Kai meremas rambutnya karena merasa frustrasi. Ia tak berhasil mendapatkan Jessy dan Jane karena kedua gadis itu itu sudah dibawa oleh kelompok Terry. Matanya terpejam dengan rahang yang mengetat kuat. Napasnya terasa pendek dengan hidung yang kembang kempis. Jangan lupakan jika wajahnya memerah karena harus menahan rasa amarah yang membludak."Jake sialan! Dia benar benar membiarkanku sendirian tanpa memberikan kedua gadis itu padaku," umpat Kai dengan nada kesal bercampur amarah. Pria itu menghentakkan kakinya kesal ke trotoar untuk melampiaskan kekesalannya. Untung saja tak ada orang lewat yang melihat aksi bodohnya.Karena hari beranjak siang dan para warga sekitar mulai beraktivitas, Kai pun kembali ke dalam hutan melalui jalan yang tadi ia lewati. Pria itu harus kembali membawa mobilnya di dalam hutan, karena mobil itu berisi banyak berkas penting tentang kelompok White Tiger. Kai berjalan dengan melewati jembatan mengerikan itu lagi.Saat sudah mencapai rumahnya di dalam hutan
Jessy membulatkan mata saat melihat ukiran yang tercetak di bandul kalung yang selama ini ia kenakan. Gadis itu memiringkan kepalanya dengan mata mengerjap lucu, terlihat bingung dengan apa yang saat ini terjadi. Ia menatap bandul kalung itu dan Archer secara bergantian dengan tatapan polos miliknya."Ini nama siapa?" Tanya Jessy menunjuk nama "Rosemary" yang terukir disana dengan nda polos yang sukses membuat Archer menggeram gemas. "Kenapa malah bertanya padaku?" Archer bertanya dengan nada sedikit tinggi. Jessy tersentak kaget dengan nada suara itu. Tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan. Gadis itu bahkan sampai harus menggeser kembali tubuhnya ke arah Jane agar tak terlalu dekat dengan pria berambut cepak itu.Jake menatap tajam ke arah Archer karena membuat target mereka Jessy ketakutan seperti itu. Selain merasa jika sikap Archer sangatlah berlebihan, Jake juga berpikir dalam jangka panjang. Dengan rasa takut seperti ini, Jessy akan sulit membuka mulut karena kepalang takut.
Kai menghela napas panjang untuk menetralkan rasa gugup yang melanda dirinya. Jantungnya berpacu dengan cepat dengan keringat dingin yang menetes membasahi punggungnya. Sungguh, ini adalah perasaan yang sangat jarang ia rasakan. Kegagalan yang diakibatkan oleh beberapa variabel yang tak terduga ini membuat Kai harus merasakan rasa takut dan tertekan seperti sekarang. Rasanya kepala Kai terasa panas dan ingin meledak sekarang juga, memikirkan kegagalan misi yang ia jalankan.Disisi lain, pria dengan mata amber itu merasa kebingungan harus melaporkan apa pada sang ketua yang saat ini menunggu dibalik pintu. Apa yang harus ia laporkan? Kegagalan? Bisakah bosnya itu menerimanya? Pertanyaan itu terus berputar putar di kepala Kai.Ditangannya, terdapat beberapa map yang berisi data penjualan budak, data penjualan narkoba dan juga bisnis prostitusi dari markas pusat yang berada di Korea. Sekali lagi, Kai menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Setelah dirasa sedikit te
Jessy terdiam mendengar pertanyaan yang Terry lontarkan padanya. Memang benar, ia memiliki banyak opsi untuk melarikan diri. Tapi kondisi semalam sangat berbeda. Ia tak memiliki pilihan lain selain ikut dengan Kai.Gadis dengan wajah boneka itu menghela napas panjang sembari meremat ujung lengan dari kaus panjang yang ia kenakan. Mulutnya terbuka, tapi tak berhasil mengeluarkan suara, seolah ada yang menahannya. Gemas. Itulah yang Terry rasakan saat ini. Pria itu tak mengerti mengapa Jessy masih menutup rapat mulutnya itu. Apakah niatannya melarikan diri karena ia tertekan bersama dengannya? Ataukah ia dihasut oleh seseorang? Entahlah, tak ada satupun yang benar karena Jessy belum angkat suara untuk mengklarifikasinya."Jessy, aku bertanya padamu," "Itu..." Jessy kebingungan merangkai kata kata yang akan keluar dari mulutnya. Lidahnya terasa kelu, dengan raut wajah takut yang tergambar jelas di wajah bonekanya. Berbagai skenario buruk terus menari nari di kepalanya. Jika ia bilang
Terry tersentak kaget mendengar perkataan yang keluar dari mulut Jessy. Mata coklat milik pria berambut pirang itu seolah akan keluar dari tempatnya karena Terry melotot terlalu lebar. Mulut pria itu sedikit terbuka dengan alis yang terlihat naik.Sadar akan kekonyolannya, Terry menggeleng kepalanya untuk mengembalikan kembali kesadarannya. Sang ketua Mafia pun menatap lekat ke arah mata hijau milik Jessy yang berbinar, berusaha mencari letak kebohongan yang mungkin saja disembunyikan oleh gadis berwajah boneka itu.Jessy mengerjapkan matanya dengan polos sembari menatap Terry dengan tatapan bingung. Gadis itu memiringkan kepalanya sambil menaruh jari telunjuknya di dagu, memasang ekspresi lucu hingga bisa memecah konsentrasi Terry."Apa perkataanku salah, tuan?" Tanya Jessy dengan nada polosnya. "Perkataanmu tidak salah Jessy," Jake yang sedari tadi menulis di belakang Jessy pun membuka suara, mewakilkan Terry yang tak bisa berkata kata saat ini karena terlampau terkejut dengan apa
"Jane, ayo pindah, jangan tidur dilantai," ujar Jessy sembari menepuk pelan punggung sahabatnya. Akan tetapi, Jane tak mendengar ataupun merespon, membuat Jessy mendengus kesal dengan wajah cemberut.Gadis itu melirik ke arah Terry dan Jake yang masih membahas beberapa hal yang tak ia mengerti. Jessy menggelengkan kepala, lalu segera menggendong Jane untuk memindahkan gadis itu ke kasur yang saat ini sedang di tempati oleh Archer. Gadis itu harus bersusah payah mengangkat Jane karena perbedaan tubuh yang sangat mencolok."Woah, kenapa kau memindahkannya kemari?" Tanya Archer kaget saat melihat Jessy yang meletakkan Jane tepat di samping pria berambut cepak itu. Jessy menoleh pada sumber suara sembari tersenyum kecil."Aku hanya tak ingin sahabatku sakit. Boleh kan dia tidur disini selama beberapa jam?"Mendengar suara halus yang mengalun begitu merdu dari mulut Jessy membuat Archer menganggukkan kepalanya tanpa sadar, seolah terhipnotis oleh pesona Jessy keluarkan. Jessy tersenyum kec
"Kai, bahaya apa yang kau maksud?"Daniel bertanya dengan nada penasaran. Mata cokelat miliknya menatap Kai dengan intens, membuat pria bermata amber itu memalingkan wajahnya ke arah lain dengan tangan yang mengepal kuat. Daniel bisa melihat jika darah menetes dari sela sela jari pria itu."Aku hanya salah bicara. Maaf,"Alis Daniel terlihat naik dengan kening yang berkerut dalam. Pria berdarah Korea itu tentu saja tak percaya dengan apa yang Kai katakan padanya. Ia merasa tak puas dengan jawaban dari "mantan" sahabatnya itu.Hei, ia sudah mengenal Kai sejak kecil. Daniel tahu jika pria di depannya ini menyembunyikan sesuatu. Terbukti dari gerak geriknya yang tampak gelisah serta tatapan mata yang tak ingin melihat ke arahnya. Daniel menghela napas panjang sembari menyilangkan tangan di depan dada."Kau sangat payah dalam berbohong, Kai. Kau tahu itu kan?" Tanya Daniel dengan wajah mengejeknya, bermaksud memancing Kai untuk bicara. Biasanya, dengan cara ini Kai akan marah dan langsung
Saat Jessy akan membalas pertanyaan Terry, tiba tiba saja ponsel milik pria itu berdering dengan keras hingga menghentikan kegiatan keduanya. Terry menghela napas kasar lalu segera merogoh sakunya untuk melihat siapa orang yang sudah berani mengganggu waktu "istirahatnya" bersama dengan Jessy.Ketika dilihat, layar ponsel miliknya menampilkan nama Daniel. Terry tentu saja merasa aneh karena biaanya Daniel tak akan meneleponnya jika tak ada hal yang penting ataupun mendesak. Dengan malas, Terry segera menggeser layar ponselnya ke atas untuk menjawab panggilan itu."Ya, Daniel. Ada apa meneleponku?" Tanya Terry tak sabaran sembari melirik Jessy yang saat ini menatapnya dengan tatapan penasaran melalui mata hijau bulatnya yang begitu berkilau."Terry, gawat!""Gawat kenapa?" Tanya Terry heran mendengar suara panik dari sahabatnya itu. Apa ada sesuatu yang buruk? Otak Terry kini mulai menciptakan beberapa skenario terburuk. Selain itu, perasaannya mendadak menjadi tak."Gedung biru di man