"Hei dude, kenapa kau berteriak?" Tanya Archer ketika melihat Jake yang berteriak histeris sambil melihat catatan yang teronggok begitu saja di atas meja.Pria berambut cepak itu meringis sebal ketika melihat betapa berserakannya buku-buku yang Jake pinjam dari perpustakaan kota maupun dari daerah terpencil di luar kota Washington hanya untuk mencari kode yang terdapat di belakang kalung milik Jessy.Dengan sedikit inisiatif yang tersisa, Archer membereskan kembali buku-buku itu ke sebuah keranjang yang berada di dekat kulkas dan menatanya sesuai dengan ukuran. Archer tak peduli jika Jake akan marah padanya karena ia membereskan buku buku itu yang sedang dibaca oleh pria itu. Yang terpenting sekarang adalah ruang tamunya rapi dan tak berantakan dengan buku yang berserakan. Archer membereskan buku itu sesuai dengan ukurannya agar terlihat rapi.Jake menatap tajam kearah Archer sembari berkacak pinggang pada pria itu. Tatapan matanya begitu tajam dan sedingin es membuat Archer sediki
"Jadi bagaimana dengan jawaban anda nona Emily? Apakah anda menerima tawaran saya?" Tanya Jessy sekali lagi untuk menegaskan pertanyaannya. Gadis berwajah boneka itu berharap Emily mau membantunya untuk melepaskan diri dari cengkraman Terry. Gadis itu berharap jika Emily jatuh dalam perangkap yang sudah ia susun dengan matang.Emily menghela napas panjang disertai dengan raut wajah yang terlihat ragu. Emily menimang nimang sejenak tawaran yang ditawarkan oleh Jessy yang merupakan saingan cintanya. Bibirnya ia gigit dengan dengan tatapan mata yang terlihat kosong. Jessy berharap harap cemas sambil menutup matanya."Baik aku akan menerima tawaranmu, Jessy,"Jessy bersorak dalam hati ketika mengetahui bahwa Emily mau membantunya. Gadis berwajah boneka itu merasa senang karena ia berhasil memanipulasi perasaan untuk keuntungannya sendiri. Jessy sebenarnya tidak mau menggunakan cara kotor seperti ini, terutama menggunakan perasaan posesif yang dimiliki oleh Emily untuk keuntungannya. Akan
Emily kembali ke ruang aula pertemuan setelah membantu Jessy dan Jane untuk melarikan diri dari kawasan hotel. Bibirnya tersenyum dengan wajah yang berseri-seri. Tulang pipinya naik disertai dengan mata yang sedikit menyipit yang menunjukkan betapa bahagianya wanita berambut pirang itu hari ini. Kini Emily melangkahkan kaki jenjangnya menuju ke kursi yang tadi ia duduki. Itu artinya, ia akan kembali satu meja dengan Terry. Membayangkannya saja membuat Emily bersemangat dengan wajah yang bersemu merah, tak sabar menemui pujaan hati.Begitu duduk di kursi yang tadi ia tinggalkan, Emily langsung disambut tatapan tajam dari pria berambut pirang yang berstatus sebagai kekasihnya. Mata Terry memicing tajam disertai dengan wajah datar yang senantiasa menghiasi wajah tampannya. Tatapan mata Terry begitu menyelidik layaknya tengah menginterogasi lawan. Sorot mata yang sedingin es itu membuat Emily gugup setengah mati. Wajah tampan tanpa senyuman itu adalah hal yang paling Emily rindukan. Gad
"Daniel aku minta tolong padamu untuk mengurus semua rencana yang sudah kita rencanakan. Tolong atur sebaik mungkin agar rencana ini tidak gagal," perintah Terry setelah acara pertemuan antar para ketua mafia selesai. Daniel yang mendengarnya menganggukkan kepala dengan wajah datar andalannya."Kau bisa menyerahkannya padaku, Terry."Daniel dan Terry berpisah di lorong hotel. Pria dengan rambut pirang itu melangkahkan kakinya dengan lebar menuju ke kamarnya. Dalam hati ia sudah bisa memikirkan beberapa skenario yang akan ia lakukan untuk menghukum Jessy karena sudah berbuat nakal dan membuatnya sakit kepala dengan tingkah ajaib gadis itu.Membayangkannya saja sudah membuat Terry senang bukan main. Tulang pipinya terlihat naik dan matanya menyipit mirip bulan sabit, terlihat tampan dan manusiawi jika pria itu tengah tersenyum lebar. Terry bersenandung kecil selama perjalanan. Tak henti hentinya, suara berat nan merdu itu melantunkan lagu kesukaannya. "Boneka kecil aku datang," panggil
"Apa maksudmu aku berbeda dengan Jessy? Kami sama sama perempuan, Terry!" Teriak Emily kehabisan kesabaran tepat di depan wajah Terry.Terry menutup telinganya ketika mendengar teriakan yang terdengar memekakan itu. Matanya menutup disertai dengan raut wajah kesal yang tercetak jelas di wajah tampannya."Tentu saja kau berbeda dengan Jessy. Kau pergi ke luar negeri bersama dengan Kai, sedangkan dia sendirian di negeri asing ini, Emily,""Tunggu, darimana kau tahu hal itu, Terry?"..."Tuan Kai, terima kasih atas bantuanmu. Akan tetapi sepertinya aku harus menolaknya,"Senyuman yang tercetak di bibir milik Kai lenyap seketika ketika mendengar penolakan itu. Rahangnya mengetat disertai dengan tatapan matanya yang menajam, membuat Jessy dan Jane bergidik ketakutan melihatnya. Kepribadian kau langsung berubah dalam beberapa detik, membuat Jessy dan Jane saling bertukar pandangan satu sama lain. Apakah ini adalah orang yang menawarkan mereka bantuan beberapa detik yang lalu? Mengapa sif
Jessy menghela napas mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Jane. Gadis berwajah boneka itu kebingungan harus menjelaskan kecurigaannya tentang pria bermata amber itu pada sahabatnya. Saat mendengar tawaran yang diberikan oleh Kai, sejujurnya perasaan Jessy sudah tak enak. Terlebih cara pria itu menatap tubuhnya seperti elang yang tengah mengunci mangsa, membuat Jessy bergidik ketakutan.Melihat Jessy yang terdiam sekarang membuat Jane merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia menatap mata hijau milik jessy dengan intens, mencari celah untuk mengetahui apa yang mengganggu gadis berwajah boneka itu."Jessy? Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku? Jebakan apa yang kau maksud?" Panggil Jane ketika Jessy malah terdiam begitu saja tanpa mau membuka mulut, membuat Jane penasaran setengah mati."Kecilkan suaramu. Aku tak mau ada yang mendengar hal ini," bisik. Jessy sembari mencuri curi pandangan pada Kai yang saat ini tengah sibuk menggoda para wanita berbaju seksi yang kemungkinan besar
Selama perjalanan menuju "ke rumah" milik Kai, Jessy tak henti hentinya melihat ke arah jendela dengan hati yang cemas. Pikiran gadis itu kalut luar biasa karena bersama dengan orang asing yang ia curigai memiliki niat terselubung. Jessy sampai menggigit kukunya untuk melampiaskan rasa tak karuan yang kini melanda hatinya.Kai yang melihat tindakan Jessy tentu saja sedikit heran. Dari kaca yang berada di atasnya, ia bisa melihat raut gelisah bercampur takut yang tergambar di wajah cantik Jessy yang begitu mempesona. Hal ini berbanding terbalik dengan Jane yang tampak lebih santai sambil duduk dengan tenang sambil memejamkan matanya."Jessy? Apa ada yang mengganggumu?"Akhirnya Kai memilih untuk membuat suara di tengah keheningan yang menyergap ketiganya. Hal ini membuat atensi Jessy pada jendela mobil yang tengah melihat jalanan kota Roma teralihkan. Gadis itu segera memusatkan perhatiannya pada Kai yang mengajaknya bicara. Jane sendiri bahkan sampai membuka mata mendengar pertanyaan
Jessy mendongak menatap Kai yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan intens. Gadis itu bisa melihat ada raut wajah tak biasa yang tercetak di wajah tampan Kai. Sulit untuk dijelaskan, hanya saja, Jessy tetap merasa ada yang janggal walau ia sendiri tak tahu apa itu."Apa tehnya kurang enak hingga kau tak meminumnya?"Pertanyaan yang Kai lontarkan memang pertanyaan biasa yang para tuan rumah layangkan pada tamunya. Nada bicaranya juga terlihat tidak memiliki perbedaan yang berarti. Kai masih bertanya dengan nada lembut pada Jessy. Pria itu bahkan tersenyum lebar sambil menatap teh yang ia pegang. Akan tetapi, ada hawa gelap yang bisa Jessy rasakan dari tubuh pria itu, membuatnya bergidik ngeri."Aku menunggu tehnya dingin," balas Jessy seadanya sambil memasang senyuman canggung yang tampak begitu aneh untuk dilihat.Senyuman itu terlihat dipaksakan, dengan tidak adanya kerutan yang terbentuk di sudut mata. Selain itu, tangan Jessy terlihat sedikit bergetar ketika tengah memegang