan dan bayangan yang membawa kegelapan. Seiring dengan berjalannya waktu, Mahesa menyadari bahwa dirinya kini bukan hanya seorang manusia biasa, tetapi juga penjaga antara dua dunia: dunia yang terang dan dunia yang gelap. Pohon Kehidupan, yang telah lama menjadi pusat keseimbangan di dunia ini, kini memiliki tugas baru, menjaga keseimbangan antara keduanya. Namun, tidak ada yang pernah mempersiapkan Mahesa untuk peran yang lebih besar daripada yang dia bayangkan. Kekuatan yang ada padanya bukan hanya milik dirinya, tet
Langit di atas Pohon Kehidupan mulai berubah, berlapis warna keemasan yang memancar seperti aurora. Namun, ada ketegangan yang merayap di udara, menciptakan rasa genting yang tidak bisa dijelaskan. Arleta dan Mahen berdiri di depan pohon itu, memandangi sesuatu yang baru saja mereka temukan—sebuah artefak kuno berbentuk orb kristal yang bersinar lembut.Nyai Sekar, yang berdiri di belakang mereka, tampak gelisah. “Ini adalah Artefak Kebangkitan,” katanya dengan nada berat. “Ia memiliki kekuatan untuk membawa kembali roh yang terikat dengan Pohon Kehidupan ke dunia nyata. Tetapi ada harga yang harus dibayar.”Arleta menatap artefak itu dengan campuran harapan dan ketakutan. “Apa harganya, Nyai?”Nyai Sekar menggeleng perlahan. “Membawa kembali satu jiwa akan mengganggu keseimbangan dunia. Kegelapan akan mendapat jalan untuk merasuki dunia ini, lebih kuat dari sebelumnya.”Mahen mengepalkan tangan, menatap artefak itu dengan mata penuh tekad. “Dia adalah anak kami. Jika ada kesempatan u
Pohon Kehidupan berdiri megah di tengah hutan lebat, cabang-cabangnya menjulang tinggi ke langit, dan daunnya bersinar lembut, memancarkan kehangatan yang menenangkan. Namun, sejak pengorbanan Mahesa untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran Bayangan Abadi, ada perubahan yang sulit diabaikan. Pohon itu tampak lebih hidup dari sebelumnya, dan bunga-bunga liar bermekaran di sekitar akarnya dengan warna-warna cerah yang tidak biasa.Arleta duduk di akar pohon, tangannya memegang kelopak bunga biru yang baru saja ia petik. “Mahen,” panggilnya, suaranya lembut tapi penuh kerinduan. “Aku merasa seperti dia masih di sini.”Mahen, yang berdiri tidak jauh darinya, memandang istrinya dengan mata yang penuh kesedihan dan cinta. “Aku juga merasakannya,” jawabnya. “Semua ini... keanehan yang terjadi sejak Mahesa pergi, seolah-olah dia masih berusaha berbicara kepada kita.”Malam itu, saat mereka tidur di rumah sederhana yang mereka bangun tak jauh dari Pohon Kehidupan, Arleta bermimpi. Dalam mimpi
Langit masih dihiasi semburat jingga saat Mahesa membuka matanya perlahan. Tubuhnya terasa ringan, namun hati dan pikirannya penuh dengan beban keputusan yang harus diambil. Pohon Kehidupan berdiri di depannya, memancarkan cahaya lembut, seperti sebuah lentera yang tetap menyala di tengah malam tergelap.Suara lembut Nyai Sekar memecah keheningan. "Mahesa, kau telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, perjalanan ini belum selesai."Mahesa menatap Nyai Sekar dengan mata penuh tekad. "Aku akan melakukan apa saja untuk melindungi dunia ini, meskipun itu berarti aku harus kehilangan segalanya."Nyai Sekar tersenyum tipis, tetapi kesedihan tampak di matanya. "Terkadang, melindungi berarti memilih untuk hidup dan bertahan, bukan mengorbankan segalanya. Kau harus belajar bahwa harapan tidak hanya berasal dari pengorbanan, tapi juga dari keberlanjutan perjuangan."Mahesa terdiam, hatinya bimbang. Ia tahu betul bahwa Bayangan Abadi masih menunggu untuk dihancurkan, namun pertanyaan
Arleta dan Mahen berdiri di tengah reruntuhan jembatan yang baru saja mereka lewati. Suasana sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kepulan debu dan kilauan cahaya samar dari Pohon Kehidupan yang kini mulai meredup. “Aku tidak bisa kehilangan dia lagi, Mahen,” kata Arleta, suaranya pecah di tengah isak tertahan. “Mahesa adalah alasan kita ada di sini.” Mahen menggenggam tangan Arleta erat, matanya menatap jauh ke arah tempat Mahesa dan Lirya menghilang. “Kita akan menemukannya. Aku janji. Tapi kita harus tetap fokus. Lirya semakin kuat, dan waktu kita tidak banyak.” Di depan mereka, sebuah jalan setapak yang penuh dengan akar bercahaya mulai terbuka, seolah Pohon Kehidupan memberi mereka petunjuk. Tanpa ragu, mereka melangkah maju, meski tubuh mereka masih terasa lemah akibat serangan terakhir Lirya. Semakin jauh mereka berjalan, suasana berubah semakin mencekam. Cahaya yang sebelumnya lembut kini berubah menjadi redup, hampir seperti nyala lilin yang hampir p
Mahen dan Arleta berdiri di depan gerbang besar yang bercahaya redup. Angin dingin menerpa wajah mereka, membawa bisikan halus seperti suara ribuan jiwa yang terperangkap di dalam. Di balik pintu itu adalah dunia yang tidak mereka kenal, namun takdir telah membawa mereka ke sini.Arleta menggenggam tangan Mahen erat, tatapannya penuh dengan keteguhan meskipun hatinya berdebar hebat. “Kita harus lakukan ini bersama. Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya sendirian.”Mahen menatap istrinya, mencium keningnya lembut. “Apa pun yang terjadi, kita akan melawan bersama.”Panji berdiri di belakang mereka, wajahnya serius. “Gerbang ini akan membawa kalian ke inti Pohon Kehidupan. Tapi ingat, ujian yang menanti di dalamnya akan menguji cinta, kepercayaan, dan keberanian kalian. Jangan pernah terpisah, karena itulah kelemahan terbesar kalian.”Keduanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke gerbang.Begitu mereka melewati gerbang, dunia di sekitar mereka berubah drastis. Cahaya lembut berwarna em
“Mahesa...” bisik Arleta, langkahnya terhenti saat menatap putranya. Air mata mengalir deras di wajahnya. Wajah Mahesa, yang dulu ceria dan penuh cinta, kini tampak dingin dan tak berjiwa.Namun, apa yang lebih menusuk hatinya adalah tatapan kosong itu, tatapan yang tak lagi mengenalinya.“Pergi,” suara Mahesa dingin dan berat, seperti bukan berasal dari dirinya. “Kalian tidak diinginkan di sini.”Mahen mencoba melangkah maju meski tubuhnya lunglai. “Mahesa, ini ayahmu. Ini ibumu yang selalu mencintaimu. Kami melakukan segalanya untuk membawamu kembali.”Mahesa tidak bergeming. Tangannya terangkat, dan seketika gelombang energi menghantam Mahen hingga terhempas ke tanah.“Mahen!” jerit Arleta, berlari ke arah suaminya. Ia berlutut, memeluk tubuh Mahen yang terguncang akibat serangan itu.Mahen menatap Arleta, mencoba berbicara meski suaranya serak. “Dia... dia bukan lagi anak kita. Ada sesuatu yang menguasainya.”Tawa sinis menggema di ruangan itu. Lirya muncul dari balik bayangan, me
Hari-hari setelah serangan Lirya berlalu dengan perlahan. Pohon Kehidupan masih berdiri tegak, meskipun aura yang dipancarkannya mulai melemah. Mahen dan Arleta semakin waspada, menyadari bahwa kekuatan gelap bisa menyerang kapan saja.Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Mahesa tidak lagi memberikan tanda. Cahaya pohon itu semakin redup, seolah-olah terhubung dengan sesuatu yang semakin jauh.“Sekar, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahen suatu malam, ketika mereka duduk di ruang kerja.Sekar menghela napas panjang. “Aku takut... Mahesa mungkin tidak lagi berada di dunia antara. Jika itu benar, maka dia mungkin sudah ditarik ke inti Pohon Kehidupan. Itu adalah tempat di mana roh-roh dipersiapkan untuk dilahirkan kembali.”“Lahir kembali?” bisik Arleta, hatinya mencelos.Sekar mengangguk. “Ya, itu berarti dia akan dilahirkan di dunia yang berbeda, tanpa ingatan tentang kalian. Kalian hanya memiliki sedikit waktu untuk menyelamatkannya sebelum itu terjadi.”Di tengah kebingungan
Keluarga Mahen kembali ke rumah mereka dengan hati yang berat. Kehilangan Mahesa seperti luka yang terus menganga, meskipun harapan dari Pohon Kehidupan mereka genggam erat.Arleta duduk di ruang tamu, memandangi foto Mahesa yang tergantung di dinding. Wajah kecil itu, dengan senyum polosnya, kini menjadi kenangan yang menghantui. Air mata jatuh perlahan di pipinya, namun ia tetap diam.Mahen berdiri di dekat jendela, menatap gelapnya malam. Angin dingin menyapu wajahnya, seolah dunia luar tak peduli pada rasa sakit yang kini melanda keluarganya.“Mahen,” suara Arleta bergetar, memecah keheningan. “Kau yakin... dia akan kembali?”Mahen menoleh, matanya merah oleh kelelahan dan emosi yang tertahan. Pria itu berjalan mendekati istrinya, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan Arleta.“Kita harus percaya, Arleta. Mahesa berkata dia akan kembali, dan aku yakin dia akan menepati janjinya,” katanya dengan suara tegas, meski di baliknya ada ketakutan yang tak terucap.Namun, kepercayaa